MEMANGGUL PRASASTI BUKIT SIGUNTANG

PRASASTI BUKIT SIGUNTANG DAN BADAI POLITIK DI KEMAHARAJAAN MELAYU  1293-1913
(Sebuah Renungan)       
   

BAB – II

MEMANGGUL PRASASTI  BUKIT SIGUNTANG  

(Bintan Sebagai Pembuka jalan: 1160 – 1293)

Saat kau meninggalkan Lasak (Langakasuka, sebuah kerajaan Melayu di Pattani, Thailand sekarang), dan berlayar 500 mil kearah selatan, kau akan sampai ke sebuah pulau yang bernama Pentan, sebuah tempat yang sangat liar. Semua kayu yang tumbuh di sana terediri dari kayu-kayu harum ….

(Catatan Marcopolo, 1292, seperti dikutip  Ahmad Dahlan dalam bukunya Sejarah Melayu, dengan mengutip Paul Michael Munoz, dalam “Kerajaan-kerajaan awal Kepulauan Indonesia dan semenanjung Malaysia”)

Kemaharajaan  Melayu yang jatuh bangun  lebih 800 tahun  (abad XII sampai abad XX) di semenanjung tanah Melayu, bermula dari Bintan, pulau terbesar dari gugusan pulau-pulau di Kepulauan Riau (karena itu, sebelum bernama Bintan, pulau ini disebut pulau Besar). Di pulau ini, ada sebuah gunung, 1300 meter diatas permukaan laut, dinamakan gunung Bintan. Dari kejauhan, gunung ini kelihatan seperti sebuah kuali yang tertelungkup, yang punggungnya seperti penyok. Di kaki gunung Bintan inilah,  di sebuah tempat bernama Bintan Bukit Batu, dahulunya (diperkirakan pertengan abad XII) ada sebuah kerajaan kecil, bernama kerajaan Bintan Bukit Batu (dalam catatan kronik dan sejarah disebut kerajaan Melayu Bentan Bukit Batu). Kerajaan ini, di masa kerajaan Sriwijaya (700-1377) membentangkan sayap kekuasaannya, menjadi salah satu mandala (daerah taklukan)nya, yang pusat pengendalian kekuasaannya berpusat di Muara Takus, di sungai Kampar, Riau daratan sekarang. Beberapa catatan sejarah, seperti buku Sejarah Riau (Muchtar Lutfi, dkk, 1988), menyatakan, di era keemasannya, Sriwijaya mempunyai 3 pusat kendali pemerintahan. Pertama di Palembang (Sumatera Selatan) sebagai pusat kendali utama, kedua di Muara Takus (Kampar, Riau), dan ketiga di Kedah (Malaysia). Setelah Sriwijaya melemah dan kehilangan kekuasaannya, di penghujung abad ke XIII, kerajaan Bentan Bukit Batu, mulai berusaha melepaskan diri dari pengaruh Kerajaan Sriwijaya, dan mulai membangun hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain yang berada di sekitarnya, seperti kerajaan Siam, dll, meskipun tetap masih menghormati Sriwijaya sebagai penguasanya.

Belum banyak catatan awal yang diperoleh tentang Kerajaan Bentan Bukit Batu ini. Tetapi dikatakan, Raja Bentan Bukit Batu yang awal bisa ditelusuri, bernama Asar Aya (nama ini berbau Hindu/Budha). Raja inilah yang ditunjuk oleh Kedatuan Sriwijaya yang berpusat di Muara Takus untuk memerintah di Bintan dan sekitarnya. Ketika Asar Aya meninggal, dia digantikan puteranya yang bergelar Raja Iskandar Syah (nama ini berbau Islam, tetapi dipastikan pada masa ini Islam belum masuk ke Bintan). Di masa Iskandar Syah ini Bentan Bukit Batu mulai membuka hubungan dengan kerajaan-kerajaan  lain, dan Bintan mulai dikenal sebagai salah satu pusat pemerintahan dan perdagangan di kawasan Selat Melaka dan Laut Cina Selatan. Marcopolo, sang pengembara dari Venesia (Italia) itu, tahun 1292, misalnya pernah sampai ke pulau ini. Ini menunjukkan, pada awal abad XIII itu, Bentan sudah dikenal dan diakui sebagai salah satui entreport perdagangan di kawasan semananjung Melayu.

