MUSUH, yakni tentara Kerajaan Hindustan yang menyerbu secara tergempar (mendadak, tiba-tiba), telah memasuki wilayah Kerajaan Barbari. Padahal, sebelum ini perhubungan antara Kerajaan Barbari dan Kerajaan Hindustan baik-baik saja. Kecuali, Sultan Hindi memang memendam dendam kesumat kepada Sultan Kerajaan Barbari. Pasalnya, mamanda (paman)-nya dipenjara di Negeri Barbari karena perbuatannya melawan hukum, yakni menipu orang dalam perniagaannya. Dendam pemimpin Negeri Hindustan itu, bahkan, tak diketahui oleh Sultan Abdul Muluk, pemimpin Kerajaan Barbari. Dalam penyerbuan ke Negeri Barbari, pasukan Kerajaan Hindustan dipimpin langsung oleh rajanya, Sultan Syihabuddin.
Karena diserang secara tiba-tiba, Kerajaan Barbari memang tak dapat berbuat banyak, kecuali berupaya sedapat-dapatnya untuk bertahan. Mereka, bahkan, tak dapat menghimpun bantuan dari kerajaan-kerajaan sahabat dan negeri-negeri di bawah takluknya. Dalam keadaan genting itulah, kepemimpinan Sultan Abdul Muluk, pemimpin Negeri Barbari, diuji kualitas dan kapasitasnya.
Ternyata, Sultan Abdul Muluk mampu menghadapi situasi itu dengan tenang. Dia segera memimpin rapat mendadak dengan para menteri dan orang besar-besar kerajaan untuk menghadapi pasukan penceroboh dari Negeri Hindustan. Rapat memutuskan bahwa sultan harus tetap bertahan di istana walaupun Sultan Abdul Muluk kurang bersetuju dengan keputusan itu. Dalam hal ini, pasukan Kerajaan Barbari dipimpin oleh panglima perang kerajaan, yang di dalam pasukan itu termasuklah Wazir Suka, menteri yang muda usia tetapi semangat dan kenegarawanannya dalam membela bangsa dan negara sungguh luar biasa. Itulah sebabnya, Wazir Suka termasuk pembesar kerajaan yang sangat membanggakan hati Sultan Abdul Muluk.
Para menteri, panglima, dan tentara sekaliannya sangat tegar dan perkasa menghadapi serangan pasukan Kerajaan Hindustan. Pasalnya, mereka disemangati, antara lain, ketenangan Sultan Abdul Muluk dalam menghadapi situasi genting itu. Padahal, sasaran utama Raja Hindustan dalam perang itu, karena dendam dan keinginannya untuk merebut permaisuri Kerajaan Barbari, adalah Sultan Abdul Muluk. Dia harus ditangkap dalam keadaan hidup ataupun mati.
Perang berkecamuk dengan cepat. Dalam waktu yang tak terlalu lama, terutama karena tak ada persiapan yang memadai untuk menangkal serangan musuh, beberapa menteri, panglima perang, dan tentara, bahkan rakyat Kerajaan Barbari yang secara suka rela ikut berperang untuk mempertahankan negeri mereka, tewas dan atau dapat ditawan oleh pasukan musuh. Wazir Suka termasuk pembesar kerajaan yang dapat ditawan oleh pasukan penceroboh. Di medan perang itu mayat-mayat bergelimpangan, terutama dari pasukan Kerajaan Barbari.
Setelah mendapat laporan terkini dari medan perang, Sultan Abdul Muluk langsung membuat keputusan. Dia sendirilah yang harus turun ke medan perang untuk memimpin pasukan kerajaannya. Tak rela dia semakin banyak pasukannya harus tertawan dan atau mati di medan perang. Menurutnya, sudah saatnya kepemimpinannya di medan perang sangat diperlukan sehingga dia tak harus hanya berdiam diri di istana sebagai pemimpin negeri. Keputusan itu diambilnya berdasarkan pikiran yang jernih, perasaan yang tenang, tanpa terbawa emosi yang berlebihan, walaupun dia sungguh-sungguh sedih pasukannya banyak yang tertawan dan atau terbunuh oleh pasukan musuh. Kualitas dirinya itulah—tenang atau tak gopoh—menghadapi situasi yang genting menunjukkan kelasnya sebagai pemimpin terbilang.
Selanjutnya, Raja Ali Haji rahimahullah dalam karya beliau Syair Abdul Muluk (1846), bait 656—657, menuturkan bahwa Sultan Abdul Muluk segera menemui permaisurinya, Siti Rahmah, di istana. Dia hendak memberi tahu istri tercintanya itu perihal dirinya harus segera bergabung dan memimpin pasukan negeri mereka berperang melawan musuh yang datang tanpa diundang.
