TAK terasa waktu begitu pantas berjalan. Kini telah sampai pula kita pada pekan terakhir Ramadan. Semoga pekan terakhir bulan yang penuh berkah ini memungkinkan kita untuk melaksanakan seluruh rangkaian ibadah yang dianjurkan oleh Allah Yang Maha Rahman. Tentulah kesemuanya itu kita laksanakan agar segala dosa diampunkan oleh Tuhan.
Bersempena Ramadan yang penuh berkah ini, ungkapan sastra yang selalu melekat di hati sanubari setiap orang adalah ini.
Barang siapa meninggalkan puasa tidaklah mendapat dua termasa
Sesiapa pun yang akrab dengan kesusastraan klasik Melayu pasti mengetahui dengan pasti bahwa ungkapan indah itu merupakan bait 3, Pasal yang Kedua, Gurindam Dua Belas (GDB), karya agung sastrawan, budayawan, pakar bahasa, ilmuwan, sejarawan, dan ulama termasyhur, Raja Ali Haji rahimahullah (RAH). Bersempena dengan pekan terakhir bulan suci Ramadan 1442 H. ini, bait khas GDB itu ada baiknya kita renungkan. Mudah-mudahan, dengan hidayah Allah, ianya dapat menuntun kita dalam menjalani kehidupan ini, khasnya dalam memaknai dan menunaikan ibadah puasa Ramadan.
Bait 3, Pasal yang Kedua, GDB itu menggunakan kalimat negasi yang ditandai dengan kata meninggalkan pada larik (baris) pertama dan kata tidaklah pada baris kedua. Kedua ungkapan negasi itu sengaja digunakan oleh RAH untuk menegaskan mustahaknya amanat yang terkandung di dalamnya. Puasa sebagai ibadah utama dalam Islam seyogianya diamalkan dengan ikhlas, jangan sekali-kali ditinggalkan, oleh umat Islam.
Pasalnya, di dalamnya terkandung hikmah dan anugerah Allah SWT berupa kenikmatan yang tiada bertara, baik dalam menjalani kehidupan di dunia yang fana maupun lebih-lebih sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat. Jadi, meninggalkan puasa, bukan hanya berdosa, melainkan juga menyia-nyiakan anugerah yang luar biasa dari Sang Pencipta. Anugerah istimewa itu pasti diberikan oleh Allah kepada makhluknya yang beriman dan bertakwa.
Kata termasa adalah kosakata bahasa klasik Melayu, yang di dalam bahasa modern Melayu dan atau bahasa Indonesia berubah bunyinya menjadi “tamasya”. Secara harfiah, artinya ‘keindahan’. Oleh sebab itu, dalam bahasa kita sekarang ada kata “bertamasya” yang bermakna ‘pergi melihat tempat-tempat yang indah-indah’. Secara konotatif, “termasa” atau “tamasya” dapat bermakna ‘kenikmatan, kebahagiaan, dan kegembiraan’.
GDB merupakan karya sastra, yang memanfaatkan ilmu agama (Islam) dan filsafat Melayu sebagai landasannya. Sebagai lazimnya karya sastra, GDB menggunakan kata-kata dan kalimat-kalimat tak hanya dengan makna harfiah, tetapi lebih-lebih mengandungi metafora, yang memerlukan daya interpretasi.
Di manakah letaknya tamasya, kenikmatan, keindahan, dan kegembiraan ibadah puasa? Ramadan adalah bulan pengampunan. Kedudukannya sangat istimewa jika dibandingkan dengan sebelas bulan yang lain. Pada bulan ini segala dosa yang dilakukan pada bulan-bulan yang lain akan diampuni Allah Yang Maha Pengampun. Asal syaratnya dipenuhi. Dalam hal ini, manusia benar-benar bertaubat dan melaksanakan rangkaian ibadah Ramadan dengan khusuk, ikhlas, dan hanya mengharapkan keridaan-Nya.
Tak ada motif lain dalam beribadah. Kesemuanya hanya bukti penghambaan diri secara tulus kepada Sang Khalik. Kita tinggalkan segala sifat, sikap, dan perilaku yang dapat membatalkan puasa dengan suka rela dan suka cita hanya karena mengharapkan keampunan dan keridaan-Nya.
Kegembiraan, kenikmatan, dan kebahagiaan itu jadi berlipat ganda manakala segala perilaku, sikap, dan sifat terpuji yang diamalkan selama Ramadan, kita tingkatkan terus-menerus pada bulan-bulan yang lain sampai kita bertemu kembali dengan Ramadan berikutnya. Alhasil, keberadaan kita sebagai manusia yang bertakwa tetap terpelihara, tanpa cela sedikit jua pun. Adakah kegembiraan, kenikmatan, dan kebahagiaan yang lebih tinggi daripada itu? Jika itu terjadi, manusia betul-betul mendapat anugerah dua termasa.
