KINJA DAENG MAREWA DAN DENDAM TUN DALAM (Jatuh Bangun Kerajaan Riau-Johor, 1723-1787)

PRASASTI BUKIT SIGUNTANG DAN BADAI POLITIK DI KEMAHARAJAAN MELAYU 1293-1913
(Sebuah Renungan)

BAB – VII
KINJA DAENG MAREWA DAN DENDAM TUN DALAM
(Jatuh Bangun Kerajaan Riau-Johor, 1723-1787)

Di Ulu Riau, sungai Carang, tahun 1722 sekitar bulan Oktober,sekembali dari perdamaian di Siak, Tengku Sulaiman lalu dilantik oleh Daeng Marewa dan para pembesdar Bugis dan Melayu,sebagai Sultan Riau-Johor-Pahang dan Terengganu, dengan gelar  Yang Dipertuan Besar (YDB) Sulaiman Badrul Alamsyah. Lalu,sesuai dengan janji mereka dengan pihak Upu-Upu Bugis lima saudara, maka salah satu dari Upu-Upu itu dilantik menjadi Yang Dipertuan Muda (YDM) setingkat Raja Muda atau Wakil Sultan. Yang dipilih adalah Daeng Marewa, sebagai YDM pertamanya. Lalu mereka membuat perjanjian yang mereka namakan Sumpah Setia Melayu Bugis, sebuah kesepakatan, untuk bersaudara sampai kapanpun,dunia dan akhirat, seperti mata putih dan mata hitam, mata kanan dan mata kiri. Seperti suami isteri. Berbagi hak dan kekuasaan antara Yang Dipertuan Besar (YDB) dari pihak Melayu, serta hak dan kekuasaan Yang Dipertuan Muda (YDM) dari puak Bugisnya. Dalam Tuhfat Al Nafis, dicatat sebuah pernyataan sumpah dari Daeng Marewa ketika dia dilantik sebagai YDM: “ Lihatlah Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, akulah Yang Dipertuan Muda yang memerintahkan kerajaanmu. Barang yang aku dan engkau tiada suka melintang di hadapanmu, maka aku bujurkan. Barang yang semak berduri di hadapanmu, aku cucikan….”

Sementara itu, saudara tertua Tengku Sulaiman, yaitu Tun Abbas, dilantik sebagai datuk Bendahara Riau, dengan gelar Bendahara Sri Maharaja. Selanjutnya, sebagai kelanjutan dari persekutuan Melayu-Bugis itu, maka kemudian dilakukan perkawinan politik, untuk mempererat persaudara, dan menjamin alur trah penguuasa masa depan kerajaan ini. Sebuah persekutuan Ranjang Pengantin, yang selalu disebut sebagai Ranjang Pengantin Melayu-Bugis. Daeng Perani, Upu tertua dari lima bersaudara itu, dinikahkan degan Tengku Tengah, adik Tengku Sulaiman (Tengku Tengah ini seperti diceritkan dibahagian terdahulu, ketika masih di Johor, sudah bertunangan dengan Raja Kecik, ketika Raja Kecik berdamai dengan mantan Sultan yang digulingkannya, Tun Abdul Jalil, ayah dari Tengku Tengah. Tetapi ketika Raja kecik melihat adik Tengku Tengah yang bernama Tengku Kamariah, maka dia jatuh cinta dengan puteri bungsu Tun Abdul Jalil itu.  Raja Kecik membatalkan pertunangan dengan Tengku Tengah, dan meminang Tengku Kamariah. Tengku Tengah merasa terhina, dan menjadi sumber bara dendamnya untuk menghancurkan Raja Kecik).

Daeng Marewa, selain diangkat jadi YDM, juga dikawinkan dengan Tun Cik Ayu, mantan tunangan Sultan Mahmud Syah  II, Sultan Johor mangkat Dijulang , puteri dari Tun Abdul Jamal, sepupu Tengku Sulaiman, cucu dari Tun Abdul jalil. Kemudian Daeng Celak, salah satu Upu yang paling tampan, dinikahkan dengan Tengku Mandak, adik Tengku Tengah. Beberapa kerabat Sultan Sulaiman, juga dinikahkan dengan para pendekar Bugis yang sudah berperang merebut tahta Johor. Terjadilah perkawinan massal dan meriah,dengan pesta sampai tujuh hari tujuh malam untuk merayakan perkawinan itu. Ulu Riau menjadi riuh rendah dengan berbagai kesenian. Joget, Mandora,  Makyong, dll.

Selesai perkawinan politik itu, lalu masing-masing pihak mulai mengatur strategi pemerintahan, dan berbagi daerah taklukan. Yang tinggal di Riau mendampingi YDB Sulaiman Badrul Alamasyah, hanya Daeng Marewa sebagai YDM, dan Daeng Celak, dan seorang lagi saudara tua mereka, Daeng Kamboja. Sementara Daeng Perani bersama isterinta Tengku Tengah, pindah ke Selangor. Daeng Kemasi dan daeng Manambun, pindah ke Pontianak, Kalimantan Barat. Perpindahan ini kelak, menjadi jaringan kekuatan baru kerajaan Melayu-Bugis ini dalam membangun kekuasaan dan kekuatan mereka.

Kerajaan Riau-Johor-Pahang-Terengganu ini, yang memulai jejak sejarahnya tahun 1722 ini, kemudian jatuh bangun lebih kurang 190 tahun. Memang tak mudah menyatukan kekuasaan dari dari dua rumpun bangsa yang berbeda sifat dan kepentingannya, yang sama-sama berambisi, dan sama-sama penuh intrik politik. Meskipun diawal terjadi kesepakataan yang  dikenal dengan Sumpah Setia Melayu-Bugis, dan kedua belah pihak mengibaratkan pihaknya sebagai mata kanan (pihak Melayu), dan mata kiri (pihak Bugis), tetapi pada prinsipnya, pihak orang-orang Melayu, para keturunan dan pembesarnya, tidak begitu rela, menyerahkan kekuasaan kepada pihak Bugis. Apalagi, dalam kedudukan sebagai Yang Dipertuan Muda (YDM) kekuasaan pihak buigis ini begitu besar. Mereka menguasai angkatan perang, hubungan dengan pihak luar, dan perdagangan. Sementara pihak Melayu, hanya sebagai pemegang tradisi, dan adat istiadat, serta pemerintahan di dalam negeri. Konflik politik, terus menerus terjadi. Dan berkali-kali nyaris membuat  dinasti Bendahara ini runtuh.

Selama 65 tahun berpusat pemerintahan di Ulu Riau, di sungai Carang itu, ada 4 YDB dan 5 YDM, sebelum pusat pemerintahannya dipindahkan ke Daik, di pulau Lingga. Sulaiman Badrul Alamsyah adalah YDB pertama (1722-1760), YDB II Abdul Jalil Muazzam Syah (1760-1761), YDB III Ahmad  Riayat Syah (1761-1762), YDB III, Mahmud Syah III (1761-1812). Sementara YDM yang pertama adalah Daeng Marewa (1722-1728), YDM II Daeng Celak (1728-1745), YDM III, Daeng Kamboja (1748- 1777), YDM IV, Raja Haji (1778-1784), YDM V, Raja Ali (1784-1805). Adapun Engku Muda Muhammad, keturunan Melayu, putera dari Temengghung Johor Tun Abdul jamal, pernah juga diangkat Sultan Mahmudsyah III sebagai YDM, ketika Riau-Johor melalui penjanjian kalah perangnya dengan Belanda, 1784, dilarang memakai orang Bugis sebagai YDM. Tapi Engku Muhammad, tidak mau menggunakan nama jabatannya Yang Dipertuan Muda, karena itu gelar untuk pihak Bugis. Untuk orang Melayu, dia memakai raja Muda.

