SEBELUM BERBUNYI MERIAM PERINGGI (Jatuh Bangun Kerajaan Melayu Melaka, 1394-1528)

PRASASTI BUKIT SIGUNTANG DAN BADAI POLITIK DI KEMAHARAJAAN MELAYU 1293-1913
(Sebuah Renungan)

BAB – IV
SEBELUM BERBUNYI MERIAM PERINGGI
(Jatuh Bangun Kerajaan Melayu Melaka, 1394-1528)

Kerajaan Melaka,  didirikan Parameswara, keturunan Sang Nila Utama itu, dan Parameswara membawa catatan kelam se;ama jadi Raja di Singapura, menuju kawasan semenanjung, dan berambisi kerajaan yang dia bangun akan besar dan cemerlang, seperti kerajaan yang dibangun Sang Nila Utama, moyangnya, di Singpura. Kerajaan Melayu Melaka, akhirnya memang tumbuh menjadi kerajaan Melayu yang besar dan termasyhur kemana-mana. Selain di kawasan semenanjung Melaka (dinamakan berdasarkan nama kerajaaan yg didirikan Parameswara), juga ke kawasan lain. Ke pulau Jawa yang jadi pusat kekuasaan Majapahit. Ke negeri Siam (Thailand), Burma, dan bahkan sampai ke negeri China dan Persia. Tak kurang dari 134 tahun, sejak didirikan Parameswara tahun 1394, kerajaan Melayu Melaka tegak dan berkembang, bahkan kemudian tumbuh sebagai pusat sebuah imperium Melayu (kemaharajaan Melayu), sebelum akhirnya, tahun 1511, Melaka ditaklukkan oleh Portugis, dan Sultan terakhirnya Mahmud Syah (dalam buku-buku sejarah juga ditulis sebagai Mahmud Syah I, karena kelak pada kerajaan penerusnya, seperti Johor, masih ada beberapa Sultan yang bernama Mahmud), menyingkir dan mencari tempat perlindungan baru, ke Bintan. Dari Bintan dia melakukan perlawanan selama hampir 15 tahun, sebelum akhirnya memutuskan menyingkir ke Pekantua, Kampar di daratan Sumatera (Riau sekarang), setelah Kopak dan Kota Kara, pusat pertahanan Mahmud Syah di Bintan, jatuh ke tangan Portugis. Mahmud Syah wafat di Pekantua, tahun 1528. Tak kurang dari 230 tahun setelah Sang Nila utama meninggalkan Bintan dan membangun kerajaan Singa-pura, jejak kerajaan Melayu itu kembali lagi ke Bintan, ke pulau yang oleh para pengamat sejarah selalu disebut sebagai “pangkal jalan”, tempat jejak awal kebesaran sejarah Melayu itu bermula.

Banyak perisitiwa dan kejayaan penting yang terjadi semasa kerajaan Melaka ini, sebelum berbunyi Meriam Peringgi (Portugis) . Bukan saja wilayah kekuasaannya membentang jauh ke selatan sampai ke Jambi, Palembang, Bangka, Siak, Inderagiri,  juga ke Bintan, Lingga, sampai ke kawasan Natuna dan Anambas  (dahulu disebut pulau Tujuh). Pada masa kerajaan Melaka inilah, agama Islam mulai masuk ke kawasan semenanjung ini melalui Pasai dan Perlak, di Aceh. Dari sinilah kemudian agama Islam itu menyebar ke seluruh kawasan nusantara, sampai ke Maluku dan Ternate. Sampai ke Bali dan Lombok. Sampai ke puncak Natuna, di utara Laut Cina Selatan dan  Lampung, ujung selatan pulau Perca (Sumatera). Dari Melakalah kemudian Bahasa Melayu, sebagai bahasa pergaulan, sebagai bahasa perdagangan, sebagai  bahasa literasi, berkembang dan menjadi pemersatu kawasan nusantara dalam buhulan budaya dan tamaddun Melayu. Kebesaran Melaka dan kekuatan angkatan perangnya telah membuat Majapahit yang dahulunya begitu ekspansif dalam mengembangkan wilayah kekuasaannya menjadi gerun. Meskipun pernah beberapa kali  Majapahit mencoba menyerang Melaka, tapi tak pernah berhasil. Bahkan, sebaliknya Melakalah yang dikatakan pernah mengobok-obok Majapahit, meskipun itu masih sebatas cerita pusaka, seperti dikisah dalam Sejarah Melayu dan juga Hikayat Hang Tuah. Melaka menaklukkan Majapahit tidak dengan perang, tapi dengan  kata-kata (diplomasi) dan sebilah keris Laksamana Hang Tuah. Misalnya, Hang Tuah dikatakan berhasil merebut keris Tameng Sari dari panglima Majapahit, yang menjadi symbol keperkasaan negeri itu. Sultan Melaka, Mansyur Syah (1456-1477), dengan ketampanan, diplomasi dan kuasa besarnya, berhasil meruntuhkan hati dan menyunting Puteri Galuh Candra Kirtana, puteri Batara Majapahit yang jelita itu Tidak Cuma isteri, Mansyur Syah juga berhasil mendapatkan sejumlah daerah jajahan baru, seperti Jambi dan Pulau Tujuh, yang dihadiahkan Betara Majapahit, kepadanya. “Tak usahkan Jambi dan Pulau Tujuh, jika Ananda minta sepertiga negeri Majapahit inipun, ayahda beri”, begitu kata Betara Majapahit, seperti ditulis Sejarah Melayu (SMW). Ketika itu, kalau, menurut takrif sejarah Majapahit, yang  menjadi Raja Majapahit adalah Ratu Sahina (1427-1477).

