KISAH ini bermula dari Wazir Suka, seorang menteri Kerajaan Barbari. Riwayatnya tersurat di dalam Syair Abdul Muluk karya Raja Ali Haji rahimahullah. Dia menjadi wazir (menteri) karena menggantikan ayahandanya yang telah mangkat walau usianya masih sangat belia.
Ternyata, faktor usia tak menghalanginya untuk menjadi pemimpin yang terbilang. Ujian terhadap Wazir Suka datang ketika dia baru saja diberi amanah kepemimpinan. Tak lama setelah dia dilantik, negerinya dilanda kegentingan karena diserang oleh pasukan angkara murka Kerajaan Hindustan. Pemimpin Negeri Hindustan memang bernafsu bangat untuk menjajah Negeri Barbari yang makmur dan sejahtera di bawah pentadbiran pemimpin karismatiknya, Sultan Abdul Muluk, di samping upaya balas dendam karena kerabatnya—pedagang penipu—dihukum di Negeri Barbari.
Lazimlah memang setiap bangsa sesuatu negeri dan atau negara mendambakan seseorang pemimpin yang kuat dan berkualitas. Pasalnya, kadar kualitas pemimpin sangat menentukan maju-mundurnya negeri dan atau negara. Satu di antara sekian kualitas kepemimpinan yang didambakan itu adalah kesediaannya membela rakyat. Betapa tidak? Di bawah pemimpin yang ikhlas membela merekalah, rakyat dapat dan mampu mengembangkan kreativitas dan inovasi untuk mencapai matlamat sejahtera dan bahagia tanpa rasa takut dan atau tertekan. Jika pemimpin dengan kualitas itu telah hadir, dia akan dipertahankan oleh rakyat dengan sekuat dapat. Sebaliknya pula, kalau belum juga ditemukan pemimpin dengan kualitas hebat itu, kehadirannya senantiasa dan terus dinantikan oleh rakyat dengan penuh harapan dan doa setiap saat.
Mendengar titah wazir terbilang
Baginda tersenyum sambil memandang
Baginda bertitah berulang-ulang
Engkau nin belum patut berperang
Nukilan bait Syair Abdul Muluk di atas berkisah tentang Wazir Suka minta izin ikut berperang kepada Sultan Abdul Muluk. Niatnya sudah bulat untuk membela negara dan rakyatnya dari serbuan pasukan Kerajaan Hindustan. Dia tak rela negara dan rakyatnya terjajah oleh negara dan bangsa lain dalam bentuk apa pun. Oleh sebab itu, dia telah mewakafkan dirinya untuk bangsa dan negaranya walau nyawa sebagai tagannya. Malangnya, permohonannya ditolak oleh Sultan Abdul Muluk karena usianya masih sangat muda, baru 14 tahun. Menyerahkah wazir yang patriotik itu karena permintaannnya ditolak oleh pemimpin tertingginya?
Sembah wazir muda yang petah
Daulat tuanku duli khalifah
Janganlah demikian tuanku bertitah
Seboleh-bolehnya patik mohonlah
Kelanjutan bait Syair Abdul Muluk memberitakan bahwa Wazir Suka ternyata memang pemimpin muda yang gigih dan tak mudah menyerah. Sekali niat telah dipancang, pantang ia dicabut sebarang. Hidup cuma sekali, setelah itu mati, mengapa gentar berbuat bakti? Apatah lagi, demi rakyat dan negeri karunia Ilahi yang sangat dicintai, yang memang wajib dibentengi dari penjarahan dan penjajahan musuh yang tak berbudi pekerti.
Maka, dengan tekad yang bulat dirayunya kembali Sultan Abdul Muluk agar bersedia mengizinkannya ikut berperang. Karena memahami niat tulus dan tekad mulia Wasir Suka yang tak mungkin dihalangi, tak sangguplah lagi Sultan Abdul Muluk hendak menghambat. Akhirnya, diizinkannya menteri muda usia tetapi penuh dedikasi itu ikut berperang bersama dirinya untuk membela dan mempertahankan negeri agar tak jatuh ke pihak musuh yang datang mencabar.
Betapa gembira dan bahagianya Wazir Suka karena Sultan Abdul Muluk memahami dan mengizinkannya ikut berperang. Matanya berbinar cemerlang walaupun harus syahid di medan perang. Wazir Suka menjadi suka hatinya sesuka-sukanya karena dapat berbuat bakti kepada rakyat dan negeri.