Sultan berkata kepada isteri
Durjanya manis amat berseri
Ayuhai Adinda permaisuri
Kakanda hendak keluar sendiri
Adinda jangan berhati rawan
Kakanda hendak keluar berlawan
Jikalau ada khilaf kesalahan
Harapkan Adinda yang memaafkan
Begitulah sifat dan watak Sultan Abdul Muluk. Dia tetap bertenang menghadapi pelbagai persoalan walaupun nyawanya dan keluarganya dalam ancaman. Baginya, sebagai pemimpin, ketenangan itu sangat diperlukan agar dia dapat membuat keputusan dan kebijakan dengan pikiran yang jernih. Dengan cara itulah, tindakan kepemimpinan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, arif, dan seksama sehingga hasilnya akan menjadi yang terbaik untuk semua.
Dalam konteks bait-bait syair di atas, Sultan Abdul Muluk mampu menunjukkan sifat dan watak tenangnya kepada istrinya, Siti Rahmah (Durjanya manis amat berseri). Tentulah permaisurinya itu sangat khawatir akan keselamatan suaminya yang akan pergi berperang (Adinda jangan berhati rawan). Akan tetapi, ketenangan Abdul Muluk mampu meredam kegundahan hati istrinya. Intinya, pemimpin terbilang senantiasa mampu mengatasi kegusarannya, dia senantiasa tenang menghadapi pelbagai cabaran dan cobaan.
Pemimpin berkualitas seperti Sultan Abdul Muluk menyadari benar tunjuk ajar dan hikmah di dalam Gurindam Dua Belas, Pasal yang Ketujuh, bait 8 (Haji 1847). Hal itu disebabkan oleh masalah, cabaran (tantangan), dan cobaan kepemimpinan memang tak boleh dihadapi dengan kecemasan yang berlebihan. Kesemuanya itu memerlukan pemecahan, bukan kecemasan. Tak ada masalah yang dapat dicarikan solusinya dengan kecemasan dan kegopohan yang berlebihan.
Apabila mendengar akan aduan
Membicarakannya itu hendaklah cemburuan
Sultan Abdul Muluk mendapat laporan (mendengar aduan) dari bawahannya bahwa pasukannya hampir kalah melawan pasukan musuh dari Negeri Hindustan yang datang menyerang. Walaupun keadaannya tergolong genting, dia tak tergopoh-gopoh menghadapinya. Bahkan, dicarinya solusi terbaik untuk mengatasinya (Membicarakannya itu hendaklah cemburuan). Setelah dianilisis situasinya, dia membuat keputusan yang menurutnya terbaik. Dia sendirilah yang harus terjun langsung ke medan perang untuk memimpin pasukannya. Keputusannya itu diambilnya untuk menaikkan moral pasukannya yang sedang tertekan oleh pihak musuh. Lebih daripada itu, pemimpin memang harus berada pada posisi yang terdepan dalam menghadapi pelbagai persoalan, tantangan, dan cobaan. Apatah lagi, ketika nasib bangsa dan negara sedang menghadapi ancaman.
Sultan Abdul Muluk yang hebat itu sangat tak rela menjadi pemimpin pecundang atau kecundang. Pemimpin kelas rendah seperti itu bukan hanya tak mampu mencari solusi setiap permasalahan, malah dialah yang menjadi sumber pemicu segala persoalan. Pemimpin kecundang seperti itulah yang membuat bangsa dan negaranya tergadai. Akhirnya, rakyat tersiksa bagai tersalai. Oleh sebab itu, jika sesebuah negeri menghadapi cobaan dengan mendapat pemimpin berkualitas rendah seperti itu, ada baiknya untuk diberikan peringatan agar dia berupaya untuk mengelokkan perangai.
Hanya manusia sajakah yang mengidolakan pemimpin yang berwatak tenang? Jawabnya, ternyata tidak!
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingati Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram,” (Q.S. Ar-Ra’d, 28).
Bahkan, Allah, sesuai dengan firman-Nya yang dinukilkan di atas, memang mengandalkan manusia—apatah lagi pemimpin—memiliki watak tenang, yang tenteram jiwanya. Untuk itu, Allah menunjukkan caranya, yakni dengan selalu mengingat-Nya melalui penghambaan yang tulus kepada-Nya. Tentulah dalam hal ini, bakti kepemimpinan benar-benar didedikasikan dengan semata-mata mengharapkan rida Allah sehingga dimudahkan-Nya segala urusan kepemimpinan. Jika niatnya diselewengkan, untuk semata-mata memuaskan syahwat kekuasaan dengan segala ikutan yang menyertainya, itulah yang menjadi punca segala masalah. Akibatnya, tindakan gopoh dan ceroboh pun menjadi tak terelakkan.