Kerajaan Melayu Riau-Johor-Pahang ini (selanjutnya disebut kerajaan Melayu Riau-Johor ), memang memposisikan pemerintahannya sebagai penurus kerajaan Johor, karena itu Riau-Johor juga telah mengambil alih hubungan dengan berbagai negeri lain yang dahulu bersahabat dengan Johor, termasuk perjanjian perdagangan dan hubungan persahabatan lainnya, seperti  dengan Belanda (VOC) yang  menguasai Melaka dan Inggeris (EIC) yang waktu itu sudah bercokol di Pulau Penang, di semenanjung Melaka. Hubungan baik itu menyebabkan keadaan kerajaan Riau berangsur-angsur bangkit dan maju. Perdagangan timah dan candu, telah menyebabkan  muara sungai carang ramai dikunjungi kapal-kapal dagang asing. Tetapi karena selama hampir 38 tahun masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah sebagai YDB pertama, penuh konflik politik antara puak Melayu dan Bugis, maka tak banyak hal-hal luar biasa bagi kemajuan kerajaan ini yang terjadi. Satu-satunya yang terpenting, adalah ketika YDM Daeng Celak memerintahkan nakhioda Tarum untuk mengambil benih gambir di Sumatera, dan menanamnya di Riau, untuk menjadi komuditas perdagang utama di Riau. Sampai saat inipun gambir, menjadi komuditas perdagangan yang tetap berharga. Ketika itu juga dikembangkan tanaman lada hitam (sahang).

Konflik politik yang paling tajam, terjadi ketika YDM Riau dijabat oleh Daeng Kamboja (1748-1777). Sejak  awal dia diusulkan pihak Bugis untuk jadi YDM III menggantikan YDM Daeng Celak yang wafat tahun 1745, Daeng Kamboja sudah ditolak oleh pihak Melayu, terutama Temenggung, Bendahara dan Tun Dalam, menantu Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, yang  juga  putera mahkota kerajaan Terengganu. Pertama, karena Daeng Kamboja, bukan keturunan langsung Daeng Celak, karena menurut Sumpah Setia Melayu Bugis, jabatan YDM itu hanya untuk keturunan Daeng Marewa dan Daeng Celak. Sementara Daeng Kamboja, adalah anak Daeng Perani, yang berkuasa di Selangor. Menurut pihak Melayu, yang paling berhak jadi YDM III itu adalah Raja Haji, putera Daeng Celak,yang ketika ayahnya wafat, Raja Haji sudah berusia 18 tahun, sudah layak jadi pemimpin. Lagi pula, Raja Haji yang lahir di Ulu Riau itu, merupakan keturunan Bugis Melayu yang pertama dari hasil perkawinan politik itu. Ayahnya Daeng Celak (Bugis), dan ibunya Tengku Mandak (Melayu). Sedangkan Daeng Kamboja, adalah Bugis asli.

Untuk menghindari konflik politik ini, dan melapangkan jalan Daeng Kamboja menjadi YDM, lalu pihak Bugis memutuskan Raja Haji menjadi Putera Kelana (wakil YDM) yang tugasnya mengawasi semua wuilayah kekuasaan Riau, dan jabatan Putera Kelana Jaya Putera, begitu sebutannya itu, memang baru yang pertama. Akhirnya, Daeng Kambojalah yang diangkat  sebagai YDM ke-III. Daeng Kamboja diterima, setelah Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah berhasil membujuk pembesar puak Melayu (Bendahara, Temenggung dan Tun Dalam) untuk mengalah dan menerima pilihan pihak Bugis, meskipun terpaksa. Karena itu  pihak Melayu, dikatakan terus menerus   mengganggu dan menghambat Daeng Kamboja dalam menjalankan tugasnya, sehingga Daeng kamboja marah, dan dendam. Meski dia dilantik tahun 1748, tiga  tahun setelah Daeng Celak wafat, namun baru tahun 1760, atau 12 tahun kemudian  dia menetap di Ulu Riau.  Sebelumnya dia lebih banyak di Linggi, di semanjung Melaka. Itupun, karena Sultan Sulaiman wafat, dan YDM harus ada untuk mencari pengganti Sultan yang baru.

Ketidak sukaan puak Melayu pada Daeng Kamboja, juga karena Daeng Kamboja dituduh membangkang terhadap YDB dan terlalu mementingkanm pihak Bugis dan kepentingan pribadinya . Contohnya, ketika Sultan Sulaiman memerintahkan para pembesarnya termasuk YDM agar membantu Tengku  Mahmud ( Tengku Buang Asmara ), Sultan Siak, yang sedang bersengketa dengan abangnya Tengku Alam, dalam merebut tahta kerajan Siak. Daeng Kamboja menolak perintah YDB dengan dalih , itu perkara dalam kerajaan Siak dan pihak Riau tak perlu ikut campur. Tapi, dimata puak Melayu, itu hanya helahnya saja, karena isteri dari Tengku Alam itu, adalah adik Daeng Kamboja. Dan dia terbukti memihak Tengku Alam, karena waktu Sultan Ismail, Terengganu, berada di Selat Singapura sedang menuju Siak untuk membantu Tengku Mahmud, armada Daeng Kamboja justru menyergapnya, dan di sana Daeng Kamboja menyita satu peti surat-surat dari pihak Melayu di  kerajaan Riau kepada Sultan Ismail, untuk minta bantuan, melawan Tengku Alam. Sultan Ismail dihalaunya untuk kembali ke Terengganu.

Kebencian lain, adalah ketika Daeng Kamboja memaksa kehendaknya merajakan Tengku Mahmud, putera mantan Sultan Riau II, Abdul Jalil Muazzam Syah, untuk menggantikan Sultan Riau ke-3 , Ahmad Riayat Syah yang wafat. Padahal Tengku Mahmud masih kecil, baru 10 tahun (bahkan ada sebuah catatan sejarah yang mengatakan baru berumur 1 tahun, makanya harus dipangku). Sementara ada keturunan Sulaiman Badrul  Alam Syah yang lain, yaitu  paman Mahmud , yang lebih layak dan sudah dewasa. Tapi, Daeng Kamboja memaksa kehendaknya, memilih Mahmud, dan mengancam semua pembesar Melayu dengan halemangnya (senjata khas Bugis), jika ada yang menolak: “Barang tahu semuanya, inilah Sultan Riau pengganti almarhum yang wafat. Barang siapa yang menolaknya, inilah halemang Beta yang menjawabnya…”, begitu ancam Daeng Kamboja, seperti dikutip Tuhfat An Nafis. Di darah Mahmud, meski dari sebelah ibu, ada darah bugisnya. Ayah Mahmud adalah Abdul Jalil Muazamsyah (Melayu, putera Sulaiman Badrul Alam Syah), dan Ibunya Raja Putih, anak dari Daeng Celak (Bugis).

Konflik ini menjadi jadi, karena  Tun Dalam, menantu Sulaiman Badrul Alam Syah yang juga, putera Mahkota Terengganu itu, menjadi tokoh yang memimpin pihak Melayu untuk menentang Daeng Kamboja. Konflik ini  panjang, dan berdampak luas, karena Daeng Kamboja, dianugerahi  umur yang panjang, hampir 80 tahun, dan menjadi YDM selama 29 tahun. Dia wafat tahun 1777, di Tanjung Unggat, sebuah Kampung  di pinggir sungai Carang, tempat pemukiman puak Bugis, dan dimakamkan disana, dengan gelar Marhum Janggut.

Setelah Daeng Kamboja wafat, barulah Raja Haji, diangkat sebagai YDM IV mengantikannya. Dia ketika itu sedang berada di Mempawah, Kalimantan Barat, dan dipaksa pihak  Melayu untuk segera kembali dan dia diminta langsung ke Pahang, di semenanjung Melaka, untuk dilantik oleh Bendahara Pahang, tokoh pihak Melayu, tanpa harus kembali ke Ulu Riau lebih dahulu, dan dilantik oleh Sultan Mahmud syah. YDB Riau-Lingga, sebagaimana tradisi dan aturan Sumpah Setai Melayu Bugis. Pihak  Melayu sudah mendengar ura-ura pihak-pihak Bugis akan melantik Raja Ali, putera Daeng Kamboja, untuk menggantikan ayahnya itu sebagai YDM. Maka pihak Melayu melakukan jalan pintas, dengan melantik Raja Haji, di luar  Riau, agar rencana puak Bugis dapat digagalkan.