Setelah misi diplomatik Melaka ke Mojopahit itu, maka hubungan antara kedua kemaharajaan itu begitu erat. Sampai-sampai dijadikan sampiran pantun: Kalau roboh kota Melaka, papan di Jawa kami tegakkan. Bahkan, putera Mansyur Syah hasil perkawinannya dengan Galuh Candra Kirana, yang dinamakan Raden Kelang (karena dia ditetapkan sebagai pemegang kuasa kerajaan di Kelang atau Klang sekarang), telah disiapkan menjadi Sultan Melaka, bila Mansyursyah wafat. Raden Kelang ini ditetapkan sebagai calon pengganti, karena ketika itu hanya dialah yang paling tepat, dari putera-putera Mansyur Syah yang ada. Anak tertuanya Raja Muhammad, telah dihukumnya, tidak boleh menjadi Sultan Melaka. Dia dibuang ke Pahang dan dijadikan Sultan di sana, gara-gara membunuh Tun Besar, putera Tun Perak, Bendahara Melaka. Anaknya dengan Hang Lipo, puteri Cina itu, meninggal. Hanya takdir, berkata lain, sang Putera Mahkota mati terbunuh, gara-gara ada seorang yang mengamuk, dan karena semua orang lari, maka Raden Kelang pun, menghunus kerisnya, dan menyongsong si pengamuk. Mereka saling bertikaman, dan kedua-duanya tewas. Bukan main marahnya Sultan Mansyur Syah, semua pengawal puteranya yang mengiringnya berjalan-jalan  waktu itu, dihukum bunuh. Puteri Galuh Chandra Kirana, sangat berduka, dan Kerajaan Majapahitpun, kecewa, karena singgasana Melaka yang sudah di depan mata, ditakdirkan luput. Dan sampiran pantun pusaka, kalau Roboh kota Melaka ityu, harus diubah, karena papan yang harus ditegakkan itu, tidak lagi di tanah jawa. Meskpun perbancuhan keturunan Melayu-Jawa, telah terjadi, dan akan terus terejadi di waktu-waktu setelah itu.

Demikian juga dengan negara-negara besar di utara semenanjung, seperti Siam, Champa, India, dan juga China, dan bahkan Jepang. Hang Lipo, permaisuri Mansyur Syah, adalah puteri Cina, yang diperolehnya melalui misi diplomatik ke Cina, juga bersama Laksamana andalannya, Hang Tuah. Era Melaka itu, adalah era perdagangan yang menjadi teras hubungan antar negara, dan agama sebagai sistem pembangunan politik dan peradaban. Melaka menjadikan Islam sebagai landasan pembanguan kebudayaannya, bersaing dengan dua agama dan kebudayaan lain disekitarnya. Agama/kebudayaan Hindu di India dan Majapahit dan sekitarnya, Budha/Confucius di Siam/ China dan Jepang. Perebutan wilayah dan kekuasaan berkutat dalam sistem pengaruh dan infiltirasi agama, kebudayaan dan perdagangan (ekonomi) itu, dan membuat semua pihak saling menahan diri dan saling menghormati. Era Melaka, adalah era paling damai di kawasan semenanjung Asia, sebelum negeri-negeri Eropa, seperti Spanyol, Portugis dan Belanda, sebagai penganut Kristen, datang dari Eropa, melalui jalur perdagangan dan memaksakan kolonialism sebagai sistem yang membungkus misi Kristenisasi mereka. Banyak pengamat sejarah menyatakan, penaklukan Melaka, adalah bahagian dari matarantai Perang Salib, mata rantai perseteruan Islam dan Kristen. Yahya Abubakar, sejarawan dari Universitas Kebangsaan Malaysia, dalam essai sejarahnya  yang dimuat di jurnal  Sejarah Melaka, tahun 1982, berjudul  “Kemasukan Islam ke Melaka dan Penyebarannya”, menyimpulkan, bahwa karena keberadaan Melaka sebagai pusat perdagangan dan pusat pekembangan agama Islamlah, yang mendorong orang-orang Portugis-Kristen, menaklukkannya pada tahun 1511. Selama beberapa abad sebelumnya mereka telah memerangi orang-orang Islam sama ada dalam negaranya, maupun sampai ke Afrika Utara. Mereka mendapat tantangan hebat dari orang-orang Islam yang mereka gelar sebagai orang “Moor”. Dengan demikian, orang Portugis melakukan pelayaran mengelilingi selatan Afrika, sampai ke India, dan terus ke kepulauan Melayu. Kemana saja mereka pergi, Islam dan penganutnya dilihat oleh orang-orang Portugis sebagai musuh utamanya…”.

