BAHASA Melayu yang telah pesat perkembangannya, dan mencapai puncaknya pada masa Kesultanan Riau-Lingga, semakin berkembang setelah Indonesia merdeka. Dalam pada itu, perannya sebagai pemerkokoh persatuan bangsa Indonesia semakin mengemuka pula. Dengan demikian, sangat bijaksana pernyataan Dr. H. Muhammad Hatta, Wakil Presiden I Republik Indonesia (RI) pada 1979 dan K.H. Abdurrahman Wahid, Presiden ke-4 RI, pada 29 April 2000 bahwa tanpa jasa Raja Ali Haji, Pahlawan Nasional RI dan Bapak Bahasa Indonesia, bangsa Indonesia belum tentu menjadi bangsa yang kokoh seperti sekarang ini (Malik, 2019).
Bahasa Melayu Kepulauan Riau atau Bahasa Melayu Tinggi memang sejak 28 Oktober 1928 disebut dengan nama politisnya, bahasa Indonesia, berdasarkan kesepakatan yang tertuang di dalam Sumpah Pemuda, hasil Kongres II Pemuda Indonesia di Jakarta. Setelah resmi digunakan sebagai bahasa perjuangan, bahasa Melayu (nama linguistisnya) atau bahasa Indonesia (nama politisnya) telah memberikan kontribusi nyatanya dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, hanya 17 tahun setelah diikrarkan.
Selain pelbagai ragamnya, ragam ilmiah bahasa Indonesia pun mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. Perkembangan yang menggembirakan itu sejalan dengan berkembangnya institusi pendidikan tinggi di negara kita yang memang bertugas mengembangkan tradisi ilmiah dalam tridarmanya.
Kegiatan-kegiatan ilmiah itu mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia ragam ilmiah. Selain itu, perkembangan lembaga-lembaga pendidikan dari pendidikan dasar sampai dengan pendidikan menengah pun makin menggencarkan perkembangan bahasa Indonesia ragam ilmiah karena semua mata pelajaran di sekolah menggunakan buku-buku berbahasa Indonesia baku ragam ilmiah dan para pendidik menyampaikan pelajaran secara lisan juga harus menggunakan bahasa Indonesia baku ilmiah.
Lembaga khusus pengembang dan pembina bahasa yang didirikan oleh Pemerintah Indonesia pun sangat penting perannya dalam pengembangan dan pembinaan bahasa Indonesia ragam ilmiah. Dalam sejarah perjalanannya, lembaga pembina bahasa itu berganti-ganti namanya.
Pada menjelang akhir pemerintahannya, 1930-an, Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan Lembaga Pendidikan Universiter, Kantoor voor Inlandsche Zaken, en Oudheidkundige Dienst. Selanjutnya, setelah Indonesia merdeka, Fakultas Sastra dan Filsafat di bawah naungan Departemen van Onderwijs, Kunsten en Wetenschappen (Kementerian Pengajaran, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan) meresmikan pembentukan Instituut voor Taal en Cultuur Onderzoek (ITCO) pada 1947, yang bertujuan menampung kegiatan ilmiah universitas, terutama dalam bidang bahasa dan kebudayaan. Pada 1952 ITCO digabung dengan Bagian Penyelidikan Bahasa, Balai Bahasa Yogyakarta, menjadi Lembaga Bahasa dan Budaya.
Dalam perkembangan selanjutnya, di bawah Jawatan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan diresmikan Balai Bahasa pada Maret 1948 di Yogyakarta berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Nomor 1532/A tanggal 26 Februari 1948. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 1 Agustus 1952, Balai Bahasa digabungkan menjadi bagian Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Tugas Balai Bahasa itu dilaksanakan oleh Lembaga Bahasa dan Budaya, yang merupakan gabungan dari Lembaga Penyelidikan Bahasa dan Kebudayaan (ITCO) dan Bagian Penyelidikan Bahasa, Balai Bahasa, dan Jawatan Kebudayaan.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 69626/B/S, 1 Juni 1959, Lembaga Bahasa dan Budaya berganti nama menjadi Lembaga Bahasa dan Kesusastraan. Sejak itu lembaga tersebut beserta cabangnya terlepas dari Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, dan langsung di bawah Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan.