Ketika itu, Sultan Mahmud Syah III sudah cukup dewasa. Umurnya 26 tahun. Dan Mahmud Syah III sangat arif. Untuk meredam konflik politik keduan puak itu, dia berangkat ke Pahang, dan menjemput sendiri YDM Raja Haji untuk dibawa ke Riau dan menjadi YDM. Dibawah Mahmud Syah inilah, konflik mereda, dan bahkan sangat rukun, karena Mahmudsyah memposisikan Raja Haji sebagai ayahnya. Memang Raja Haji adalah pamannya, abang dari Ibunya Raja Putih. Bahkan, ketika terjadi sengketa Riau dengan Belanda, gara-gara berebut kapal Betsy yang membawa candu ke muara sungai carang, dan Belanda menuntut agar kapal Inggeris itu, diserahkan kepada Belanda, maka Sultan Mahmud Syah III, mendukung YDM Raja Haji untuk melawan, dan menyatakan perang  terhadap Belanda.

Masa duet Sultan Mahmud Syah III sebagai YDB dengan Raja Haji sebagai YDM ini, adalah masa kejayaan Riau. Tuhfat an Nafis menceritakan betapa majunya kerajaan Riau dan pusat pemerintahahnnya di Ulu Riau. Kapal-kapal dagang ramai, seperti ikan bertusuk  insang (bersusun dan berderet-deret). Raja Haji membangun istana YDM di pulaui Biram Dewa, di salah satu anak sungai sungai Carang, sebuah istana yang mewah. Tembok istana, ditempeli poselen dari Cina, yang berkilau diterpa matahari, sehingga istana itu disebut istana Kota Piring. Dinding di dalam istana, ditempeli cermin-cermin kaca. Raja Haji juga membuat istana yang bagus untuk YDB Mahmud Syah III, di Ulu Riau, istana yang sama bagusnya dengan istananya. Semua uang itu hasil perdagangan timah, rempah dan candu. Raja Haji juga seorang yang sangat taat beragama, dan dia mendatangkan guru-guru agama dari Jawa dan Aceh, untuk mengajarkan kerabat kerajaan belajar tentang islam. Era ini, adalah era Ranjang Pengantin Melayu Bugis, penuh gairah, damai dan kebersamaan. Meskipun, Raja Haji, tetap tak bisa melupakan, bagaimana puak Melayu, suatu ketika pernah membuat dia nyaris terbunuh, dalam perang Linggi, antara puak Bugis dengan puak Melayu (dipimpin Tun Dalam Terengganu) dengan bantuan orang Belanda. Paha kiri Raja Haji, tertusuk bayonet, dan nyaris membuat dia lumpuh. Tapi, akhirnya, setelah Tun Dalam, terpaksa kembali ke Terengganu (karena diangkat menjadi Sultan menggantikan ayahnya Sultan Zainal Abidin yang wafat) dan Sultan Sulaiman yang terlalu pro Melayu itu wafat, maka Raja haji bisa lebih lapang dada menerima kebersamaan mereka. Era Mahmud Syah III dan Raja Haji, adalah era perbancuhan darah Melayu-Bugis sudah terjadi, dan Raja Haji, adalah keturunan Bugis-Melayu pertama yang memakai gelar Raja di di depan namanya, petanda dia adalah Bangsawan- Bugis-Melayu keturunan Upu-Upu Daeng Marewa dan Daeng Celak. Era makmur dan damai ini, adalah titik balik dari masa sebelumnya dimana Sultan Sulaiman dan Daeng Kamboja saling bermusuhan. Era Mahmud Syah III dan Raja Haji, adalah era Prasasti Bukit Siguntang dan Sumpah Setia Melayu-Bugis, dijunjung dan dijadikan sandaran untuk menyelesaikan semua sengketa.

                                         ***

Sepak terjang Raja Haji seb agai YDM di rantau semenanjung Melayu ini, sudah lama diketahui oleh para musuh-musuh politik dan dagangnya, terutama Belanda dan Inggeris. Mereka menyebutnya sebagai Raja lanun (bajak laut), karena dengan perahu perang utamanya bernama Bulang Linggi itu, dia berkeliaran di selat Melaka tempat dan pusat arus pelayaran dan perdagangan. Dia menjadi momok dan sangat ditakuti. Dia dijuluki juga “Pengembara yang merugikan (schadelijk zwerver) seperti ditulis oleh Hasan Junus dalam “Raja Haji Fisabilillah, Hannibal dari Riau, Yayasan Pusaka Riau, 2005) dengan mengutip Reinold Vost, dalam disertasi Magesternya “Koopman & Kooning-De Betrekkingen Tussen de VOC, en het Sultanaat Johor, 1985”. Karena itu, Belanda dan Inggeris, selalu mencari jalan bagaimana melawannya, dan memaksa Riau agar menyingkirkannya sebagai YDM, terutama dengan menggunakan tokoh-tokoh Melayu yang tidak menyukainya, seperti Tun Dalam. Tetapi, di kerajaan Riau, Raja Haji justru sangat disenangi dan dipuja, karena sepak terjangnya yang terus menerus menegakkan harkat dan martabat kerajaan Melayu itu. Bukan cuma di Riau, tapi di sepanjang pesisir timur Sumatera dia di puja, seperti Asahan dan Batu Bara di Sumatera bagian Timur, di Jambi, Bangka Belitung, sampai ke Mempawah, di kalimantan Barat. Melalui pertolongannya kepada kerajaan kerajan kecil di pesisir timur sumatera dalam mengtasi sengketa dan perebutan tahta kerajaan, serta mengawini para puteri raja-raja yang dibantunya, dia telah membangun satu kekuatan bersama di kawasan ini. Kekuatan Melayu-Bugis serantau, yang kelak menjadi emberio gerakan Rumpun Melayu, atau gerakan Melayu serantau.

Tahun 1782, di puncak kebesaran keraajaan Melayu Riau itu, bandar Ulu Riau dan muara sungai Carang yang bagai mulut ular itu, demikian maju. Penduduknya saja diperkirakan 90 ribu jiwa. Didatangi  kapal-kapal dagang dari berbagai negeri. Salah satu kapal yang ketika itu,  berlabuh disana,adalah sebuah kapal dagang  bernama “Betsy”, milik Inggeris. Kapal ini dikatakan sedang dalam perjalanan dari India menuju China. Tetapi karena diserang badai besar, kapal itu masuk dan berlindung berlindung di teluk sungai Carang. Kapal itu dikatakan membawa 1154 peti candu. Kabar tentang adanya kapal Inggeris bermuatan candu dan berlabuh di pelabuhan Riau, selain diketahui oleh penguasa Riau, juga di dengar oleh Belanda yang bermarkas di Melaka. Ketika itu, Belanda dan Inggeris sedang bermusuhan, akibat perang Eropa. Banyak wilayah Belanda di kawasan dunia lain yang direbut oleh Inggeris, yang membuat Belanda marah dan memusuhi Inggeris, dimanapun. Kerap terjadi perampokan dan penyerangan antar kedua bangsa itu di perairan internasional. Belanda bersukutu dengan Prancis, melawan Inggeris. Inggeris, mencari negeri-negeri Melayu yang bisa diajak bersuku, menentang Belanda. Selat Melaka, Teluk Riau, dan Selat karimata, menjadi medan pertarungan semua kekuatan politik dan dagang. Perebutan perdagangan timah, lada, gambair, dan candu.

