SEBELUM berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), 17 Agustus 1945, Kepulauan Riau merupakan wilayah Kesultanan Melayu. Dalam sejarahnya yang panjang, daerah ini pernah menjadi pusat tiga Kesultanan Melayu pada masa lalu.
Kerajaan Bintan merupakan Kerajaan Melayu pertama yang berdiri di Kepulauan Riau. Perihal Kerajaan Bintan dikemukakan oleh Raja Ali Haji rahimahullah di dalam kamus ekabahasa karya beliau Kitab Pengetahuan Bahasa (Haji, 1858). Berikut ini pemeriannya.
“Bintan yaitu di dalam daerah Negeri Riau [Maksudnya, Riau dalam konteks ketika Raja Ali Haji menulis karyanya itu, yang sekarang dikenal sebagai Kepulauan Riau, tak termasuk Riau Daratan, pen.], satu pulau yang besar daripada segala pulau-pulau di dalam daerah Riau. Adalah ia bergunung yang lekuk di tengah-tengahnya. Adalah rajanya asalnya Wan Seri Beni namanya, yaitu perempuan. Kemudian, datang Raja Tribuana dari Palembang, diperbuatnya anak angkat. Maka, diserahkannya Negeri Riau itu dengan segala takluk daerahnya kepada Raja Seri Tribuana itu. Kemudian Raja Seri Tribuana itulah yang memperbuat Negeri Singapura, dan anaknya menggantikan dia yang berpindah ke Melaka, dan balik ke Johor semula, lalu ke Riau ke Bintan semula. Dialah asalnya Raja Melayu sebelah Johor dan sebelah tanah-tanah Melayu; anak-cucunyalah menjadi raja sampai masa kepada membuat kamus bahasa ini,” (Haji, 1958).
Di dalam karya yang lain, yakni Tuhfat al-Nafis (Ahmad, & Haji dalam Matheson (Ed.), 1982), Raja Ahmad dan Raja Ali Haji menjelaskan bahwa Raja Seri Tribuana datang ke Bintan bersama Demang Lebar Daun. Orang yang disebutkan terakhir itu tak lain dari Raja Bukit Seguntang Mahameru, Palembang, yang menjadi mertua Seri Teri Buana.
Dalam suatu versi Sejarah Melayu (Lanang, 2009) disebutkan bahwa Seri Teri Buana bernama asli Seri Nila Pahlawan, keturunan Iskandar Zulkarnain. Beliau turun ke Bukit Seguntang Mahameru bersama dua saudaranya, Seri Nila Utama dan Seri Krishna Pandita. Kala itu Palembang diperintah oleh seorang raja yang bernama Demang Lebar Daun. Dari sini berpanjanglah riwayatnya, antara lain ada yang sampai ke Bintan, salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau sekarang.
Tatkala mendengar berita ada anak raja besar keturunan Iskandar Zulkarnain turun ke Bukit Seguntang, Raja Demang Lebar Daun segera menemuinya untuk mendapatkan berkat kebesaran anak raja itu. Nila Pahlawan, kemudian, dinikahkan dengan putri Demang Lebar Daun yang bernama Wan Sendari. Baginda kemudian diangkat menjadi Raja Palembang menggantikan Demang Lebar Daun setelah keduanya mengucapkan sumpah setia, yang dikenal sebagai Sumpah Setia Melayu.
Setelah menjadi Raja Palembang, Seri Nila Pahlawan menggunakan gelar Seri Maharaja Sang Sapurba Paduka Seri Trimurti Tribuana. Dalam versi lain Baginda disebut Suparba Seri Tribuana atau Seri Tribuana atau Sang Sapurba saja (Malik, 2018).
Sang Nila Utama menggantikan ayahndanya menjadi raja. Ketika ditabalkan menjadi raja, Baginda memakai gelar Seri Maharaja Sang Utama Parameswara Batara Seri Tribuana. Bagindalah, kemudian, yang memindahkan pusat pemerintahan ke Temasik, yang lalu diberinya nama baru Singapura pada 1324.
Tokoh Sang Sapurba disebut dalam semua versi Sejarah Melayu. Selain itu, Baginda juga dikenal dengan nama Suparba Seri Tribuana, Seri Tribuana, atau Sang Nila Utama. Raja Ali Haji dalam kedua karya beliau di atas hanya menyebutkan nama Seri Tribuana, tak disebutkan Sang Sapurba. Tokoh inilah yang dijadikan anak angkat oleh Wan Seri Beni, Raja Bintan, bahkan dinikahkan dengan Puteri Bintan, putri Wan Seri Beni dan mendiang suaminya Raja Bintan Asyhar Aya (Malik, 2013).
Terdapat beberapa versi tentang tokoh dan waktu kedatangan keluarga Diraja Palembang ke Bintan. Walaupun begitu, mereka berhijrah diperkirakan sekitar abad ke-13 (setelah 1272 M.) yaitu setelah Sriwijaya dikalahkan oleh Kerajaan Tumapel-Singosari. Atas izin Wan Seri Beni jualah, Seri Tribuana memindahkan pusat pemerintahan ke Singapura pada 1324 karena kala itu Temasik menjadi bagian dari Kerajaan Bintan.
