“Kita ada sedikit lagi kerja kita di Pengujan menyudahkan pondok tempat anak2 yang mengaji2, melapangkan ia, satu hari boleh bermain2 di situ serta boleh bercakap2kan pendapatannya sebab itu tempat pun suci lagi dapat angin berkeliling dan di bawah naung pokok niur.” Petikan surat Raja Ali Haji kepada Von de Wall bertarikh 8 Oktober 1862.
FATIH MUFTIH, Bintan
Pulau Pengujan hanya satu dari sekian ratus pulau yang tergabung dengan Kabupaten Bintan. Menuju Pengujan, hal pertama yang akan dirasakan adalah mengenang zaman zaman Bintan belum tersambungkan lima jembatan.
Sebuah masa ketika pokcai, sampan apung pengangkut motor-mobil, menjadi primadona mempersingkat jarak perjalanan dari Tanjungpinang menuju Tanjunguban. Kini, penyeberangan Selat Bintan menuju Pengujan menjadi satu-satunya penyeberangan yang masih mengoperasikan pokcai.
Ini bisa menjadi sarana pelepas kangen bagi para pejalan yang merindukan sensasi menyeberang dengan pokcai. Tak mahal. Hanya Rp 5 ribu sekali jalan menyeberangi Selat Bintan yang hanya sekitaran 10 menit saja.
Tapi bagi yang membawa mobil ongkosnya bisa lebih mahal lima kali lipat. “Dari pagi sudah ada ngantar orang nyeberang yang mau berangkat kerja. Kalau malam sampai sekitar jam delapan saja,” kata seorang pemuda yang mengoperasikan pokcai.
Karena bukan destinasi wisata, tak banyak orang yang berkunjung ke Pulau yang didiami lebih-kurang 300 kepala keluarga yang sebagaian besar masyarakatnya berprofesi sebagai
nelayan ini.
Kebanyakan para pelancong menziarahi Pengujan adalah untuk berziarah. Di Pengujan, ada makam keramat berukuran panjang lebih dari tiga meter. Rombongan peziarah asal Malaysia sering datang ke sini. Konon, itulah satu-satunya hal menarik yang bisa didapat di
Pengujan.
Akan tetapi, bila mencoba mengetikkan lema Pulau Pengujan di mesin pencarian Google, ternyata ada banyak tautan yang menghubungkan pada artikel-artikel singkat mengenai Pengujan.
Akan dijumpai sebagian tautan yang menghubungkan ke beberapa artikel singkat mengenai Pengujan. Namun, yang paling menyentak adalah tautan yang mengantar ke books.google.co.id.
Pada laman yang menampilkan review buku yang sudah didaftarkan itu, terdapat satu buku menarik yang dalam teksnya menyinggung Pengujan dari sudut pandang yang benar-benar
berbeda.
Buku terbitan Kepustakaan Populer Gramedia itu berjudul Dalam Berkekalan Persahabatan: Surat-surat Raja Ali Haji kepada Von de Wall yang dihimpun Jan Van der Putten dan Al Azhar.
Dalam buku terbitan tahun 2007 itu, disebutkan sebuah surat bertarikh 8 Oktober 1862 yang ditulis Raja Ali Haji kepada sahabatnya Von de Wall berisikan undangan kepada pejabat Belanda itu untuk berkunjung ke pondoknya, tempatnya mengajar ilmu agama di Pulau Pengujan.
Mengapa Raja Ali Haji begitu ingin mengajak Von de Wall ke sana?
“sebab itu tempat pun suci lagi dapat angin berkeliling dan di bawah naung pokok niur,” begitu tulis Pahlawan Nasional di bidang bahasa ini pada suratnya.
Pada tahun 1860-an, terkesan perhatian Raja Ali Haji lebih banyak tercurah pada hal-ihwal yang berkaitan dengan agama, pengajaran, dan menulis buku, dibandingkan dengan jabatan resminya di lingkungan istana.
Dalam tahun-tahun terakhir surat-menyuratnya dengan Von de Wall, Raja Ali Haji semakin sering menyendiri di Pulau Pengujan.
“Di Pengujan, Raja Ali Haji menulis bahan kamus untuk Von de Wall dan juga berternak lembu dan kambing di sana,” kata Sejarawan Kepri, Aswandi Syahri.
Kamus yang disusun Von de Wall dan Raja Ali Haji adalah kamus ensiklopedi Bahasa Melayu yang merupakan kamus eka-bahasa Melayu pertama di dunia.
Kamus yang kemudian diberi tajuk Kitab Pengetahuan Bahasa ini juga disebut sebagai bukti kecemerlangan minda seorang Raja Ali Haji untuk memajukan bahasa Melayu sebagai lingua franca alias bahasa pengantar di nusantara.
Sebuah sumbangsih agung dari talian persahabatan keduanya buat ilmu bahasa saat ini. Yang tak banyak tahu bahwasanya karya opus itu ditulis di sebuah pulau kecil di Kabupaten Bintan.
Sejarawan berkacamata ini juga menandai bahwasanya Pulau Pengujan adalah pulau penting bagi raja-raja Melayu saat itu.
