Terlalulah Sangat Banyak Cacatnya

PIKIRAN, perasaan, gagasan, sifat, sikap, dan perilaku jujur disajikan dengan sangat menarik oleh Raja Ali Haji rahimahullah di dalam syair naratifnya Syair Abdul Muluk (Haji, 1846) yang sangat terkenal. Pada bait 43 dan 50 disajikan dialog antara pedagang Negeri Hindustan dan saudagar Negeri Barbari, sebuah kisah menarik di antara para penjual.

Oleh saudagar segera diambilnya
Lalulah dibuka sekaliannya
Terlalulah sangat banyak cacatnya
Sedikit juga yang baiknya
………………………………………
Tiadalah salah daripada beta
Datuk saudagar bukannya buta
Mengapa tidak dilihati nyata
Segenap bungkus rata-rata

Bait 43 menggambarkan peristiwa saudagar Negeri Barbari yang baru mengetahui bahwa dia telah ditipu oleh pedagang Negeri Hindustan. Cerita singkatnya, saudagar itu memborong semua kain yang dijual oleh pedagang Hindustan. Ketika membelinya, dia tak membuka semua kain itu. Dia hanya melihat kain-kain di bagian atas saja dan semua kain itu kelihatannya bagus-bagus belaka. Karena percaya kepada mitra bisnisnya, dia langsung yakin bahwa kain-kain itu bermutu bagus semuanya. 

Akan tetapi, alangkah terkejutnya dia ketika akan menjual kain-kain itu kepada pelanggannya tiga hari kemudian. Ternyata, kain-kain yang ditempatkan di bagian dalam bungkusan besar itu rusak semuanya. Artinya, pedagang Hindustan sengaja menempatkan sebagian besar kain yang telah rusak yang ditutupi dengan kain-kain yang masih baik. Ringkasnya, saudagar Negeri Barbari menyadari bahwa dia telah ditipu. 

Dalam pertemuan mereka kemudian, Saudagar Hindustan berdalih bahwa hal itu bukan kesalahannya. Dia menyalahkan saudagar Barbari karena ketika membeli tak melihat kain-kain itu secara teliti. Perkara itu, akhirnya, harus diselesaikan dengan peradilan yang dipimpin oleh Sultan Barbari, tempat pedagang Hindustan itu berniaga.

Bait-bait syair di atas menceritakan perbuatan penipuan yang dilakukan oleh pedagang Hindustan. Dia menjual barang dagangan yang telah rusak, tetapi ditutupinya sehingga pembelinya tak melihat kerusakan itu. Setelah dibuka semuanya barulah diketahui bahwa kain-kain itu banyak yang rusak (koyak). Akhirnya, pedagang penipu itu ditangkap dan dihukum oleh sultan. Dengan demikian, bait-bait syair itu mengamanatkan, perilaku penipuan (tak jujur) mengindikasikan rendahnya budi sehingga umumnya dibenci manusia. Sebaliknya, sifat dan perilaku jujurlah yang dimuliakan sebagai penanda manusia yang menerapkannya berkarakter baik.

Di dalam Gurindam Dua Belas (Haji, 1847) ada dua bait yang mengemukakan keutamaan perilaku jujur. Rujukannya perkataan. Yang pertama disebutkan pada Pasal yang Keempat, bait 5, dan yang kedua pada Pasal yang Ketujuh, bait 1.

Jika sedikit pun berbuat bohong
Boleh diumpamakan mulutnya itu pekung

Jika pada bait gurindam di atas digunakan perkataan bohong, di dalam Pasal yang Ketujuh, bait 1, pula digunakan perkataan dusta, yaitu sinonim dari perkataan bohong. Bohong atau dusta jelaslah antonim (lawan kata) dari perkataan jujur untuk perilaku yang tergolong perkataan manusia. Dengan diumpamakan bohong itu sama dengan pekung nyatalah bahwa perilaku itu tergolong penyakit yang memalukan karena pekung (kudis besar) biasanya berbau sangat busuk sehingga tak disukai manusia. 

Karakter jujur juga ada di dalam Tuhfat al-Nafis. Perkara itu dikemukakan sebagai berikut.

