Perlawanan Raja Haji Fisabilillah

NAMA lengkapnya Raja Haji ibni Opu Daing Celak. Baginda dilahirkan di Kota Lama, Hulu Riau (wilayah Kota Tanjungpinang sekarang) pada 1725. Ayahanda Baginda adalah Opu Daing Celak, Yang Dipertuan Muda II Kesultanan Riau-Lingga (1728-1745). Ibunda Baginda pula adalah Tengku Mandak binti Sultan Abdul Jalil Riayat Syah, yakni Sultan Johor-Riau-Pahang-Lingga (1699-1720). Raja Haji merupakan Yang Dipertuan Muda IV Kesultanan Riau-Lingga yang berkhidmat pada 1777-1784. Yang Dipertuan Muda di Kesultanan Riau-Lingga merupakan jabatan satu tingkat di bawah Yang Dipertuan Besar atau Sultan. Jabatan itu mulai diadakan pada 1722 ketika Kesultanan Riau-Lingga dipimpin oleh Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I (1722-1760) ibni Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Jabatan itu khusus diberikan kepada raja-raja keturunan Bugis Luwu. Pasalnya, pada 1722 Kesultanan Riau-Lingga yang dibantu oleh Raja-Raja Bugis Luwu memenangi perang melawan musuhnya. Putra-putra Raja Bugis Luwu itu dikenal juga dengan sebutan Opu Lima Bersaudara atau Opu Lima Beradik, di antaranya Opu Daing Celak, ayahanda Raja Haji.

Setelah memenangi perang pada 1722, keturunan Bugis dan Melayu melaksanakan persetiaan yang dikenal dengan Sumpah Setia Bugis dan Melayu. Persetiaan itu diucapkan oleh Opu Daing Marewah (Yang Dipertuan Muda I Kesultanan Riau-Lingga, 1722-1728) di hadapan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I (lihat Tuhfat al-Nafis karya Raja Ahmad dan Raja Ali Haji dalam Matheson (Ed.) 1982). Opu Daing Marewah tiada lain adalah kakanda dari Opu Daing Celak. Dengan demikian, Baginda adalah juga mamanda (paman) Raja Haji dari pihak bapak. Sejak persetiaan itu, Melayu dan Bugis tak dapat dipisahkan oleh sesiapa pun dengan cara apa pun. Persebatian mereka ibarat mata putih dan mata hitam. Tengku Mandak, istri Opu Daing Celak dan ibunda Raja Haji, adalah adinda dari Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I. Dengan demikian, Raja Haji sesungguhnya keponakan dari Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I dan cucunda dari Sultan Sultan Abdul Jalil Riayat Syah dari pihak ibu.

Baginda Raja Haji sememangnya keturunan para wira yang sangat mencintai tanah air dan bangsanya sehingga mereka rela berkorban jiwa, raga, dan harta demi membela marwah negeri dan bangsa. Raja Haji ditabalkan menjadi Yang Dipertuan Muda Kesultanan Riau-Lingga pada 1777. Sebelum itu, Baginda menjadi Kelana Kesultanan Riau-Lingga, yakni jabatan di bawah Yang Dipertuan Muda, yang juga calon Yang Dipertuan Muda. Baginda menjadi Yang Dipertuan Muda pada masa pemerintahan Duli Yang Maha Mulia Seri Paduka Baginda Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Riayat Syah (1761-1812). Sultan Mahmud Riayat Syah adalah putra dari adinda perempuannya, Tengku Putih, yakni putri Opu Daing Celak dan Tengku Mandak. Hal itu bermakna Raja Haji adalah mamanda dari Sultan Mahmud Riayat Syah dari pihak ibu. Sampai ketikanya Belanda sampai juga ke Kesultanan Riau-Lingga. Setelah kedatangan bangsa Eropa yang mulai menjajah beberapa negeri di nusantara ini, permusuhan Kesultanan Riau-Lingga dengan bangsa asing itu bermulalah sejak 1757 di bawah pimpinan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I lagi. Keadaan berperang lalu berdamai dan berperang lagi terus saja terjadi sesuai dengan peredaran masa. Kesultanan Riau-Lingga di bawah kepemimpinan Sultan Mahmud Riayat Syah dan Yang Dipertuan Muda Raja Haji sangat menyerlah kemajuannya. Kesultanan Melayu ini menguasai jalur lalu-lintas pelayaran dan perdagangan di Selat Melaka.