Keberadaan kapal Betsy, milik Inggeris dan menjadi musuh Belanda itu, segera menyebab Gubernur Belanda di Melaka mengirim pesan ke Riau, agar kapal itu ditahan, dan dibawa ke Melaka. Tapi pesan itu, ditolak oleh Riau, karena berdasarkan perjanjian pertsahabatan dan dagang antara Belanda dan Riau sebelumnya, yang terkenal dengan sebutan Perjanjian Linggi itu, menyatakan bahwa jika ada kapal musuh di wilayah bersama itu, maka kalau harta benda kapalnya dirampas, haruslah dibagi dua. Setidaknya itulah inti dari perjanjian yang dibuat oleh Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah, YDB Riau pertama dan Daeng kamboja, YDM Riau III, dengan Gubernur Belanda di Melaka, selepas perang Linggi, 1758. Raja Haji dan YDB Mahmud Syah ingin perjanjian itu dipatuhi, dan perampasan serta eksekusi terhadap kapal Inggeris itu, dilakukan di Riau, karena kapal itu berada di Riau, dan tidak perlu dibawa ke Melaka.

Belanda rupanya tidak puas dengan sikap Riau, dan secara diam-diam mengirim seorang perompak berkebangsaan Prancis bernama Baron Mathurijn dengan kapal bajak lautnya “La Sainte Threse” ke Riau untuk merampas kapal Betsy dan membawanya ke Melaka. Hasil rampasan itu akan dibagi dua dengan Mathurijn, tanpa perlu melibatkan Riau. Lalu Baron Mathurijn berlayar ke Riau. Masuk ke muara Riau, dan tanpa memberi tahu penguasa Riau, lalu membawa lari kapal Betsy itu menuju Melaka. Menerima kabar itu, YDM Raja Haji dan YDB Mahmud Syah III marah, dan menganggap tindakan Belanda itu sebagai pelanggaran dan penghinaan atas kedaulatan dan marwah kerajaan Riau, padahal kedua negeri itu, mempunyai perjanjian dagang dan persaabatan yang harus dipatuhi. Karena itu, Raja haji dengan restu Sultan Mahmud Syah III, segera berangkat ke Melaka. Minta pertanggungjawaban, mendesak E de Bruin, Gubernur Belanda di Melaka ketika itu, mematuhi perjanjian. Raja Haji sampai di Muar, di selatan Melaka, dan bertemu dengan utusan Gubernur Melaka. Raja Haji minta Belanda menghormati kedaulatan Riau, dan menghormati perjan jian Linggi. Jika kapal Betsy itu tidak bisa dibawa kembali ke Riau, maka harta rampasan 1154 peti cantu itu, dibagi dua. Tapi, Belanda menolak, dengan berbagai dalih. Raja Haji marah, dan merobek-robek surat perjanjian Linggi itu, dan mempertingatkan Belanda untuk menanggung resiko dari penghianatan mereka itu.

Bertolak dari Muar, Raja Haji langsung memberi perintah kepada semua armada perangnya untuk bersiap dan berperang dengan Belanda. Semua kapal-kapal Belanda dan sekutunya yang melintas di selat Melaka dan perairan Riau agar ditangkap, ditahan, dan dirampas. Setibanya di Ulu Riau, Raja Haji menyampaikan semua yang terjadi kepada YDB Mahmudsyah, dan menyatakan Riau bersiap untuk berperang. Untuk itu, semua kekuatan angkatan perang Riau harus di siapkan. Kemudian semua negeri-negeri sahabat Riau, harus diajak bergabung, seperti Selangor, Negeri Sembilan, Perak, Asahan, Inderagiriu, Jambi, dan Mempawah.

Tindakan Raja Haji dan angkatan perangnya merampas dan menahan kapal-kapal Belanda, Perancis dan sekutunya di Selat Melaka, membuat marah Belanda. Bukan saja kerugian dagang yang mereka derita, juga keamanan dan keselamatan kapal-kapal dagang mereka. Maka mereka memutuskan untuk menyerang Riau, dan menghukum Raja Haji. Kabar tentang tindakan Belanda itu, sampai ke Riau, dan Raja Hajipun sudah lama bersiap. Mereka membuat sejumlah benteng pertahan dengan meriam-metriam besar di pulau Penyengat, Teluk Keriting dan Tanjung Buntung, di Tanjungpinang. Pulau Bayan di muara sungai carang, dan lainnya. Kapal-kapal perang  Riau bersiap dan berkeliaran menjaga dan menunggu  serangan Belanda. Sungai Carang begitu hiruk pikuk dengan hilir mudik kapal-kapal perang yang mengangkut pasukan petikaman, mesiu, bahan makanan, meriam, dan segala kebutuhan perang. Bandar Ulu Riau, yang biasaanya ramai dengan kapal-kapal dagang, segera sunyi, karena semua mulai berlayar pergi, menghindari perang.

Tanggal 8 Juni 1783, armada perang Belanda, mulai masuk ke perairan Riau. Ada 6 kapal perang, baik yang besar maupun kecil, seperti kapal perang Dolpijn, Hofter Linden, snelheid, rusterberg, filippine, dan phoenix, dengan sejumlah pasukan perangnya. Tetapi begitu memasuki teluk Riau, Togar Abo, orang Denmark yang berkerja pada VOC dan memimpin ekspedisi itu, terkejut melihat persiapan Riau. Terkejut melihat bentewng-benteng pertahanan, dan Meriam-meriam yang menganga mengarah ke muara Riau. Perang memang belum meletus, karena surat pernyatan perang baru dikirim belanda setelah armada perangnya sampai ke teluk Riau. Dan Kerajaan Riau baru menjawab surat pernyataan perang itu, tanggal 21 Juni 1783. Maka, baru tanggal 23 Junilah perang mulai meletus, dan raja Haji dengan tak kurang dari 46 kapal perang dan penjajabnya, bertempur menyerang kapal-kapal perang Belanda itu. Tuhfat an nafis menceritakan bagaimana Raja haji seperti terbang dari satu penjajab ke penjajab lain, memimpin petempuran. Pertempuran laut berlangsung sengit. Hanya berhenti, malam hari. Siang besoknya meletus lagi.

Melihat perlawan Riau itu, Togar Abo yang memimpin perang, memerintahkan semua armada perangnya  bersama 900 perajuritnya mundur ke perairan Lobam, di arah Bintan Utara (Tanjung Uban sekarang). Lalu mengirim pesan ke Melaka dan Batavia agar menambah pasukan dan kapal perangnya. Sementara menunggu bantuan datang, merteka memblokade perairan selat antara Tg Uban dan batam, tempat armada besar keluar masuk, mencegat semua kapal-kapal barang dan bantuan ke Riau, agar tidak bisa masuk. Mereka mau mengurung Riau, dan membuat penghuni ibukota Riau di Ulu Riau, kelaparan. Tapi Raja haji sudah kenyang berperang, dan tidak kehilangan strategi. Jauh hari sebelum perang meletus, dia memerintah pasukannya untuk menggali sebuah tetusan di  salah satu anak sungai carang, menembus sampai ke sisi timur pulau Bintan. Dari sanalah, tanpa diketahui oleh Belanda semua bahan makan, mesiu, Meriam, dan bantuan pasukan dari sekutu Riau masuk. Mungkin jalan tembus ini juga yang dahulunya dipakai oleh Sultan mahmudsyah I, Sultan melaka terakhir, ketika menyingkir dari serangan Portugis, yang mengepung istananya di Kota Kopak, hulu sungai Bintan. Blokade Belanda gagal.

Togar Abo mulai menyerang kembali setelah bantuan kapal perang datang. Ada sejumlah kapal perang baru, dan sekitar 500 perajurit bantuan datang secara bergelombang. Mula-mula kapal perang Gentruida Suzanna, Ondenermer, Cicero, Johanna. Lalu datang lagi 3 kapal perang baru dengan 300 prajurit, yaitu  De Jonge hugo, William Frederick, De Haandelaar.  Tapi perlawanan raja Haji dan pasukannya, tak kenal menyerah. Bahkan akibat satu serangan mendadak, kapal perang Hofter Linde, terpaksa tali sauhnya dipotong, untuk melarikan diri dari serbuah pasukan pertikaman Riau tambahan. Getr Belanda menambah lagi armada perang dan pasukannya. Segera datang bantuan kapal perang Ibaru, De diamant, dan kapal Komandonya, Malaca Walvaren, dengan seorang pemimpin perang baru, Arnold Lemker, sreorang Halkim, untuk menggantikan Togar Abo, yang dinilai gagal.

