PERKARA geografi teritorial, ekonomi, dan sosial-budaya merupakan masalah utama kawasan sempadan (daerah perbatasan). Kawasan ini riskan diintervensi oleh pihak asing menjadi masalah utama geografi teritorial. Secara ekonomi, daerah perbatasan cenderung tertinggal dibandingkan dengan negara jiran sehingga banyak penduduk yang memilih bekerja di negara tetangga.
Dari segi sosial-budaya, kaitan langsungnya, antara lain, dengan bahasa. Dalam kaitannya dengan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, fungsinya sebagai lambang kebanggaan dan identitas nasional paling erat kaitannya dengan masalah bahasa di daerah sempadan. Aspek ekonomi juga mempengaruhi pilihan orang terhadap bahasa.
Begitu pula dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, fungsinya sebagai bahasa resmi kenegaraan dan alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional serta kepentingan pemerintah harus mendapat perhatian. Pasalnya, kedudukan dan fungsi bahasa kita mendapat ancaman dari penggunaan bahasa asing untuk pelbagai keperluan. Oleh sebab itu, wibawa bahasa Indonesia dalam konteks itu harus di pertahankan jika marwah bangsa masih dianggap penting dan relevan dalam pergaulan kita dengan bangsa-bangsa sejagat.
Fungsi bahasa Indonesia sebagai lambang kebanggaan nasional mencermin kan nilai-nilai sosial-budaya yang mendasari rasa nasionalisme kita. Sebagai bangsa, kita seyogianya menyatakan marwah, jati diri, dan nilai-nilai budaya kita yang luhur sebagai pegangan hidup dengan menggunakan bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, kita senantiasa bangga menggunakan bahasa kebangsaan. Dengan fungsinya sebagai lambang identitas nasional, kita menyatakan karakter bangsa kita yang berbeda dengan bangsa lain melalui penggunaan bahasa Indonesia. Itulah yang dimaksudkan oleh Raja Ali Haji rahimahullah di dalam Gurindam Dua Belas, “Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihat kepada budi dan bahasa.”
Kita sepatutnya menunjukkan kehalusan budi sebagai karakter bangsa kita. Itu, antara lain, ditampilkan melalui bahasa yang digunakan dengan penuh kebanggaan. Budi itu sendiri mengacu kepada makna kecerdasan dan citra rohaniah yang berhimpun segala kebaikan dan kebajikan. Keduanya harus tercermin di dalam bahasa yang kita gunakan.
Dalam konteks sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia seyogianya secara konsisten digunakan dalam semua kegiatan kenegaraan, baik lisan maupun tulisan. Ianya tak perlu dicampur adukkan dengan bahasa asing yang tak perlu, apatah lagi kalau hanya sekadar penghias belaka.
Bahasa Indonesia sangat kaya akan ungkapan yang bernas dan indah, tak kalah hebatnya dari bahasa asing mana pun asal kita kreatif menggunakannya. Dalam fungsinya sebagai alat perhubungan pada tingkat nasional untuk pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan, tak ada alasan untuk menggunakan bahasa lain dalam komunikasi antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat serta antara sesama anggota masyarakat dalam pergaulan nasional.
Penjabaran dari kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia itu tertuang di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 (UU No. 24/2009). Pengaturan tentang bahasa di dalam undang-undang itu terdapat pada Pasal 25 sampai dengan Pasal 45. Sesuai dengan gejala sosial yang berkaitan dengan penggunaan bahasa di daerah perbatasan, dipetik beberapa pasal yang terkait berikut ini.
“Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri” (Pasal 28). Ada gejala pejabat negara kita cenderung menyisipkan bahasa asing, walau hanya sepatah dua saja atau satu sampai dua kalimat saja dalam pidato resminya. Tak jelas tujuan penggunaan bahasa asing itu dalam pidatonya. Kuat dugaan kebiasaan itu dilakukan hanya sekadar untuk gengsi saja.
Kehebatan sebuah pidato bukan terletak pada bahasa asingnya, tetapi apakah materi yang disampaikan mengandungi kebenaran atau tidak dan bahasa yang digunakan tergolong benar dan baik atau tidak. Selain itu, sesiapa pun yang berpidato mestilah menguasai ilmu retorika dan psikologi massa. Penggunaan bahasa asing tak menaikkan gengsi pidato, apatah lagi kalau hanya sekadar sepatah dua yang disampaikan secara terpatah-patah pula. Tak terkesan pétah (lancar dan mahir)-nya sama sekali.
“Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam forum yang bersifat nasional atau forum yang bersifat internasional di Indonesia” (Pasal 32, ayat 1). Nyaris semua forum internasional di kawasan sempadan, bahkan tak sempadan juga, menggunakan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, termasuk promosinya melalui kain rentang, baleho, dan berita di media massa. Jelaslah kebiasaan itu merendahkan martabat bahasa dan bangsa kita di mata internasional serta menghambat perkembangan bahasa Indonesia bagi kalangan lebih luas, bangsa asing misalnya. Lagi pula, kebiasaan itu melanggar undang-undang.
“Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta” (Pasal 33, ayat 1). Kenyataan yang terjadi, justeru, sebaliknya. Para pekerja kita yang bekerja di perusahaan swasta asing harus menggunakan bahasa asing. Makin fasih seseorang pekerja menggunakan bahasa asing akan makin tinggi pula gajinya. Sangat jarang terjadi yang sebaliknya.
“Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia” (Pasal 36, ayat 3). Pasal 36 ayat (3) inilah yang paling banyak dilanggar setakat ini.
“Untunglah!” kata orang Melayu, kawasan wisata bahari Bawah Island di Kabupaten Anambas, Kepulauan Riau, yang dikelola oleh pihak asing masih menggunakan kata bawah. Jika tidak, kecuali segelintir masyarakat Anambas, pastilah orang-orang mengira pulau itu berada di negara asing. Apatah lagi, kawasan itu memang gencar hendak diakui oleh pihak asing sebagai milik mereka. Padahal, dengan tetap menggunakan nama Pulau Bawah, kawasan wisata bahari hebat itu tak berkurang mutu keindahannya.
Penggunaan bahasa asing di dalam pidato pejabat negara yang diilustrasikan di atas menunjukkan bahwa pejabat tersebut tak menghargai bahasa nasionalnya sendiri. Seyogianya, sebagai pejabat negara, dialah yang harus memberikan contoh terbaik kepada masyarakat. Dengan contoh buruk, masyarakat pasti mengira bahwa perilaku itu wajar dan tak melanggar undang-undang.
Penggunaan bahasa asing untuk pelbagai nama yang melanggar UU No. 24/2009 mengindikasikan seolah-olah bisnis di kawasan sempadan dikendalikan oleh pihak asing. Yang pasti, penggunaan bahasa asing di lingkungan masyarakat bahasa kita di dalam negeri tergolong merendahkan martabat bahasa dan kebudayaan nasional. Bahkan, gejala itu mengindikasikan melemahnya wawasan kebangsaan yang dapat berdampak pada hilangnya jati diri dan melemahnya karakter bangsa. Adakah karena hendak mendapatkan sedikit pembagian ekonomi, padahal sesungguhnya kita boleh mendapatkan sebanyak-banyaknya, kita rela kehilangan nasionalisme?
Gejala negatif penggunaan bahasa di kawasan sempadan merupakan pengaruh dari negara jirankah? Jawabnya, ternyata, di kota-kota besar Indonesia, terutama ibukota negara kita yang bukan daerah perbatasan, gejala serupa juga terjadi. Hal itu nyaris dianggap wajar, tanpa kritik, dan atau tindakan pencegahan sedikit pun dari pihak-pihak yang berwewenang.
Dari gejala yang dikemukakan di atas, nampaknya penggunaan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, untuk pelbagai nama itu cenderung mengarah kepada kesan modern dan mewah. Jika dugaan itu benar, bermakna bahasa Indonesia masih dianggap oleh sebagian bangsa Indonesia, bahkan pejabat negara, belum mampu menampilkan ciri kemodernan, kemewahan, dan karakter unggul.
Sikap negatif itulah yang memprihatinkan kita. Pasalnya, sesungguhnya bahasa Indonesia dapat mewakili konsep dan makna apa pun yang dikehendaki oleh penggunanya. Kesemuanya tergantung pada kemampuan, pemahaman, kemahiran, kreativitas, sikap, dan rasa setia bahasa bangsa Indonesia terhadap bahasa nasional dan bahasa negaranya. Dan, ingatlah, bahasa Indonesia yang mempersatukan kita sebagai bangsa.***