Bajak Laut

ISTILAH Bajak Laut dilekatkan kepada mereka oleh kuasa asing (Portugis, Inggris, dan Belanda). Mereka sesungguhnya adalah rakyat yang biasa juga disebut Orang Laut, Orang Lanun, Suku Laut, Orang Selat, dan lain-lain yang menghuni wilayah Kepulauan Riau, pesisir, selat-selat, dan pulau-pulau di lepas pantai Sumatera Timur, dan Semenanjung Malaysia bagian selatan, termasuk Singapura. Mereka telah dikenal luas sejak Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Melaka, sampailah ke masa Kesultanan Riau-Lingga.

Mereka berperan penting dalam menjaga laut, mengusir dan mengacau musuh kerajaan (terutama Portugis, Belanda, dan Inggris serta sekutunya). Sebaliknya, mereka memandu dan mengawal kapal-kapal para pedagang yang berbisnis secara resmi ke pelabuhan-pelabuhan Kerajaan-Kerajaan Melayu. Wilayah operasional yang menjadi tanggung jawab mereka di sepanjang Selat Melaka sampai ke perbatasan Laut Jawa terus ke Laut Natuna Utara.

Dalam situasi normal, bukan masa perang, mereka bekerja sebagai layaknya rakyat buiasa umumnya. Bidang pekerjaan yang mereka geluti adalah nelayan, pedagang antarpulau (pemasok barang keperluan sehari-hari penduduk), pemandu pelayaran, pembuat senjata, dan pembuat perahu/kapal tradisional.

Di atas itu, mereka dikenal sebagai Pasukan Pertikaman atau Prajurit Kesultanan yang gagah berani dan paling setia kepada Raja-Raja Melayu. Pemimpin mereka ada yang menduduki jabatan Panglima dan Panglima Besar. Mereka umumnya dipimpin oleh pembesar kerajaan yang berpangkat Laksemana, yakni pemimpin tertinggi Laskar Laut Diraja Melayu seperti yang pernah disandang oleh Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Nadim, Megat Seri Rama (Laksemana Bentan), dan lain-lain.  

Dalam semua perlawanan terhadap bangsa asing yang hendak menjajah, pasukan Bajak Laut memainkan peran yang sangat penting membantu Kesultanan Melayu. Mereka ada yang memang dibina oleh kesultanan setempat dan atau didatangkan dari daerah dan kawasan lain untuk membantu Kesultanan Melayu di Kepulauan Riau dan Semenanjung Melayu.

“Syahadan apabila mangkatlah Sultan Alauddin Riayat Syah itu, maka menggantikan kerajaannya puteranya yang bergelar Sultan Muzaffir Syah. Adalah umurnya waktu ia menjadi raja, iaitu sembilan belas tahun. Adalah baginda itu baik adabnya [huruf miring oleh pen.] dengan orang tua-tua, tiada ia membicarakan suatu pekerjaan melainkan muafakat dengan Datuk Bendahara dan Seri Nara Diraja serta Temenggung Sedewa Raja serta orang yang tua-tua sekalian. Dan masa kerajaannyalah tiada boleh Feringgi ke laut-laut lagi dengan sebuah dua, melainkan didapatlah oleh perompak Johor. Syahadan pada masa Sultan Muzaffir Syah inilah membuat kubu di Seluyut, lalu dibuat negeri sekali,” (Ahmad & Haji dalam Matheson (Ed.) 1982, 9-10). 

Tokoh yang diperikan di atas adalah Sultan Muzaffir Syah (1564-1570), Sultan ke-2 Kesultanan Johor-Pahang-Riau-Lingga. Baginda dikenal sangat beradab, sangat dicintai oleh rakyatnya. Pada masa pemerintahannya, Portugis tak mampu menguasai Kesultanan Johor- Riau karena akan dihadang oleh rakyat. Barisan rakyat mengubah wujud mereka menjadi bajak laut yang senantiasa bersedia dan sangat setia menghadang kekuatan Portugis di laut-laut wilayah takluk Kesultanan Johor-Riau. 

Setelah kedatangan bangsa Belanda, permusuhan Kesultanan Riau-Lingga dengan bangsa asing itu dimulai sejak 1757di bawah pimpinan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I (1722-1760). Situasi perang lalu berdamai dan berperang lagi terus terjadi. 