Tekanan ke pertahan Riau begitu kuat. Benteng pulau Penyengat sudah dikuasai oleh Belanda. Mereka sekarang menyerbu pantai Tanjung Buntung (tanjungpinang sekarang) dengan mendaratkan satu pasukan bersenapang. Karena air surut, bargas mereka kandas, dan mereka terpaksa mengarungi lumpur untuk mencapai daratan. Sementara kapal perang mereka mulai memasuki alur muara Riau. Kapal komando mereka, melaka Walvaren sudah sampai di pulau Paku. Tapi, air yang baru pasang itu, menjerat kapal komando itu di beting alur, kandas. Dan hanya pasang besar sajalah yang bisa, melepaskannya. Dan di tengah cengkraman beting lumpur di depan Tg. Buntung itu, Meriam benteng Tanjung Buntung, menyalak. Dan kapal melaka Walvaren pun meledak, karenma tembakan Meriam itu mengenai gudang mesiu mereka. Kapal itu berketai-ketai, dan menewaskan hampir semua, isi kapal, termasuk Pimpinan perang itu, Hakim Arnold Lremker. Hancurnya Melaka Walvaren, dan tewasnya Lemker, membuat Belanda, kucar kacil. Tembakan meriam yang terus memburu kapal-kapal perang itu, akhirnya membuat armada Belanda memilih mundur, dan kembali ke Melaka. Sebuah kekalahan yang teruk, dan memalukan. Perlawanan yang dilakukan oleh kerajaan Melayu, yang tak kenal takut, yang alam menghormatinya dan memberi perlindungannya. Tentu dengan kehendak yang maha pelindung dan pengatur.

Februari 1784, meskipun tidak disetujui sebahagian besar pembesar negeri, Raja Haji membawa pasukannya yang lagi dimabuk kemenangan itu, menyerbu ke Melaka. Dia ingin benteng Melaka itu, jatuh, dan belanda pergi. Dengan bantuan sepupunya raja Ibrahim, YDB Selangor, dan pasukan lain dan Asahan, jambi dan lainnya, Raja haji mendarat di Teluk Ketapang, 15 km di selatan benteng Belanda di Melaka. Sepupunya Raja Ibrahim datang dari Tanjung Keling, di utara melaka, dan suatu subuh. Raja Haji segera merebut pusat-pusat pemukiman di sekitar benteng Malak, seperti Bandar Hilkir, Semabuk, Bunga Raya, dan Bukit Cina. Kedua pasukan, menyerbu benteng, dan mereka berdiri di depan pintu benteng itu. Tak heran, kalau kejadian dipagi itu, dinilai oleh sementara sementara pakar sejarah, sangat memalukan Belanda. “Het was beschamed !”,  kata sejarawan Belanda H. J. de Graaf, seperti dikutip hasan Junus dalam bukunya, Raja haji Fisabilillah, hannibal dari Riau. “Alangkah Memalukan !”.

Tapi takdir berkata lain. Bantuan armada perang Belanda datang. Sebuah eskader, terdiri dari 6 kapal perang besar (Utrecht, Wassenar, Goes, dan Prince Loeis, dengan 2000 prajurit dan 326 meriam, dibawah pimpinan laksamana Jacoob Van Braam, tiba di pantai melaka. Tengah malam, 19 Juni, sekitar 700 pasukan bantuan, mendarat di pantai Melaka, dan menyerbu pasukan Raja Haji dan Raja Ibrahim di sekitar benteng Melaka. Penyerbuan itu dilindungi oleh tembakan Meriam dari kapal-kapal perang Belanda kearah kubu-kubu Raja haji dan raja Ibrahim. Pertempuran hebat terjadi. Meskipun Raja Haji bertempur bagai singa  luka, sambil mengacungkan keris ditangan kanan dan kitab “dalail Khairat” di tangan kiri, tapi sebuah peluru tabur dari senapang prajurit Belanda, menembus dadanya. Dia pun terjatuh, tersungkur, dan tewas. Syahid fisabillah, di depan benteng Melaka itu. Jenazahnya, segera dilarikan oleh pasukannya, disembunyikan di sebuah hutan kecil di Teluk Ketapang. Tapi, Belanda dapat menemukannya setelah menangkap dan menyiksa seorang prajurit Riau yang ikut menyebunyikan jenazah itu. Tanggal 24 Juni, jenazahnya berhasil ditemukan dan dimasukkan ke dalam peti jenazah, dan atas perintah Gubernur Belanda di Melaka,  akan dibawa ke Batavia dengan kapal Dolphijn.  Namun karena, para prajurit Belanda baru selesai memasukkan jenazah itu ke dalam peti jenazah, sudah sangat sore, maka ditunggu pagi hari baru peti jenazah itu akan dibawa ke kapal. Tetapi,  tanggal 25 Juni, pukul 2 subuh, kapal Dolphijn meledak di pelabuhan Melaka. Hancur, dan 203 orang tewas, dan hanya beberapa orang yang selamat. Akhirnya, jenazah Raja Haji, di makamkan di kaki benteng Melaka, di tempat yang sekarang disebut Bukit Bendera. Kejadian yang sangat mengejutkan itulah, menyebabkan Raja Haji, setelah almarhum mendapat gelar Raja Api, oleh orang-orang Belanda. Menambah julukan-julukan lain yang sudah ada sebelumnya, seperti Raja Laut, seta gelar kehormatan dari rakyat kerajaan Riau sendiri, Sahid Fisabilillah.

Beberapa hari kemudian, isteri almarhum yang dikawininya di Jambi, yang ikut mendampingnya dalam berperang, Ratu Mas, membawa sejumlah perajurit dan petikaman yang berani, mencoba merampas jenazah Raja Haji yang sudah dimakamkan di Bukit Bendera, di kaki benteng Melaka itu, namun gagal, karena ternyata Belanda menjaga keberadaan makam itu dengan kuatnya. Meskipun penuh duka dan luka, akhirnya jasad sang pahlawan itu, terpaksa ditinggal dan terbaring di negeri yang ingin direbutnya. Akhirnya, berakhirlan perang di Teluk Ketapang itu. Akhirnya kemenangan yang diraih di Teluk Riau, di muara sungai carang itu, harus dilepas kembali di tanah semenanjung, di tempat Parameswara, membangun Melaka. Tiga puluh tahun kemudian, barulah Raja Djaafar, salah satu puteranya, ketika menjadi YDM Riau V (18061832), berhasil memindahkan makam ayahnya itu ke pulau Penyengat, pusat pemerintahan dan kekuasaan YDM, dan dimakamkan kembali dengan kebesaran. Pemindahan itu terjadi ketika Melaka sudah jatuh ke tangan Inggeris, setelah terjadi konvensi  London, 1814.

Kerajaan Riau kalah. Sultan Mahmud Syah III dan sisa pasukan Riau yang bertahan di Muar, mundur dan kembali ke Ulu Riau. Demikian juga dengan Sultan Ibrahim Selangor, dan pasukannya mundur dari Tanjung Keling kembali ke Selangor. Raja Ibrahim sendiri, dikatakan terluka parang dalam perang itu. Sultan Mahmudsyah III dan pasukannya kembali untuk mempertahankan ibukota kerajaan Riau itu, karena tahu, cepat atau lambat, Belanda akan datang dan menyerang Riau.  Setiba di Ulu Riau, kemudian Mahmudsyah III segera melantik Raja Ali, putera Daengan Kamboja YDM II itu, untuk menjadi YDM V, pengganti Raja haaji Fisabililah, dan meneruskan perjuangan alamarhum. Raja Ali yang selama perang  Riau itu, berjuang bersama pamannya Raja Haji, segera menyiapkan pertahanan. Membuat kembali benteng di pulau Penyengat, teluk keriting, tanjung buntung, Kampung bugis, dan di pulau Bayan. Menambah lagi barisan petikamannya, dan perahu-perang baru, mengganti yang sudah hancur selama perang.

