DUA perkara yang selalu menarik perhatian publik tentang gelar adat. Pertama, apakah indikator yang digunakan lembaga pemberi gelar sehingga seseorang dianugerahi gelar adat tersebut? Kedua, sesuai dengan makna yang tersirat di dalam gelar itu, patutkah seseorang—sesiapa pun dia—dianugerahi gelar adat itu?
Bersabit dengan kedua perkara itu, senantiasa terjadi perbincangan luas di kalangan masyarakat—kalau tak mau disebut perdebatan pro dan kontra—ketika gelar adat dianugerahkan kepada seseorang. Oleh sebab itu, kebijaksanaan dan kearifan lembaga pemberi gelar sangat dituntut ketika hendak menetapkan anugerah gelar adat, sama ada si penerimanya ataupun nama gelarnya. Kendatipun, lembaga pemberi gelar (lembaga adat, misalnya) memiliki otoritas untuk melakukannya sesuai dengan amanah yang diberikan oleh masyarakat adat kepadanya.
Bersamaan dengan itu, ada dua hal yang perlu dicatat pula berkenaan dengan penganugerahan gelar adat. Pertama, tradisi yang telah berlangsung lama itu masih bertahan sampai setakat ini. Kenyataan itu memang patut disyukuri. Kedua, kearifan itu masih mendapat apresiasi yang cukup luas di kalangan masyarakat adat. Ini menjadi bukti nyata bahwa masyarakat masih menghargai dan membanggakan nilai-nilai terala tamadun bangsanya.
Dalam budaya dan tamadun kita penganugerahan gelar memang telah lama dikenal. Hal yang sama juga terjadi dalam budaya bangsa-bangsa lain sedunia. Pada zaman kerajaan tradisional nusantara dahulu penganugerahan gelar kenegaraan diberikan oleh sultan atau raja kepada orang yang dinilai patut dan layak. Dasar penilaian adalah bakti atau jasa seseorang, biasanya yang luar biasa, atau gelar itu memang harus disematkan kepada si penerima karena jabatannya di pemerintahan, termasuk sultan, yang mewajibkannya menggunakan gelar tertentu.
Penganugerahan gelar, lazimnya, dilaksanakan pada hari keputeraan (hari ulang tahun) sultan atau raja. Si penerima dianugerahi gelar adat karena bakti atau jasanya yang cemerlang. Kepada sultan atau raja dan orang besar-besar kerajaan, gelar dianugerahkan ketika yang bersangkutan ditabalkan dalam jabatannya. Penganugerahan gelar kehormatan dan kemuliaan itu dilangsungkan dalam upacara kenegaraan.
Tradisi penganugerahan gelar pada peringkat kenegaraan masih berlanjut sampai sekarang di negara kita walaupun Indonesia telah membentuk sebuah negara modern, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di negara kita setiap tahun ada penganugerahan gelar kepahlawanan, tanda jasa, dan tanda kehormatan Republik Indonesia yang diberikan kepada seseorang yang dinilai telah berbakti dan berjasa luar biasa terhadap bangsa dan negara. Penganugerahan itu biasanya langsung diberikan oleh presiden atas nama negara. Untuk gelar Pahlawan Nasional, gelar baru diberikan jika orang yang berjasa luar biasa itu telah wafat.
Pada peringkat daerah penganugerahan gelar seperti itu (gelar kenegaraan) tak pernah dijumpai lagi. Mungkin karena tak ada payung hukum yang mendasarinya sehingga pemerintah provinsi dan kabupaten/kota tak dapat melakukannya. Berbeda halnya dengan Malaysia, misalnya, yang kerajaan negeri (setingkat provinsi) masih memberikan anugerah gelar setiap tahun karena di sana setiap kerajaan negeri memiliki Sultan atau Yang Dipertua Negeri (bagi kerajaan negeri yang tak memiliki sultan seperti Kerajaan Melaka). Pada peringat negara gelar diberikan oleh Yang Dipertuan Agung. Dengan demikian, penyelenggaraan pemerintahannya masih meneruskan tradisi seperti kerajaan-kerajaan “tradisional” kita pada masa lalu.
Pada zaman kerajaan tradisional gelar yang diberikan tak disebut gelar adat, tetapi gelar kenegaraan atau kerajaan. Pasalnya, hukum adat memang telah menyatu di dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kala kerajaan-kerajaan tak ada lagi di negara kita—dalam arti tak melaksanakan fungsi pemerintahan—barulah muncul istilah gelar adat di peringkat daerah karena penganugerahannya tak lagi dilakukan oleh sultan, tetapi oleh lembaga adat suatu daerah (bukan pemerintah) meneruskan kebiasaan, kelaziman, dan kepatutan yang berlaku pada zaman kerajaan tradisional dahulu.
