ADA banyak kisah heroik nan epik dari seorang Sultan Mahmud Riayat Syah. Utamanya dalam kerja-kerja menumpas Belanda sejalan dengan pemartabatan kedaulatan Kerajaan Lingga-Riau-Johor-Pahang atas wilayahnya. Sekiranya harus memilih satu yang paling epik untuk dibawa ke gelanggang pembicaraan, perkara bajak laut tidak bisa terpinggirkan.
Semua bermula pada 1876. Kala itu Sultan Mahmud mengirim seorang utusan ke Sabah. Di sana, sang utusan menemui Raja Tempasuk dan para pemimpin bajak laut Ilanun di Kepulauan Sulu, Filipina Selatan. Pertemuan itu tak lain dan tak bukan adalah permohonan balabantuan armada perang.
Terkabul. Raja Tempasuk mengirimkan tiga anaknya, yakni Raja Tembak, Raja Alam, dan Raja Muda, serta panglima perangnya Raja Ismail berlayar menuju Tanjungpinang dengan kekuatan 30 kapal perang. “Karena armada perang yang ada di Tanjungpinang sudah banyak berkurang akibat pertempuran di Melaka,” terang Ketua Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) Kepulauan Riau, Abdul Malik.
Balabantuan itu datang berbondong-bondong dan bertubi-tubi. Arsip VOC pada 2 Mei 1787 melaporkan, sebuah armada terdiri terdiri 40-55 kapal yang membawa 1.500 hingga 2.100 prajurit berlabuh di perairan Tanjungpinang. Dalam beberapa saat jumlah kapal yang berlabuh mencapai 90 kapal dan membawa tak kurang dari tujuh ribu pasukan.
Malik menjelaskan, armada tersebut bukan orang Melayu atau Bugis, melainkan para bajak laut orang Ilanun, yang berasal dari Kepulauan Sulu, antara Kalimantan Utara dan Filipina. “Sultan Mahmud pura-pura tak mengetahui kedatangan armada bajak laut yang dipimpin oleh pangeran dari Kalimantan itu,” kisah Malik.
Laporan yang disampaikan hanya menyebutkan mereka adalah orang-orang yang berasal dari Sulu, terbawa angin dan badai. Mereka sangat memerlukan beras dan harus memperbaiki kapal yang rusak. Mereka kemudian diberikan bantuan beras dan perbekalan lainnya dan akan kembali ke Kalimantan pada musim angin berikutnya.
Agar siasatnya lebih mulus, Sultan Mahmud meminta Indera Bungsu melaporkan keberadaan bajak laut Ilanun tersebut pada Belanda. Sembari itu, armada perang Riau yang tersisa mencoba menghadang laju kapal-kapal perompak itu dengan tembakan meriam.
“Tetapi dengan peluru kosong sehingga terkesan pihak kesultanan tak terlibat dalam kedatangan tentara bajak laut itu. Padahal, kedatangan mereka itu merupakan permintaan khusus dari Sultan Mahmud kepada Raja Tempasok. Bahkan secara rahasia, Sultan Mahmud juga mengirimkan pemandu untuk mengiringi pasukan bajak laut menuju pulau Bayan dan mengepung selat di sekitar Tanjungpinang,” terang Malik.
Belanda ternyata juga mendapat laporan mengenai arak-arakan bajak laut ini dari orang-orang kampung di pulau Siolong, selatan Bintan. Mendengar laporan tersebut, Residen Ruhde meminta bantuan pasukan ke Melaka pada 6 Mei 1787. Dikirimlah dua atau tiga buah kapal, 50 infantri, empat orang penembak meriam.
Residen Ruhde juga minta Kapiten Cina menyiapkan ratusan orang Cina untuk berjaga-jaga. Utusan residen dan Sultan kemudian mendatangi iring-iringan perahu itu. Kepala rombongannya menyebutkan bahwa mereka berasal dari Sulu sejumlah 92 perahu yang hendak membantu Sultan Pontianak merebut Mempawah. Pemimpin rombongan itu mengaku sebagai Raja Alam dan Raja Uma.
Siasat ini bekerja. Rombongan bajak laut berhasil masuk ke perairan Tanjungpinang. Merapat dan mulai menyusun strategi sembari menunggu waktu paling tepat menghancurkan benteng pertahanan Belanda di Tanjungpinang.