Bulan September, dua bulan setelah mengalahkan raja haji di melaka, Jacob van Braaam mengirim dua kapal perangnya, Hofter Linde dan Diamant, menuju Riau, untuk memburu sisa-sisa pasukan Riau dan memaksa Sultan Riau untuk takluk dan mengaku kalah perang.  Mereka mengirim utusan untuk bertemu Sultan, tapi Sultan mahmud Syah III menolak bertemu, dan hanya menugaskan YDM Raja Ali saja untuk menerima mereka. Utusan Belanda itu marah, karena merasa dilecehkan, apalagi yang menerima mereka Raja Ali, tokoh bugis yang sangat mereka benci. Maka mereka kembali ke Melaka, dan melapor kepada Jacoob van Braam. Laksamana Belanda yang kaya pengalaman itu segera membawa eskadernya ke Riau dengan sejumlah kapal perang, termasuk Utrecht, dan memimpin sendiri eskader itu. Tanggal 22 Oktober, mereka tiba di teluk Riau. Lalu segera mengirimkan ultimatum kepada Sultan Mahmud Syah III agar segera menyerah, mengusir semua para pembesar Bugis dari Riau, dan datang sendiri menghadap Jacob van Braam. Dan mahmud Syah III menolak. Maka pecahlan perang baru, di muara sungai carang, di teluk Riau itu. Raja Ali, YDM bugis tulen itupun memimpin pertempuran. Tetapi, eskader Belanda dapat dengan mudah mematahkannya. Pulau penyengat direbut, dan bahkan pasukan Belanda berhasil menguasai pulau bayan, pulau strategis di pintu masuk ke sungai Carang dan Ulu Riau itu. Seperti diceritakan buku Sejarah Perjuangan Raja haji Fisabillah (Suwardi Ms dkk, 1989), banyak perajurit Riau yang tewas. Jenazah-jenazah mereka di buang ke sungai, dan dibiarkan hanyut ke hulu sungai Carang dari pulau bayan. Karena Jacob van Braam ingin hal itu menjadi contoh dan memaksa Riau untuk menyerah. Malam hari, di tengah hujan lebat, Raja Ali dan para pendukungnya, termasuk keluarga almarhum raja Haji, berangkat meninggallkan Ulu Riau, menyingkir ke Sukadana, kalimantan barat. Ikut seta ketika itu, Engku Puteri dan raja Idrois, dua putera Raja haji. Sementara puteranya yang lain, raja Djaafar, tetap di Riau bersama kerabat yang lain.

Tanggal 1 November, seperti dicatat buku “Sejarah Riau”, (Muchtar Lutfi, dkk, 1976), Jacob van Braam kembali mengirim ultimatum, agar Mahmud Syah III menyerah, dan menandatangani perjanjian kalah perang. Akhirnya Mahmud Syah III, menyerah. Dia mengutus Engku Tua Cik Andak, Bendahara Tun Abdul Majid, Temenggung Abdul jamal dan raja Indra Bungsu, untuk datang bertemu Jacob van Braam, menandatangani pernyataan kalah perang itu. Perjanjian ditandatangani di atas kapal perang Utrecht, antara keempat utusan itu dengan Jacob van Braam, dan Jacob van Braam dan eskadernya segera kembali ke melaka. Tapi, seminggu kemudian, Jacob van Bram datang lagi ke Riau, tetapi tidak membawa eskadernya, hanya satu kapal perang saja, yaitu kapal perang Utrecht yang menjadi kapal komandonya. Dan kali ini dia didampingi Embran Rody, dan minta Sultan Mahmud Syah III menandatangani perjanjian baru. Perjanjian persahabatan dan kesetiaan. Kalau dalam perjanjian tanggal 1 November itu isinya hanya merupakan kapitulasi kalah perang, tapi perjanjian yang baru ini, yang disebut perjanjian persahabatan dan kesetiaan, berisi sekitar 14 pasal, yang menyangkut masalah politik, ekonomi, dan sosial. Perjanjian ini memang memberatkan Riau dan berdampak luas bagi kelangsungan kerajaan ini. Antara lain misalnya, Riau harus membayar biaya ganti rugi perang sekitar 60 ribu ringgit Spanyol, dan kalau ganti rugi ini sudah dilunasi, barulah Sultan Mahmud Syah III boleh menjalankan pemerintahannya, namun tetap dibawah pengawasan Belanda. Kemudian, Riau harus mengizinkan Belanda menempatkan wakilnya di Riau, seorang Residen dan sejumlah pasukan keamanannya. Riau tidak boleh lagi, mengangkat Yang Dipertuan Muda (YDM) dari keturunan Bugis. Kemudian, jika Sultan wafat, maka penggantinya, haruslah disetujui oleh pihak Belanda. Dan sejumlah ketentuan lain. Karena tidak ada pilihan lain, dan agar kerajaan Riau tetap eksis, maka akhirnya Mahmud Syah III, tanggal 10 november 1784, menandatangani perjanjian itu (dalam dokumen belanda disebut: Tracktaat Altoos Derunde Getrouwe Vriend en Bond Geneschaap). Dia , menurut buku Sejarah Riau, didampingi Raja Tua Encik Andak, Bendahara Tun Abdul Majid, Temenggung Tun Abdul jamal, dan raja Indrabungsu (tapi dalam buku Sejarah Melayu, Ahmad Dahlan, 2014, tidak ada nama Raja Tua Enchik Andak ).

Setelah perjanjian itu, maka, Sultan Mahmud Syah III melantik Tengku Muda Muhammad, putera Tun Abdul jamal, temenggung Johor, sebagai Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau menggantikan Raja Ali, yang sudah menyingkir ke Sukadana. Keputusan yang melanggar Sumpah Setia Melayu Bugis ini, untuk memenuhi isi perjanjian dengan Belanda, bahwa YDM itu tidak lagi boleh orang Bugis dan keturunannya. Semua para pembesar Bugis harus dienyahkan dari Riau. Tapi Tengku Muda Muhammad, yang bermukim di Kampung Bulang, kampung orang-orang Melayu di pinggir sungai Carang itu, lebih suka menyebut dirinya Raja Muda, bukan Yang Dipertuan Muda. Baginya yang Dipertuan Muda itu gelar untuk orang Bugis. Sedangkan Raja Muda, adalah gelar  tradisi yang dipakai sejak zaman Melaka dahulunya. Setingkat Wakil Sultan.

Tahun 1785, sekitar bulan Juni, maka Belanda pun mulai menempatkan Residenya di pulau Bayan. Residen pertamanya adalah David. Ruhde Dan dia membawa sejumlah prajurit dan pegawai lainnya. Ada sekitar 72 orang yang menempati pulau itu. Mereka mulai membangun benteng, dengan mendatangkan ahli pembangunan benteng dari Belanda. Pulau bayan kemudian menjadi pintu pengawas keluar masuk kapal ke Ulu Riau, dan juga kapal-kapal dagang lain. Terkadang mereka mulai ikut memungut cukai, dan lainnya, yang membuat Mahmud Syah III marah. Sering terjadi konflik, apalagi dikatakan david Ruhde ini agak arogan. Maka diam-diam Mahmud Syah minta sahabat-sahabatnya Raja Ismail,  pemimpin bajak laut dari Tempasok, Kalimantan barat, untuk mengusir David Ruhde. Tahun 1787, maka sepasukan Lanun Tempasok, menyerang pulau Bayan. David Ruhde, dan pasukannya ditawan dan dikalahkan. Bahkan, David Ruhde disuruh kembali ke Melaka, dengan pakaian sehelai sepinggang. Peristiwa ini, membuat Gubernur Melaka De Bruin Kroop, marah, dan berencana akan menyerang Riau dan menghukum Sultan Mahmud Syah III. Tetapi, sebelum Belanda tiba, Sultan Mahmud Syah II sudah memutuskan untuk meninggalkan Riau. Dia minta sahabatnya Raja Ismail, Raja para lanun di Tempasok itu, membangunkan dia sebuah istana dan kediaman baru di sungai Daik, di pulau Lingga. Dia juga minta bantuan orang-orang Melayu di Bangka, untuk membantunya membuat pusat pemerintahan baru di Lingga. Kemudian, setelah semuanya siap, maka Mahmud Syah III pun pergi meninggalkan istananya di Ulu Riau, membawa semua kerabatnya pindah ke Lingga. Tak kurang dari 200 perahu yang mengirinya menuju pusat pemerintahan yang baru, di Lingga, pulau yang dahulunya juga pernah menjadi tempat para Sultan Melaka, dan Johor menyingkir dan berlindung. Makanya, pulau Lingga itu kemudian disebut Bunda Tanak Melayu, tempat para penguasanya yang mengalamai kesulitan untuk mengadu, bertlindung, dan mencari tuah yang baru.