Di masa pemerintahan Iskandar Syah ini, wilayah kerajaan Melayu Bentan meliputi hampir semua pulau-pulau di Kepulauan Riau, ditambah dengan pulau Singapura (dahulunya namanya Temasik), di ujung semenanjung Melaka (dahulunya dinamakan Ujung tanah). Ketika Iskandar Syah meninggal, karena dia hanya punya seorang puteri, Wan Seri Ben namanya, maka untuk melanjutkan pemerintahan,  menurut Sejarah Melayu (SM) versi W. G. Shellebear (ed, 1976) maupun Sejarah Melayu (Ahmad Dahlan, pen, 2014) dia digantikan oleh permaisurinya Ratu Iskandar Syah. Untuk membantunya dalam mengendalikan urusan pemerintahan, dia didamping oleh dua orang Menteri, Arya Bupala dan Indra Bupala. 

Satu ketika, pada masa pemerintahan Ratu  Iskandarsyah ini, diawal abad XIII, singgah rombongan Sang Sapurba, Raja dari kerajaan Melayu Palembang, yang sedang dalam perjalanannya ke utara, untuk mencari daerah-daerah baru untuk menjadi pusat pemerintahannya yang baru, karena Palembang yang dahulunya menjadi pusat pemerintahan utama Sriwijaya, telah jatuh ke tangan Majapahit. Kerajaan Melayu Palembang sebagai bahagian dari mandala Sriwijaya, berada dibawah ancaman Majapahit, dan karena itu Sang Sapurba, memimpin pasukan dan semua pembesar negerinya, secara diam-diam menyingkir dari hulu sungai Musi  dan menghilir,  mencari daerah baru. Ia  memutuskan,  mengunjungi daerah-daerah yang dahulu menjadi daerah-daerah mandala Sriwijaya , karena akan lebih mudah untuk membangun persahabatan, dan sekutu.

Di Bintan,  Ratu Iskandarsyah, meskipun negeri itu sudah lama membebaskan diri dari pengaruh Sriwijaya, tetap menganggap negeri-negeri yang dahulu sama-sama dibawah pengaruh Sriwijaya, sebagai negara sahabat. Karena itu,  Ratu Iskandarsyah, begitu mendapat kabar ada rombongan Raja Palembang datang ke wilayah kerajaan Bentan (ketika kabar itu disampaikan kepada Ratu Iskandarsyah, rombongan Sang Sapurba itu, berada di perairan pulau Sambu, salah satu pulau di gugusan kepulaun Batam sekarang), begitu gembira, dan bersiap menerima dengan baik kedatangan rombongan Sang Sapurba. Karena itu, rombongan itu sengaja dijemput oleh Aria Bupala dan Indra Bupala, di selat Sambu, dan dibawa masuk ke teluk Bentan, dan terus mudik ke hulu sungai Bintan, ke istana kerajaan Bintan Bukit Batu. Yang ada di hulu sungai. Setelah bertukar tukar informasi,  kedua kerajaan bekas mandala Sriwijaya itu, segera  mempererat persahabatan, dengan antara lain  mengawinkan puteri Ratu Iskandarsyah,Wan Sri Beni dengan putera Sang Sapurba, bernama Sang Nila Utama. Dengan perkawinan politik ini, Ratu Iskandarsyah merasa dapat memecahkan sejumlah masalah politik pemerintahan di kerajaannya, terutama soal siapa nanti yang akan menggantikannya sebagai Raja Bintan Bukit Batu. Setidaknya, dengan perkawinan itu, dia berharap sudah ada pewaris tahta kerajaan Bentan Bukit Batu. Karena itu pula, setelah perkawinan itu, Ratu Iskandarsyah melantik Sang Nila Utama, menjadi Raja Kerajaan Bentan Bukit Batu, menggantikan dirinya. Dan ia sendiri, mundur sebagai penguasa dan hanya menjadi Ibu Suri kerajaan.  

Sang Ibu Suri, setelah melihat kecerdasaan dan sikap kepemimpinan Sang Nila Utama, Raja Bentan yang baru,  dalam menjalankan pemerintahan, maka dia ingin menantunya itu segera mewujudkan mimpi-mimpinya yang sejak lama dia simpan, yaitu meluaskan kekuasaan dan pengaruh kerajaan Bentan, agar negeri itu segera terkenal dan dikenal negeri-negeri lain. Sementara, Sang Nila Utama yang mewarisi jiwa pengembara dan juga penakluk seperti ayahnya, Sang Sapurba, senang dengan tantangan yang diberikan mertuanya, dan segera menyiapkan rombongannya, untuk segera pergi ke luar Bentan, meninjau negeri-negeri yang menjadi daerah taklukan Bentan, dan mencari daerah-daerah baru. Seperti yang dilakukan ayahnya Sang Sapurba, meninggalkan Palembang dan mengembara ke kawasan lainnya. Sang Nila Utama merasa, tidak ada yang terlalu memberatkannya, Karena setelah dia dilantik jadi Raja Bentan, Ayahnya justru pergi lagi kawasan lain, ke daratan Sumatera, yaitu ke bekas pusat pengendalian wilayah Sriwijaya, di sungai Kampar. Kononnya sampai ke negeri Pagaruyung. 