“… Maka kapal itupun keras juga hendak masuk. Maka lalulah berperang semula dengan kubu yang di Teluk Keriting itu. Maka azamatlah bunyinya meriam kapal itu. Maka seketika berperang itu maka kubu Teluk Keriting pun hendak tewas sebab ubat bedilnya habis. Maka menyuruhlah Yang Dipertuan Muda itu mengantarkan ubat sebuah sampan. Adalah yang mengantarkan ubat bedil itu Syahbandar Bopeng, adalah budak yang mengayuhkannya, kepala satu budak anak baik-baik namanya Encik Kalak. 

Maka sampan itupun dibedil oleh kapal dari laut dengan peluru penaburnya, maka sampan itupun tenggelam. Maka lepaslah satu tong ubat bedil itu dipikul oleh orang sampan itu naik ke darat kepada kubu Teluk Keriting itu. Maka dapatlah lima kali tembak, maka dengan takdir Allah taala kapal itupun terbakar, meletub berterbangan geladak kapal itu ke udara dan segala orang-orangnya pun habislah mati diterbangkan oleh ubat bedil yang meletub itu. Syahadan adalah pada suatu kaul, orangnya ada delapan ratus yang mati dan ada satu komesarisnya yang mati bersama-sama kapal itu….” (Ahmad & Haji dalam Matheson (Ed.) 1982, 204).

Nukilan di atas adalah suasana Perang Riau I yang berlangsung di perairan Tanjungpinang. Pasukan Kesultanan Riau-Lingga dipimpin oleh Yang Dipertuan Muda IV Raja Haji Fisabilillah (1777-1784).

Selama Perang Riau I (1782-1784), pasukan Bajak Laut terus mengawal wilayah kekuasaan Kesultanan Riau-Lingga di bawah pimpinan Raja Haji. Mereka menjadi pasukan pertikaman. Perang yang dimenangi oleh pasukan Raja Haji pada 6 Januari 1784 itu tak serta-merta menghentikan pertempuran karena ada sisa pasukan Belanda dan pemimpinnya yang selamat berhasil melarikan diri ke Melaka.

Pasukan Kesultanan Riau-Lingga terus memburu pasukan Belanda. Raja Haji bersama Sultan Mahmud Riayat Syah dan pasukannya, termasuk para bajak laut yang gagah berani, mengejar armada Belanda ke Melaka (Netscher 1870, 187-189). Dalam perang yang berakhir di Teluk Ketapang, Melaka, itu Raja Haji gugur sebagai syuhada, 18 Juni 1784.

Setelah mengalahkan Raja Haji, mulai 22 Juni 1784 Belanda datang lagi ke Tanjungpinang. Sejak itu, terjadilah Perang Riau II, yang dipimpin langsung oleh Sultan Mahmud Riayat Syah. Perang Riau II mencapai puncaknya pada 10-13 Mei 1787. 

Dalam perang ini, Sultan Mahmud dibantu oleh pasukan dari Sulu (Filipina Selatan) dan Tempasuk (Kalimantan) yang dipimpin oleh Raja Ismail. Bantuan berupa 90 kapal perang dan 7.000 tentara. 

Pasukan pimpinan Raja Ismail itu disebut Lanun atau Bajak Laut oleh Belanda. Perang itu telah menghancurkan garnizun Belanda di Tanjungpinang dan menewaskan tentara mereka. Lagi-lagi, pemimpin dan pasukan Belanda yang selamat melarikan diri  ke markas mereka di Melaka. 

Fenomena bajak laut (perlanunan) di kawasan Selat Melaka dan Kepulauan Riau memang sangat menarik. Aktivitas bajak laut sudah ada sejak berabad-abad lampau sampai masa kejatuhan Melaka pada 1511. Akan tetapi, banyak laporan yang menyebutkan bahwa ramainya perompakan, justeru, terjadi pada periode sepertiga akhir abad ke-18. 

Ada beberapa alasan munculnya bajak laut di wilayah ini. Yang terutama adalah dampak penguasaan politik bangsa Eropa, terutama Belanda, di kawasan Kepulauan Riau dan pantai timur Sumatera. Keadaan itu kemudian disusul dengan monopoli perdagangan oleh bangsa Belanda. 

Kerakusan VOC Belanda menguasai perdagangan berakibat hilangnya tradisi perdagangan bebas dengan bangsa lain yang sebelumnya diterapkan. Dalam perlawanan itulah, peran para bajak laut sungguh mengagumkan. Di antara pemimpin mereka yang terkenal adalah Panglima Raman. Tokoh patriotik asal Batam ini bukan tak mungkin suatu masa kelak akan tercatat sebagai Pahlawan.***

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top