Bab – I Pengantar
“Barang siapa hamba Melayu derhaka, meng-ubahkan janjinya dengan Rajanya, dibalikkan Allah Ta’ala bumbungan rumahnya ke bawah, kaki tiang ke atas”….
“Jikalau Raja Melayu mengubah janjinya dengan hamba Melayu, dibinasakan Allah Ta’ala Negeri dan Tahta kerajaannya”
Sejarah Melayu (Salalatus Salatin) versi Siak
(Dr. Mohammad Yusoff Hashim, ed, 2015)
Kutipan di atas mencatat tentang sumpah setia antara Demang Lebar Daun, tokoh pemimpin orang-orang Melayu (hamba Melayu) di Bukit Siguntang, dengan Sang Sapurba ( dalam Sejarah Melayu versi Siak, Sang Nila Utama), penguasa yang dikatakan adalah keturunan Iskandar Zulkarnain, dari Mekadonia (Raja Melayu). Apa janji hamba Melayu dan apa pula janji Raja Melayu itu? Bunyi teksnya dan tokohnya bisa berbeda-beda, tergantung dari sumber Sejarah Melayu (SM) mana yang dipakai. Meskipun sumber awalnya sama, yaitu Sejarah Melayu (Salatus Salatin) karya Tun Sri Lanang, Bendahara Paduka Raja kerajaan Melaka yang hidup dan berkiprah di era pemerintahan Sultan Johor ke-5, Alaudin Riayat Syah III (1597-1605), dan Sultan Johor ke-6, Abdullah Muayat Syah (1605-1623), karya sastra sejarah klasik, yang diperkirakan selesai tahun 1602 di Daik, Lingga itu, kini telah dialih aksarakan dari huruf jawi (Arab Melayu) ke huruf Latin, dan telah ditelaah, dikaji dan ditafsir ulang oleh berbagai pihak, bahkan ada yang telah diubah suai oleh penyelaras (editor)nya, hingga menjadi beberapa versi. Seperti ada versi W. G. Shellabear, atau yang disebut versi Malaysia, dan ada juga versi Muhammad Yusoff Hashim, atau yang disebut versi Siak, dan mungkin versi-versi yang lain. Teks dan tokohnya berbeda, karena telah diselaraskan, tetapi intinya tetap sama: Jika salah anak cucu bangsa Melayu, hukumlah dia, bahkan dengan hukuman mati sekalipun, tetapi jangan diberi malu. Sebaliknya, kalaupun Raja-Raja Melayu bersalah, bahkan kejam dan zalim, jangan anak-cucu Melayu, mendurhaka. Jika sampai terjadi, maka bala-lah yang akan menimpa. Teks dari sumber SM versi W. G. Shellabear (SMW), agak lebih rumit bahasanya (lihat SMW, edisi 1981, hal 20), tokoh Raja nya adalah Sang Sapurba. Sementara SM versi Siak (Muhammad Yusoof Hashim, ed, 2015), tokoh Rajanya adalah Sang Nila Utama atau Seri Tri Buana.
Untuk penulisan buku ini, saya banyak bersandar pada SM versi W. G. Shellabear (SMW), bukan hanya karena banyak karya-karya tentang sejarah kemaharajaan Melayu yang ditulis menggunakan SMW sebagai sumber, juga karena setelah saya membaca pengantar dan catatan editor SM versi Siak itu, yaitu Dr Muhammad Yusoff Hashim, saya mengetahui bahwa SM versi Siak (SMvs) itu sudah banyak mengalami perubahan, bahkan penambahan oleh penulisnya, Tengku Said ibni Tengku Deris, seorang bangsawan kerajaan Siak, keturunan Raja Kecik (Abdul Jalil Rahmat Syah). Tetapi, SMvs, saya jadikan pembanding, terutama untuk rujukan teksnya yang bahasanya lebih ringkas, dan modern. Itu sebab mengapa, kutipan diatas, saya ambil dari SMvs. Ada juga kutipan tentang hal yang sama, yang terdapat dalam buku Sejarah Melayu (Ahmad Dahlan, pen, 2014 ), halaman 74, tetapi teks ini telah disesuaikan dan ditulis ulang dengan frasa versi penulisnya.