Sang Nila Utama, pergi bersama para pembesar dan pengikutnya, mengunjungi daerah-daerah taklukan kerjaan Bintan, antara lain ke pulau Batam dan sekitarnya. Dari kawasan peristirahatan yang indah di Tanjung Bembam, Batam, dia melihat sebuah pulau lain yang juga sangat indah dan menggoda jiwa pengembaranya, yaitu pulau Temasik. Setelah mendapat informasi dan nasihat dari para pembesarnya, Sang Nila Utaama lalu menyeberang selat Batam menuju pulau itu. Sang Nila Utama merasa lebih nyaman, karena pulau itu selain indah, dan strategis, juga mempunyai sumber daya alam yang cukup untuk mengembangkan kekuasaannya. Pulau itu kemudian diberi nama, Singapura. Karena itu, Sang Nila Utama segera memberi kabar kepada mertuanya dan minta izin untuk menetap di Singapura dan mendirikan kerajaan di sana. Ratu Iskandarsyah  tentu saja setuju, karena itulah ambisinya. 

Maka dimulailah pengembaraan Sang Nila Utama, pewaris darah biru Iskandar Zulkarnain, pewaris darah penakluk Sang Sapurba, sambil memanggul Prasasti Bukit Siguntang, yaitu  sebuah janji suci antara Sang Sapurba, ketika menjejak kaki di Bukit Siguntang, dan bertemu dengan Demang Lebar Daun, pemimpin orang-orang Melayu di daratan Palembang itu. Keduanya berjanji, bahwa  sebagai penguasa, Sang Sapurba akan berlaku adil kepada rakyatnya, orang-orang Melayu. “Jika mereka bersalah, hukumlah, bahkan dengan hukuman bunuh, tetapi janganlah diberi malu dan dihukum secara tidak patut dan tidak usul periksa. Sebaliknya, orang-orang Melayu, takkan pernah mendurhaka kepada Sang Sapurba dan keturunannya, meski betapapun kejamnya. Namun, jika Raja-Raja Melayu itu mula berubah dan berkhianat terhadap sumpah setia itu, maka orang-orang Melayupun akan berhianat”, demikian kata Demang Lebar Daun, dan Sang Sapurba pun menyetujuinya. “Kabul lah paman”, kata Sang Sapurba.

Sepeninggal Sang Nila Utama ke Singapura, maka Ratu Iskandarsyah lalu melantik Tun Telani, putera Demang Lebar Daun, sebagai Raja Bentan Bukit Batu yang baru. Dan Bentan pun seterusnya berlalu menembus waktu, sebagai sebuah kerajaan Melayu, meneruskan  tradisi dan kehidupan sebelumnya.

       Tidak terlalu banyak catatan dan bukti sejarah yang tersisa di kerajaan kecil itu. Bagaimana perkembangannya, dan bilamana kerajaan itu runtuh dan hilang dari peredaran dunia. Dari sisa-sisa tinggalan sejarah, terutama-makam tua, hanya ada satu kompleks pemakaman yang oleh masyarakat setempat diberi nama Makam  Marhum Bukit Batu, sebuah kompleks pemakaman seluas 144 meter persegi, dan berbentuk bujur sangkar. Ada tembok beton, setinggi 1,5 meter. Di dalamnya terdapat enam buah makam tua, masing-masing, berdasarkan nama di batu nisan danm papan pemberitahuannya, adalah makam Dang Pok, Dang Menini, Dang Serene, Dang Sri Beni, Tok Telani, dan Megat Sri Rame.