“Syahadan adapun Raja Kecik …, maka ia pun menyuruh ke Kuala Johor, dan ke Singapura, akan seorang menterinya yang pandai memujuk dan menipu-nipu (huruf mirig oleh saya, A.M.) memasukkan kepada hati rakyat dengan perkataan mengatakan ini sebenar-benarnya anak Marhum Mangkat Dijulang. Sekarang ini adalah ia hendak ke Johor, hendak mengambil pesakanya menjadi raja ….” (Matheson, 1982:56-57).

Kata menipu-nipu merupakan antonim dari jujur. Amanat yang hendak disampaikan jelaslah bahwa upaya yang dilakukan oleh Raja Kecik itu tak baik karena dia telah melakukan penipuan, melawan kejujuran. Dia sebenarnya bukan atau tak cukup bukti sehingga tak diyakini sebagai anak Marhum Sultan Mahmud Mangkat Dijulang, Sultan Johor-Riau, yang mangkat pada 1699. Perbuatan itu berlawanan dengan kejujuran.

Di dalam Syair Sinar Gemala Mestika Alam (Haji dalam Malik & Junus, 2000) juga digambarkan karakter jujur dengan sangat menarik.

Datanglah hidayah yang akbar
Daripada Tuhan ilahul jabbar
Kepada Khadijah perempuan ahyar
Jatuhlah hatinya dengan sebentar

Kepada Rasulullah dikhabarkannya
Barang yang dimaksud kepada hatinya
Bersuamikan jua kehendaknya
Rihul iman sudah diciumnya

Bait-bait syair di atas bercerita tentang sifat jujur atau berterus terang Siti Khatijah. Beliau menyatakan jatuh cinta kepada Baginda Rasulullah SAW dan ingin bersuamikan Nabi Akhirulzaman itu. Sifat mulia itu menjadi ciri karakter Siti Khadijah, yang kemudian dengan takdir Allah memang menjadi istri Nabi Muhammad SAW. Mereka berjaya membina rumah tangga sakinah, mawaddah, dan warahmah berkat kejujuran yang menjadi kualitas karakter mulia mereka berdua. 

Allah memang mengecam sifat dan perilaku dusta, sebaliknya tentulah menganjurkan dipelihara dan diamalkan karakter jujur dalam semua tindakan manusia. Sifat dan perilaku curang disamakan dan atau disejajarkan dengan memakan makanan yang haram dan menyembah berhala. Demikianlah Allah membenci sifat dan amalan yang tak jujur, apa pun jenis dan bentuk amalan itu dalam hidup ini.

Suatu ketika Rasulullah SAW lalu di depan seorang penjual gandum, yang gandumnya nampak seperti bermutu baik, sehingga Baginda hendak membelinya. Akan tetapi, ketika tangan Baginda dimasukkan ke dalam tumpukan gandum itu, ternyata bagian dalamnya agak basah. Lalu, Baginda bertanya, “Mengapakah ini?” “Oh, basah karena kena hujan, wahai Rasulullah!” jawab si penjual. Rasulullah SAW bersabda, “Mengapakah tak kamu letakkan saja di bagian atas sehingga boleh dilihat oleh orang yang akan membelinya? Sesiapa saja yang menipu kami (pelanggan, pembeli), dia tak termasuk umatku,” (H.R. Muslim dan Turmudzi).

Nyatalah bahwa kejujuran memang karakter yang dianjurkan oleh Allah dan Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, mengembangkan pikiran, perasaan, gagasan, sifat, sikap, perkataan, dan perbuatan jujur tergolong karakter mulia yang memang menjadi ajaran Tuhan.

Dalam perkara apakah manusia harus jujur? Tentulah dalam semua hal yang melibatkan aktivitas hidup di dunia ini. Tak boleh dibuat dikotomi bahwa karena bidang ini urusan dunia, boleh sedikit atau banyak berbuat curang, menipu, dan atau berbohong. Hanya untuk urusan yang nyata-nyata bersifat keakhiratan saja kejujuran wajib dipertahankan. Janganlah pernah ada sedikit pun pemikiran negatif itu, apa pun alasannya, karena ianya akan menghimpun lebih banyak dosa yang akan dibawa ke akhirat kelak. Dan, tentu harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.

Sesungguhnya, kejujuranlah yang akan menyelamatkan manusia, baik di dunia maupun di akhirat nanti. Jujur adalah kualitas karakter manusia yang telah mencium rihul iman sejati seperti Khadijah yang berjiwa suci. Dengan menerapkan sifat, sikap, dan perilaku jujurlah, manusia akan terselamatkan di yaumil mahsyar yang pasti akan dihadapi.***

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top