Pelabuhan-pelabuhan di wilayah kesultanan ini menjadi pelabuhan perdagangan yang disinggahi maskapai pelayaran dari pelbagai penjuru dunia. Pada masa itu Kesultanan Riau-Lingga mencapai puncak kemakmuran dan kejayaannya. Hal itu membuat Belanda di Melaka dan Batavia sangat bernafsu untuk menjajahnya. Pelbagai siasat busuk dan politik jahat dilakukan oleh Belanda. Di antaranya mereka berupaya memecah-belah persebatian keturunan Melayu dan Bugis. Akan tetapi, politik kotor Belanda itu tak berhasil. Keculasan Belanda itulah yang memicu kembali peperangan Kesultanan Riau-Lingga dengan Belanda di Riau-Lingga dan Melaka pada 1782-1787. “… Maka kapal itupun keras juga hendak masuk. Maka lalulah berperang semula dengan kubu yang di Teluk Keriting itu. Maka azamatlah bunyinya meriam kapal itu. Maka seketika berperang itu maka kubu Teluk Keriting pun hendak tewas sebab ubat bedilnya habis. Maka menyuruhlah Yang Dipertuan Muda itu mengantarkan ubat sebuah sampan. Adalah yang mengantarkan ubat bedil itu Syahbandar Bopeng, adalah budak yang mengayuhkannya, kepala satu budak anak baik-baik namanya Encik Kalak.

Maka sampan itu pun dibedil oleh kapal dari laut dengan peluru penaburnya, maka sampan itu pun tenggelam. Maka lepaslah satu tong ubat bedil itu dipikul oleh orang sampan itu naik ke darat kepada kubu Teluk Keriting itu. Maka dapatlah lima kali tembak, maka dengan takdir Allah taala kapal itupun terbakar, meletub berterbangan geladak kapal itu ke udara dan segala orang-orangnya pun habislah mati diterbangkan oleh ubat bedil yang meletub itu. Syahadan adalah pada suatu kaul, orangnya ada delapan ratus yang mati dan ada satu komesarisnya yang mati bersama-sama kapal itu….” (Ahmad & Haji dalam Matheson (Ed.) 1982). Nukilan Tuhfat al-Nafis di atas adalah gambaran suasana Perang Riau I yang berlangsung di perairan Tanjungpinang. Pasukan Kesultanan Riau-Lingga dipimpin oleh Baginda Raja Haji. Selama Perang Riau I (1782-1784), pasukan Bajak Laut (istilah yang digunakan oleh Belanda bagi pasukan Raja Haji) terus mengawal wilayah kekuasaan Kesultanan Riau-Lingga di bawah pimpinan Raja Haji. Mereka menjadi pasukan pertikaman. Perang yang dimenangi oleh pasukan Raja Haji pada 6 Januari 1784 itu tak serta-merta menghentikan pertempuran karena ada sisa pasukan Belanda dan pemimpinnya yang berhasil melarikan diri ke Melaka, basis pertahanan Belanda kala itu. Perang Riau I mengulangi peperangan antara Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang di bawah kepemimpinan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I dan Yang Dipertuan Muda III Daing Kamboja melawan Belanda di Melaka. Juga kelanjutan dari Perang Linggi (1756-1758) yang dipimpin oleh Paduka Kelana Raja Haji. Kala itu Belanda terpaksa mendatangkan pasukan bantuan dari Batavia. Dalam pada itu, Raja Haji memindahkan pusat perlawanan dari Reteh ke Padas.

Dalam Perang Riau I, menurut E. Netscher dalam De Nederlanders in Djohor en Siak 1602 tot 1865: historische beschrijving (1870), Belanda menugasi pasukannya di Melaka untuk menyerbu Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang yang berpusat di Hulu Riau (Tanjungpinang sekarang). Pasukan Belanda terdiri atas para komisaris Lemker dan Hoijnek van Papendrecht pada 7 November 1783 sampai ke eskader di Riau (Tanjungpinang) dengan kapal Hofter Linde, Malaka’s Welvaren, dan beberapa kapal lainnya. Komisaris pertama esok paginya mengambil alih komando dan segera segalanya dipersiapkan untuk melakukan serangan terhadap kekuatan tentara Kesultanan Riau-Lingga di Tanjungpinang, Pulau Bayan, Penyengat (Mars), dan Senggarang dengan tak menunggu datangnya tambahan dari Terengganu atau Batavia. Hari penyerangan itu pun telah ditetapkan, 6 Januari 1784. Komisaris Lemker pindah ke kapal Malaka’s Welvaren dan Tuan Hoijnek van Papendarecht ke kapal Snelheid.

