Wira Budaya atau Wira Sejarah?

Seperti yang sudah disangka, seminar berlangsung ketat. Pertanyaan susul-menyusul, dari ruang Gedung Nasional dan ruang virtual. Patah tumbuh hilang berganti, pertanyaan tidak henti-henti. 

Teks & Foto Fatih Muftih

MENJADI pemandu diskusi atau seminar—bahasa kerennya moderator—bukan suatu yang asing, terutama bidang sastra maupun budaya yang jadi minat besar saya. Maka ketika Dato Rida meminta saya melakukannya di Seminar Internasional Kesejarahan: Hang Tuah dan Jejak Sejarahnya di Dabo Singkep, jelas saya mengiyakan. No problemo. Apalagi dipasangkan dengan Rendra Setyadiharja, kawan sepermainan. Saya yakin tidak akan ada yang menyulitkan … 

kecuali satu hal: pakaian. 

Saya cenderung menggemari langgam formal-kasual. Semisal, celana jin dipadukan dengan kemeja dan sepatu kets. Itu setelan yang, buat saya, lazim dan mendukung ketampanan seorang lajang. Saya berencana mengenakannya saat memandu seminar di Dabo Singkep sebelum kemudian Rendra berkirim kabar H-1 keberangkatan: “Kita pakai baju kurung merah Jantung Melayu itu, ya, biar seragam, Wai.”

Kesepakatan yang lantas menambah sibuk pagi saya untuk memasang kain samping yang tidak pernah selicin cara Rendra memakai. “Udah patenlah itu,” Rendra menghibur saya. 

Kedai Cik Leha adalah tujuan pertama sebelum meluru ke Gedung Nasional. Lokasinya pas di seberang Hotel One, tempat kami menginap. Di kedai yang sudah buka sejak lepas Subuh ini tersedia macam hidangan sarapan. Ada lontong sayur, nasi goreng, nasi lemak, roti bakar, hingga telur setengah matang. Saya memesan kopi o. Rendra memilih teh o. Baju kami yang serupa dan buku-buku yang tergeletak di atas meja membuat kami terlihat seperti sepasang pegawai lembaga apalah atau cikgu dari sekolah apalah. 

Sembari menanti pesanan datang di antara antrean pemohon sarapan yang semakin memanjang, kami masih punya sebarang waktu untuk mempersiapkan seminar yang akan dimulai sekitar satu jam lagi. Rendra mendata siapa-siapa narasumber yang bergeser jadwalnya. Saya menyesap sigaret. Rendra mengingatkan batasan-batasan dan aturan main agar diskusi berlangsung khidmat. Saya mengembuskan asap. 

Seorang perempuan—entah inikah Cik Leha atau bukan—menyorongkan pesanan kami. Aroma yang menguar dari teh dan kopi memaksa kami menghentikan diskusi. Di seberang meja juga ada orang-orang berbaju kurung Melayu. Sebagian rombongan dari Tanjungpinang dan yang ada di hadapannya, saya kira, adalah peserta lokal. Mereka tidak membincangkan apapun perihal Hang Tuah, seperti yang saya lakukan dengan Rendra. Dari mencuri dengar obrolan, bapak-bapak di meja seberang ini seperti sekumpulan kawan yang sudah lama tidak bertembung dan hanya dibutuhkan sekali semeja guna membuihkan bibir dengan tema dahulu begitu, kini begini.

Kedai Cik Leha adalah titik temu segala obrolan Daboistique. Bapak-ibu polisi ngopinya juga di sini. Termasuk pula para pedagang sepulang dari pasar, orang-orang kantor sebelum memulai kerja, dan kami—sepasang moderator—yang jantungnya berdegup akan memandu diskusi penting tentang seorang wira paling tersohor seantero Melayu serantau. 

Di tengah deru kendaraan yang lalu-lalang di pinggir jalan kedai Cik Leha, suara Dato Rida melengking tinggi—yang agaknya ditujukan kepada saya dan Rendra. “Ayo … kita ke Gedung Nasional. Sebentar lagi acara akan dimulai.” 

Saya berdoa semoga kelak ketika saya seusia Dato Rida masih punya semangat dan tenaga yang prima menggiat kerja-kerja kebudayaan sebagaimana dirinya.