Raja Megat Iskandar Syah (1414-1424), putera Parames-wara, adalah Raja Melaka yang pertama masuk Islam. Diperkirakan sekitar tahun 1414, atau 20 tahun setelah kerajaan Melaka berdiri. Islamnya Megat Iskandarsyah ini, antara lain karena pengaruh permaisurinya, puteri Raja Pasai (Aceh sekarang). Pasai, adalah negeri pertama di kawasan nusantara ini, tempat masuknya agama Islam, yang dibawa oleh ulama dan saudagar dari Gujarat (India Selatan). Sampai akhir masa kebesarannya, Melaka diperintah oleh 8 Sultan. Parameswara, Raja terakhir Singapura dan pendiri Melaka (1394-1414), Megat Iskandar Syah ( 1414-1424), Muhammad Syah (1424-1444), Ibrahim Sri Parameswara Dewa Syah (1444-1446), Muzafar Syah I (1446-1456), Mansyur Syah (1456-1477), Alaudin Riayat Syah I (1477-1488), dan Mahmud Syah (1488-1428). Ada juga sementara buku sejarah yang memasukkan  Ahmad Syah dan Alaudin Riayat Syah II, (keduanya putera Mahmud Syah) yang menggantikan Mahmud Syah sebagai Sultan Melaka juga. Ahmad Syah (1511-1516) dan Alaudin Riayat Syah (1528-1529). Namun ada juga penulis yang lainnya, mencatat bahwa Ahmad Syah hanya sebagai Raja Muda (Wakil Sultan) Melaka, dan Alaudin Riayat Syah, juga Wakil Sultan, sebelum menjadi Sultan Johor yang pertama, kerajaan penerus Melaka. Artinya, dengan wafatnya Mahmud Syah, maka berakhir sudah Kerajaan Melaka dan itu terjadi tahun 1528.

Diantara Sultan-Sultan Melaka itu, yang paling terkenal dan diketahui membuat jejak sejarah Melaka yang cemerlang, adalah Mansyur Syah (1456-1477). Era pemerintahan nya dicatat sebagai era kejayaan Melaka dan puncak kebesaran tamaddun Melayu. Di masa dialah hidup dan berbakti Hang Tuah, sebagai laksamana yang tersohor dan legendaris. Dimasa dialah, Tun Perak, sebagai Datuk Bendahara,  menjadi seorang politikus dan negarawan yang piawai sehingga mampu membangun hubungan antar negara dan mampu menyelesaikan berbagai konflik politik dalam kerajaan Melaka, dan mewariskan sistem pemerintahan dan politik Melaka yang kemudian dianut oleh kerajaan-kerajaan penerusnya, baik di Semenanjung Melaka (Johor, Pahang, Terengganu, Perak, dll), maupun di kawasan lain yang menjadi dearah taklukannya (Siak, Inderagiri, Palembang, Jambi, Riau dan Lingga, bahkan Asahan). Di masa Mansyur Syah inilah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan berkembang, sehingga Bahasa Melayu tersebar kemana-mana. Di masa Mansyur Syah ini juga lahir karya-karya klasik Melayu, karena pengaruh kebudayaan Islam dan Persia. Dua produk budaya dan  politik yang penting dan jadi referensi setelah itu adalah lahirnya Hukum Qanun Melaka (kitab undang-undang Melaka), dan Undang-undang Pelayaran Melaka (qanun pelayaran), yang setelah kedua karya itu dihasilkan, menjadi rujukan dan sumber studi  negeri-negeri lain. Diplomasi politiknya membangun persahabatan dengan Cina dan Mojopahit, menyebabkan Melaka lebih tenang, dan dapat membangun negeri, dan tidak dihantui oleh perang, kecuali perang di dalam negeri atau perang penaklukan negeri-negeri sekitar Melaka seperti Siak, Indragiri dan Kampar, bahagian dari penegakan kedaulatannya.

