ADAT-ISTIADAT bangsa Melayu yang masih wujud dan kekal sampai setakat ini merupakan warisan Kesultanan Melayu pada masa lalu. Adatlah, antara lain, yang menghubungkan orang Melayu modern dengan nenek-moyang mereka, pendiri dan peneraju (pemerintah) Negeri-Negeri Melayu pada masa lalu. Seperti diakui oleh banyak pemerhati, termasuk pemerhati asing, Melayu tergolong bangsa yang banyak menghasilkan pemimpin yang bermutu.
Ukuran kejayaan mereka umumnya pada perhatian yang sangat besar terhadap kemajuan negeri dan kesejahteraan rakyat tanpa pilih kasih. Untuk mencapai matlamat itu, mereka rela berlawan dengan sebarang pihak yang hendak mengganggu Melayu dan negerinya, sesiapa pun itu akan disapu bersih. Oleh sebab itu, bangsa penjajah, Belanda dan Inggris misalnya, tak mudah menaklukkan Negeri-Negeri Melayu karena pemimpin dan rakyatnya, selain dikenal gagah-berani, persebatiannya tak terpisahkan karena telah bertindih kasih.
Semua kearifan itu tertuang di dalam adat-istiadat terala. Setiap orang mengikutinya dengan suka-cita. Lari dari kewajiban membela negeri dan bangsa, misalnya, merupakan aib dalam adat Melayu sehingga pelakunya dianggap dayus dan mempermalukan bangsa. Apatah lagi, jika dia yang menjadi pengkhianat bangsanya. Kehidupan orang yang disebut terakhir itu tak pernah selesa walaupun mungkin saja dia kaya. “Hendaklah berjasa kepada yang sebangsa,” (Haji, 1847).
Kewujudan adat sebagai institusi yang mengatur dan menuntun perilaku hidup dilandasi oleh keinginan bangsa Melayu untuk hidup berperaturan. Dengan adanya adat-istiadat, kehidupan mereka menjadi teratur sesuai dengan keberadaannya sebagai makhluk yang berakal budi dan beradab pekerti. Adat Melayu yang mampu bertahan lama menjadi bagian dari kearifan dan tamadun bangsa Melayu yang menjadi pemilik sahnya. Merekalah yang menemukan, merancang, menggunakan, dan memeliharanya secara turun-temurun. Pada gilirannya, adat-istiadat yang memenuhi kualitas al-adat al-maghrifah itu memiliki daya tangkal terhadap segala anasir budaya luar dan asing negatif, yang tak sesuai dengan nilai-nilai tamadun bangsa Melayu.
Maka, semua aktivitas bangsa Melayu ada adatnya. Adat mengatur kehidupan mereka sejak masih di dalam kandungan ibunya lagi sampai meninggal dunia. Dengan demikian, orang hamil selanjutnya melahirkan ada adatnya, makan dan minum ada adatnya, bermain dan belajar ada adatnya, bekerja dan beribadah ada adatnya, berehat dan tidur ada adatnya, dan seterusnya. Bahkan, orang sakit kemudian meninggal pun disempurnakan adatnya. Karena adat-istiadat yang mengadati itulah, menurut orang Melayu, seseorang berhak menyandang dan diklasifikasikan sebagai manusia.
Jenis-jenis adat Melayu berperingkat-peringkat sesuai dengan kedudukannya. Adat Sebenar Adat lebih tinggi kedudukannya daripada Adat yang Diadatkan dan Adat yang Teradat. Adat yang Diadatkan lebih tinggi pula kedudukannya daripada Adat yang Teradat. Dan, setiap jenis adat itu tak boleh bertentangan. Oleh sebab itu, seandainya nilai-nilai Adat yang Diadatkan menyimpang dari nilai-nilai Adat Sebenar Adat, maka penerapannya dalam kehidupan berbangsa akan dilawan dan atau diabaikan oleh masyarakat adat Melayu walaupun ianya berasal dari penguasa semasa (yang memerintah kala itu). Ingatlah, perlawanan Hang Jebat dan Laksemana Megat Seri Rama kepada raja mereka masing-masing.
Ikhwal berkenaan dengan penyelenggaraan pemerintahan negeri pun dilingkupi oleh adat-istiadat. Bahkan, Raja Ali Haji rahimahullah mengingatkan para pemimpin untuk mempertahankan tradisi dan adat-istiadat yang baik. Segala peraturan yang diterapkan dalam pemerintahan sejak dahulu telah teruji dan terpuji dalam menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih wajib dipertahankan. Bukti baiknya tujuan bernegeri dan berpemerintahan tercapai, yakni negeri kuat, makmur, aman, dan sentosa. Begitu pula, rakyat sejahtera dan hidup bahagia zahir dan batin. Di dalam syair Syair Abdul Muluk (Haji, 1846) dikemukakan nasihat yang berkenaan dengan perkara itu.