Sementara itu, dengan puluhan perahu lainnya, pejabat Riau dari keturunan Melayu, memilih pindah ke pulau Bulang, di dekat pulau Batam, sebagai tempat pemukimannya. Yang pindah kemari adalah keluarga Bendahara Tun Abdul Majid, Temenggung Abdul Jamal, Raja Muda Tun Muhammad, dan lainnya. Pulau Bulang inipun, sebuah pulau yang sudah sejak lama menjadi tempat para pembesar Melayu, menyingkir dan berlindung. Portugis, tahun 1626, perlu membumi hanguskan pulau Bulang ini, sebelum menaklukkan pusat kerajaan Melaka di pulau Bintan. Maka kosonglah Riau, tinggal bekas pusat pemerintahan di Ulu Riau, Kota Piring, Kampung Melayu, Kampung Bulang, Tanjung Unggat, di sisi kiri sungai Carang jika menghilir, dan Kampung Bugis, Senggarang, di sisi kanan. Di hulunya, adalah kebun-kebun gambir yang dihuni dan diurus oleh orang-orang Cina yang datang dari Singapura dan dari daratan Cina, yang dahulu didatang Sultan Riau untuk menjadi pekebun disana.  Menurut catatan David Ruhde, ketika menjadi residen di pulau Bayan, di Ulu Riau itu terdapat sekitar 5000 orang Cina. Sekitar 4000 an asal Kanton, dan sekitar 1000 an dari Amoi, Mereka itulah yang kemudian menguasai ladang-ladang gambir dan lada hitam, yang ditinggalkan kerajaan Riau itu.

Bulan November 1787, sebuah armada perang, yang dipimpin Jacob van Braam, kembali ke Riau, untuk menghukum Mahmud Syah III. Tetapi mereka menemukan negeri Riau yang sudah kosong. Mereka diberi tahu, semua penduduk Riau dan Sultannya telah pergi ke negeri lain, ke Lingga, Bulang, Mempawah, dan lainnya.   Akhirnya, Jacob van Braam, membenahi tempat-temapt yang dulu dijadikan tempat pengawasan Belanda terhadap Riau, seperti pulau Bayan dan Tanjungpinang, bekas benteng strategis Raja haji ketika terjadi perang Riau. Lalu mereka menempat satu garnizun, terdiri dari 216 personil, baik orang Belanda, Melayu, dan Eropa lainnya. Membangun sebuah benteng disana, yang kelak terkenal dengan nama benteng de Crown Prince, diatas sebuah bukit, menghadap ke arah teluk dan muara Riau. Mereka menjadikan Tanjungpinang sebagai pusat pengawasan baru Belanda atas perdagangan dan pelayaran di Selat Melaka dan sekitarnya. Mereka menempatkan lagi seorang residen disana, pengganti David Ruhde. Kelak, Tanjungpinang menjadi bandar dagang yang berkembang pesat, dan tempat berkantor Residen Riau, tangan kanan utama, Gubernur Belanda di Melaka.

Sungai Carang dan Ulu Riau, kembali sunyi. Sungainya mengalir tenang, coklat, dan memeram duka dan luka sejarah. Memang tidak seluruhnya hilang dari catataan sejarah. Sebab, 1795, ketika Inggeris mengalahkan Belanda dalam perang Eropa, dan Belanda harus menyerahkan semua jajahannya di Asia kepada Inggeris, maka Gubernur Inggeris di Pulau Penang, Farquhar, telah  mengutus orang kepercayaannya, untuk datang ke Lingga, dan menyerahkan surat keputusan, melepas  Riau kembali ketangan Sultan Mahmud, dan menyatakan Riau bebas dan merdeka. Dalam waktu nyaris bersama, utusan Belanda juga datang dari Batavia, untuk menyerahkan Riau kembali ke tangan Sultan Mahmudsyah, tanpa satu perjanjian apapun. Lalu, Sultan Mahmudsyah III memerimntahkan Raja Muda Tengku Muda Muhammad untuk kembali ke Riau, menjaga dan mengurus Riau, mengambil alih semua peninggalan Belanda, seperti benteng dan senjata-senjata. Raja Muda Muhamamad, kembali ke Riau dari pulau Bulang, dan membuat pemukiman di Kampung Tambak, di kota Tanjungpinang. Dia menjadikan Tanjungpinang sebagai pusat pemerintahan Raja Muda, wakil Sultan Riau. Dan berangsur-angsur kembalilah orang-orang Melayu ke Riau lagi, meski tidak lagi ke tempat yang lama di Ulu Riau. Mereka berkelompok di Kampung Tambak dan Bakar Batu. 

Keputusan Inggeris mengembalikan kedaulatan Riau, dan Belanda tidak berkuasa lagi, menyebabkan perjanjian persahabatan Riau-Belanda, tanggal 10 november 1784, tidak berlaku lagi. Berarti, larangan orang-orang keturunan Bugis menjadi penguasa di Riau, juga tidak berlaku lagi. Maka kembalilah Raja Ali ibni Daeng Kamboja, YDM Riau V itu ke Riau. Mula-mula dia kembali ke Muar, Johor, Lalu, ke Lingga menghadap Sultan Mahmud Syah III . Dia minta jabatannya  sebagai YDM dikembalikan. Dia minta Sumpah Setia Melayu Bugis, dihidupkan lagi. Tapi Mahmud Syah III sudah mengangkat Tengku Muda Muhammad sebagai Raja Muda, dan kini memimpin di Riau. Raja Ali tetap berkeras dan siap berperang untuk menuntutnya. “Kalau tak bisa patik ambil dengan damai, ya, dengan perang”, katanya kepada Mahmud Syah III. Raja Ali memang keras, seperti ayahnya Daeng Kamboja. Maka dia menyiapkan pasukan pertikannya yang dia bawa dari  Sukadana, dan berlayar menuju Riau, minta Tengku Muda Muhammad mundur dan menyerahkan jabatannya kepadanya. Tengku Muda Muhammad menolak, dan pecahlah perang saudara, puak Melayu melawan Puak Bugis. Perang terjadi di muara sungai Carang, di Teluk Riau. Perang yang membangkitkan kembali konflik Melayu Bugis di pusat kerajaan Melayu Riau ini. Tak ada yang kalah, dan tak ada yang menang. Tapi banyak nyawa yang melayang, banyak harta yang musnah.

