Nama Pulau Tambelan, di Kecamatan Tambelan Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau, kurang dikenal dalam dunia khazanah manuskrip Melayu. Namun demikian, bukan berarti tidak ada khazanah manuskrip Melayu tentang Pulau Tambelan, atau manuskrip Melayu yang pernah ditulis dan disalin di Pulau itu.
Salah satu khazanah manuskrip Melayu yang terkenal dan mencatat perihal Pulau Tambelan dan masyarakatnya pada akhir abad 19 adalah sebuah edisi cetak laporan perjalanan Raja Ali Kelana ketika komisi [inspeksi] ke Pulau Tujuh pada 1896 yang berjudul Bahwa Inilah Cetera Yang Bernama Pohon Perhimpunan Pada Menyatakan Peri Perjalanan: dicetak oleh Madba’ah al-Riauwiyah Pulau Penyengat pada tahun itu juga.
Kutubkhanah minggu ini memperkenalkan Syair Negeri Tambelan, sebuah khazanah manuskrip Melayu yang banyak mencatat ikwal Pulau Tambelan pada akahir abad ke-19.
Pusat Manuskrip Melayu
Manuskrip syair ini pada mulanya adalah koleksi pribadi almarhum Wan Mohd Shaghir Abdullah, seorang anak watan Pulau Midai yang masyhur sebagi kolektor penting Manuskrip Melayu di Kuala Lumpur. Ia mendapatkan manuskrip Syair Negeri Tambelan ini di Kota Pontianak pada 20 Disember 2001 M.
Namun kini, manuskrip Syair Negeri Tambelan ini telah menjadi bagian dari koleksi Pusat Manuskrip Melayu (PMM) Perpustakaan Negara Malaysia (PNM) dengan nomor katalog MSS 3137. Menurut penjelan pihak PMM-PNM, manuskrip syair ini sebenarnya tidak berjudul, dan Syair Negeri Tambelan adalah judul yang diberikan oleh PMM-PNM.
Manuskrip syair simpanan PMM-PNM adalah bagian dari sebuah manuskrip yang ditulis pada 106 muka surat, dan mengandungi dua buah syair yang berbeda isinya. Kedua syai tersebut ditulis menggunakan huruf Jawi atau huruf Arab Melayu tulisan tangan mengunakan tinta hitam pada kertas bergaris, atau buku tulis yang dipotong sedemikian rupa, dan dijilid dengan cara dijahit.
Syair pertama yang mengawali Syair Negeri Tambelan adalah Syair Bab al-Nikah (SBN). Sebuah salinan bagian Bab al-Nikah dalam Kitab al-Nikah @ Syair Hukum Nikah @ Syair Suluh Pegawai karya Raja Ali Haji yang disalin oleh Datuk Petinggi Tambelan, dan kemudian disalin kembali oleh pengarang Syair Negeri Tambelan di Pulau Tambelan pada 24 Zulqaidah 1313 H bersamaan dengan 7 Mei 1896. Dalam manuskrip koleki PMM yang berukran 17 cm x 11 cm ini, Syair Negeri Tambelan dicantumkan pada muka surat 71 hingga muka surat 110. Sama seperti Syair Bab al-Nikah, Syair Negeri Tambelan ditulis menggunakan tinta hitam.
Beberapa bagian kertas yang mengandungi Syair Negeri Tambelan kondisinya agak rusak karena air dan serangga, yang menyebabkan sejumlah huruf dalam bait-bait syair itu hilang. Fisik manuskrip syair ini memang telah direstorasi oleh pihak PMM-PNM. Namun demikian, tindakan penyelamatan yang dilakukan tak sepenuhnya dapat memulihkan bagian-bagian tulisan yang rusak dan hilang.

Karya Muhammad Umar
Nama lengkap pengarang Syair Negeri Tambelan adalah Muhammad Umar bin Encik Harun. Ia lahir Kampung Tambelan, Kesultanan Pontianak, pada 3 Jumadil Awal 1275 H bersamaan dengan 9 Desember 1858 M. Biografi singkatnya pernah ditulis oleh Wan Mohd Shaghir Abdullah (2005).