“Termasuk di dalamnya adalah raja-raja Melayu dulu pada waktu tertentu datang ke
makam keramat panjang untuk berziarah di sana,” ujarnya.
Selain itu, masih kata Aswandi, Pulau Pengujan adalah pulau yang dianggap bertuah, sehingga beberapa kali penuaian nazar tertentu diberlangsungkan di sana.
Termasuk juga Raja Ali Haji yang merayakan Maulud pada bulan Rabiulawal yang disempenakan dengan pembayaran kaul atau nazar, lantaran Hasan, putranya telah sembuh dari penyakit.
“Raja Ali Haji mungkin mencoba meneruskan tradisi raja-raja Melayu sebelumnya. Sehingga ia juga berkurban ternaknya di sana. Sebagian dagingnya bahkan juga dikirimkan ke Von de Wall,” tambah Aswandi.
Aswandi menilai Pulau Pengujan ini sebenarnya bisa diberdayakan oleh Pemerintah Kabupaten Bintan sebagai destinasi wisata sejarah.
“Apalagi sudah jelas dinyatakan bahwa Raja Ali Haji saja tinggal dan menuliskan karya masyhurnya di sana,” katanya.
Hal ini, nilai Aswandi, bisa menjadi daya tarik sekaligus daya jual tersendiri.
Masihkah Pulau Pengujan tahun 2018 serupa dengan pelukisan yang termaktub dalam surat kepada Von de Wall lebih 150 tahun lalu?
Raja Ali Haji melukiskan Pulau Pengujan dengan detil artistik. Sebuah rayuan visual agar Von de Wall berkenan menyambangi tempatnya menulis Kitab Pengetahuan
Bahasa.
“Sebab itu tempat pun suci lagi dapat angin berkeliling dan dibawah naung pokok niur,” begitu cucu Raja Haji Fisabilillah ini menulis.
Barangkali, yang dimaksudkan suci oleh Raja Ali Haji adalah bersih.Sepanjang perjalanan berkeliling Pulau Pengujan melalui jalan lingkar semen yang dibangun Pemkab Bintan, nyaris tak banyak didapati sampah rumah berserakan di tepi jalan.
Meski demikian, bukan berarti tak ada satu pun sampah di sana. Utamanya di kawasan pesisir pantai. Namun, masih belum sebanyak sampah di kawasan tepi pantai di daerah lain.
Kondisi sampah di Pulau Pengujan masih belum begitu mengganggu pemandangan untuk menikmati kawasan pesisir pantai, yang sehadapan dengan kawasan Senggarang, ibu kota Tanjungpinang.
Selain suci, Raja Ali Haji juga menuliskan Pulau Pengujan sebagai tempat yang ‘dapat angin berkeliling’.
Selama berkeliling di sana, meski matahari terik, keringat tak sampai membulir di kening. Lantaran angin sepoi-sepoi terus-terusan berembus. Di saat begini, jangan sekali-kali mencoba duduk di pondok yang berdekatan dengan pantai.
Karena dalam sekejap, mata bisa terpejam. Lelap akan datang. Angin di Pulau Pengujan yang berembus tak begitu laju justru sangat melenakan.
Maka tak heran bila didapati banyak rumah warga di Pulau Pengujan yang memiliki tempat berleha-leha. Baik itu di beranda maupun halaman belakang rumah.
Pelukisan terakhir yang ditulis Raja Ali Haji tentang Pengujan adalah ‘di bawah naung pokok niur’.
Niur atau nyiur berarti kelapa. Di sepanjang bibir pantai di Pulau Pengujan, masih banyak didapati pohon-pohon nyiur yang menjulang. Ini menjadikan Pulau Pengujan cukup eksotik bila dipotret dari tengah laut.
Apalagi menjelang senja. Barisan rapat-rapat pohon nyiur itu bakal menjadi siluet hitam yang berlatarkan arak senja kuning keemasan.
Tapi, rupanya tak banyak pemotret yang mengabadikan Pulau Pengujan kala senja, bila diketikkan lema Pulau Pengujan di mesin pencarian Google.
Raja Ali Haji melukiskan Pulau Pengujan lebih dari 150 tahun lalu dengan sedemikian detil akurasinya. Namun, yang berlaku padanya justru sebaliknya.
Masyarakat yang dijumpai selama di Pulau Pengujan rata-rata mengedikkan bahu, kala ditanya kemungkinan lokasi petirahan Raja Ali Haji.
“Alamak, saya tak tahu pula itu, Bang,” kata Andi, salah seorang warga. Ia mengaku tahu bahwa Raja Ali Haji hanya sebatas sebagai penulis Gurindam 12.
Jawaban yang sama juga didapat ketika pertanyaan serupa disodorkan.
Raja Ali Haji seolah tak pernah terbersit pun dalam benak mereka bahwa pahlawan nasional di bidang bahasa ini pernah tinggal di sini.
Kendati telah mengelilingi nyaris seluruh pulau, tak banyak informasi yang bisa digali mengenai lokasi tetirah Raja Ali Haji kala menyepi dari hiruk-pikuk kesibukannya di Penyengat, Tanjungpinang.***