Kebesaran Melaka adalah kebesaran tamaddun Melayu, yang dibangun atas landasan Islam. Itulah  salah satu sumbangan terbesar kebudayaan Melayu terhadap kebudayaan dunia, hingga saat ini, selain Bahasa Melayu. Sumbangan kebudayaan ini, juga menandai keberadaan selat yang memisahkan semenanjung Melaka dan pulau Sumatera, selat yang menjadi salah satu urat nadi perhubungan dan pelayaran yang terpadat di dunia, yaitu Selat Melaka (The Malacca Strait). Selat ini menjadi rebutan berbagai kuasa perdagangan dan kolonialisme dunia seperti Sepanyol, Portugis, Belanda dan Inggeris. Dan di era yang lebih modern adalah Jepang dan China. Meskipun yang dinamakan tamaddun Melayu itu, berakar jauh ke masa sebelumnya. Seperti dikatakan Zainal Kling, salah seorang budayawan Melayu, dalam salah satu essai budayanya, dalam buku Nilai-Nilai Melayu  (Gapena, 2010): “Zaman Sriwijaya merupakan titik pasti dalam sejarah perjalanan tamaddun Melayu yang telah lama bermula, sejak zaman pra sejarah…”. Dan Melaka dengan kebesarannya, telah menyambung dan meluaskannya, dengan Islam sebagai sandarannya.

Sultan terakhirnya kerajaan Melayu Melaka, adalah  Sultan Mahmud Syah. Dia mulai memerintah tahun 1488.  Dimasa pemerintahannya, tahun 1511, Melaka dikalahkan oleh Portugis, yang menyerang Melaka dibawah pimpinan Alfonso de Albuquerque, seorang laksamana laut yang hebat dan cerdik dalam mengatur strategi. Serangan armada portugis yang kuat dan bersenjata lengkap, 25 Agustus 1511 itu, memaksa Mahmud Syah, mundur dan menyingkir ke selatan. Anaknya Raja Ahmad, Raja Muda (Wakil Sultan) yang meneruskan perlawanan. Tetapi akhirnya dia harus ikut ayahnya, mundur  ke Pagoh, arah selatan mendekati  Johor bersama pasukan-pasukan yang masih selamat. Karena terus diburu oleh pasukan Portugis, Raja Ahmad menyingkir terus ke Pahang, di timur Semenanjung, salah satu kerajaan yang menjadi daerah taklukan Melaka. Sementara Mahmud Syah, bersama sisa-sisa pasukannya  yang mulanya mundur ke Bertam, lalu ke Muar, juga ke arah Johor, kemudian menyingkir ke Pahang. Dari Pahang, mereka menyeberang menuju pulau Bintan, salah satu pulau di selatan semenanjung, yang menjadi daerah taklukan Melaka. Sekitar 2 tahun, Mahmud Syah dan Raja Ahmad melakukan perlawanan gerilya di daratan semenanjung, mencoba merebut kembali Melaka, tapi gagal,  akhirnya sekitar bulan Juli 1513,  mereka tiba di Bintan.

Perlawanan ini menunjukkan, meskipun kota Melaka, pusat pemerintahannya jatuh ke tangan Portugis (dalam naskah lama disebut Peringgi),  tapi kerajaan Melaka masih tegak, masih eksis dan berdaulat, selama Sultannya masih bebas, dan tetap memimpin perlawanan dari daerah-daerah kekuasaannya yang lain. Kedaulatan sebuah negeri melekat pada Sultannya, pada mahkota, pada alat kebesarannya. Jika itu utuh, dan bisa diselamatkan, maka negeri itu masih merdeka dan berdaulat dengan daulat itulah Mahmud Syah melakukan perlawanan, dan berupaya untuk merebut kembali Melaka.

Di Bintan, Mahmud Syah, kembali membangun pusat pemerintahan, membangun benteng-benteng, menambah armada perang, tentara, dan persenjataan lainnya, untuk menghadapi serangan Portugis yang terus memburunya. Pusat pemerintahan Mahmud Syah, dibangun di hulu sungai Bintan, di Kopak Sementara benteng pertahanannya, diberi nama Kota Kara, sebuah benteng yang tangguh, yang menurut catatan sejarah dibuat dari lumpur (mud), mengempang anak sungai Bintan, menghalang semua arus kapal untuk masuk ke hulunya, dimana Sultan beristana, di Kopak. Di muka benteng, dalam bentangan anak sungai, dicacak kayu-kayu untuk menghalang kapal-kapal masuk ke sana.

Di Kopak, Bintan, Mahmud Syah memulai kembali pemerintahan dan upayanya untuk merebut kembali Melaka. Portugis memang belum bisa mengejar Mahmud Syah sampai ke Bintan, karena selama 2 tahun setelah merebut Melaka, keberadaan mereka di bekas pusat kemaharajaan Melayu itu terus diganggu oleh para pengikut Melaka. Karena itu mereka membangun benteng pertahanan yang baru, yang lebih kukuh daripada benteng kerajaan Melaka yang mereka rebut. Benteng mereka yang baru diberi nama, A Formosa, yang  sampai saat ini masih utuh di Melaka. Dari benteng inilah mereka terus menghadapi serangan para pengikut Kerajaan Melaka. Salah satu perlawanan yang sengit dilakukan oleh Patih Kadir dan pasukan asal Jawanya, dan para pengikut Raja Ahmad. Tapi, karena kalah persenjataan dan jumlah pasukan, akhirnya Raja Ahmad dan Patih Kadir, dan sekutunya, kalah.