Mereka sengaja berpisah dengan tujuan masing-masing memimpin satu divisi ketika mendarat kelak. Selanjutnya, Belanda mulai menyerang dan meyakini bahwa mereka segera menang. Akan tetapi, kapal Malaka’s Welvaren terkandas ke tebing. Pada pukul 14.00 terbukalah kesempatan baik dan satu detasemen serdadu Eropa, kebanyakan tentara Perancis, mendarat di tanah datar sebelah selatan bukit Tanjungpinang, dipimpin oleh Stoppelaar menuju ke bukit berbatasan dengan Tanjungpinang. Akan tetapi, baru saja mereka mendarat di Bukit Stoppelaarsberg, sarang meriam di darat melepaskan tembakan ke kapal Malaka’s Welvaren yang masih terkandas dengan ledakan laksana ribuan halilintar. Kapal Malaka’s Welvaren berkeping-keping terbang ke udara. Selanjutnya, pasukan Kesultanan Riau-Lingga menyerbu ke bawah bukit. Detasemen Belanda menjadi kacau-balau karena panik. De Stoppelaar terluka dan Vandrig Zoldering yang kakinya bengkak memberikan isyarat untuk mundur. Detasemen tersebut terpaksa meninggalkan beberapa orang yang mati dan tiga orang ditawan, di antaranya seorang terluka. Dari kapal Malaka’s Welvaren hanya 2 orang Eropa dan 7 orang pribumi yang selamat. Akhirnya, menurut E. Netscher (1870), setelah matinya Lemker, kapten Toger Abo kembali memegang komando.

Maka diputuskan, pasukan harus kembali ke Malaka. Dengan keputusan itu, pada 24, 26, dan 27 Januari 1784 berturut-turut kapal-kapal yang melarikan diri itu melabuhkan jangkarnya di Melaka. Kapal tersebut dalam pelbagai jenis dan ukuran, besar dan kecil. Kekalahan Belanda di Tanjungpinang pada 6 Januari 1784 itu, menurut Netscher, sangat mengejutkan mereka. Pasalnya, Belanda sangat yakin akan menaklukkan Kesultanan Riau-Lingga dalam perang besar itu. Namun, yang terjadi di medan perang, justeru, sebaliknya. Mereka tak berkutik menghadapi pasukan Raja Haji. Pasukan Kesultanan Riau-Lingga tak menghentikan langkah mereka menyerang Belanda. Pasukan Raja Haji terus mengejar armada yang ditarik mundur itu. Sebelum melanjutkan pelayaran sampai ke Melaka, pasukan Kesultanan Melayu itu terlebih dahulu singgah di Muar. Raja Ahmad dan Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-Nafis (Matheson-Hooker (Ed.) 1982) memerikan peristiwa pengejaran terhadap pasukan Belanda sampai ke Melaka itu. “Maka apabila sudah mustaid sekaliannya maka (lalulah ia) berangkat ke Melaka. Maka mengikut(lah) pula (paduka anakanda baginda) Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud (bersama-sama paduka ayahanda bagindanya Yang Dipertuan Muda … Maka sampai ke Muar maka ditinggalkannya paduka anakanda (Baginda) itu di Muar.

Maka Yang Dipertuan Muda Raja Haji lalulah ia ke Melaka, maka berbuatlah (ia tempat serta) kubu di Teluk Ketapang (di Tanjung Palas namanya), serta menuruh Penggawa Opu Nasti melanggar Semabuk. Maka berperanglah di Semabuk itu dengan beberapa (hari) beramuk-amukan gegak gempita bunyi senapang /pemburas/ serdadu dan pemburas Bugis (seperti bunyi orang menggoreng bertih serta dengan sorak tempiknya dan segala Bugis dengan kilung musungnya) dan bermati-matianlah (dan berluka-lukaan) sebelah-menyebelah. Maka tiada beberapa lamanya berperang itu, (maka tewaslah orang-orang Semabuk itu sebab banyak serdadunya mati, serta orang-orang Semabuk pun banyak panglima-panglimanya mati). Maka Semabuk pun kalahlah dan dapatlah Semabuk itu oleh Yang Dipertuan (Muda) Raja Haji.” Menurut E. Netscher (1870), pada 20 Mei 1784 eskader Belanda merapat di dermaga Melaka. Pada 16 Juni kapal-kapal merapat lagi, yang dipimpin oleh Letnan Albert Coblijn.