“Setengah daripada sifat kecelaan dan memberi cacat dan cedera kepada raja-raja dan segala orang besar-besar (adalah) ajlah, yaitu gopoh kepada pekerjaan yang harus diperlahankan…. Syahdan gopoh itu sifat kecelaan kepada segala manusia dan jika maujud kepada raja-raja dan kepada orang besar-besar, maka terlebih segera pada membinasakan kerajaan…” (Haji dalam Malik (Ed.) 2013, 129).
Melalui karya beliau Tsamarat al-Muhimmah yang dikutip di atas, Raja Ali Haji memang telah mengingatkan perkara ini. Sifat atau watak ajlah atau gopoh (tak tenang) pemimpin menjadi cela bagi dan akan menjejas (merusaki) kepemimpinannya. Bahkan, sifat gopoh atau terburu-buru tanpa pertimbangan yang matang seseorang pemimpin berpotensi menyebabkan negara dan atau pemerintahan di bawah kepemimpinannya tak hanya berpotensi gagal, tetapi hancur-binasa.
Berdasarkan keyakinan itulah, tentu keyakinan yang bersumber dari petunjuk Allah di atas, Raja Ali Haji berasa perlu menegaskan amanatnya melalui syair nasihat juga di dalam Tsamarat al-Muhimmah, bait 68—69 (Haji dalam Malik (Ed.) 2013). Syair itu juga menunjukkan gejala perilaku pemimpin yang gopoh atau tak mampu bertenang dalam praktik kepemimpinannya.
Ke sana ke mari langgar dan rempuh
Apa yang terkena habislah roboh
Sedikit marah hendak memelupuh
Inilah perbuatan sangat ceroboh
Anakanda jauhkan kelakuan ini
Sebab kebencian Tuhan Rahmani
Jika dibawa ke sana-sini
Tidaklah laku satu dewani
Itulah di antara ciri-ciri pemimpin yang tak tenang atau gopoh. Dia cenderung melanggar ketentuan dan atau peraturan yang berlaku atau dibuatnya peraturan yang menguntungkan dirinya, dia suka menghukum orang yang tak sejalan dengan dirinya dengan pelbagai dalih dan alasan yang dibuatnya sendiri, dan dia bertabiat suka marah tanpa jelas duduk perkaranya, terutama ketika menghadapi cobaan dan cabaran kepemimpinan. Karena watak dan sifat gopoh itu tak baik dan tak menyiratkan kemuliaan bagi pemimpin, Raja Ali Haji mengingatkan agar pemimpin berusaha sekuat-kuatnya untuk menghindarkan diri dari sifat yang tak terpuji itu.
Tentulah amanat Raja Ali Haji tak semata-mata berdasarkan pemikiran beliau sendiri setelah mengamati pelbagai gejala kepemimpinan yang menyimpang karena semata-mata memuaskan nafsu kepemimpinan. Di atas itu, selain petunjuk Allah yang telah dikemukakan di atas, beliau nampaknya masih merujuk sabda Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW bersabda kepada Al-Mundzir, kepala kabilah Abdul Qais, “Sesungguhnya, pada dirimu ada dua sifat yang dicintai Allah, yaitu sabar dan tenang (tak tergesa-gesa atau gopoh).” Lalu, beliau bertanya, “Wahai Rasulullah, adakah aku berusaha berperilaku seperti itu atau Allah menjadikanku memiliki kedua watak itu?” Baginda Rasulullah SAW menjawab, “Allah-lah yang menjadikanmu memiliki kedua watak itu.” Al-Mundzir pun berucap, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikanku berwatak dengan dua tabiat yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya,” (H.R. Abu Dawud).
Nyatalah sudah duduk perkara sebenarnya tentang kepemimpinan. Pemimpin yang bersifat dan atau berwatak tenang senantiasa dicintai oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW sehingga dia menjelma menjadi pemimpin yang negarawan. Bahkan, sifat dan watak mulia itu dianugerahkan oleh Allah bukan kepada orang sebarang, melainkan bagi pemimpin pilihan. Tanpa ragu, di bawah kepemimpinan yang sejuk dan tenang pemimpin yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, negeri dan rakyatnya akan menuai kejayaan.
Sebaliknya pula, pemimpin yang gopoh senantiasa menempatkan bangsa dan negara dalam ancaman yang tiada berkesudahan. Pasalnya, dia dalam makna yang sesungguhnya tak mampu, bahkan memang tak berniat, mengimplementasikan kepemimpinannya berdasarkan petunjuk Tuhan. Pemimpin seperti itu tak akan mampu meyakinkan rakyatnya kendatipun dia berupaya menebar pesona, “Adinda jangan berhati rawan!” Pasalnya, hanya pemimpin berkelas tinggi seperti Abdul Muluk—dengan bakti tulus dan wibawanya—yang boleh berjaya membuat rakyatnya terkesan. Pemimpin gopoh, justeru, membuat hati rakyat bertambah rawan.***