Dalam perkembangannya memang kesultanan nusantara juga menganugerahkan gelar kepada seseorang atau sekelompok orang sebagai wujud dari penerusan nilai-nilai budaya yang dikembangkan kerajaan yang dijunjung tinggi. Akan tetapi, gelar tersebut bukanlah gelar resmi pemerintah (pusat atau daerah) sehingga juga hanya disebut gelar adat. Jadi, semiotik budayanya adalah simbolisasi pengekalan roh tradisi, bahkan tamadun, yang suatu masa dahulu—ketika kerajaan-kerajaan melaksanakan fungsi kenegaraan dan pemerintahan—sangat semarak dilaksanakan.
Tradisi penganugerahan gelar adat itu diteruskan, walau kita tak lagi hidup di alam kerajaan tradisional, karena kebiasaan itu dinilai baik. Kearifan yang dianggap bijak, dalam semua budaya di dunia ini, pasti akan bertahan. Di sebalik penganugerahan gelar adat itu pasti ada nilai kebajikan sebab di situ teserlah kebijaksanaan mengapresiasi bakti atau jasa yang telah dilakukan seseorang terhadap masyarakat, bangsa, dan atau negara. Kalau dihubungkan dengan tamadun Melayu, tradisi itu mengindikasikan—merupakan indeks dalam semiotik budaya—keberadaan Melayu itu sendiri. Begitu pulalah halnya dengan adat-istiadat masyarakat di seluruh nusantara ini.
Menurut Raja Ali Haji rahimahullah di dalam karya beliau Tsamarat al-Muhimmah, “Syahdan maka hendaklah membalas raja dan orang besar-besar kepada orang yang berbuat kebajikan alakadar layaknya …. Dan, jikalau [orangnya] sudah mati, umpamanya, hendaklah jasa ditempatkan kepada ahlil baitnya yang tinggal. Adapun balasan [maksudnya penghargaan] raja itu mana-mana kadar layaknya, intaha,” (Haji, 1858).
Hikmah yang dapat dipetik dari tulisan Raja Ali Haji itu adalah bahwa bakti dan jasa adalah penunjuk (indeks) sekaligus gambaran (ikon) kebajikan seseorang atau sekelompok orang. Balasannya, mempersembahkan gelar kehormatan kepada orang yang telah menunaikan kebajikan yang luar biasa itu merupakan lambang (simbol) perbuatan terpuji ‘menghargai atau mengapresiasi jasa seseorang atau sekelompok orang’.
Jika penganugerahan itu dilakukan oleh suatu pemerintah atau lembaga yang menjadi simbol masyarakat seperti Lembaga Adat Melayu di dalam masyarakat Melayu, hal itu mengindikasikan bahwa lembaga dan masyarakat itu tergolong ‘yang mengenang dan tahu membalas budi orang’, terlepas dari orang yang berjasa itu hirau atau tidak akan jasanya dikenang orang. [Bukankah orang yang ikhlas berbakti tak pernah mengingat dan menghitung berapa banyak dan betapa hebat jasa yang pernah dibuatnya?]. Itulah simbol masyarakat dan pemerintah yang menjadikan ‘kehalusan dan ketinggian budi’ sebagai amalan hidupnya sehari-hari. Bahkan, jika sebaliknya yang terjadi, itulah simbol kezaliman, sebuah ‘kecelaan’ menurut Raja Ali Haji.
Kata penganugerahan berasal dari kata dasar anugerah dalam konteks ini pun melambangkan ‘ketinggian dan kehalusan budi’ itu. Memang, arti denotatifnya sama dengan ‘pemberian’, tetapi konotasinya lebih daripada sekadar ‘pemberian biasa’. Di dalam diksi penganugerahan tersemat makna ‘ketakziman tingkat tinggi’ atau dapat juga disimpulkan dengan ‘kemuliaan’. Bukankah bakti dan jasa yang luar biasa bagi bangsa dan negara itu suatu kemuliaan? Sama halnya juga, tidakkah membalas jasa dan budi orang adalah perbuatan yang terpuji lagi mulia?
Lalu, siapakah yang patut dianugerahi gelar adat itu? Indikatornya hanyalah dan semata-mata bakti dan jasa terbilang yang pernah dibuat. Bukan, berbangsa atau tidak orangnya atau tinggi-rendah pangkatnya yang dijadikan ukuran.
Pada peringkat daerah, misalnya, tentulah bakti bagi kemajuan daerah dan masyarakat daerah itu. Begitulah selanjutnya berjenjang ke atas dan atau bertangga ke bawah. Tuan X, umpamanya, adalah motivator sekaligus pengembang perikanan budidaya di suatu daerah. Kala tak banyak orang tertarik untuk berbudidaya perikanan sehingga daerah itu hanya bergantung kepada ikan tangkap yang tergantung musim atau pasokan ikan dari daerah lain, Tuan X yang sebelumnya juga nelayan tangkap, justeru, memacu dirinya untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksinya.