Kesultanan Pontianak ketika itu dipimpin oleh Sultan Syarif Muhammad al-Kadrie (1895-1944). Sedangkan Kampung Tambelan di Kesultanan Pontianak pada masa itu masih dipimpin langsung oleh tokoh pembukanya yang bernama Abdulrahman atau Panglima Abdulrahman, bergelar Datok Kaya Abdulrahman.
Muhammad Umar bin Encik Harun wafat di Pontianak pada malam Ahad tanggal 28 Syafar 1342 H bersamaan dengan 4 Agustus 1929, dalam usia 73 tahun. Informasi biografis Muhammad Umar yang diungkap oleh Wan Mohd Shaghir Abdullah dalam tulisannya (2005), berkait-kelindan dengan bait-bait Syair Negeri Tambelan yang menjelaskan sosok (Muhammad Umar sebagai) pengarangnya:
“Jikalau tuan tahu akan orangnya/ Pontianak itu negerinya/ Sultan Mahmud nama Rajanya/ Bangsa sayid muda alimnya/ Di Kampung Tambelan rumah tangganya/ Muhammad Umar nama yang punya/ Abdulrahman nama kepalanya/ Sewaktu itu hamba membuatnya”.
Selaian menulis Syair Negeri Tambelan dan menyalin ulang salinan Syair Bab al-Nikah, Muhammad Umar juga menghasilkan karya lain berjudul Jurnal Perlayan dan Petua Melayu serta sejumlah catatan tentang obat-obatan Melayu.
Manuskrip Syair Negeri Tambelan diselesaikannya ketika ia berada di Pulau Tambelan yang disebutnya sebagai Negeri Tambelan. Ketika itu, Negeri Tambelan dipimpin oleh dua orang Datuk (Datuk Kaya dan Datuk Petinggi). Dalam bait-bait Syair Negeri Tambelan, Muhammad Umar menjelaskannya sebagai berikut: “Negeri itu Datuknya dua/ Yang di ulu satu di hilir yang kedua/ Tiada sama perintah dia/ Masing-masing menurutkan hawa.”
Tarikh selesai penulisannya dijelaskan oleh Muhammad Umar secara ‘samar-samar’ dalam bait terakhir syair yang isinya sebagai berikut: “Tamatlah syair harinya Ahad/ Di negeri Tambelan kita membuat/ Bulan Muharam tahun lebih ampat/ Orang negeri tiada sepakat.”
Apakah makna larik “Bulan Muharam tahun lebih ampat”? Berdasarkan kolofon yang terdapat pada Syair Bab al-Nikah dan bait-bait Syair Negeri Tambelan, maka tarikh selesai penulisan Syair Negeri Tambelan yang dinyatakan secara berkias itu, dapat dijelaskan sebegai berikut:
Pertama, syair ini ditulis pada akhir abad ke-19, ketika Kesultanan Pontianak diperintah oleh Sultan Syarif Muhammad al-Kadrie (1895-1944).
Kedua, jika mengacu kepada catatan dalam kolofon manuskrip Syair Bab al-Nikah yang selesai disalin pada 7 Mei 1896 (bersama dengan 24 hari bulan zu-al-qa’idah malam Jum’at pukul 12 dua belas kepada tahun sanah 1313), maka larik syair “Bulan Muharam tahun lebih ampat” bermakna Syair Negeri Tambelan selesai dibuat atau dikarang empat tahun setelah salinan Syair Bab al-Nikah selesai disalin semula pada tahun 1317 H yang bersamaan dengan 1899 M.

Bukti lain yang dapat menunjukkan bahwa syair ini selesai ditulis pada akhir abad ke-19 adalah penggunaan potongan kertas bekas arsip surat (dokumen) tulisan tangan berbahasa Belanda bertarikh 29 Mei 1896, yang terdapat pada bait terakhir syair ini. Potongan arsip surat menggunakan kertas Eropa yang lebih lebal dari kertas untuk menuliskan manuskrip ini, digunakan sebagi penguat sampul (kulit) kitab.