Setelah itu Mahmud Syah dan sekutunya, membangun kesepakatan baru untuk mengusir Portugis dari Melaka. Kesepakatan itu antara lain dilakukan dengan Aceh, Demak, Palembang, Aru (Sumatera Utara), Pahang, Terengganu dan Indragiri. Tahun  awal 1514 terjadilah perang laut yang besar, mengepung Melaka. Armada Demak dipimin Dipati Unus dan menjadi pemimpin koalisi penyerangan itu. Dia membawa tak kurang 100 kapal perang dengan 10 ribu prajurit, gabungan Demak dan Palembang. Sementara Melaka dipimpin oleh Laksama Hang Nadim dengan membawa 34 perahu perang, dan ribuan prajurit. Portugis hampir saja menyerah karena blockade bahan makanan dan lainnya yang dilakukan koalaisi Melaka-Demak itu. Portugis tereancam kelaparan, kehabisan bahan makanan. Tapi, di saat-saat kritis itu, mereka  mendapat bantuan armada perang dan bahan makanan dari Goa (pangkalan Portugis di India), dan akhirnya pasukan sekutu dibawah pimpinan Dipati Unus dan Hang Nadim, kembali dikalahkan, dan harus mundur ke negara masing-masing. Mereka kalah persenjataan dan kekurangan bahan makanan juga, karena peperangan yang  berlangsung cukup lama.

Ambisi Mahmud Syah untuk, merebut kembali Melaka, tak pernah padam. Setahun kemudian, dia membangun kekuatan perang baru, bersama daerah taklukan Melaka, seperti Indragiri, Siak, Pahang, dan Selangor. Laksamana Hang Nadim kembali memimpin angkatan laut Melaka. Sedang di daratan semenanjung  dengan pusat penyeranagan di Pagaoh dan Muar, dipimpin Nara Singa (Raja Indragiri), dan sekutunya bersama pasukam Melaka, dibawah pimpinan  panglima Melaka Paduka Tuan. Kali ini pun  hampir saja Portugis dikalahkan. Pasukan Melaka sudah mengepung benteng A Farmosa, sebahagian prajuritnya sudah berhasil memanjat tembok benteng. Pasukan Portugis, sudah hampir menyerah. Tapi kembali keberuntungan dan siasat perang menyelamatkan mereka. Armada perang dan bahan makanan, datang pada saat kritis itu dari Pegu (Birma), salah satu benteng pertahanan Portugis di Asia Selatan. Portugis yang mendapat tambahan senjata, armada, dan makanan, berbalik menyerang balik. Mereka merebut benteng Melaka di Pagoh dan Muar, dan memukul mundur Hang Nadim dan pasukannya. Pedro Marcarenchas, pengganti Alfonso de Albuquerque, sebagai Gubernur Melaka, ternyata sama tangguh dan cerdik seperti Alfonso de Albuquerque, sang penakluk Melaka.

Dua kali gagal merebut Melaka, membuat Mahmud Syah menunda ambisinya merebut kembali Melaka, dan membenahi pemerintahan dan memperkuat pertahanannya di Bintan. Lebih 5 tahun dia melakukan konsolidasi, termasuk menyelesaikan konflik perebutan tahta di lingkungan kerajaannya. Ambisi Mahmud Syah merebut kembali Melaka tak terlepas dari dukungan Permaisurinya Tun Fatimah, puteri Tun Matahir, Bendahara Melaka pengganti Tun Perak. Tun Fatimah itu, selain permaisuri yang cerdik, penuh siasat, juga seorang pejuang yang tak kenal takut. Dia ikut berperang melawan Portugis di berbagai pertempuran di laut dan di darat. Dalam masa konsolidasi itulah Mahmud melakukan berbagai keputusan politik, yang kelak akan sangat berpengaruh  pada masa-masa akhir kerajaan Melaka. Mahmud Syah misalnya, menyingkirkan Raja Ahmad, puteranya yg sudah sempat dilantiknya sebagai Raja Muda Melaka, yang telah mendampingi menghadapi Portugis. Raja Ahmadlah yang  seharusnya akan menggantikannya sebagai Sultan Melaka. Raja Ahmad disingkirkan, karena dituduh  terlalu arogan, dan kurang menghargai para pembesar kerajaan yang tua-tua. Dia dianggap, membentuk kelompok para bangsawan muda, sekitar 12 orang, dan melakan berbagai tindakan yang menyebabkan suasana istana Kopak, kurang nyaman. Beberapaa catatan menyatakan, Raja Ahmad telah dibunuh dengan cara diracun. Mahmud juga menyingkirkan menantunya Raja  Abdullah, Raja  Kampar, karena diketahui membelot dan memihak Portugis.