Drh Chaidir, seorang budayawan yang menetap di Pekanbaru, Riau, di dalam kolom tetapnya bernama “Sigai”, yang terbit setiap hari Senin, di harian Riau Pos, sangat sering mengutip isi sumpah setia antara Demang Lebar Daun, tokoh Melayu di Bukit Siguntang itu dengan Sang Sapurba . Chaidir, yang juga politikus itu, menamakan sumpah setia itu, sebagai Prasasti Bukit Siguntang. Prasasti yang bukan dalam pengertian fisik, tetapi lebih kepada pengertian simbolik, sebuah kesepakatan. Sebuah janji suci, yang sama dihormati, dan mengikat kepada keturunan dan kaum kedua belah pihak. Atau dalam versi Ahmad Dahlan (op. cit), sebagai kontrak politik, atau menurut Zainal Kling sebagai Kontrak Sosial Melayu ( Nilai-Nilai Melayu, Gapena,2010 ), yang akan dijunjung tinggi, sampai ke akhir zaman. Karena itu, secara bercanda saya selalu memanggil Drh Chaidir sebagai Demang, representasi dari tokoh Melayu yang arif, bijak, tetapi kritis itu.
Saya memaklumi mengapa Demang Chaidir sangat sering mengutip frasa itu, dalam luahan pikirannya di kolom tetapnya itu, karena dia, baik dalam kapasitas sebagai budayawan, maupun politikus, selalu menyaksikan betapa sumpah setia itu kini di negeri Melayu ini, sudah sangat sering diabaikan, dan dianggap angin lalu. Para pemimpin, para penguasa, selalu melupakan dan mengabaikan janji mereka dan selalu menzalimi serta menista rakyatnya. Sebaliknya, rakyat Melayu, juga semakin sering membangkang, mendurhaka, dan tidak menghormati pemimpinnya. Demang Lebar Daun, seperti sudah menduga, semua itu akan terjadi, maka kepada Sang Sapurba dia berkata: Tetapi, jikalau anak buah Tuanku dahulu mengubahkan dia (maksudnya berkhianat, pen), maka anak cucu patikpun mengubahkanlah (berkhianat juga, pen). Ini kutipan dari versi W.G. Shellabear atau versi Malaysia (SMW), versi yang paling sering dipakai sebagai rujukan, termasuk para penulis Indonesia, khususnya Riau dan Kepulaun Riau, tentang sejarah kerajaan Melayu, sebelum muncul SM versi Siak ( SMvs). Kedua versi ini punya rentang jarak yang jauh. SMW, terbit pertama tahun 1967, sementara SMvs tahun 2015. Meskipun kedua-duanya terbit di Malaysia. SMW, diterbitkan Fajar Bakti Sdn. Bhd, Kuala Lumpur, sementara SMvs, diterbitkan oleh Penerbit Kolej Universiti Islam Melaka.
Sebagai seorang Melayu, saya memang sangat sering tergoda dengan prasasti Bukit Siguntang itu, terutama saat harus menulis dan berbicara tentang rumpun Melayu, masa lalu dan masa depannya. Bukan hanya karena faktor magis dan historikal sumpah setianya saja, tetapi karena saya yakin bahwa, itulah hakekat hidup, apalagi itulah yang diajarkan oleh Islam, agama yang saya anut. Hidup dan seluruh perjalanannya itu, adalah proses kesepakatan, dari individu ke individu, dari kelompok ke kelompok, dari rakyat dengan penguasa, dan berbagai komunitas dan golongan yang tumbuh dan berkembang bersama waktu, bersama sistem politik, karena pada hakekatnya, manusia itu adalah makhluk sosial. Makhluk yang dibuhul oleh janji, oleh kata. Bila janji sudah terucap, maka pantanglah ianya ditarik kembali. “Pantang air ludah, dijilat kembali”
Dan buku ini juga lahir, dari godaan dan gesaan pikiran tentang prasasti Bukit Siguntang, yang sampai saat ini, masih tetap dianggap bahagian dari mitos dan legenda, bahagian dari kerja imaji serta kreativitas para pengarang, dan kalah factual dan legalitasnya dibanding dengan perjanjian tertulis, seperti tractat, atau perjanjian tertulis lainnya, yang terkadang lahir dibawah ancaman senapan, dibanding sebuah kesepakaatan yang lahir dari komitmen moral, budi, dan bahasa. Banyak karya sastra dan lainnya, yang menganggap tractat London 1824, sebagai punca tragedi bagi perjalanan sejarah Kemaharajaan Melayu, dan tangan penbjajah Belanda dan Inggeris telah membelah kawasan ini menjadi dua. Kerajaan Riau-Lingga dan Kerajaan Singapura, Johor , Pahang dan Terengganu. Banayak karya-karya yang masih menyesali, masih marah, dan bahkan menangisi terbelahnya negeri Melayu itu. Tractat London, 1824. telah membuat hubungan perkauman rumpun Melayu di rantau ini, menjadi terjejas, terbelah, dan bahkan berseteru, padahal di diri mereka, mengalir darah dari sumber yang sama, Sang Sapurba.
Tetapi saya tetap menganggap, terbelahnya negeri Melayu itu, karena kesalahan orang Melayu sendiri, terutama para penguasanya, karena mereka berkhianat terhadap sumpah Setia antara Demang Lebar Daun dengan Sang Sapurba, pengkhianatan terhadap Prasasti Bukit Siguntang itu. Bukan karena tangan Belanda dan Inggeris, bukan karena ancaman senapang dan Meriam penjajah. Dalam puisi panjang saya “Dan Sejarahpun Berdarah” (dari kumpulan puisi Perjalanan Kelekatu, 2008), yang menceritakan tentang tragedi sejarah yang ujud dari perseteruan antara Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau-Lingga-Johor VI, Raja Djaafar (1806-1832) dengan kakanya, Engku Puteri Hamidah, permaisuri alm. Sultan Riau Lingga, Johor, Mahmud Syah III (1761-1812). Keduanya bersaudara, tetapi perseteruan mereka telah menjadi punca bala politik, dimana tahun 1819, terbelahnya kerajaan Riau, Lingga, Johor itu menjadi dua, 5 tahun sebelum tracktat London itu ditanda tangani. Saya juga tidak menyalahkan tractaat London yang membelah kerajaan itu, dalam novel saya “Bulang Cahaya”, 2007. Saya melihat, pelanggaran atas tradisi dan pengkhianatan terhadap adat istiadat berkerajaan yang sudah diwariskan ratusan tahun dalam tradisi Melayu, dalam semangat Prasasti Bukit Siguntang itulah, sebagai punca bala. Ketika penguasanya, sudah berlaku zalim dan aniaya kepada rakyatnya, ketika ambisi dan kepentingan puak, yang menghalalkan semua cara. Persis seperti kata Demang Lebar Daun: “Jikalau Raja Melayu telah mengubah janjinya dengan rakyatnya, maka Allah Ta’ala akan membinasakan tahta dan kerajaannya”.
Pengkhianatan terhadap prasasti Bukit Siguntang yang menjadi punca, dan bala politik itu bisa ditelususi dari berbagai buku sejarah, kronik, makalah, dan berbagai kertas kerja lainnya yang menceritakan tentang perjalanan sejarah kemaharajaan Melayu sejak abad XII sampai abad XX. Banyak sekali contoh dan kasus yang menunjukkan, betapa bala politik itu muncul, setelah sumpah setia Bukit Siguntang itu, dilanggar, dan dikhianati, meski di dalam berbagai bentuk, latar belakang dan kadar penyimpangannya. Yang paling tragis, misalnya, adalah ketika Megat Sri Rama, menusukkan kerisnya ke lambung Sultan Mahmud Syah II, 1699, di saat Sultan Johor ke-9 (1685-1699) itu sedang dijulang menuju masjid, untuk bersembahyang Jumat. “Raja Alim Raja Disembah, Raja Zalim Raja Disanggah”, pekik Megat yang tak lain adalah Laksamana kerajaan Johor itu juga, di sisi tubuh Mahmud Syah yang rebah dan terkulai. Pekik yang mengubah seluruh doktrin, etika dan adat istiadat Melayu yang dipahat di prasasti Bukit Siguntang. Durhaka, tetapi dilakukan, karena Raja-Raja Melayu telah lebih dahulu mengubahnya, seperti ramalan Demang Lebar Daun. Telah menghukum rakyatnya dengan cara yang tidak patut, yang zalim, yang aniaya, yang memalukan.
Buku ini, tidak berpretensi untuk menjadi buku sejarah, sebagaimana lazimnya sebuah buku sejarah yang ditulis dengan kaidah dan cara-cara berkadar ilmiah tinggi, yang ditulis dengan kaidah-kaidah historigrafi yang standar, hasil riset dan telaah yang panjang. Buku ini, hanya sebuah hasil renungan dari proses pembacaan, analisa, pembandingan, rekonstruksi dan penafsiran ulang, semua materi yang sudah ada dan terpublikasi. Sebuah renungan, untuk jadi pembelajaran, jadi iktibar. Semulia-mulianya orang, adalah yang terus belajar. Karena itulah, buku ini saya namakan: Prasasti Bukit Siguntang dan Badai Politik, di Kemaharajaan Melayu, 1293-1913, sebuah renungan.
Saya beruntung, dalam penelusuran tentang jejak tragedi Prasasti Bukit Siguntang ini, mendapat banyak sekali bahan bacaan. Bahan-bahan yang sudah terus menerus terbarukan data dan fakta sejarahnya, sehingga banyak cerita dan peristiwa yang sebelumnya masih kabur, gelap, dan cenderung dianggap mitos dan legenda itu, makin terkuak dan makin jelas, dan dapat dijadikan sumber sejarah. Seperti dikatakan salah seorang sejarawan Malaysia, Prof. Dr. Abdullah Zakaria Ghazali, dalam kata pendahuluannya untuk buku Mardiana Nordin (Politik Kerajaan Johor 1718-1862): “…banyak pihak mula menerima karya-karya ini (Manuskrip-manuskrip seperti Tuhfat Al Nafis, Sejarah Melayu, dll. pen), sebagai sumber sejarah…”.
Saya juga beruntung, dalam 10 tahun terakhir ini, paling tidak dapat memperoleh 5 buku tentang perjalanan sejarah kerajaan Melayu, yang sudah semakin lengkap dan terang data dan fakta kesejarahannya. Seperti buku Temenggung Abdul Jamal dan Sejarah Temenggung Riau-Johor di Pulau Bulang 1722-1824, (Aswandi Syahri, 2007), Politik Kerajaan Johor 1718-1862 (Mariana Nordin, 2008), Sejarah Kerajaan Siak (OK Nizami Jamil, dkk, 2010), Sejarah Melayu (Ahmad Dahlan, 2014), dan Sejarah Melayu Versi Siak (Muhammad Yusoff Hashim, penyelenggara, 2015) .
Saya selalu terobsesi saat berdiri di tengah jembatan Engku Hamidah, di hulu sungai Carang (dulu namanya sungai Riau), memandang denyar arus dan desau riak sungai itu, sungai yang mengalir coklat, dari hulu Gunung Bintan, ke hilir, ke muaranya yang ternganga bak mulut ular, dimana di tengah muara itu, tampak berdenyar oleh matahari petang, pulau Penyengat, pulau kecil, yang penuh sejarah dan kegemilangan . Pulau, dimana Raja Ali Haji dan ayahnya Raja Ahmad ibni Raja Haji Fisabilillah, sekitar tahun 1872, menyelesaikan penulisan Tuhfat Al Nafis, karya masterpiece, baik dari sudut sejarah, maupun sastra. Saya merasakan ngilu, saat mengenang akhir yang tragis sejarah kerajaan Riau-Lingga di pulau itu, 1913. Bagaimana perjalanan panjang sebuah rumpun bangsa, yaitu bangsa Melayu, pudar, karena ketidak mampuan para penguasanya untuk memegang teguh kesetiaan, kebersamaan, dan tekad untuk tidak menyalahi janji, untuk tidak berlaku zalim, tidak cuai pada adat dan tradisi, tidak takabur dalam merebut takdir. Dan tidak pernah belajar dari sejarah kaumnya. Andaikan saja….maka……. , demikian methahistoria yang selalu diungkapkan, sahabat saya Hasan Junus.