Keenam makam tua ini masih diluputi legenda dan cerita pusaka, dan agak sulit dikaitkan dengan catatan-catatan sejarah yang sudah ada. Dang Pok, Dang Menini, misalnya, adalah nama-nama yang ditemukan dalam buku Sejarah Melayu (salalatus Salatin)nya Tun Sri Lanang, baik versi W. G. Shellabear, maupun versi Siak, ketika bercerita tentang asal usul para penguasa Melayu yang datang ke Bukit Siguntang. Di buku kronik klasik itu, disebutkan tentang Wan Pok (bukan Dang), Wan Malini (bukan Dang Menini), kakak beradik yang tinggal di Bukit Siguntang, berladang padi, yang ketika bangun pagi menemukan padi di sawahnya berbuah emas, dan mereka bertemu dengan tiga orang: Nila Pahalawan, Krisna Pandita dan Nila Utama, yang mengaku keturunan Iskandar Zulkarnain, keturunan Nabi Sulaiman. Tentang padi berbuah emas itu, di Bintan pun, masih ada cerita pusaka itu, dan bahkan peninggalan sejarah yang dikatakan padi berbuah emas itu, disimpan oleh penduduk Bintan Bukit Kapur, sekarang. Sementara Dang (wan) Sri Beni, dalam masa kerajaan Bentan Bukit Batu, dikatakan adalah puteri Ratu Iskandarsyah, Raja Bentan Bukit Batu, yang kemudian dikawinkan dengan Sang Nila Utama, putera Sang Sapurba, ketika Sang Sapurba, datang ke Bintan, dalam pengembaraannya dari Palembang. Sementara Tok Telani, mungkin Tun Telani, putera Demang Lebar daun, pernah menjadi Raja Bentan Bukit Batu, menggantikan Sang Nila Utama, ketika Sang Nila Utama, pergi ke Singapura dan membangun kerajaan disana.  

Tapi yang agak sulit dan masih gelap, adalah makam Megat Sri Rame, karena tokoh ini, namanya muncul di zaman kerajaan Johor, abad XVII, di era pemerintahan Sultan Johor Mahmud Syah II ( 1685-1699). Megat Sri Rama inilah yang membunuh Sultan Mahmud Syah II saat Sultan muda yang memang temperamental itu, sedang dijulang menuju masjid untuk sembahyang Jumat. Pembunuhan itu dilakukan Megat Sri Rama, karena Sultan Mahmud Syah II dinilainya zalim, dan telah membunuh isterinya Dang Anom, yang sedang hamil tua, gara-gara hanya seulas nangka. Megat Sri Rama itu, disebut juga laksamana Bentan. Tetapi, di Johor, di kampung  Kuantan, Kota Tinggi, ada juga makam yang dikatakan makam Megat Sri Rama. Laksamana Bentan itu dikatakan tewas oleh keris Sultan Mahmud Syah II, sesaat setelah dia menikamkan kerisnya ke lambung Sultan Mahmud, dan Mahmud Syah II membalasnya dengan melempar keris saktinya ke tumit Megat Sri Rama. Mahmud Syah tewas, tetapi Megat Sri Rama pun tewas. Adakah makam Megat Sri Rame yang ada di komplek Makam Marhum Bukit Batu itu, adalah makam Megat Sri Rama, laksamana Bentan yang membunuh Mahmud Syah II? Atau Megat Sri Rame, salah seorang pembesar kerajaan Bentan Bukit Batu, yang menjadi asal keturunan Megat Sri Rama, yang tewas di Johor itu? Atau memang, setelah membunuh Mahmud Syah II,  1699, di Kota Tinggi, Johor itu, Megat Sri Rama berhasil melarikan diri atau dilarikan ke Bentan, dan wafat disini, atau dia tewas di Kota Tinggi, Johor, dan jenazahnya dibawa ke Bentan, dan dimakamkan disini? Wallahualam. Tetapi, seperti dikisahkan di dal;am Hikayat Siak ( Tengku Said bin Tengku Derris, Siak ) empat tahun Megat Sri Rama tidak menentu keadaaannya setelah tertikam keris Sultan Mahmuid. Hiodup tidak, matipun tidaak. Dan masyarakat setempat, di kaki gunung Bintan, percaya, itulah makam Megat Sri Rama, Laksamana Bentan itu. Karena itu, mereka masih percaya, bahwa para keturunan Megat Sri Rama dari Bentan itu, akan muntah darah, jika datang ke tanah Johor, meskipun sudah lebih dari tujuh keturunan, sebagaimana sumpah Sultan Mahmud Syah II, ketika merasakan bisanya keris Megat Sri Rama.