Pemimpin muda seperti Wazir Suka ternyata memahami benar harapan rakyat kepada pemimpinnya. Oleh sebab itu, dia tak hendak, bahkan tak rela, mengecewakan rakyatnya sehingga ditempatkannya kesetiaan membela rakyat dan negeri menjadi indikator utama kualitas kepemimpinannya. Jika berjaya, dia tahu tempatnya di hati rakyat, tetapi jika gagal, dia tak perlu menghiba untuk dikasihani. Dalam kasus kegagalan, dia pun tahu tempatnya menepi untuk memberi laluan kepada yang lain membuktikan diri. Ini bukan persoalan pribadi, tetapi kesemuanya demi marwah negeri. Ada rakyat, bangsa, dan segenap tumpah darah yang wajib dilindungi. Pemimpin sekelas Wazir Suka memahami benar akan amanat Gurindam Dua Belas, Pasal yang Kesebelas, bait 1, karya Raja Ali Haji.
Hendaklah berjasa
Kepada yang sebangsa
Itulah niat dan tekad penamat pemimpin terbilang. Apa lagi kalau bukan berbuat jasa kepada bangsa. Niat dan tekad yang tak akan pernah dilencong dan atau dipesongkan menjadi sesuatu yang bernuansa keji dan onar, demi tujuan pragmatis yang hanya sebentar. Pemimpin seperti Wazir Suka sangat memahami amanat rakyat yang dinukilkan oleh Raja Ali Haji di dalam Tsamarat al-Muhimmah, berupa syair nasihat yang tiada bercacat, yang terekam pada bait 24.
Kehidupan rakyat pikirkan benar
Supaya ia jangan berbuat honar
Jangan diikutkan pikir yang nanar
Tiada lain memenuhkan lesnar
Itu dia! Pemimpin sekelas Wasir Suka bukanlah pemimpin yang memperturutkan hawa nafsu kekuasaan atas kendali pikiran yang nanar. Dia bukanlah pula pemimpin kelas penunggu lesnar (meja) agar lacinya dipenuhi dengan uang rasuah dan sejenisnya hari demi hari dan waktu demi waktu kepemimpinannya. Bukan, dia bukan pemimpin kelas rendah dan kotor seperti itu yang membuat rakyat merana karena perbuatan dan kebiadabannya.
Wazir Suka adalah pemimpin kelas tinggi yang mengutamakan kepentingan rakyat dan negaranya. Jika dia telah hadir, kehadirannya menjadi setawar sedingin bagi bangsa dan negaranya. Dia menjadi tempat berlindung bagi rakyatnya, menjadi orang yang dibanggakan oleh bangsanya, dan menjadi pemimpin yang mengangkat negaranya setara dengan negara-negara maju dunia. Kalau dia belum juga hadir, rakyat akan mencari dan terus mencarinya sampai inayah Allah datang juga untuk menganugerahi negeri dengan pemimpin yang mengutamakan kebahagiaan dunia dan akhirat secara seimbang itu.
Pemimpin kelas tinggi seperti Wazir Suka, yang meletakkan daulat rakyat dan marwah bangsa dan negara sebagai matlamat utama perjuangannya, kalau dia berdoa, doanya akan diijabah oleh Allah. Walaupun ketika dia berdoa, tak seorang pun pernah melihat dan mendengarnya, kecuali Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Dalam hal ini, dia sangat menyadari bahwa doa dan ibadah manusia kepada Allah bukanlah sesuatu yang perlu dipertontonkan kepada publik. Dia lebih yakin seyakin-yakinnya bahwa doa dan ibadah yang khusuk akan membantu perjuangannya memuliakan dan membahagiakan bangsanya.
“Dan, (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa, ‘Ya, Tuhanku! Jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman kepada Allah dan hari kemudian di antara mereka.’ Allah berfirman: “Dan, kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa dia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruknya tempat kembali,” (Q.S. Al-Baqarah:126).
Pemimpin kelas tinggi seperti Wazir Suka—daripada menjadikan doanya sebagai tontonan publik—lebih suka menauladani Nabi Ibrahim AS ketika berdoa tanpa seorang manusia pun pernah melihat dan mendengarnya. Alhasil, tiada sesiapa pun yang tahu kalau tak dikisahkan langsung oleh Allah SWT di dalam Al-Quran, Surah Al-Baqarah, ayat 126. Dia tak sedikit pun berdoa untuk dirinya, tetapi yang didoakannya adalah negerinya agar senantiasa aman, makmur, dan sentosa. Tentu, doanya juga untuk rakyatnya agar senantiasa sejahtera dan berbahagia karena keimanan dan ketaatan yang terus meningkat dari hari ke hari, dari masa ke masa. Doa tulus dari pemimpin berkualitas, pemimpin kelas tinggi—karena senantiasa memikirkan nasib rakyat dan negara di bawah kepemimpinannya—ternyata langsung dikabulkan oleh Allah.
Sejarah telah mencatat ada banyak pemimpin sejati yang memang sungguh-sungguh berjuang demi marwah bangsa dan negara. Di antara mereka tersuratlah pemimpin karismatik dan penuh dedikasi ini. Dan, terbukti pula perjuangan sucinya diridhai oleh Allah SWT yang menyertakan inayah-Nya.