Masa konsolidasi itu digunakan Mahmud Syah untuk memperkuat pertahanannya di Bintan. Portugis yang menyangka Mahmud Syah mulai lelah dan kehilangan kekuatan terutama karena konflik politik di dalam negeri, segera bersiap memburu Mahmud Syah. Tak kurang dari 8 kal, sejak 1516, percobaan dilakukan Portugis. Yang terbesar, misalnya, tahun 1521, dibawah pimpinan George de Albulquerque (bukan Alfonso Albuquerque), membawa 8 buah kapal perang dan sekitar 600 prajurit, menyerang Bintan. Tapi mereka gagal menaklukkan Benteng Kota Kara, dan dipukul mundur. Tahun 1523, dipimpin Laksamana Don Sancho Enrique, Portugis kembali menyerang Bintan. Dia  membawa puluhan kapal perang, berlayar menuju Bintan. Tapi alam berpihak ke Mahmud Syah. Puluhan kapal perang Portugis hancur dan tenggelam karena badai besar di selat Melaka. Meskipun sisa armadanya mencapai muara sungai Bintan, tapi dalam sekejap dipukul mundur oleh Laksamana Hang Nadim dan armadanya. Baru tahun 1526, Mascarenhas, memimpin lagi penyerangan ke Bintan. Kali ini dia lakukan strategi, menghancurkan dulu pusat-pusat perbekalan dan sumber pasukan Mahmud Syah. Portugis membumi hanguskan pulau Bengkalis. Lalu membumi hanguskan  benteng di pulau Bulang, Batam, dan pulau-pulau strategis lainnya di selatan selat Melaka. Setelah itu baru mereka  menyerang Bintan. Mereka berhasil menaklukkan benteng Kota Kara dan benteng istana Kopak, meskipun perlu waktu 14 hari dengan mengerahkan  seribu pasukan dan 21 kapal perang. Mahmud Syah dan keluarga serta pembesarnya menyingkir ke hutan-hutan di kaki gunung Bintan. Kemudian menerobos hutan (kakinya sempat berdarah, dan harus dibalut perban), menuju sisi timur pulau Bintan. Di sana, datang bantuan dari Pahang, mereka dijemput dan dibawa berlayar menuju Kuala Kampar, di Riau daratan. Di sini, Mahmud Syah melanjutkan pemerintahannya, dengan membangun istana yang baru di Pekantua, (di Kabupaten Pelalawan, sekarang) dan melakukan konsolidasi. Tapi Mahmud Syah hanya mampu bertahan 2 tahun. Kesehatannya memburuk, terutama setelah perjalanan berat menyingkir dari istananya di Kopak, Bintan, Uzur dan lelah berperang, tekanan politik akibat konflik perebutan tahta oleh anak-anaknya, akhirnya Mahmud Syah, wafat, tahun 1528. Tapi, yang sebenarnya membuat dia menjadi sangat rapuh, karena wafatnya, permaisuri tercintanya, Tun Fatimah. Cahaya Melaka dahulunya itu, pergi lebih dahulu, dan meninggalkan Mahmud Syah, sendiri menghadapi hari-hari terakhir Melaka yang gelap dan suram. Dia dan Tun Fatimah, dimakamkan di Pekantua. Mahmud Syah mendapat gelar Marhum Pekantua. 

Puteranya Raja Ali, yang sebelumnya sudah menjadi Raja Muda, dilantik jadi Sultan menggantikan Mahmud Syah dengan gelar Alaudin Riayat Syah II, seperti gelar kakeknya Sultan Melaka ke 7. Tapi  Alaudin Riayat Syah II, tidak betah, dan tak sampai satu tahun dia di Pekantua. Dia merasa tidak aman di Kampar. Pertama, karena Portugis yang sudah menghancurkan Bintan, terus memburu sisa-sia kekuatan Melaka itu. Kedua, sejak awal, kerajaan pendukung Melaka seperti Siak, Indragiri dan Kampar, tidak begitu suka padanya, karena merasa telah merampas hak keturunan lain untuk menjadi Sultan Melaka, seperti Raja Ahmad dan Raja Muzaffar. Ketiga,  setelah dia menikah dengan puteri Sultan Pahang, dia merasa daerah taklukan Melaka di Semenanjung seperti Pahang, Terengganu, dan Johor, lebih suka dan mendukungnya, terutama karena pengaruh saudara-saudara ibunya Tun Fatimah .

Tahun 1529, Alaudin Riayat Syah II memutuskan  pindah  ke daratan semenanjung Melaka,  membangun kerajaan baru di Johor, di selatan daratan semenanjung, dan memilih Johor Lama sebagai pusat pemerintahannya. Dengan pindahnya Alaudin Riayat Syah II ke Johor dan membangun kerajaan baru, maka berakhirlah era kerajaan Melayu Melaka, berkhir juga dinasti Parameswara, pendiri Melaka itu, meskipun  Kerajaan Johor ini, tetap merasa sebagai penerus Melaka, tetap merasa penerus dinasti  Paramreswara, atau yang lebih sering disebut sebagai dinasti Melaka. Meskipun dalam realitas politik dan pemerintahan, inilah era dinasti baru, dinasti Melaka-Johor (saya lebih suka menyebutnya, era Dinasti Tun Fatimah, karena sejak Raja Ali atau Alaudin Riayat Syah II dilantik jadi Raja Muda Melaka, 1516, maka pengaruh Tun Fatimah sangat dominan, ketimbang pembesar Melaka lainnya. Pengaruhnya sangat kuat di Pahang, karena Pahang adalah negeri taklukan Melaka yang dahulunya berada di bawah pegangan  ayahnya Bendahara Paduka Raja  Tun Mutahir.