Kompleks Makam Marhum Bukit Batu, sampai saat ini masih sangat dikeramatkan oleh masyarakat setempat, dan setiap tanggal 27 Rajab, ada acara kenduri doa selamat disini. Masyarakat datang dari berbagai pelosok, bahkan juga dari Singapura dan Malaysia, dan ikut larut dalam acara ritual di komplek pemakaman itu. Meskipun tradisi berkenduri disitu itu, baru ada semasa zaman Jepang (tahun 1942-an), karena masyarakat disana berdoa di komplek pemakaman tua itu untuk keselamatan keluarga mereka (suami, anak dan saudara lainnya) yang diambil Jepang, baik untuk romusha, maupun sebagai Heiho. Makam-makam lain yang ditemukan, dan sekarang dirawat dengan baik, umumnya adalah makam tokoh-tokoh sejarah yang muncul setelah kerajaan Melayu Melaka eksis, di Semenanjung tanah Melayu itu, atau diawal abad XIII. Seperti makam Sultan Ahmadsuyah, Raja Muda Melaka yang mati diracun keluarga istana. Makam Laksamana Koja Hassan, salah seorang laksamana Melaka yang terkenal, pengganti Laksamana Hang Tuah, Makam Hang Nadim, Laksamana Melaka, anaknya Hang Jebat, dll.

Begitulah, Bintan dan jejak serjarahnya. Dan bagai-manapun, dari sinilah perjalanan panjang Kemaharajaan Melayu itu bermula. Di mulai dari Bintan, lalu ke Singa-pura, ke Melaka, ke Johor, kembali ke Bintan, terus ke Lingga, dan berakhir di pulau Penyengat Indrasakti, dalam rentang hampir delapan Abad. Karena itu, para penulis kronik budaya dan sejarah kawasan ini, menamakan Bintan sebagai Negeri Pembuka Jalan….

Dari Bintan ke Semenanjung, 

Membangun negeri, mewariskan budaya.

Adat resam, harus dijunjung

Jika tak hendak ditimpa bala  

      Begitu kira-kira pesan Ratu Iskandarsyah kepada menantunya Sang Nila utama, ketika membentangkan layar, meninggalkan Bintan, memulai pengembaraan politiknya, membangun dinasti Melayu, dibawah tuah dan daulat Iskandar Zulkarnaen….

     Meskiupun tidak sehebat dan sedahsyat kisah penaklukan Islam terhadap berbagai belahan dunia kedalam satu kekuasaan kaum Muslim, tetapi kisah Sang Nila Utama, bersama isterinya Wan Sri Beni dan Demang Lebar Daun, yang berangkat dari negeri Bentan, dan mengharungi kawasan Semenanjung, dan akhirnya membangun sebuah Emperium Melayu, layaklah dibandingkan dan disandingkan.

       “ Bagaimana bisa, orang-orang tanpa senjata, berkuda tanpa baju baja dan perisai, berhasil memenangkan pertempuran ……….dan meruntuhkan semangat kebanggaan dari orang-orang Persia, hanya dalam priode yang sangat singkat seluruh dunia diambil alih …………………”

                       ( Hugh Kennedy, Penaklukan Muslim yang Mengubah Dunia, terjemahan, Alpabet, Jakarta, 2015 )                  

                            ****

Selengkapnya :
BAB I
https://jantungmelayu.co/2020/07/prasasti-bukit-siguntang-dan-badai-politik-di-kemaharajaan-melayu-1293-1913-sebuah-renungan/

BAB II
https://jantungmelayu.co/2020/07/memanggul-prasasti-bukit-siguntang/

BAB III
https://jantungmelayu.co/2020/07/luka-hati-sang-rajuna-tapa-jatuh-bangun-kerajaan-melayu-singapura-1294-1392/

BAB IV
https://jantungmelayu.co/2020/07/sebelum-berbunyi-meriam-peringgi-jatuh-bangun-kerajaan-melayu-melaka-1394-1528/

BAB V
https://jantungmelayu.co/2020/07/bisanya-keris-megat-sri-rama-jatuh-bangun-kerajaan-melayu-johor-1529-1722/

BAB VI
https://jantungmelayu.co/2020/07/jejak-tapak-sang-laksamana-sungai-carang-menjadi-pusat-kerajaan-riau-johor-1673-1782/

BAB VII
https://jantungmelayu.co/2020/07/kinja-daeng-marewa-dan-dendam-tun-dalam-jatuh-bangun-kerajaan-riau-johor-1723-1787/

BAB VIII
https://jantungmelayu.co/2020/07/jembia-cinta-kuala-bulang-akhir-kerajaan-riau-lingga-johor-1812-1913/

BAB IX
https://jantungmelayu.co/2020/07/akhirnya-berpisah-di-tanjung-puteri-hari-hari-terakhir-kerajaan-singapura-johor-pahang-1819-1878/

BAB X
https://jantungmelayu.co/2020/07/dan-bunda-tanah-melayu-pun-tersedu/

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top