Nama lembaga itu selanjutnya berubah lagi. Berdasarkan Surat Keputusan Presidium Kabinet Nomor 75/V/Kep/i/1966, 3 November 1966 Lembaga Bahasa dan Kesusastraan diubah namanya menjadi Direktorat Bahasa dan Kesusastraan. Perubahan nama tak berhenti sampai di situ. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 034/1969 Tahun 1969, mulai 24 Mei 1969 nama Direktorat Bahasa dan Kesusastraan diubah menjadi Lembaga Bahasa Nasional. Lembaga itu kemudian diganti lagi namanya menjadi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 dan 45 Tahun 1974. Selanjutnya, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 010/ MPN.A2/KP/2000, 25 Juli 2000, nama Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa diubah menjadi Pusat Bahasa.
Pada 2009 Pemerintah dan DPR RI periode 2004—2009 mengesahkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 dan Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara, Pusat Bahasa berganti nama menjadi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dan berada di bawah Kementerian Pendidikan Nasional, yang selanjutnya kementerian itu berubah nama pula menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Terkini, lembaga itu berubah lagi namanya menjadi Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan. Perubahan itu dilakukan karena struktur organisasi di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan diubah berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 101 Tahun 2018. Dalam hal ini, Pusat Perbukuan digabungkan dengan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa sehingga nama lembaganya pun disesuaikan pula.
Dalam perjalanannya, lembaga pengembang dan pembina bahasa yang dibentuk oleh pemerintah itu sangat banyak melakukan pembakuan bahasa Indonesia. Sudah tentu pula produk pembakuan itu sangat membantu perkembangan bahasa Indonesia ragam ilmiah. Di antara produk yang dihasilkan oleh lembaga bahasa itu adalah ejaan baku, pedoman pembentukan istilah, tata bahasa baku (sejak 1988), pedoman teknis penulisan karya ilmiah, kamus umum, kamus istilah pelbagai bidang ilmu, glosarium, dan lain-lain.
Khusus mengenai ejaan baku, ada kesepakatan di antara tiga negara yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Kesepakatan itu merupakan perkembangan yang sangat membanggakan dalam pemakaian bahasa Melayu atau bahasa Indonesia, khasnya ragam tulis baku sejak negara-negara yang menggunakan bahasa Melayu itu merdeka. Pada Sidang ke-30 Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia, 4—6 Maret 1991 di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, telah disepakati penggunaan ejaan baku bersama ketiga negara itu (Ali, (Ed.) 1997, 1147), yang sudah tentu pula diikuti oleh Singapura dan Thailand Selatan dalam penulisan bahasa Melayu. Kesepakatan itu memungkinkan penulisan bahasa Melayu di negara-negara itu menjadi seragam sehingga memudahkan pengguna bahasa Melayu atau bahasa Indonesia dalam membaca dan menulis dalam bahasa tersebut. Di Indonesia ejaan baku itu disebut Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.
Upaya serupa juga dilakukan oleh perguruan tinggi di seluruh tanah air dengan kuantitas dan kualitasnya yang beragam. Penelitian-penelitian ilmiah yang dilakukan oleh perguruan tinggi di Indonesia yang dimuat dalam laporan penelitian dan jurnal ilmiah sangat membantu perkembangan bahasa Indonesia ragam ilmiah. Berhubung dengan itu, dalam perkembangan selanjutnya Kemenristek Dikti (2014-2019) mendapat banyak kritik karena lebih mengutamakan bahasa asing (yang diakui oleh PBB, terutama bahasa Inggris) dalam penulisan artikel ilmiah.