Waktu yang ditunggu tiba. Pada 13 Mei 1787 terjadilah pertempuran selama sembilan jam. Permukiman di sekitar benteng Tanjungpinang dijarah dan dibakar. Serangan-serangan berikutnya memaksa Residen Ruhde dan pasukan Belanda meninggalkan benteng Tanjungpinang menaiki kapal Bangka mengungsi ke Malaka.
“Inilah kemudian yang menjadi awalan serangan ‘memulangkan’ Ruhde ke Malaka,” sebut Malik.
Belanda geram dan menuding Sultan Mahmud sebagai dalang di balik serangan tersebut. Pasukannya disebut telah bekerja sama dengan pasukan bajak laut Sulu dari Tempasuk, Sabah, dan bajak laut Bugis dari Kalimantan Barat, pimpinan Raja Ali. “Tudingan yang tidak keliru, karena benar adanya Sultan Mahmud adalah yang mengomando penyerangan bersama para bajak laut itu,” ujar Malik.
Sebagai upaya menghadapi pembalasan Belanda, Sultan Mahmud lantas menempatkan orang-orang Ilanun di beberapa lokasi sebagai komunitas tersendiri. Mereka ditempatkan di pantai timur Sumatera dan di Riau-Johor untuk mengisi kekosongan kekuasaan di bagian wilayah kepulauan. Merebaklah di antara sungai-sungai Jambi dan Inderagiri kekuatan komunitas-komunitas besar lanun (Ilanun), yakni Reteh dan Saba seperti halnya desa-desa kecil lainnya. Di samping Reteh dan Saba, terdapat pula di Tungkal atau Sungai Jukal dan Ayer Itam yang merupakan komunitas Ilanun. Orang Ilanun lainnya tersebar sebagai kelompok kecil di sepanjang cabang sungai atau hidup di perahu.

Dan … di sinilah kemudian kecerdasan seorang Sultan Mahmud Riayat Syah sebagai panglima perang dibuktikan. Sebelum Belanda datang dengan armada penuh untuk menuntut balas ke Tanjungpinang, Sultan Mahmud Riayat Syah mencari permukiman yang aman sebagai strategi menghadapi serangan balik.
Dalam situasi yang tak menentu ini, Sultan Mahmud dan para bangsawannya berlayar ke selatan, yakni ke Kepulauan Lingga, dengan menggunakan 200 buah kapal. Dalam rombongan itu bergabung orang Bugis dan 200 orang Tionghoa kaya, sedangkan Bendahara berlayar menuju Pahang menggunakan 150 kapal dan sebagian kapal berlayar ke Bulang. Raja Tua dan Indra Bungsu juga ikut berlayar menuju Pahang dan Terengganu. Temenggung (Engku Muda Muhammad) mengambil tempat di Pulau Bulang, sebelah barat Pulau Batam, dan “mengubah” dirinya sebagai bajak laut.
“Senyampang itu, permukiman mereka di Riau (Bintan) dibumihanguskan. Yang tersisa dari penduduk Riau hanyalah tiga ribu orang buruh tani lada dan gambir. Sikap yang diambil ini merupakan langkah awal untuk strategi gerilya laut dalam melanjutkan perlawanannya terhadap Belanda,” kisah Malik.
Romantisme Sultan Mahmud Riayat Syah dengan armada bajak laut terus terjalin sampai pembangunan imperium di Lingga. Pemilihan kepulauan Lingga sebagai basis pertahanan tidak terlepas dari hubungan romantis ini. Kepulauan ini adalah belantara laut. Terdiri dari pulau yang tak terhitung jumlahnya, banyaknya beting pantai, batu karang, anak sungai, dan sungai.
Gubernur Malaka kala itu, Pieter G. De Bruijn, sampai menyebut, “Kekuatan armada laut Belanda pimpinan Silvester di Melaka yang terdiri atas 19 kapal, dibandingkan kekuatan armada bajak laut Sultan Mahmud Riayat Syah, tak ada apa-apanya ketika harus berhadap-hadapan.”