Saya juga sering merenung, dalam konteks Indonesia kini, seberapa teguh kita memegang janji, memegang sumpah, seperti sikap kita memaknai Sumpah Pemuda (1928), yang menjadi cikal bakal lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Prasasti Bangsa: Berbangsa Satu, bangsa Indonesia, Bertanah Air Satu, Tanah Air Indonesia, Berbahasa Satu, Bahasa Indonesia. Puisi besar bangsa Indonesia itu, kini sudah semakin sering dilanggar dan dikhianati. Seberapa setia kita dalam memegang semangat berbangsa satu, karena kini kita sudah semakin terpecah oleh kepentingan puak, etnis, dan bahkan kelompok, suku, keturunan, partai,dan sikap-sikap nepotisme lainnya. Seberapa kuat kita untuk tetap bertanah air satu, kalau dalam keadilan membangun dan mendistribusi kekayaan dan kemakmuran, kita tidak lagi menghargai adanya wilayah dari Sabang sampai Merauke, dan kerap hanya berpikir tentang pulau Jawa, dan tentang Jakarta saja . Seberapa setia kita untuk tidak berkhianat, untuk tetap berbahasa satu, Bahasa Indonesia, jika akibat tekanan kepentingan ekonomi, dan primordial, Bahasa kebangsaan kita itu, suatu saat akan jadi Bahasa kelas dua, Bahasa kampung. Lihatlah, betapa saat ini, jargon NKRI Harga Mati itu, harus ditegakkan dengan ancaman mulut senapang.
Itulah renungan dan pembelajaran yang diberikan oleh Tragedi Prasasti Bukit Siguntang itu. Sebuah kekuatan moral, yang ditegakkan dengan Kata, bukan dengan Senjata. Dan kini pelecehan terhadap kesepakatan moral itu , jadi kutukan yang akan menurunkan bala politik, dari waktu ke waktu, jika kita gagal menemukan jalan kembali yang sama kuat dan nekadnya, seperti Prasasti Bukit Siguntang itu dilahirkan. Kita harus menemukan Sang Sapurba lagi, simbol kepemimpinan yang penuh kearifan, teladan, yang menjalankan hukumnya sesuai dengan kaharnya. Kita memerlukan Demang Lebar daun, simbol hati rakyat yang lapang dan seluas samudera, yang selalu arif menandai makna dan gerakan alam. Tempat, rakyatnya mengadu.
Bangsa yang arif, adalah bangsa yang selalu belajar dari sejarah, karena sejarah adalah cermin. Sejarah adalah jejak budi dan nurani suatu bangsa dalam membangun dan membesarkan jati dirinya, peradabannya. Bangsa yang tak pernah belajar dari sejarah, adalah bangsa yang akan terus kalah. Jangan sekali-kali melupakan sejarah, begitu pesan Bung Karno, Bapak bangsa Indonesia itu. Karena itu, agar kita tidak melupakan sejarah, maka sepatutnyalah kita melakukan berbagai upaya untuk mengingatnya, seperti menerbitkan buku-buku sejarah, buku-buku semi sejarah, dan buku-buku lainnya yang berkadar sejarah, menyelenggarakan berbagai pertemuan, festival budaya yang bermuatan sejarah, dll, kerja budaya, dan yang terpenting rasanya adalah mengajarkan semua pembelajaran itu kepada anak cucu kita. Sebab pekerjaan yang paling sulit dalam hidup kita ini, adalah melawan lupa.
Kita beruntung karena hidup di zaman keberaksaraan, literasi, karena dapat menyelamatkan jejak masa lampau itu, ke dalam karya-karya literasi, baik itu karya cetak, maupun simpanan-simpanan digital, yang kini dapat kita titipkan di langit-langit, ke demensi lain kehidupan kini. Yang abadi itu adalah teks, adalah buku, adalah informasi. Sementara artifak-artifak sejarah suatu waktu akan menjadi debu. Karena itu kita berterimakasih pada Sejarah Melayu, kepada Hikayat Hang Tuah, kepada Hikayat Abdullah, kepada Tuhfat Al Nafis, dan karya-karya intelektual lainnya, yang telah mewariskan informasi kesejarahan Kemaharajaan Melayu itu, sampai saat ini. Kita wajib, memelihara dan menyelamatkannya.