Maka, begitu terbitnya matahari 1 Juni, eskader bergerak ke Teluk Ketapang dekat Melaka. Setelah beberapa hari, armada mulai menembakkan meriam-meriamnya, ditujukan ke daratan dan ke kapal yang berada di pantai, dan pada 18 Juni dengan kekuatan 734 orang, di antaranya 291 pribumi. Pasukan Belanda itu melakukan pendaratan dan dapat memukul hancur musuh mereka, yakni pasukan Raja Haji. Raja Haji, yang berdiri dekat sarang meriam untuk memberi semangat pasukannya, terkena tembakan senapang di dadanya. Empat atau 500 orang pihak laskar Kesultanan Riau-Lingga gugur sewaktu pendaratan pasukan Belanda itu. Di pihak Belanda 12 gugur, termasuk Letnan-Insinyur van der Mijle dan Kadet Laut van Halm, yang luka 21orang Eropa dan 13 pribumi. Kemudian, yang meninggal karena luka-luka adalah Letnan Feber, opsir kelas satu kapal Juno. Selain itu, Tuhfat al-Nafis juga merekamkan kisah Perang Teluk Ketapang. Perang itulah yang membuktikan kepahlawanan sejati Raja Haji Fisabilillah. “… Dan beberapa lagi orang yang baik syahid itu dengan tiada membuang belakang. Syahadan adapun Holanda mati di dalam perang itu ada kira-kira tujuh puluh orang dan tiga orang besarnya yang mati. Maka Yang Dipertuan Muda Raja Haji pun bangkit mengunus badiknya dan sebelah tangannya memegang Dala’il al-Khairat. Maka dipeluk oleh beberapa orang maka di dalam tengah berpeluk-peluk itu maka Yang Dipertuan Muda Raja Haji pun kenalah peluru baris senapang. Maka ia pun rebahlah mangkat syahidlah ia innalillahi wa inna ilahihi rajiun,” (Ahmad & Haji dalam Matheson (Ed.) 1982). Dalam Perang Teluk Ketapang, Melaka (bagian Malaysia sekarang), Raja Haji dan sebagian prajuritnya gugur sebagai syuhada pada 18 Juni 1784.

Baginda mangkat secara bermartabat dengan sebelah tangannya memegang badik dan tangannya yang lain memegang kitab Dala’il al-Khairat. Panglima perang yang gagah perkasa, yang telah malang-melintang dalam pelbagai peperangan, baik di laut maupun di darat, itu telah membuktikan baktinya kepada generasi penerusnya tentang kewajiban membela tanah air dan bangsa. Negeri yang telah dibangun oleh para pendahulu sejak berbilang zaman ini mesti dijaga dan dibela dengan sepenuh cinta walau harus mengorbankan harta, jiwa, dan raga. Jika tidak, para penceroboh akan merajalela dengan segala cara. Akibatnya, anak negeri akan hidup terlunta-lunta. Bukan tak mungkin praktik penjajahan dalam cara lain mereka lakukan demi memuaskan syahwat kekuasaan dan merompak kekayaan negeri ini dengan cara yang berbeda.

Di tengah kecamuk perang terakhirnya, Baginda telah berfirasat akan syahid dalam perang itu. Akan tetapi, jiwa patriotisme yang mengalir di dalam darahnya tetap membuncahkan semangat Baginda untuk berbakti kepada bangsa dan negara. Padahal, kalau hendak berdamai dengan Belanda, bangsawan perkasa yang sangat dikenal oleh Belanda itu dijamin dapat duduk megah di singgasana mewah seraya menikmati harta yang berlimpah sepanjang hayatnya. Bahkan, anak-cucunya pasti akan dipelihara tanpa kurang suatu apa. Baginda bukanlah jenis pemimpin oportunis, berkarakter bejat, dan berperilaku sesat. Baginya lebih mulia syahid di medan juang daripada negeri dan bangsanya dikuasai oleh penjajah dan para keparat. Dengan demikian, Raja Haji Fisabilillah telah menunaikan baktinya secara bermartabat. Sebagai pemimpin sejati, Baginda memang sepatut-patutnya sepanjang masa diikuti dan dikenang oleh seluruh rakyat.***

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top