“Syahadan apabila sudah selesailah daripada baginda menetapkan negeri Riau itu, maka baginda pun berangkatlah ke negeri Lingga membetulkan negeri Lingga pula serta mengeluarkan hasil daripada timah-timah Pulau Singkep, diaturkan bahagian makanan orang besar-besar dan orang baik-baik yang di dalam Lingga. Maka ramailah negeri Lingga dengan masuk beberapa perahu dari Jawa dan wangkang-wangkang dari China dan dari Siam dan lain-lainnya. Syahadan adapun negeri Riau itu, iaitu Yang Dipertuan Muda Raja Ali-lah memerintahkannya sebagaimana adat pemerintahan Yang Dipertuan Muda. Maka membuatlah ia istana di Pulau Bayan dan duduklah ia tetap di dalam kerajaan serta ia menuntut ilmu berbuat ibadat. Adalah gurunya itu satu orang Mandura namanya Syekh Abdul Ghafur, adalah tarekatnya itu Khalwatiyyah. Maka bersama-sama ia berbuat ibadat dengan Syekh Abdul Ghafur itu serta meramaikan negeri Riau dengan perdagangan adanya,” (Ahmad & Haji dalam Matheson (Ed.) 1982, 255).
Pemimpin yang dicatat oleh sejarawan Raja Ahmad Engku Haji Tua dan Raja Ali Haji di dalam karya agung mereka Tuhfat al-Nafis itu adalah Sultan Mahmud Riayat Syah. Sepanjang pengabdiannya sebagai pemimpin (Sultan Riau-Lingga-Johor-Pahang 1761—1812), Baginda lebih mengutamakan untuk memperjuangkan nasib rakyat dan memakmurkan negeri. Untuk itu, di kala malam hari, Baginda rela menanggalkan pakaian kebesaran sebagai Yang Dipertuan Besar atau Sultan sebuah kerajaan besar untuk memimpin Perang Gerilya Laut melawan kuasa asing yang hendak menjajah negeri ini di kawasan perairan Lingga (Kabupaten Lingga sekarang, terdiri atas 604 pulau, yang pada 1787—1900 menjadi pusat Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang, yakni di Bandar Daik). Karena niat yang tulus dan tekad yang bulat itulah, kuasa asing Belanda dan Inggris membuat pengakuan resmi atas kekuasaan Baginda dan kemerdekaan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang pada 29 Mei 1795. Kenyataan itu membuktikan bahwa pemimpin yang bertujuan membela rakyat akan senantiasa mendapat inayah dari Allah dan kecemerlangan kepemimpinannya akan dikenang dan dibanggakan orang berbilang zaman.
Jangankan bangsa sendiri. Bahkan, bangsa lain atau bangsa asing—yang pernah berniat menjajah pun—akan menaruh hormat kepada pemimpin yang matlamat perjuangannya semata-mata untuk membela rakyat dan memakmurkan negeri. Atas dasar itu, pejabat Inggris di Penang [Pulau Pinang, Malaysia sekarang, HAM] pada Januari 1788 melaporkan, “Sultan Mahmud Riayat Syah adalah penguasa terbesar dan paling jenius di kalangan pemimpin Melayu,” (Vos, 1993). Siapakah yang tak akan bangga memiliki pemimpin yang dipuja oleh rakyatnya sendiri tanpa berbelah bagi dan dihormati oleh bangsa lain di dunia ini? Untuk sampai kepada kualitas hebat itu, memang setiap pemimpin seyogianya menghayati amanat ini.
Dari Ma’qil bin Yasar r.a. beliau berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang hamba yang Allah berikan amanat kepadanya untuk memimpin rakyat, kemudian dia meninggal dunia pada suatu hari, sedangkan dia berbuat curang terhadap rakyatnya, melainkan Allah Taala mengharamkan baginya masuk surga,” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Pemimpin sejati senantiasa mengutamakan bakti untuk membela rakyat dan memakmurkan negeri tanpa sedikit pun terniat untuk membuang amanah. Dia menghalakan perjuangan kepemimpinannya untuk mewujudkan matlamat mulia itu dan tak pernah berpaling tadah. Baginya, kejayaan kepemimpinan sesungguhnya tercapai jika rakyat sejahtera dan bahagia sehingga negerinya jadi bermarwah. Meminjam ketakziman kepemimpinan monarki Melayu lama, kepada pemimpin yang berkualitas unggul itulah rakyat dengan bangga boleh berucap, “Daulat Tuanku Duli Khalifah!” Ucapan takzim itu tak patut dan memang tak boleh ditujukan kepada pemimpin yang berkualitas rendah. Renungkan, camkan, bandingkan, dan pertimbangkanlah!***
“Jembia,” Tanjungpinang Pos, Ahad, 27 Januari 2019, hlm. 13