Dengan kesadaran itu juga, saya ingin berterima kasih kepada semua pihak, semua teman yang telah membantu memberikan berbagai bahan bacaan, referensi dan rujukan, tempat saya menyelusuri jejak-jejak perjalanan Prasasti Bukit Siguntang itu, dan menemukan sisi-sisi yang patut direnungkan tentang kesetiaan, keteguhan janji, dan juga badai dan bala politik, konflik, dan keruntuhan peradaban tersebab pengingkaran terhadap sumpah, janji, komitmen, dan tanggungjawab kemanusiaan yang telah dibuhul oleh kesadaran kebersamaan itu. Karena itu pula, saya ingin berterimakasih secara khusus kepada para sahabat saya Aswandi Syahri, OK Nizami Jamil, Ahmad Dahlan, Latiff Abubakar, Zainal Abidin Borhan, Zainal Kling, Yusmar Yusuf, Al Azhar, UU Hamidi,Chaidir , Taufik Ikram Jamil, dan lainnya yang selalu menggoda, menggelitik, dan menyalakan bara api semangat saya untuk terus menulis, dan merenung masa depan rumpun Melayu ini, tempat dimana saya tumbuh, dan menghirup air kehidupan. Mendorong saya untuk ikut serta mencacakkan pancang-pancang kebudayaan Melayu, untuk selalu bersemangat menegakkan cogan visioner orang Melayu yang diwariskan Laksamana Hang Tuah: Esa Hilang Dua Terbilang, Patah Tumbuh Hilang Berganti, Takkan Melayu Hilang di Bumi, yang selalu saya rasakan sebagai semangat kemandirian, kreatifitas dan visioner. Semangat entrepreneurship. Sebagaimana dicanangkan juga oleh dua entrepreneur muda Malaysia, Ismail Noor dan Muhammad Azaham, dalam buku mereka: Takkan Melayu Hilang di Dunia (2000)
Buku saya ini juga, dengan segala kelemahan dan kekurangannya, adalah cara lain saya untuk berterima kasih dan mengekalkan ingatan saya kepada sahabat baik saya Hasan Junus (Kepulauan Riau), Tenas Efendi (Riau), dan Ismael Hussen (Malaysia), yang telah terlebih dahulu kembali ke rumah abadinya. Mereka adalah Pancang-pancang nibung, yang tercacak dan meninggalkan jejak, mewariskan teras-teras kukuh kebudaayaan Melayu, yang terus berdengung di tengah lautan kebudayaan dunia, yang terus bertembung dan bersabung dengan kebudayaan rumpun lainnya.
Saya ingin menutup pengantar ini dengan mengutip ucapan dari DR. Mahathir Muhammad, tokoh Melayu yang piawai dan dan telah menjadi sumber inspirasi masyarakat Melayu modern, hari ini, seperti yang dia sampaikan ketika membuka Pertemuan Dunia Melayu, di Melaka, 18 Desember 1982 j :
“ Dunia Melayu mempunyai sejarah yang gemilang sebelum kedatangan kuasa-kuasa asing ke rantau ini, yang telah membahagi-bahaginya. Dunia Melayu dalam sejarah , merupakan pusat peradaban yang tinggi, pusat perkembangan ilmu pengetahuan, dan pusat perdagangan yang penting. Syukir alhamdulillah, kebangkitan semangat nasionalisme telah dapat menembus semua wilayah Melayu, walaupun bukan lagi sepertidunia Melayu pada zaman kegemilangannya.
Hari ini , apa yang dapati ialah negara-negara kecil yang merdeka, di mana penduduknya mengkin keturunan Melayu, atau golongan minoritinya Melayu. Kita boleh mengubah sejarah . Dan kita tidak harus memporak porandakan suasana politik, untuk mewujudkan dunia Melayu sebagaimana dalam sejarah dahulu kala. Tapi kita boleh mengubah nasib kita.
( Lintas Sejarah Masa Lalu yang Mendukung Kehadiran Sijori- Singapura, Johor-Riau, Masa Kini, Eddy Mawuntu & Raja Hamzah Yunus, Dialog Selatan I, 1992 )
Subhanallah !
Selengkapnya :
BAB I
https://jantungmelayu.co/2020/07/prasasti-bukit-siguntang-dan-badai-politik-di-kemaharajaan-melayu-1293-1913-sebuah-renungan/
BAB II
https://jantungmelayu.co/2020/07/memanggul-prasasti-bukit-siguntang/
BAB X
https://jantungmelayu.co/2020/07/dan-bunda-tanah-melayu-pun-tersedu/