Negeri Tambelan Akhir Abad 19
Syair Negeri Tambelan, berisikan kisah nyata yang dialami dan disaksikan langsung oleh Muhammad Umar selaku pengarangnya yang menumpang kapal seorang pedagang dan singgah selama sekitar lima hingga enam bulan di Pulau Tambelan.
Awalnya ia berlayar dari Kampung Tambelan di Pontianak, menumpang perahu milik pedagang beras, tembakau, dan setarup (setaroh: sejenis herbal) bernama Haji Isa orang Serasan, yang hendak berlayar ke Singapura melaui Pulau Tambelan.
Di Pulau Tambelan, Muhammad Umar dan Haji Isa duduk menumpang di Rumah Muhammad Bakar sambil menanti habisnya penjualan barang dagangan yang dibawa oleh Haji Isa, sembari mengumpulkan kelapak (kelapa dalam logat Tambelan) untuk dibawa ke Singapura.
Selama singgah di Pulau Tambelan, Muhammad Umar banyak menyaksikan dan mencatat berbagai peristiwa sosial-ekonomi yang terjadi pada akahir abad ke-19 . “Selama kita di Negeri Tambelan/ Sahabat handai manggil sekalian/ Ada Pengantin ada yang kematian/ Begitulah didalam lima anam bulan”. Bahkan ia juga sempat tampil bermain kesenin terbang dan rodat dalam sebuah pesta pernikahan seorang bernama Sulaiman di Kampung Melayu.
Seperti telah dilaporkan juga oleh Raja Ali Kelana dalam kitab Pohon Perhimpunan, sistem perdagangan di Tambelan terbilang ‘unik’. Menurut Muhammad Umar, di Tambelan ketika itu tidak terdapat pasar tempat pedagang dan pembeli berkumpul. Semua transaksi jual-beli dilakukan di atas perahu milik pedagang yang datang secara berkala.
Pada akhir abad ke-19 itu, selain dikunjungi oleh perahu-perahu pedagang Melayu seperti Haji Isa, Pulau Tambelan juga disinggahi oleh sejumlah perahu pedagang Cina, yang umumnya bermodal besar. Mereka mengusai perdagangan beras yang mereka jual dibawah harga pasar.
Menurut Muhammad Umar,”monopoli” pedagang Cina dalam perdagangan beras ini mematikan usaha pedagangan beras orang Melayu: “Kerana rugi beras dijualkan/ Perahu Cina ada di Tambelan/ Tiga ampat buah di dalam labuhan/ Membawa beras berpuluh koyan | Cina jual lapan gantang seringgit/ Orang membeli bukan sedikit/ Abis sebuah sebuah berjangkit/ Dengan kelapak kering tidak mungut ringgit.
Selain perihal perdagangan, Muhammad Umar juga mencatat sejumlah peristiwa sosial, politik, dan kriminal yang terjadi di Pulau Tambelan ketika itu. Sebagai ilustrasi, dalam bait-bait Syair Negeri Tambelan ada dicatat beberapa peritiwa kriminal yang menggemparkan ketika terjadi peritiwa penikaman dan pencurian peti berisi dua ratus lima puluh ringgit milik Muhammad Yusuf di Kampung [Melayu] Ujung. Tersangkanya bernama Si Radat yang berasal dari Pulau Bunguran. Peti uang itu sempat disembunyikannya di dalam tanah, ditaruhnya di ilir ujungnya negeri/ Dimasukan di tanah malamnya hari.
Kasus pencurian uang ringgit ini akhirnya dapat dituntaskan. Dengan perintah Datuk Petinggi, berbagai usaha dilakukan untuk menangkap Si Radat. Pencuri kelas kakap itu akhirnya dapat ditangkap oleh penduduk Pulau Tambelan dan dipasung oleh Datuk Petingi untuk memaksanya menunjukan tempat peti uang tersebut disembunyikan.
Syair Negeri Tambelan, adalah salah satu contoh syair klasik Melayu yang kaya dengan informasi faktual tentang suatu zaman pada ruang dan waktu tertentu. Ianya adalah tipikal “Syair Jurnalistik” yang harus disimak oleh siapa saja yang akan menulis ikwal Negeri Tambelan pada akhir abad 19.***