Kota Tanjungpinang Tahun 1939

Tersebab bentangan geografisnya yang terdiri dari daratan dan lautan, Residentie van Riouw (nama Kepulauan Riau pada zaman Belanda), pernah dijuluki oleh seorang penulis sebagai Zeeland-nya Hindia Belanda (Riouw, het Indische Zeeland).

Julukan ini diberikannya karena, sama seperti Kepulauan Riau, Zeeland adalah sebuah provinsi paling barat di negeri Belanda yang wilayahnya juga terdiri dari laut (zee) dan daratan (land).

Oleh redaktur surat kabar berbahasa Belanda, Soerabaiasch-Handelsblad, yang terbit di Surabaya, penulis tak dikenal (anonymous) itu dicatat sebagai onzen correspondent (koresponden kami di Riau, Tanjungpinang). Ia berangkat dari Pulau Jawa menggunakan kapal “Java” milik K.P.M. (Koninklijke Paketvaart-Maatschappij, Perusahaan Perlayaran Kerajaan Belanda), dan tiba di Tanjungpinang yang ia sebuat sebagai “rumah masa depannya” (mijn toekomstige woonplaats) pada bulan Februari 1939.

Besar kemungkinan koresponden surat kabar Soerabaiasch-Handelsblad itu adalah orang Belanda yang pindah tugas ke Tanjungpinang. Kesan pertamanya tentang Kota Tanjungpinang yang bersih, indah, rapi, dengan kenyamanan yang modern pada tahun 1939, digambarkannya dalam sebuah reportase yang menarik untuk disimak.

Berikut ini kesan apa adanya dari seorang yang pertamakali datang ke Tanjungpinang dan berkeliling menjelajahi sudut-sudut menarik kota ini pada tahun 1939. Diterjemahkan dan dikemas semula dari sebuah reportase yang ditulis dalam bahasa Belanda, yang dimuat dalam surat kabar Soerabaiasch-Handelsblad edisi 13 Februari 1939. Selamat membaca!

Padangan Pertama

Di luar teluk, yang terhalang oleh Pulau Penyengat, “Java Baot” milik K.P.M. labuh jangkar. Perahu-perahu motor mengepulkan asapnya dan mendekat. Di kejauhan tampak kota rumah masa depan saya.

Saya telah membaca uraian tentang kota itu dalam buku “Wijsheid en Schoonheid uit Indië” (Kemolekan dan Kearifan dari Hindia Belanda) karya Henri Borel, sehingga saya tahu satu bagian dari kota tersebut dibangun di atas bukit: tempat di mana seseorang dapat melihat pemandangan yang indah ke teluk yang terhampar Pulau Penyengat.

Bukit itu terlihat jelas dari laut. Rumah-rumah modern dibangun di lereng-lerengnya, dan tersembunyi di antara pohon-pohon cemara. Bagian atas rumah-rumah itu ditutupi atap genteng merah yang besar. Selanjutnya adalah bangunan Fort Kroonprins (Benteng Putra Mahkota), di mana terdapat tangsi dan barak-barak militer di dalamnya.

Di kaki bukit itu terdapat sebuah jembatan, di mana di ujungnya dibanguan sebuah dermaga beratap. Sementara itu, di bagian dalam teluk orang akan bertemu dengan lalu lalang perahu motor yang mengesankan kehidupan. Sebuah kontras yang kentara dibandingkan dengan kebanyakan kota di Pulau Jawa.

Di kaki bukit ini terdapat juga bangunan rumah Resident Riouw dan daerah takluknya (Gedung Daerah), dengan sebuah taman yang besar, yang terawat dengan baik. Selain itu, di tempat ini ada juga sebuah bangunan bertingkat yang menarik perhatian, dengan rupa yang sangat bersih. Merupakan kantor keresidenan.

Di belakangnya, tepatnya disamping bukit itu berdiri pula sebuah bangunan Gereja Katolik Roma (Rooms Katholieke Kerk) yang modern dan bagus. Dari dermaga itu, pemandangan sekeliling luar biasa bagusnya.

Kesan Pertama

Adalah suatu yang mengejutkan. Taman-taman umum dan tanaman pagar di pinggir jalan, dan juga bagian-bagian kecil lainnya, memperihatkan kesan dirawat. Menambah kebersisihan kota kecil ini. Jalan utama di Kampung Cina yang berada di sebelah kiri kawasan rumah Resident Riouw juga bersih, dimana terletak bangunan agen K.P.M yang dibangun dengan gaya modern di sebelah bangunan Pesanggerahan.