Kerajaan Bintan bukanlah kerajaan yang baru. Kerajaan ini diperkirakan telah ada sekitar 300 S.M. Kerajaan Melayu-Hindu Bintan itu berdiri bersamaan dengan kerajaan-kerajaan merdeka kala itu seperti Kerajaan Tarumanegara (Jawa Barat), Kalingga (Jawa), Sriwijaya (Sumatera Tengah), Pasai (Aceh), Langkasuka (Kedah, Malaysia), Patani (Thailand Selatan), Inderapura (Pahang), dan Temasik.
Pada 1292 Marcopolo, pelaut Venesia, sempat singgah di Kerajaan Bintan-Temasik. Beliau mendapati Bintan sebagai bandar yang ramai dan makmur. Rakyatnya pun hidup sejahtera.
Pada masa Kesultanan Melaka, yang raja-rajanya keturunan Bintan, putra-putra Kepulauan Riau yang mulanya berkhidmat di Bintan kembali bersinar di kerajaan yang berpusat di Semenanjung Melayu itu. Ketika Melaka dipimpin oleh Raja Abdullah atau Sultan Mansyur Syah (1458-1477) melejitlah nama-nama Laksemana Hang Tuah (putra Melayu Kepulauan Riau yang berasal dari Sungai Duyung, Lingga) dan sahabat-sahabatnya Hang Jebat, Hang Lekir, Hang Lekiu, dan Hang Kasturi, yang asli Bintan.
Mereka merupakan hulubalang Kesultanan Melaka yang gagah berani. Prajurit di bawah mereka umumnya adalah orang-orang Melayu yang tinggal di pantai-pantai yang biasa disebut Orang Laut, Suku Laut, Orang Selat, dan pelbagai variasi sebutan lain lagi. Bangsa penjajah (Portugis, Inggris, dan Belanda) menyebut mereka Bajak Laut. Merekalah para prajurit yang menjaga wilayah laut kerajaan tanpa rasa gentar terhadap pasukan asing yang hendak menjarah negeri ini.
Pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah itu penjagaan Pulau Bintan, seluruh Kepulauan Riau, dan Singapura diserahkan tanggung jawabnya kepada Laksemana Hang Tuah. Setelah beliau wafat, tugas itu diserahkan kepada menantunya dan putra Laksemana Hang Jebat, yakni Laksemana Hang Nadim, dan seterusnya sampai kepada anak-cucu mereka.
Ketika bangsa Portugis kali pertama tiba di Melaka pada 1509, mereka mendapati Kemaharajaan Melayu Melaka memang luar biasa perkembangannya. Negerinya ramai dan berlimpah kemakmuran.
Bersamaan dengan itu raswah (korupsi) pun sangat bersemarak. Kesemuanya tertera dalam berita-berita China dan kronika Portugis. Dalam catatannya, Tome Pires menulis, “Siapa yang memiliki Melaka, dialah yang menentukan hidup-matinya Venesia.” (Malik, Junus, & Thaher, 2002).
Tak diragukan lagi, itulah punca (penyebab)-nya Melaka diserang Peringgi pada 25 Juli 1511. Pihak penceroboh itu mengerahkan kekuatan 1.600 serdadu dengan 15 kapal besar yang dipimpin oleh Admiral D’Alburqueque. Namun, tak mudah untuk menaklukkan Melaka. Baru pada 15 Agustus 1511 Melaka dapat dikuasai oleh musuh setelah mereka mendatangkan bantuan dari jajahan Portugis di Goa (India).
Setelah Melaka ditaklukkan oleh Portugis, Sultan Mahmud Syah I, Sultan terakhir Melaka, memindahkan kembali pusat pemerintahan yang juga menjadi benteng pertahanan ke Bintan semula. Pusatnya di Kopak yang diperkuat dengan benteng pelindung di Kota Kara. Dari situlah Laksemana Hang Nadim melancarkan serangan terhadap Portugis di Melaka sehingga Peringgi harus menderita kerugian yang tak sedikit jumlahnya.
Pada Oktober 1512 Kota Kara diserang Portugis di bawah pimpinan Jorge d’Alburqueque dan Jorge de Brito dengan kekuatan 600 serdadu. Tak puas dengan itu, penjajah itu datang lagi pada 1523 dan 1524.
Dalam suatu serangan terakhir, Kota Kara dihancurkan dan Kopak dibumihanguskan. Itu dilakukan setelah lebih dulu Pedo Mascarenhas yang memimpin 1.000 serdadu menyerang Bengkalis, salah satu tempat pertahanan Sultan Mahmud, pada 23 Oktober 1526. Dari sana mereka terus ke Pulau Bulang (kawasan Batam sekarang), dan akhirnya ke Bintan.
Sultan Mahmud beredar ke Pelalawan. Dan, pada 1528 Baginda mangkat di Pekan Tua, Kabupaten Pelalawan, Riau Daratan. (Bersambung)