Karena merasa sebagai penerus Melaka, maka kerajaan Johor yang baru berdiri itu, mengklaim semua negeri-negreri yang sebelumnya menjadi taklukkan Melaka, sebagai negeri taklukan Johor, seperti Pahang, Terengganu, Bintan, Kampar, Siak, Inderagiri, dan bahkan sampai ke Jambi. Melaka tidak lagi pernah disebut-sebut sebagai bahagian dari kekuasaan mereka, karena sudah dikuasai Portugis. Bintan, meskipun sudah dihancurkan Portugis, tetapi Portugis tidak menjadikan bekas pusat pemerintahan Mahmud Syah itu sebagai pangkalan angkatan perang atau pusat perdagangannya. Bintan ditinggalkan, dan kemudian, ketika kerajaan Johor mulai bangkit dan besar, Bintan kembali dibawah kekuasaan Johor, dan diserahkan dibawah kekuasaan (daerah pegangan),  Temenggung Johor.

Rentang kekuasaan sebuah negeri, sebuah dinasti, yang panjang cenderung membuat para penguasanya abai pada tradisi dan etika politik, yang sejak zaman Sang Sapurba selalu dipakai sebagai kekuatan perekat yang sakti. Di era Melaka inipun, prasati Bukit Siguntang itu, telah dilanggar dan dikhianati, yang kemudian menimbulkan konflik dan badai politik, dan bahkan bala politik. Pendurhakaan Hang Jebat, misalnya, meskipun ini masih sebuah legenda, sebagaimana diceritakan dalam Sejarah Melayu, Hikayat Hang Tuah, dll  menunjukkan betapa Sultan bisa berlaku zalim, dan kurang usul periksa dalam menghukum rakyat dan pembesarnya, memberi malu rakyatnya yang setia, seperti Hang Tuah. Kemudian, kisah terbunuhnya Tun Besar, putera Bendahara Melaka Tun Perak, oleh Tengku Muhammad, putera Sultan Melaka, Mansyur Syah (1456-1477), gara-gara destar Tengku Muhammad, sang putera mahkota Melaka itu, jatuh ke tanah, oleh bola sepak raga yang sedang dimainkan oleh Tun Besar. Tengku Muhammad menikam kerisnya ke lambung Tun Besar, sehingga putera tersayang Tun Perak, Paduka Bendahara Melaka, itu tewas. Memang Sultan Mansur Syah marah pada puteranya itu, dan menghukumnya dengan membuangnya ke negeri Pahang, dan melarang Tengku Muhammad dirajakan di Melaka, tetapi pembunuhan itu telah menimbulkan dendam sejarah, yang dikenal dengan dendam Tun Perak, dan menjadi punca sengketa antara dinasti Bendahara dengan dinasti para Sultan keturunan Melaka.

Bala dan badai politik juga terjadi para era Sultan Mahmud Syah I, Sultan Melaka yang terakhir. Dan era inilah yang paling kelam. Dimulai dari cerita Sultan Mahmud Syah menginginkan Tun Teja, isteri Sultan Pahang untuk menjadi permaisurinya. Kejelitaan Tun Teja telah menutup hati dan kearifannya sebagai Sultan. Lalu dia memerintahkan Laksamana Hang Nadim, untuk merampas dan menculik Tun Teja. Berhasil, dan Tun Teja menjadi isterinya, namun menyimpan bala dendam di kerajaan Pahang, kerajaan yang sebelumnya dibangun Raja Muhammad, putera Mansyur Syah. Kemudian, dia selalu memberi malu para menteri dan bangsawannya, dengan berselingkuh dengan isteri-isteri mereka. Seperti dengan isteri Tun Biajit, anak Hang Tuah. Satu ketika, dia kepergok oleh Tun Biajit yang baru pulang dari bertugas ke luar daerah. Tun Bijat marah, dan sudah menimang-nimang lembingnya untuk membunuh Mahmud Syah. Untunglah, Tun Biajit ingat pesan leluhurnya, pantang Melayu mendurhaka. Mahmud Syah, mengaku bersalah, dan segera memberikan salah satu selirnya, untuk menjadi isteri Tun Biajit. Tun Biajit menceraikan isterinya yang berselingkuh. Namun, karena diberi malu, Tun Biajit tidak pernah mau lagi menaiki istana, dan ikut menghadiri pertemuan yang dipimpin Mahmud. Beberapa bangsawan lain, ada yang disuruhnya bunuh, jika tahu bahwa dia berselingkuh dengan isteri-isteri mereka.