Bagi mereka yang biasa hidup serbacukup, apatah lagi sebamewah, menahan haus dan lapar sejak terbit fajar sampai terbenam matahari, bukanlah perkara yang mudah untuk dilaksanakan. Bagi mereka yang berasa tak pernah cukup, menahan diri dari “bergaul” dengan istri atau suami pada siang hari pun dapat menimbulkan perasaan tersiksa. Padahal, pada bulan-bulan yang lain kesemuanya halal dilaksanakan, tak siang ataupun malam. Apatah lagi, mengekang diri dari perbuatan yang memang selamanya diharamkan. Begitu pula, ketika berpuasa harus menahan hasrat untuk makan segala makanan lezat yang menerbitkan selera pada siang hari, yang baru boleh dinikmati kala terbenam matahari.
Akan tetapi, dengan hanya mengharapkan rida Allah untuk mencapai kualitas hamba yang bertakwa, orang beriman mampu melawan kesemuanya itu dengan baik, sempurna, dan anggun. Dia berjaya memerangi godaan hawa nafsu, musuh terbesarnya sepanjang hayat, karena tak ada intervensi iblis atau syaitan pada bulan Ramadan. Dia boleh menundukkan kepala seraya berucap syukur kepada Allah Azza wa Jalla karena telah mencapai taraf manusia yang sesungguhnya, sejati-jatinya manusia ciptaan Ilahi.
Kala itu pula mereka yang sungguh-sungguh beriman menginsyafi betapa beratnya kehidupan saudara-saudaranya yang selama ini hidup menderita karena serba kekurangan. Entah kurang sekadar makan dan minum, kesehatan, pendidikan, atau dan pelbagai keperluan hidup layak sebagai manusia. Dia lebih-lebih insyaf akan hinanya diri jika ternyata kekurangan saudara-saudaranya itu, justeru, disebabkan oleh campur tangan kotornya selama ini yang tak pernah puas memburu kenikmatan dunia, hanya untuk diri sendiri, kelompok sendiri, dan atau kaum sendiri. Entah karena kebijakan yang tak adil terhadap sesama anak bangsa, tipu-menipu, korupsi, dan pelbagai perilaku jenayah lainnya.
Dengan kesadaran itu, timbullah niat yang diikuti perbuatan nyata untuk menolong saudara-saudaranya agar keluar dari perangkap kesulitan hidup yang membelit sesuai dengan daya dan kemampuan yang dimilikinya. Dia betul-betul telah mendapatkan anugerah pencerahan karena menunaikan ibadah puasa dengan ikhlas dan benar. Kini dia menjadi sadar sesadar-sadarnya akan hikmah kearifan bangsanya, “Searang dibagi-bagi, sekuman dibelah-belah, ditimbang sama berat, diukur sama panjang.” Tak pernah lagi dia berani menyombongkan diri, “Sesiapa pun yang tak berkenan, mari berhadapan dengan saya!”
Inilah anugerah dua termasa utama bagi mereka yang berpuasa. Di dunia dia akan memperoleh kegembiraan, kenikmatan, dan kebahagiaan. Zahir dan batinnya senantiasa tercukupkan. Zahirnya tak pernah berasa kekurangan karena telah dicukupkan oleh Allah Taala. Batinnya lebih-lebih senantiasa bahagia, tak suatu apa pun yang mampu membuatnya tak selesa karena telah dijamin oleh Tuhan yang tiada tuhan selain Dia. Dengan predikat takwa yang dimilikinya, dia diberi laluan yang lempang untuk hidup bahagia di dunia.
Di akhirat pula kabar gembira telah tercatat dan menantinya di pintu surga. Dia berhasil meraih kebahagiaan sempurna sebagai makhluk yang mulia. Dia sungguh memperoleh kenikmatan tiada bertara, kembali ke surga tempatnya semula, yang sebelumnya harus ditempa dengan ujian dunia yang penuh tipu daya. Dengan kualitas iman dan takwa, dia berhasil melalui kesemuanya itu dengan kesatria dan mulia. Dialah yang tak menyia-nyiakan anugerah dua termasa.
Sebentar lagi Ramadan akan meninggalkan kita. Jika rezeki umur masih ada, tahun hadapan baru kita kembali bertemu dengannya. Sebelum dia pergi, ada baiknya diraih semua berkah yang disediakan oleh Allah di dalamnya. Selamat menikmati tamasya tiada bertara, anugerah dua termasa, karunia Allah Taala.***