Dia pun terus berupaya memotivasi teman-temannya sesama nelayan tangkap untuk berminat dan memacu peningkatan produksi ikan dengan mengembangkan budidaya perikanan. Padahal, kalau tetap sebagai nelayan tangkap yang tergantung pada musim, alat tangkap, dan kapal yang layak, tetapi tak mungkin dimiliki oleh nelayan tradisional karena harganya mahal, mereka akan turun peringkat dari nelayan pemilik menjadi hanya sekadar buruh nelayan, yang nasibnya ditentukan oleh majikan.
Karena kegigihannya, dengan inayah Allah, Tuan X berhasil meningkatkan penghasilannya, membuat lebih banyak temannya menekuni usaha perikanan budidaya yang juga berjaya, dan akhirnya daerah itu tak lagi tergantung pada ikan dari daerah lain untuk mencukupi keperluan ikan masyarakat sehari-hari, bahkan ada pula yang diekspor ke luar negeri. Tuan X menjadi pelopor peningkatan kuantitas dan kualitas ikan di daerah itu. Dan, dia juga motivator bagi perubahan pola pikir masyarakatnya dalam bisnis perikanan.
Boleh jadi juga motivasi dan kerja keras itu ditunjukkan oleh seorang Kepala Dinas Perikanan, seorang Tuan X yang lain dengan tugas yang lain tetapi masih dalam bidang perikanan, atau bahkan sarjana kelautan (khususnya ilmu perikanan), dan seterusnya dan sebagainya. Akan tetapi, lahan garapannya sama ‘peningkatan produksi ikan’ dan yang lebih mustahak mengubah pola pikir masyarakat nelayan dari bergantung kepada perikanan tangkap, yang semakin jauh dari jangkauan tangkapan karena pelbagai kendala, menjadi perikanan budidaya yang menjanjikan masa depan.
Pendek kata, Tuan X tak pernah puas sekadar menuangkan pikiran dan atau gagasan kemajuan perikanan di makalah-makalah seminar bertaraf nasional dan atau internasional dan tulisan-tulisan jenis lain walaupun mendapat tepuk tangan yang bergemuruh dari hadirin. Malangnya, ketika diminta menunjukkan bukti keberhasilan, dia hanya dapat merujuk kepada daerah, negara lain, bahkan yang pernah diterapkan oleh orang lain. Tuan X tak pernah bangga hanya mengandalkan teori di atas kertas. Akan tetapi, dia baru berpuas hati ketika kemampuan teoretis itu dapat diterapkannya untuk memajukan masyarakat.
Dalam konteks contoh panjang-lebar di atas, Tuan X atau para Tuan X-yang-Lain itu sangat patut dan layak memperoleh anugerah gelar adat. Mereka adalah ikon pekerja keras dan simbol dari warga yang senantiasa berupaya untuk memajukan negeri dengan kemampuan dan kesanggupan yang dimilikinya, suatu kualitas budi yang tak semua orang memilikinya. Prestasi masyarakat dan penyelenggara negara semacam itulah yang harus dipantau oleh otoritas adat untuk pada waktu yang telah ditetapkan saban tahun diberikan anugerah gelar adat.
Yang juga mustahak adalah gelar adat yang dianugerahkan itu haruslah sepadan dengan bakti dan jasa yang dibuat dan atau amanah yang dipikulkan kepada si penerimanya. Tengku Mahmud, sebagai contoh, begitu ditabalkan menjadi Yang Dipertuan Besar Riau-Lingga-Johor-Pahang (1761) dianugerahi gelar Sultan Mahmud Riayat Syah. Amanatnya, sebagai sultan Baginda wajib menegakkan hukum dengan seadil-adilnya. Penyandangan gelar ri’ayat dari ra’a (bahasa Arab) mewajibkan Baginda ‘memelihara negara dan rakyat sekaliannya dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya’.
Karena gelar kultural itu juga pernah disandangkan kepada Sultan Alauddin Riayat Syah (Sultan I Johor-Riau) yang mengemban amanat mengusir penjajah, Baginda pun mendapat mandat yang sama. Alhasil, Sultan Mahmud Riayat Syah berjaya dengan gemilang menunaikan ‘titah kultural’ itu sehingga Baginda menjadi ikon sekaligus simbol kepemimpinan yang patut ditauladani.
Penganugerahan gelar adat memang harus menjadi indeks, ikon, sekaligus simbol sakral sesebuah tamadun yang ranggi lagi terala. Ianya memang patut dianugerahkan kepada sesiapa pun yang pernah berbuat jasa yang sangat luar biasa bagi kemanusiaan. Akan tetapi, kalau disalahniatkan dan disalahalamatkan, ianya akan menjadi senjata makan tuan karena dapat mengundang malapetaka, intaha.***