SETIAP bangsa atau puak umumnya berasa bangga memiliki kebudayaan dengan kepelbagaian unsurnya. Satu dari sekian unsur budaya itu adalah pakaian atau busana. Ada kalanya pakaian suatu bangsa atau puak dipandang “agak aneh” oleh bangsa yang budayanya berbeda.
Akan tetapi, tentulah busana tersebut tak pernah dianggap ganjil oleh bangsa yang mewarisinya. Bahkan, mewarisi pakaian dan tata cara mengenakannya yang cenderung berbeda dengan bangsa atau puak lain membuat pewarisnya bertambah-tambah bangga.
Kebanggaan setiap bangsa itu bersifat subjektif.
Pakaian skirt yang dikenakan oleh kaum laki-laki Skotlandia dan kain sarung yang dipakai oleh lelaki Myanmar, misalnya, menjadi kebanggaan kedua bangsa itu. Bagi mereka, itulah jenis pakaian yang terbaik di dunia. Pandangan orang yang berkebudayaan lain belum tentu sama dengan bangsa atau etnis yang memiliki pakaian itu.
Yang pasti, pakaian bagi setiap bangsa, etnis, dan atau puak memiliki nilai tertentu yang dijunjung tinggi. Oleh sebab itu, cara memakainya pun mesti sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan, biasanya secara adat.
Bagaimanakah pandangan dan sikap orang Melayu tentang pakaian mereka? Berhubung dengan itu, ada baiknya kita perhatikan penuturan Raja Ali Haji rahimahullah di dalam karya beliau Kitab Pengetahuan Bahasa (Haji, 1858).
“Adapun pakaian orang Melayu daripada dahulu, sehelai seluar dipakai di dalam, kemudian baharulah memakai kain, bugiskah atau sutera, labuhnya hingga lepas lutut kira-kira sepelempap. Kemudian, baharulah memakai ikat pinggang, terkadang di luar kain terkadang di dalam kain. Kemudian baharulah memakai baju, belah dada namanya atau baju kurung, kemudian disisipkan keris kepalanya keluar tiada meniarap, dan sapu tangan, bertanjak. Adapun seluarnya terkadang seluar ketat berkancing kakinya. Syahdan pada penglihatan mataku sangatlah tampan orang-orang Melayu memakai cara Melayu yang dahulu-dahulu, tiada bengis rupanya [huruf miring oleh HAM].”
Begitulah pandangan orang Melayu tentang pakaian dan tata cara memakainya yang seyogianya secara konsisten diterapkan. Perian di atas berkenaan dengan pakaian dan adat memakainya bagi kaum laki-laki.
Ditinjau dari sudut pemakainya, pakaian Melayu dapat dibedakan atas pakaian perempuan dan pakaian laki-laki. Keduanya tentulah berbeda potongan dan tata cara memakainya. Lebih mustahak daripada itu, tak boleh dipertukarkan, laki-laki memakai pakaian perempuan, begitu pula sebaliknya, kecuali ketika bermain sandiwara. Dalam kasus yang disebut terakhir, laki-laki yang berperan sebagai perempuan boleh mengenakan pakaian perempuan selama permainan itu. Dalam keadaan normal, laki-laki yang mengenakan pakaian perempuan akan disebut pondan, sedangkan perempuan yang berpakaian laki-laki disebut kedi. Kedua sebutan itu bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan.
Pakaian perempuan Melayu ada dua macam. Pertama, baju kurung yang terdiri atas kain, baju, dan selendang. Panjang atau kedalaman baju agak di atas lutut. Jenis baju kurung untuk dipakai sehari-hari di rumah kedalamannya hanya sepinggang atau sedikit di bawah pinggang. Baju kurung berlengan panjang, berbadan longgar, dan beragam bahannya: polos, berbunga-bunga, dan sebagainya, tetapi tak boleh tembus pandang. Warnanya disesuaikan dengan selera pemakai, tetapi perempuan yang sudah berumur tak boleh memakai baju yang warnanya mencolok. Selendang dipakai lepas di bahu, tak melingkar di leher.
Kedua, baju kebaya labuh yang terdiri atas baju, kain, dan selendang. Panjang lengan baju kira-kira dua jari dari pergelangan tangan supaya gelang yang dikenakan kelihatan. Lebar lengan baju kira-kira tiga jari dari permukaan lengan. Kedalaman baju sampai sedikit di atas betis. Bentuk baju agak longgar, tak boleh diraut (dikecilkan) di bagian yang dapat menunjukkan ukuran atau bentuk pinggang dan gaya pinggul.
Bahannya disesuaikan dengan kemampuan (daya beli) dan keperluan. Kelengkapan lainnya terdiri atas selendang, aksesoris, dan hiasan kepala yang disesuaikan menurut keperluan dan kemampuan. Biasa pula pakaian perempuan dilengkapi dengan cincin, gelang tangan, dan atau gelang kaki.
Kelengkapan pakaian perempuan yang lain adalah siput (sanggul) dan tudung. Siput tegang biasanya untuk pengantin, siput cekak untuk dipakai sehari-hari, dan siput lintang untuk perempuan yang berambut panjang, lebat, dan berjurai. Tudung dipakai untuk menutup kepala. Ada tudung yang agak terjurai dan terjuntai ke samping kiri dan kanan. Ada pula tudung yang sampai menutupi wajah (tudung lingkup) sehingga yang kelihatan hanyalah mata atau sekurang-kurangnya wajah seperti pemakaian tudung mantur [ada juga yang menyebutnya tudung manto mengikuti bahasa lisan tempatan] pada kaum perempuan di Daik, Lingga, atau Kepulauan Riau, umumnya.