Bangunan Pesanggerahan itu dilengkapi dengan kursi rotan ultra-modern (ultra-moderne rotanzitjes) yang terkesan menyenangkan. Hanya saja kekurangannya, ketika masuk ke kamar tidur, tempat tidur modernya berada dalam sebuah kamar penuh nyamu

Ini adalah kesan pertama saya tentang Tanjungpinang. Kemudian, pada hari itu juga sekali lagi saya menjajaki tempat tinggal baru saya itu.

Jalan raya di Kampung Cina adalah satu kesatuan yang harmonis; seluruh bangunan rumah bertingkat di kedua sisi jalan itu sama bentuknya, semua dilengkapi dengan serambi depan tempat orang berjalan kaki. Sejak zaman dulu kedua sisi jalan ini membentuk galeri pertokoan, seperti di Jalan Tunjungan di Surabaya, dan seperti yang dibanguan di tepi-tepi jalan di Singapura.

Kampung Pelantar

Di sepanjang bagian belakang jalan raya Kampung Cina ini, dan laut di pinggir teluknya adalah kampung Cina yang teletak diatas tiang-tiang. Melintang diantara lantai papan yang disebut plantars, dan tak henti-hentinya dilintasi oleh gadis-gadis Tionghoa yang jenaka dalam balutan baju piyama warna hijau, biru, dan merah jambu. Mereka berjalan dengan irama gemeletak terompah bakiak Singapura yang dipernis berwarna.

Perempuna-perempuan yang lebih tua kebanyakannya memakai baju hitam yang dikenal sebagai Baju Jawa. Tak seorang pun dari mereka berbahasa Melayu, semuanya berbahasa Tionghoa. Pada beberapa toko, orang-orang Tionghoa itu ada yang dapat berbahasa Belanda dengan benar, karena disini ada H.C.S. [Hollandsch Chinese School yang kemudian menjadi Holandsch Inlandsche School atau H.I.S, dan kini bangunan menjadi gedung Museum Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah]

Bila tamat dari sekolah itu, dan ingin melanjutkan pelajarannya, selalu tergantung pada Pulau Jawa atau Medan, dimana anak-anak itu harus berangkat dengan K.P.M dan biayanya mahal.

Akibatnya, mereka masuk ke sekolah Tionghoa (Toan Poon School) dimana mereka dapat tambahan pelajaran bahasa Inggris, dan kemudian dapat melanjutkan sekolah ke Singapura dimana keluarga dan teman mereka tinggal. Tambang kapal yang termurah ke Singapura hanya 10 sen.

“Kampung Eropa”

Di bagian bukit Tanjungpinang, jaringan jalan melingkar-lingkar, tempat dimana sebagian besar rumah orang-orang Eropa berada. Kawasan khusus ini mempunyai pemandangan yang bagus dan dapat menjadi contoh perencanaan jalan yang menurut kaidah akal. Perencaan jalannya sekelas Kotrapraja (stadsgemeente) atau kawasan ibukota kabuten (Regentschapshoofdplaats) di pegunungan Pulau Jawa. Sementara itu, di sepanjang kawasan Heerenstraat (Jalan Teuku Umar) indah ditanami dengan pohon Pinang Raja (koningspalmen).

Meskipun Tanjungpinang berpenduduk sekitar 7000 jiwa, kota ini mempunyai jaringan pipa air ledeng yang dikelola oleh sebuah lembaga khusus pengelola keuangan kota yang disebut stadsfonds.

Sebagai perbandingan, jumlah penduduk Kotapraja (Stadsgemeente) Pekalongan yang jumlah pendudknya sepuluh kali lebih besar masih menanti semua fasilitas itu.
Di Tanjungpinang ada jaringan telepon yang mulai masuk tahun 1939, ada douane (kantor Bea-Cukai), ada kuda, sapi, dan “warung makan berjalan” (“wandelende warongs”) dengan tahu, soto, dan makanan lezat lainnya.

Orang Melayu

Satu kesan pertama saya tentang orang Melayu. Sebagian besar berjalan dengan rapi, hampir seperti orang Sunda: celana putih kaku yang dikanji mengkilap, rapi, dengan sepatu dan kaus kaki, ditambah sehelai kemeja polo dengan lengan digulung. Persis seperti anak muda India di kota-kota di Pulau Jawa .

Golongan laki-laki Melayu yang terhormat selalu memiliki jam di pergelangan tangan kirinya, dan kebanyakan dari mereka berjalan dengan sekaleng rokok buatan Inggris di tangan kanannya. Semua dapat dibeli dengan mudah ”sebab tiada ada duty” (karena semuanya tidak kena pajak). Parfum juga disukai karena alasan yang sama.

Tidak ada gadis-gadis Tionghoa yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (huisbedienden) di Tanjungpinang. Selalunya yang menjadi tukang cuci adalah orang Jawa dan Sunda. Di kota ini, seorang pembantu yang baik berharga bagaikan emas.***

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top