Anakku duduk memangku negeri Baik-baik memeliharakan diri Jangan diubah adat yang bari Supaya ramai dagang santeri
Bait syair di atas adalah bagian dari kisah Sultan Abdul Hamid Syah (Sultan Negeri Barbari) berwasiat kepada anakandanya, Abdul Muluk, menjelang kemangkatannya. Adat yang bari dalam nasihat itu adalah ‘adat yang baik, luhur, dan mulia yang telah sedia ada sejak dahulu kala’. Kemampuannya bertahan lama membuktikan bahwa adat itu tahan uji dan kaya prestasi.
Itulah Adat Sebenar Adat. Nilai-nilainya bersumber dari firman Allah dan sabda Rasulullah. Itulah pula amanat Raja Ali Haji melalui tokoh-tokohnya dalam karya sulung beliau. Dengan demikian, pemimpin yang setia memegang adat yang terala dalam menyelenggarakan pemerintahan akan mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik. Begitulah keyakinan bangsa Melayu semenjak dahulu.
Kisah pun berlanjut. Sampai takdirnya, Sultan Abdul Hamid pun mangkatlah. Berakhir pula tanggung jawab dan baktinya di dunia. Tinggal menanti satu episode lagi: perhitungan akhirat yang telah dijanjikan oleh Allah. Walaupun begitu, keberadaan negeri harus terus berlanjut karena dunia belum kiamat. Keperluan orang-orang yang masih hidup wajib diurus secanggih mungkin. Sesuai dengan adat-istiadat dan hukum di negeri beraja-raja (monarki absolut), Abdul Muluk menggantikan ayahandanya menjadi Sultan Negeri Barbari. Inilah dilakukannya pada hari-hari pertama pemerintahannya?
Kisah nin tidak dipanjangkan Abdul Muluk naik kerajaan Perintah negeri tiada diubahkan Betapa adat ayahanda sultan
Ternyata, komitmen yang dipegang teguh dan diimplementasikan oleh Abdul Muluk dalam penyelenggaraan pemerintahannya adalah mengikuti wasiat ayahandanya. Dalam hal ini, dia tak mengubah atau hanya meneruskan saja semua kebijakan dan program-program yang baik yang telah diterapkan oleh pendahulunya (Betapa adat ayahanda sultan). Menurutnya, untuk apa diubah segala sesuatu jika memang sudah baik? Buktinya, kebijakan dan program yang diterapkan itu memang memakmurkan negeri dan menyejahterakan rakyat.
Seyogianya, yang diubah adalah kebijakan dan program yang belum sangkil dan mangkus. Itulah peran Adat yang Diadatkan, yaitu pemikiran pemimpin semasa (kala itu) untuk membenahi segala sesuatu yang dirasakan kurang mengena pada sasaran dan matlamatnya. Dengan demikian, terjadilah kesinambungan dalam penyelenggaraan pemerintahan negeri dan atau negara.
Kita sering terpana oleh mantra yang ditiupkan oleh orang luar, bangsa asing, dari kejauhan yang tak jarang menyusupkan udang besar di sebalik batu. Mempertahankan sebagian apatah lagi seluruh kebijakan dan program-program pemimpin terdahulu dianggap aib sehingga dibuatlah sesuatu yang baru, yang harus berbeda dari sebelumnya, terkadang justeru mengada-ada. Dalam hal ini, pemerintah baru seolah-olah memimpin negeri atau negara baru, padahal wilayah dan rakyatnya tetap yang lama, dengan duka-lara dan derita yang juga lama.
Anehnya, dalam banyak kasus, penyelenggaraannya tetap dengan langgam yang lama, terutama yang negatifnya. Apakah itu? Korupsi, misalnya, tak perlu jauh-jauh, sekitar-sekitar itu saja. Kesemuanya itu menunjukkan bahwa kebijakan dan program baru dengan orang-orang yang juga baru sama gagalnya, hanya berbeda cara berbantahnya. Entah mengadopsi adat dari mana pula itu.
Nah, kalau benar-benar hendak kembali ke laut, ikutilah adat berlaut yang bermutu. Jika tidak, bahaya sudah pasti menunggu. Itulah keyakinan bangsa Melayu. Pasalnya, di laut itu banyak hantu.***