Upaya para sarjana secara perorangan pun memberikan sumbangan yang positif. Para sarjana tersebut telah menulis dan menerbitkan buku-buku ilmiah dan semi-ilmiah pelbagai bidang ilmu, kamus, tata bahasa, ensiklopedia, dan lain-lain juga ikut meningkatkan perkembangan bahasa Indonesia ragam ilmiah.
Peran media massa, khususnya media cetak, yang berkembang begitu pesat juga sangat berarti dalam perkembangan bahasa Melayu atau bahasa Indonesia ragam ilmiah. Media-media itu telah mengembangkan dan atau menyebarkan tulisan ilmiah, semi-ilmiah, dan ilmiah populer dalam pelbagai bidang yang menggunakan bahasa ragam ilmiah. Bahasa yang digunakan oleh media massa itu lebih cepat diakses oleh masyarakat.
Perkembangan bahasa Indonesia ragam ilmiah yang begitu pesat dan cenderung menggembirakan bukanlah tanpa catatan sama sekali. Dalam pembakuan istilah, misalnya, disebutkan ada tiga sumber pembentukan istilah bahasa Indonesia. Ketiga sumber itu adalah (1) kosakata bahasa Indonesia, (2) kosakata bahasa serumpun, dan (3) kosakata bahasa asing (Ali, (Ed.) 1997, 1165-1166). Yang dimaksudkan kosakata bahasa Indonesia pada (1) adalah bahasa Melayu, sedangkan bahasa serumpun pada (2) adalah bahasa daerah.
Malangnya, dalam pelaksanaannya pengembangan istilah baku bahasa Indonesia dewasa ini cenderung lebih banyak diambil dari sumber bahasa daerah dan bahasa asing daripada bahasa Melayu itu sendiri. Sumber istilah dari bahasa daerah (bahasa serumpun) didominasi oleh bahasa daerah tertentu saja, yakni bahasa Jawa. Gejala itu menunjukkan kemiripan dengan pembinaan bahasa Indonesia pada masa Pemerintah Kolonial Jepang sebagaimana yang diamati oleh Mees (1957).
Tak setakat istilah saja, bahkan, struktur kalimat bahasa Indonesia pun cenderung hendak dipaksakan untuk mengikuti struktur bahasa daerah. Upaya sistematis dan terencana itu terus saja berlangsung dari waktu ke waktu dalam perjalanan pengembangan dan pembinaan bahasa Indonesia.
Catatan lainnya juga sangat merisaukan. Gejala pengingkaran bahasa Indonesia adalah juga bahasa Melayu sangat ketara dalam Politik Bahasa Nasional dan Kebijakan Bahasa Nasional setakat ini. Dalam Politik Bahasa Nasional, bahasa Melayu dimasukkan ke kelompok bahasa daerah. Dalam pada itu, kendatipun tak secara kasar mendepak bahasa Melayu, Kebijakan Bahasa Nasional memandang bahasa Melayu sebagai bahasa tersendiri, di luar bahasa daerah (Alwi dan Sugono, (Eds.) 2003, xii) dan tentu pula di luar bahasa Indonesia. Dengan demikian, sesuai dengan kebijakan itu, di Indonesia dianggap ada tiga kelompok bahasa, yaitu (1) bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa nasional dan bahasa negara, (2) bahasa Melayu, dan (3) bahasa-bahasa daerah.
Praanggapan yang melatari perlakuan terhadap bahasa Melayu oleh Politik Bahasa dan Kebijakan Bahasa Nasional itu adalah setelah menjadi bahasa Indonesia (yang padahal hanyalah nama politis belaka!), perkembangan bahasa Melayu tak akan sepesat perkembangan bahasa Indonesia. Dengan ungkapan yang lebih lunak, biasa disebut bahasa itu mengalami perkembangan yang berbeda.