*** 

Kerja-kerja per-Hang Tuah-an hari ini adalah tindak lanjut dari apa-apa yang sudah dimulai sebelumnya. Pada 2018, Dato Rida menjadikan sang laksamana sebagai tema besar dalam helatan Festival Sastra Internasional Gunung Bintan. Saat itu lebih dari 200 penyair dari dalam dan luar negeri yang terlibat dan menulis 2—3 puisi bertemakan Hang Tuah. Kumpulan puisi itu setebal bantal dan bisa menjadi dokumen penting untuk meninjau cara pandang kreatif seorang penyair dalam menafsir Hang Tuah. 

Kalau tak Dato Rida, mana boleh jadilah. 

Maka sejak dua tahun itulah Hang Tuah seperti beroleh “napas baru”. Ia dibicarakan di mana-mana. Ia ditulis menjadi apa-apa. Momentum yang kelewat sayang jikalau dibiarkan begitu saja. 

Pembiaran jelas bukanlah tabiat Dato Rida. Setahun setelah gelaran, ia memboyong obrolan Hang Tuah ke lain tempat. Kalau sebelumnya di Bintan, sekarang berpindah ke Lingga. 

Semesta mendukung. Juramadi Esram—saat itu menjabat sebagai pejabat sementara bupati—adalah seorang birokrat yang pemerhati kebudayaan. Dilancarkannya ide membicarakan Hang Tuah di Bunda Tanah Melayu. 

“Obrolan dengan Jes (panggilan Juramadi) itu yang kemudian mendorong acara ini terlaksana di Dabo Singkep, Lingga dan bukan di Tanjungpinang,” ujar Dato Rida saat malam ramah-tamah dengan jajaran Dinas Kebudayaan Lingga. 

*** 

“Awak nanti catat, ya, semua pertanyaan yang masuk via Zoom,” pesan Rendra. 

Saya mengacungkan jempol. Kami berdua sudah duduk di depan, di kursi moderator, di sebelah videotron sebesar gaban. 

Seperti yang sudah disepakati, Rendra memimpin diskusi sesi pertama. Artinya dari pagi sampai jelang waktu salat Jumat nanti. Tiap-tiap sesi diisi lima pembicara. Rendra kebagian memandu Prof Salleh dari Malaysia, Dr. Mukjizah dan Prof Susanto Zuhdi dari Jakarta, Dr. Anastasia Wiwik dari Tanjungpinang, dan kelompok ekspedisi Bintan. 

Kesepakatan untuk menjadikan Rendra pemandu di sesi pertama adalah siasat saya. Sudah bukan rahasia lagi jikalau acara pagi itu masih berkesan formal dan Rendra, saya yakin, amat piawai menaklukkan panggung-panggung begitu. Ia lihai berpantun—bagus pula. Itu akan jadi kesan yang baik buat sebuah acara, apalagi acara kebudayaan semacam ini. 

Seminar dimulai. Satu per satu pembicara memaparkan makalahnya dari tempatnya masing-masing. Wajah mereka tampil di layar dengan jernih. Sinyal lagi bagus-bagusnya. Saya melihat Rendra mencatat poin-poin yang disampaikan. Mata saya tidak lepas dari kolom komentar di layar laptop. 

Mulus. Tanpa hambatan. Sampai sebuah judul makalah terpampang di layar: Cultural Hero or Historical Hero. Makalah ini dibawakan Prof. Susanto Zuhdi. Dalam penjelasannya, dua istilah ini berbeda. “Dan manakah satu yang akan kita pakai untuk menyebut Hang Tuah?” tanya pengajar sejarah di Universitas Indonesia ini kepada seluruh peserta—juga kepada saya. 

Cultural hero adalah istilah yang dipakai untuk menyebut sosok hero yang tidak bisa dibuktikan secara nyata keberadaannya, tetapi begitu melekat dalam benak suatu bangsa. Sebut saja, seperti Gajahmada dalam alam pikiran orang Jawa atau Hercules bagi orang Romawi. 