Mahmud Syah III sedih karena kedua pejabat utama kerajaan Riau itu, tak ada yang mau mengalah. Dia mengundang Tengku Muda Muhammad untuk datang  ke Lingga, dan berdamai dengan Raja Ali. Tetapi Tengku Muda Muhammad, menolak datang. Bahkan dalam surat penolakannya, dia menyatakan. Akhirnya, bahwa dia bukan hanya Raja Muda, tetapi sebenarnya Sultan Bulang dan Bintan, dua kawasan yang sebelumnya diamankan oleh Mahmudsyah untuk diurusnya. Berkali-kali, dan hampir 3 tahun upaya damai itu dilakukan. Baik oleh pihak Bugis melalui Sultan Ibrahim, Selangor, maupun oleh Bendahara Pahang, dari pihak Melayu. Tetapi tetap gagal. Barulah, tahun 1803, sekitar bulan September, setelah Sultan Mahmud Syah III sendiri yang datang ke pulau Bulang, dan mendamaikan kedua belah pihak, baru perdmaian terjadi. Pembicaraan damai itu dilakukan diatas kapal Engku Busu, seorang tokoh Melayu. Setelah bersepakat damai, baru raja Ali dan Engku Muda Muhammad, bersama-sama menghadap Sultan Mahmuid Syah III di kediaman Bendahara Pahang, di pulau Bulang.a. Di situ diputuskan perdamaian, yang disebut perdamaian  Kuala Bulang. Isinya: Jabatan YDM dikembalikan kepada raja Ali, sebagaimana Sumpah Setia Melayu Bugis. Sementara Raja Muda Muhammad diangkat jadi Temenggung Riau dan Johor, jabatan yang sudah lama kosong, dan jabatan itu memang hanya untuk  keturunan Melayu. Untuk meredakan kemarahan pihak Melayu, selanjutnya  maka  Mahmudsyah III mengawinkan putera tertuanya, Tengku Husin, pewaris tahta kerajaan Riau, dengan Tengku Buntat, puteri Tengku Muda Muhammad. Sehingga kelak, jika mereka memperoleh zuriat, maka zuriatnya itu berhak atas tahta kerajaan Riau, yang memang diperuntukkan bagi pihak Melayu. Sedangkan untuk menjaga hati pihak Bugis, maka Mahmud Syah III sendiri mengawini Raja hamidah, puteri almarhum Raja haji Fisabililah, dan sebagai mas kawinnya, Mahmud Syah III memberikan pulau penyengat Indrasakti, pulau kecil di muara sungai Carang itu, dan menetapkan pulau itu sebagai tempat pemukiman puak Bugis.

Memang, tidak semua keputusan itu diterima pihak yang bersengketa. Tengku Muda Muhammad menolak menjadi Temenggung Riau, dia tetap teguh dengan sikap dia sebelumnya, bahwa jika dia tidak bisa menjadi raja Muda, maka dia tak ingin gelar apapun. Sebab dia merasa bahwa tanpa gelarpun dia tetap berkuasa atas daerah-daerah yang jadi pegangannya selama ini, yaitu Bintan, Bulang dan bahkan Johor. “Meskipun Beta tidak ditabalkan, siapa yang  akan menolak pemerintahan Beta?”, begitu antara lain kata Engku Muda Muhammad.  Dia tetap merasa haknya atas kekuasaan di kerajaan Riau itu, sama dengan Sultan Mahmud Syah III, karena sama-sama berasal dari dinasti Bendara Tun Abdul Jalil atau Sultan Johor, Abdul Jalil Riayat Syah. Dia tetap tidak mau dilantik  sebagai Temenggung Riau dan Johor, dan baru ketika dia wafat tahun 1806, dia berwasiat agar jabatannya itu diserahkan kepada keponakannya Daeng Abdurrahman. Dia mengingatkan keponakannya itu, agar kelak keponakannya itu jangan sampai  melepaskanJohor. Menurut dia, dengan jabatan sebagai Temenggung Riau, Johor, maka kekuasan puak Melayu, kembali seperti dahulu kala sebelum pecah. Karena Pahang, sudah berada di tangan Bendahara yang juga adalah saudaranya, berarti Sultan Mahmud Syah III dan pihak Bugis, tinggal menguasai Lingga, Penyengat dan pulau Tujuh saja lagi. Tapi untuk tetap menjaga strategi politik pihak Melayunya, Engku Muda Muhammad tetap setuju anaknya Tengku Buntat dinikahkan dengan Tengku Husin, meskipun dia  juga tahu bahwa anaknya justru sangat mencintai Raja Djaafar, putera tertua almarhum Raja haji Fisabillah. Bagi pihak Melayu, Raja Djaafar inilah yang diharap menjadi YDM Riau, karena masih ada darah Melayunya dan bukan Raja Ali yang berdarah Bugis tulen.

Setelah perdamaian Kuala Bulang itu, maka pihak-pihak yang berseketa kembali ke kehidupan mereka masing-masing. Tengku Muda Muhammad, seperti telah dikemukakan diatas, dengan perasan marah, menolak jabatan Temenggung Riau dan Johor, jabatan yang dulu dipegang ayahnya Tun Abdul Jamal. Raja Ali, menerima jabatan Yang Dipertuan Muda, dan tahun 1804, kembali dikukuhkan oleh Sultan Mahmud Syah III di pulau Penyengat, dan kembali memperbaharui Sumpah Setia Melayu Bugis. Seterusnya, dia menetap di pulau bayan, dan menjalankan pemerintahan dari sana, dari pulau kecil di muara sungai carang, tempat yang dahulu bekas kedudukan residen Belanda David Ruhde. Sultan Mahmud Syah III kembali ke Lingga, dan menjadikan Raja Hamidah sebagai permaisurinya, dengan gelar Engku Puteri Hamidah. Permaisurinya ini dijadikannya juga pemegang  regelia (alat-alat kebesaran) kerajaan, dan menjadi  tokoh yang sangat berpengaruh dalam menjaga adat istiadat kerajaan Melayu. Tidak mempunyai putera degan Mahmud, karena waktu menikah usianya sudah lebih dari 34 tahun. Tengku Husin dan Tengku Buntat, menetap di Lingga. Sesekali ke Singapura, sesekali ke Terengganu, sesekali ke Pahang. Dia lebih suka berkumpul dengan kerabatnya sebelah Melayu, ketimbang sebelah Bugis atau mendampingi ayahnya memerintah. Yang justru banyak membantu ayahnya, adalah Tengku Abdurrahman, yang di gelar juga Tengku Jumat,atau panggilan sayangnya, si Komeng. Dia putera kedua mahmudsyah III dengan isterinya keturunan Pahang. Sedangkan Raja Djaafar, membawa luka cintanya, dan menetap di Selangor bersama pamannya Raja Ibrahim yang bergelar Raja Lumu. Dia menjadi saudagar timah dan mempunyai banyak lumbung-lumbung timah di Klang, Selangor, sambil  belajar tentang pemerintahan.

Selengkapnya :
BAB I
https://jantungmelayu.co/2020/07/prasasti-bukit-siguntang-dan-badai-politik-di-kemaharajaan-melayu-1293-1913-sebuah-renungan/

BAB II
https://jantungmelayu.co/2020/07/memanggul-prasasti-bukit-siguntang/

BAB III
https://jantungmelayu.co/2020/07/luka-hati-sang-rajuna-tapa-jatuh-bangun-kerajaan-melayu-singapura-1294-1392/

BAB IV
https://jantungmelayu.co/2020/07/sebelum-berbunyi-meriam-peringgi-jatuh-bangun-kerajaan-melayu-melaka-1394-1528/

BAB V
https://jantungmelayu.co/2020/07/bisanya-keris-megat-sri-rama-jatuh-bangun-kerajaan-melayu-johor-1529-1722/

BAB VI
https://jantungmelayu.co/2020/07/jejak-tapak-sang-laksamana-sungai-carang-menjadi-pusat-kerajaan-riau-johor-1673-1782/

BAB VII
https://jantungmelayu.co/2020/07/kinja-daeng-marewa-dan-dendam-tun-dalam-jatuh-bangun-kerajaan-riau-johor-1723-1787/

BAB VIII
https://jantungmelayu.co/2020/07/jembia-cinta-kuala-bulang-akhir-kerajaan-riau-lingga-johor-1812-1913/

BAB IX
https://jantungmelayu.co/2020/07/akhirnya-berpisah-di-tanjung-puteri-hari-hari-terakhir-kerajaan-singapura-johor-pahang-1819-1878/

BAB X
https://jantungmelayu.co/2020/07/dan-bunda-tanah-melayu-pun-tersedu/

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top