Kekuasaan Sultan Mahmud Riayat Syah yang dipusatkan di Daik, Kepulauan Lingga, menjadi duri dalam daging bagi Belanda. Serangan-serangan bajak laut dilakukan ke daerah-daerah kekuasaan Belanda seperti di Bangka dan Belitung. Bajak laut itu merampok daerah-daerah penghasil timah untuk dijual kepada pedagang Inggris yang datang ke Lingga. Begitu juga dengan perompakan terhadap kapal-kapal dagang VOC dan sekutu-sekutunya yang merugikan sumber-sumber ekonomi VOC.
Dalam sebuah laporan arsip catatan rapat VOC di Melaka pada 1790, disebutkan bahwa keberadaan Sultan Mahmud Riayat Syah dan pengikutnya ke Lingga sangat membahayakan kedudukan Belanda di kawasan Kepulauan Riau. Laporan VOC ini, sambung Malik, juga membuktikan Sultan Mahmud menggunakan kekuasaan dan kekuatannya mengendalikan para bajak laut untuk menyerang atau merompak musuh-musuh.
Karisma, kecerdasan, dan kebijaksanaan seorang Sultan Mahmud diyakini sebagai pancang kepercayaan bajak laut menyatakan secara mutlak dukungannya. Bahkan, banyak kalangan bajak laut yang rela mati demi membela Raja Melayu itu.
Malik menyebutkan, Orang Laut sudah sejak zaman dahulu mengabdi kepada Sultan-Sultan Melayu. Mereka adalah kumpulan manusia Melayu yang mendiami pesisir pulau dan hidup dalam sampan atau perahu. Sudah sejak lama mereka hidup nomadik di Selat Johor, Kepulauan Riau, pantai-pantai di Sumatera, Bangka-Belitung, bahkan sampai pesisir Kalimantan dan Sulawesi.
Pada masa Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang yang dipimpin Sultan Mahmud, Orang Suku Laut dari Bintan, Pulau Mepar di Lingga, Galang, dan Bulang merupakan kekuatan pendukung Sultan, baik secara kemiliteran maupun secara ekonomi.
Saat itu, disebutkan bahwasanya kekuatan militer hasil koalisi dengan para bajak laut mencapai 42 ribu orang dan lebih dari 24 ribu yang lain tinggal di Lingga. “Bisa dibayangkan jumlahnya itu. Belum termasuk ribuan lagi Orang Suku Laut di pulau-pulau lainnya,” ujar Malik.
Bajak laut yang bernaung di bawah komando Sultan Mahmud Riayat Syah, bukan yang kelas dua, melainkan kelas utama. Sebut saja Panglima Raman, anak didik Raja Melayu Engku Muda Muhammad, Temenggung Johor, Singapura, Batam, Bulang, Karimun, dan sekitarnya. Engku Muda adalah seorang komandan perang yang dikenal berani dan berhasil melakukan banyak serangan yang beroperasi di Riau-Lingga selama beberapa tahun. Beberapa sumber awal abad ke-19 menyebutkan bahwa Orang Laut yang dapat dikerahkan sebagai prajurit bajak laut berjumlah 10.030 orang dengan kekuatan perahu 84 buah.
Sultan Mahmud Riayat Syah juga mampu mengendalikan bajak laut dari Siak pimpinan Sayid Ali dan para pimpinan Orang Laut lainnya. Pada 1788—1790 terjadi banyak penjarahan yang dilakukan oleh para bajak laut dari Siak yang menyerang wilayah penghasil timah Kelabat dan Merawang di Bangka. Serangan juga dilakukan oleh bajak laut Ilanun di Bangka dan menjarah ribuan pikul timah dari wilayah Kelabat dan Merawang pada 1789.
Terakhir tercatat Orang Laut yang berasal dari Lingga dan Johor juga melakukan serangan ke Bangka untuk menjarah timah di sana. Penggunaan kekerasan melalui serangan bajak laut dan penyelundupan semakin marak di Kepulauan Riau pasca penaklukkan Riau-Lingga oleh Belanda.
“Dengan kekuatan armada perang semacam itu, Sultan Mahmud berani menolak saran Inggris yang memintanya berdamai dengan Belanda, ketika permohonan bantuan armadanya ditolak,” pungkas Malik.***