Adapun historical hero sudah jelas pemaknaannya; adalah hero yang bisa dibuktikan secara valid keberadaannya di masa lampau. Baik melalui penelitian-penelitian arkeologis maupun dokumen-dokumen historis. 

Lalu istilah mana yang lebih ditepat hendak disandangkan pada Hang Tuah? Begitu retorika yang diulang lagi oleh si pemapar makalah. 

Tidak ada jawaban final dari pertanyaan ini. Hang Tuah sebagai hero begitu melekat di alam pikir orang Melayu. Tak syak. Tak didebat. Setiap orang Melayu pastilah pernah mendengar kewiraannya. Figurnya dijadikan teladan bagi mereka yang hendak menggauli nilai-nilai kemelayuan. 

Tetapi, bisakah sosok Hang Tuah itu lantas disebut sebagai historical hero? Untuk menjawab ini, perlu balik pada pernyataan John Miksic, pemapar dari Singapura, yang merekomendasikan, “Perlu dilakukan penelitian arkeologis lebih lanjut.”

Dengan kata lain, setiap dokumen naskah sejarah yang menyebut Hang Tuah, seperti Hikayat Hang Tuah, Sulalatus Salatin, catatan Okinawa, dan catatan Portugis perlu dilengkapi oleh penelitian-penelitian arkeologis lanjutan. Baik itu di Melaka, di Bintan, juga di Lingga.

Satu hal lain yang membuat seminar ini begitu menarik adalah upaya mengungkap kampung halaman Hang Tuah. Prof. Mohammad Salleh dari Malaysia punya keyakinan—yang sudah divalidasi lewat kajian dan penelitiannya bertahu-tahun—solid perihal ini. Menurutnya, Hang Tuah dilahirkan di  kawasan Sungai Duyung yang berada di Singkep, Lingga. Bukan yang di Melaka, bukan yang di Bintan. 

Keyakinannya mudah dinalar logika. Karena mengacu Hikayat Hang Tuah, kata Prof. Salleh, amat masuk akal jikalau Hang Tuah berkampung halaman di Lingga, sebelum kemudian hijrah ke Bintan untuk mempelajari ilmu agama dan kemudian mengabdi di kerajaan Melaka. 

“Karena dikisahkan pelayaran itu menggunakan sampan lading, itu jenis sampan yang tidak besar. Karenanya yang paling masuk akal dia berlayar dari Lingga kemudian ke Bintan,” ujar Prof. Salleh. 

Logika Prof. Salleh ini turut divalidasi oleh tim ekspedisi Lingga. Beberapa waktu sebelumnya, mereka telah mengunjungi kawasan Sungai Duyung yang terletak di desa Tinjul. Mereka menyusuri anak sungai di desa ini untuk bisa tiba di sana. Dari cerita masyarakat setempat, kawasan ini dahulunya adalah permukiman orang Melayu Sekanak—Melayu tua. Di kawasan ini pula terdapat sumur yang masyhur disebut Perigi Hang Tuah. 

Perigi ini sudah ditetapkan sebagai cagar budaya pada 2010 oleh Pemkab Lingga. Perigi ini pula yang jauh sebelumnya pernah didatangi oleh Prof. Salleh dan Taufik Ikram Jamil, pembicara dari Pekanbaru, yang pada 1991 menulis reportase untuk Kompas.

Hampir pukul lima, seminar disudahi. Saya dan Rendra menarik napas panjang. Kami berdua senang bisa mengambil bagian dalam seminar sepenting ini. Soal benar atau salah simpulan dari seminar sehari jelas bukan ranah kami. Satu yang jelas: seminar ini semakin membuka wawasan kami terhadap sosok wira paling masyhur dalam alam pikir orang Melayu. Apalagi bagi saya, orang Jawa yang kebetulan menyukai sejarah Melayu. 

Saya katakan pada Rendra, “Jadi lebih kenal Hang Tuah lewat seminar ini daripada harus nonton film-nya P. Ramlee.”

Sore di Dabo Singkep lantas kami habisi dengan mandi air panas di Batu Ampar yang konon manfaatnya bisa memulihkan kebugaran tubuh. Satu hal yang kami perlukan untuk menyiapkan ekspedisi menuju Sungai Duyung esok pagi. (bersambung)

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top