Sabit di akalkah praanggapan itu? Sudah menjadi wataknya yang asli bahwa bahasa Melayu itu sangat dinamis sehingga mampu mencapai taraf bahasa internasional. Oleh sebab itu, bahasa Melayu akan tetap berkembang pesat sesuai dengan kemajuan zaman walaupun tak diubah namanya menjadi bahasa Indonesia, bahkan sangat mungkin jauh lebih berkembang sebagai bahasa modern jika tak “diangkat” sebagai bahasa Indonesia. Buktinya, perkembangan bahasa Melayu di Brunei Darussalam, Malaysia, dan Singapura tak kalah kuantitas dan kualitasnya dari bahasa Indonesia, termasuk ragam ilmiahnya.
Lagi pula, kenyataan empirisnya setiap penutur bahasa Melayu ketika menulis, misalnya, mereka menulis dalam bahasa Melayu. Dalam lingkup yang lebih luas, dalam hal ini masyarakat Indonesia umumnya, tulisan mereka itu pasti dipahami sebagai bahasa Indonesia. Kolom Jemala ini, misalnya, saya tulis dalam bahasa Melayu baku. Siapakah yang dapat membedakannya dengan bahasa Indonesia? Dengan demikian, bagi bangsa Indonesia yang penutur asli bahasa Melayu, tak ada bedanya antara bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, khususnya ragam baku, termasuk ragam ilmiah. Akan berbeda halnya memang jika yang dimaksudkan itu bahasa percakapan dalam komunikasi takresmi, yang dalam “bahasa Indonesia” pun—kalau itu dianggap bahasa Indonesia—sangat banyak ragamnya.
Bahasa Melayu ragam ilmiah telah berkembang sejak lama. Ragam ilmiah telah digunakan sejak zaman Kerajaan Sriwijaya sampai pada masa bangsa-bangsa yang menggunakan bahasa Melayu itu merdeka dari penjajahan bangsa Barat dan Jepang sekarang. Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahasa Melayu-Indonesia ragam ilmiah akan terus berkembang ke depan ini. Terus berkembang memang menjadi watak bahasa Melayu!
Di Indonesia pembinaan dan pengembangan bahasa Melayu ragam ilmiah kali pertama dilakukan oleh Raja Ali Haji rahimahullah (1808-1873) dan para pelanjutnya pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Upaya itu dilanjutkan pada masa penjajahan Belanda. Selanjutnya, setelah Indonesia merdeka pengembangan dan pembinaan bahasa ragam ilmiah dilakukan oleh Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan (atau nama-nama lain bagi lembaga itu sebelum ini), lembaga pendidikan tinggi di seluruh Indonesia, termasuk lembaga pendidikan di bawahnya dalam hal penyebaran ragam ilmiah itu, media massa, dan orang perorangan.
Dalam kerja sama bahasa yang dilakukan oleh negara-negara yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional—khususnya Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam—baru satu aspek saja yang disepakati untuk digunakan kaidah yang sama yaitu ejaan baku. Unsur lain yang sebetulnya juga sangat mustahak, yang baru disepakati adalah “bersepakat untuk tak bersepakat”, suatu ungkapan politis yang seyogianya tak digunakan dalam pembinaan dan pengembangan kebudayaan.
Keadaan itu sangat berbeda dengan perkembangan bahasa modern seperti bahasa Inggris. Bahasa Inggris yang digunakan di Inggris, Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru; ragam ilmiahnya sama. Itulah sebabnya, agaknya, bangsa-bangsa penutur asli bahasa Inggris cepat maju. Sebaliknya, kita cenderung sekadar “menumpang” kemajuan mereka, lebih-lebih dalam pengembangan ilmu-pengetahuan dan teknologi.
Nah, kita sebetulnya hendak ke mana? Lalu, masihkah kita mengapresiasi pemikiran, perjuangan, dan jasa para pendahulu yang telah bertungkus lumus berjuang dan berkorban dalam mempersatukan bangsa yang besar ini? Selamat memperingati Hari Sumpah Pemuda serta Bulan Bahasa dan Sastra 2019. Jayalah Indonesia!***