Jika kaum perempuan memakai kain yang berkepala kain, pemakaiannya harus sesuai dengan adat dan adab. Anak gadis letak kepala kainnya di depan, perempuan yang berumur (tua) kepala kainnya di samping kanan, perempuan yang bersuami kepala kainnya di belakang, dan janda kepala kainnya di samping kiri.
Bagi kaum lelaki pula ada tiga jenis pakaian. Pertama, baju gunting cina. Pakaian ini dikenakan sehari-hari di rumah, pakaian santai, atau pakaian biasa. Tak boleh digunakan untuk acara atau pertemuan resmi seperti di kantor dan sebagainya. Baju gunting cina juga dilengkapi dengan celana dan ikat kepala atau songkok.
Kedua, baju teluk belanga yang terdiri atas baju, celana, kain sampin, dan penutup kepala (tanjak, songkok, atau ikat kepala). Leher baju berkerah tegak dan berkancing (kancing tap, emas, permata, dan sebagainya, tergantung pada kemampuan atau daya beli si pemakai). Jumlah kancing lazimnya empat buah yang melambangkan ‘sahabat Rasulullah SAW’ atau lima buah yang melambangkan ‘rukun Islam’. Kocek (saku) baju tiga buah, sebuah yang lebih kecil ditempatkan di kiri atas dan dua buah lebih besar ditempatkan di kiri-kanan bawah baju. Lengan baju agak menutup pergelangan tangan.
Sampin dapat berupa kain songket, kain bertabur, kain gelik, dan lain-lain. Pemasangannya beragam: ada yang seperti pemakaian kain biasa, ada yang dipunjut ke samping, ada pula yang ditarik selapis ke samping kiri pinggang. Kedalaman kain diatur sedemikian rupa. Orang tua-tua atau orang patut-patut kedalamannya di bawah lutut, sedangkan orang muda-muda kedalamannya sedikit di atas lutut.
Ketiga, baju cekak musang yang terdiri atas baju, seluar, kain, dan penutup kepala. Leher baju tak berkerah, kancingnya hanya sebuah, dan bagian depan leher baju—supaya mudah dimasukkan dari atas melalui kepala—berbelah sepanjang kira-kira lima jari ke bawah. Lengan baju lebar dan baju pun dilengkapi kocek tiga buah seperti pada baju teluk belanga. Kain dapat dipakai sebagai sampin dan orang tua-tua boleh memakai kain labuh ke bawah sehingga tak perlu memakai celana panjang dengan baju dikeluarkan, khususnya untuk pertemuan yang tak resmi.
Bahan pakaian laki-laki tak boleh berbunga-bunga. Pilihan warnanya boleh apa saja, asal warna kuning khusus untuk raja-raja dalam acara adat.
Pemakaian kain sampin diatur sebagai berikut. Bagi raja, letak kepala kainnya bebas, tetapi lazimnya sebelah kanan agak ke depan. Bagi kaum bangsawan, kepala kainnya sebelah belakang agak ke kanan. Bagi orang besar-besar dan patut-patut, kepala kainnya sebelah belakang agak ke kiri. Bagi putra mahkota, kepala kainnya sebelah kanan agak ke depan. Bagi masyarakat awam, kepala kainnya di belakang penuh.
Fungsi pakaian Melayu dinyatakan dengan ungkapan, “Pakaian menutup malu, pakaian menjemput budi, pakaian menjunjung adat, pakaian menolak bala, dan pakaian menjunjung bangsa.” Berhubung dengan itu, dikatakan, “Salah letak badan letak, salah tempat berujung umpat.”
Jika mengenakan pakaian sesuai dengan adat dan adabnya, berarti kita tampil dengan derajat yang dianalogikan sebagai seri pantai dan seri gunung. Maknanya, si pemakai telah berpakaian yang memenuhi kualitas keindahan dan kesempurnaan yang terlihat dari dekat atau dari luar (seri pantai) dan dari jauh (dalaman, batiniah). Itulah keindahan kelas satu yang nilainya tujuh bintang. Kehebatan berpakaian kelas utama itu diibaratkan laksana keajaiban yang mampu menghidupkan kembali pasangan pecinta yang sudah mati!
Berpakaian Melayu sudah digalakkan kembali kini walau hanya pada hari-hari tertentu. Malangnya, kebiasaan baik itu terkadang dirusaki oleh segelintir orang yang tak memahami mutu. Pasalnya, ada yang memakainya tak bersampin dan atau tak bersongkok pada kaum lelaki, seolah-olah dia terpaksa berpakaian Melayu. Perilaku itu jelas tak mengindahkan nilai-nilai adat yang berlaku.
Pemakai pakaian adat yang tak sesuai dengan adabnya dapat dicap sebagai orang yang tak tahu adat dan mengabaikan keluhuran nilai. Dia didakwa begitu karena adat Melayu telah mengatur, “Pantang memakai memandai-mandai. Salah pakai perut terburai.”***