Tapi, skandal Mahmud Syah, merebut isteri para pembesarnya yang paling dahsyat, adalah kisah ketika dia menginginkan Tun Fatimah, puteri Bendahara Melaka, Tun Mutahir, yang sudah menjadi isteri dari Tun Ali, pembesar kerajaan Pahang. Ketika itu, Mahmud Syah memang lagi tidak memiliki permaisuri, karena permaisurinya, yang berasal dari Pahang , wafat. Begitu mendapat kabar, Bendahara punya puteri yang cantik, maka dia ingin Tun Fatimah itu menjadi permaisuri. “Celakanya Bendahara, mendurhaka rupanya dia. Ternyata dia mempunyai anak yang cantik, tetapi tak mau memberitahu beta, padahal dia tahu beta lagi mencari permaisuri “begitu kira-kira kemarahannya kepada Bendahara Tun Mutahir. Maka, tidak perduli Tun Fatimah  sudah bersuami, dan Tun Mutahiir adalah Bendahara Paduka Raja, dia paksa Tun Fatimah agar kawin dengannya. Karena ditentang oleh Bendahara Tun Muitahir dan Tun Ali, maka dia suruh cari alasan agar kedua pembesar itu bisa dihukum, dan dibunuh. Meskipun Mahmud Syah dikatakan sangat menyesal, tapi kezaliman dan cara dia menghukum dan memberi malu rakyatnya, telah menjadi bala politik.  Kezaliman ini, ditutup oleh SMW dengan kata-kata “Dengan kehendak Allah Ta’ala, maka datanglah Peringgi melanggar Melaka, dan Melaka pun alah lah”. begitu kira-kira. Bala yang datang akibat kezaliman itu, telah menjatuhkan tahta kerajaan Melaka, ke tangan musuhnya.

Akibat pemaksaan kehendak itu, kelak  Mahmud Syah harus rela memberi konsesi-konsesi politik kerajaan Melaka kepada permaisurinya Tun Fatimah. Antara lain menyingkirkan puteranya Raja Ahmad, yang sudah dilantiknya sebagai Raja Muda (wakil Sultan), untuk memberi jalan bagi dilantiknya Raja Ali, puteranya bersama Tun Fatimah, menjadi Raja Muda. Bahkan, Raja Ahmad, 1516, disingkirkan dengan cara dibunuh dengan racun. Makam Raja Ahmad, yang ada di Bintan Bukit Batu, merupakan satu-satunya keturunan Sultan Melaka yang bermakam disitu.  Makamnya  menjadi saksi betapa tidak arif dan kurang patutnya, Mahmud sebagai pemimpin .

Jika dilihat perjalanan sejarah kerajaan Melaka ini, pantun pusaka  “Jika roboh kota Melaka”, itu, mungkin perlu juga diubah suai :

Karena roboh kota Melaka

Papan di Bintan  Tuan  tegakkan

Karena tak sungguh seperti dikata

Nyawa dan tahta jadi taruhan

Selengkapnya :
BAB I
https://jantungmelayu.co/2020/07/prasasti-bukit-siguntang-dan-badai-politik-di-kemaharajaan-melayu-1293-1913-sebuah-renungan/

BAB II
https://jantungmelayu.co/2020/07/memanggul-prasasti-bukit-siguntang/

BAB III
https://jantungmelayu.co/2020/07/luka-hati-sang-rajuna-tapa-jatuh-bangun-kerajaan-melayu-singapura-1294-1392/

BAB IV
https://jantungmelayu.co/2020/07/sebelum-berbunyi-meriam-peringgi-jatuh-bangun-kerajaan-melayu-melaka-1394-1528/

BAB V
https://jantungmelayu.co/2020/07/bisanya-keris-megat-sri-rama-jatuh-bangun-kerajaan-melayu-johor-1529-1722/

BAB VI
https://jantungmelayu.co/2020/07/jejak-tapak-sang-laksamana-sungai-carang-menjadi-pusat-kerajaan-riau-johor-1673-1782/

BAB VII
https://jantungmelayu.co/2020/07/kinja-daeng-marewa-dan-dendam-tun-dalam-jatuh-bangun-kerajaan-riau-johor-1723-1787/

BAB VIII
https://jantungmelayu.co/2020/07/jembia-cinta-kuala-bulang-akhir-kerajaan-riau-lingga-johor-1812-1913/

BAB IX
https://jantungmelayu.co/2020/07/akhirnya-berpisah-di-tanjung-puteri-hari-hari-terakhir-kerajaan-singapura-johor-pahang-1819-1878/

BAB X
https://jantungmelayu.co/2020/07/dan-bunda-tanah-melayu-pun-tersedu/

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top