oleh Fadly Fauzi dan Faris Joraimi,
Terbit pertama kali dalam bahasa inggris di laman https://s-pores.com/2017/01/the-intellectual-legacy-of-kampung-glam-by-fadli-fawzi-and-faris-joraimi/
Diterjemahkan oleh Adi Pranadipa
Senjakala Kejayaan Cetak Kampung Gelam: Tergerusnya Dominasi di Era Globalisasi Buku Melayu
Rentang tahun 1900 hingga 1920 menandai surutnya kegemilangan industri penerbitan Kampung Gelam yang dulunya berjaya. Ibarat mesin yang kehilangan pelumasnya, roda bisnis penerbitan di jantung Singapura ini mulai menunjukkan tanda-tanda kemunduran.
Tengoklah bagaimana bisnis HM Said, yang semula aktif memproduksi buku, bergeser haluan menjadi sekadar pengecer buku-buku impor pada awal abad ke-20.
Gelombang buku Melayu berkualitas unggul dari percetakan-percetakan di Bombay, Kairo, dan Mekah bak invasi yang tak terhindarkan. Pada tahun 1912, rak-rak buku di Kampung Glam mulai diisi oleh karya-karya yang dicetak jauh di Istanbul, bahkan hingga Rusia.
Fenomena internasionalisasi perdagangan buku Melayu ini agaknya tak lepas dari pertumbuhan komunitas Melayu perantauan di Timur Tengah pada awal abad ke-20.
Kesejahteraan yang meningkat di Tanah Melayu, salah satunya berkat pesatnya perdagangan karet, memungkinkan lebih banyak orang Melayu untuk menuntut ilmu ke pusat-pusat peradaban Islam di luar negeri.
Di sana, permintaan akan buku-buku berbahasa Melayu mendorong pendirian percetakan-percetakan baru. Salah satu yang menonjol adalah Maktabah Fataniah di Mekah, didirikan oleh ulama Melayu terkemuka, Wan Ahmad al-Fatani, yang bahkan mendapat lisensi untuk menyunting dan menerbitkan buku dari Sultan Ottoman Abdul Hamid II.
Dalam pusaran globalisasi industri penerbitan Melayu ini, Singapura mendapati dirinya semakin terpinggirkan.
Daftar kota yang terlibat dalam produksi buku Melayu kian panjang, menjadikan bisnis ini sebagai urusan global.
Tipografi dan Semangat Zaman Baru: Modernitas Menggantikan Tradisi Litografi
Perkembangan teknologi tipografi, sebuah metode penyusunan huruf cetak untuk menghasilkan teks yang rapi, turut mengubah lanskap penerbitan.
Para penerbit lokal di Kampung Gelam, yang sebagian besar masih mengandalkan litografi, kesulitan mengadopsi teknologi padat modal ini.
Bagi sebagian intelektual Melayu saat itu, tipografi bukan sekadar teknologi cetak baru. Ia juga merefleksikan semangat baru dalam kalangan literati Melayu – kesadaran politik yang lebih tinggi dan keinginan untuk melakukan reformasi keagamaan.
Jika litografi melahirkan kembali kegemilangan tradisi manuskrip Melayu klasik, maka tipografi dengan tampilannya yang bersih dan tajam melambangkan kemutakhiran dan kemajuan teknologi.
Kemunculan teknologi baru ini juga memicu lahirnya lembaga-lembaga baru. Salah satu yang paling signifikan adalah Al-Ahmadiah Press, yang berdiri megah beberapa blok dari Jalan Sultan (lokasi Hotel Sultan saat ini) pada tahun 1911.

Didirikan oleh para aristokrat Melayu dari Natuna dan Penyengat, kehadiran percetakan ini tak lepas dari sentimen nasionalisme yang tengah berkobar.
Pemakzulan Kesultanan Riau-Lingga oleh Belanda pada tahun yang sama mendorong banyak aristokrat untuk hijrah ke Singapura dan mendirikan berbagai usaha.
Salah satunya adalah Ahmadi & Co. Midai, sebuah perusahaan dagang patungan yang didirikan oleh Raja Haji Ahmad dan bergerak di bidang impor dan ekspor hingga ke Eropa, India, dan Tiongkok.
Perusahaan dagang inilah yang menjadi penopang Al-Ahmadiah Press, yang awalnya didirikan di Penyengat, sebuah produk dari tradisi intelektual yang kuat di kalangan bangsawan Riau.
Meskipun menerbitkan majalah gaya hidup, Al-Ahmadiah Press juga menghasilkan buku-buku prosa fiksi.
Pergantian abad bukan sekadar menandai perubahan teknologi, melainkan juga sebuah periode transformasi sosial yang signifikan.
Salah satu pemicunya adalah bangkitnya pendidikan vernakular dan literasi massal. Pendirian Sultan Idris Training College (SITC) menjadi tonggak penting dalam perkembangan ini.
SITC menanamkan rasa kebangsaan yang melampaui batas-batas kenegaraan tradisional. Para alumninya memainkan peran krusial baik dalam persiapan kemerdekaan(singapura) maupun setelahnya.

Sumber perubahan sosial lainnya muncul dari gagasan-gagasan keagamaan baru yang digulirkan oleh intelektual Muslim seperti Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh.
Mereka berupaya untuk merevitalisasi dunia Islam dengan menafsirkan kembali teks-teks suci dalam konteks zaman mereka. Pemikiran-pemikiran semacam ini akhirnya mencapai dunia Melayu melalui para ulama seperti Syed Sheikh al-Hady.
Para intelektual ini memanfaatkan teknologi cetak yang baru untuk menyebarluaskan ide-ide mereka. Sebagai contoh, Syed Sheikh al-Hady dikenal luas melalui novelnya, Hikayat Faridah Hanom (1925), yang mengisahkan seorang perempuan muda dari keluarga borjuis Kairo yang menentang perjodohan paksa.
Disebut sebagai novel feminis pertama di kawasan ini, karya tersebut merefleksikan gagasan-gagasan gerakan modernis Muslim yang mulai meresap ke dalam masyarakat Melayu, termasuk emansipasi perempuan.
Bersambung…
Tentang Penulis
Fadli Fawzi saat ini bekerja di bidang hukum. Ia memiliki minat dalam berbagai bidang mulai dari agama, sejarah, politik, dan hukum.
Faris Joraimi saat ini adalah mahasiswa pascasarjana di NYU dan penggemar warisan budaya. Saat tidak membaca literatur Melayu klasik, ia sering ditemukan menulis teks panjang dan penuh semangat pada artikel yang ia bagikan di Facebook.
Kepustakaan
Proudfoot, I. (1993). Early Malay printed books: A provisional account of materials published in the Singapore-Malaysia area up to 1920, noting holdings in major public collections. Kuala Lumpur: Academy of Malay Studies and the Library, University of Malaya.
Salleh, M. H. (1994). Syair tantangan Singapura abad kesembilan belas. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan, Malaysia.
Roff, William. (1995). The Origins of Malay Nationalism. Oxford University Press.
Tajudeen, Imran (2007). “State Constructs of Ethnicity in the Reinvention of Malay-Indonesian Heritage in Singapore.” TDSR Volume XVIII Number
Ishak, M. S. (1998). Penerbitan & pencetakan buku Melayu, 1807-1960. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka