Raswah dan Serong Jangan Diterima

PALEMBANG menjadi tempat berkunjung Raja Ismail dari Siak untuk beberapa waktu lamanya. Sampai masanya dia hendak meninggalkan Palembang pula. Oleh Sultan Palembang, dia dibekali dengan uang dan perbekalan secukupnya. Pasalnya, dari Palembang Raja Ismail hendak pergi ke Terengganu (bagian Malaysia sekarang) sebagai tujuan selanjutnya. Sebelum itu, dia akan singgah dahulu ke Siantan (wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau, sekarang) dengan misi rahasia.

Kabar tentang rencana Raja Ismail hendak singgah ke Siantan sebelum meneruskan pelayarannya ke Terengganu sampai ke penguasa Siantan kala itu, Orang Kaya Dewa Perkasa namanya. Selanjutnya, Raja Ahmad Engku Haji Tua dan Raja Ali Haji menuturkannya dalam Tuhfat al-Nafis karya mereka berdua.

“Syahadan adalah pada masa itu yang menjadi orang besar di Siantan, iaitu Orang Kaya Dewa Perkasa. Maka tatkala didengarnya Raja Ismail itu akan datang ke Siantan, maka ia pun bersiap-siaplah membuat kubu. Adalah fikirnya itu, apabila Raja Ismail datang membuat haru-biru, hendak dilawannya berperang. Syahadan khabar itupun (sic) sampailah kepada Raja Ismail. Maka marahlah ia. Kemudian disuruhnya panggil titahnya, khabarkan kepada Dewa Perkasa dia hendak berjumpa sebentar, hendak berpesan kerana ia hendak lekas ke Trengganu hari itu juga.

Setelah Dewa Perkasa mendengar kata suruhan itu maka ia pun percayalah, maka segeralah ia datang mengadap. Maka apabila sampai ke haluan kenaikannya itu, maka Dewa Perkasa pun diperamai-ramaikan oleh panglima-panglima Raja Ismail. Apabila telah mati, maka disuruh Raja Ismail hantarkan mayat itu ke rumah anak bininya,” (Ahmad & Haji dalam Matheson (Ed.) 1982, 180).

Dewa Perkasa curiga ada maksud terselubung Raja Ismail dan rombongannya singgah di daerahnya. Oleh sebab itu, dia segera mempersiapkan kubu pertahanan untuk mengantisipasi kalau-kalau Raja Ismail hendak menyerang negerinya. Firasat itu memang terlintas di pikirannya.

Entah bagaimana caranya, kecurigaan penguasa Siantan itu diketahui oleh Raja Ismail. Konon tersinggunglah si tamu itu kepada Dewa Perkasa. Tentulah ketersinggungannya, bahkan niat terselubungnya, tak disampaikannya kepada pemimpin Siantan yang menaruh curiga terhadap dirinya. Sebaliknya, Raja Ismail mengirim anak buahnya untuk berjumpa dengan Dewa Perkasa. Dia minta disampaikan bahwa dia hendak bertemu sebentar saja dengan Dewa Perkasa untuk menyampaikan suatu perkara mustahak karena setelah itu dia dan rombongannya akan segera bertolak ke Terengganu.

Malang bagi Dewa Perkasa. Walau dia berfirasat buruk terhadap tamunya, setelah disampaikan “maksud baik” orang yang singgah itu, dia percaya saja bagai orang yang dihipnotis. Baru saja dia sampai ke perahunya, Dewa Perkasa dianiaya secara beramai-ramai (diperamai-ramaikan) oleh para panglima Raja Ismail sampai dia menemui ajalnya. Dikisahkan selanjutnya bahwa kemudian Raja Ismail dan rombongannya meneror penduduk Siantan dan merampas harta-benda masyarakat yang ketakutan. Setelah berhasil melaksanakan rencana jahatnya itu, barulah Raja Ismail dan rombongannya berlayar menuju Terengganu.

Orang Kaya Dewa Perkasa akhirnya terbunuh secara mengerikan, dikeroyok beramai-ramai oleh orang yang memang berniat untuk mengharu-birukan negerinya, persis seperti firasatnya. Bahkan, harta-benda masyarakatnya dirampas oleh musuh yang berpura-pura datang sebagai teman. Mengapakah perkara seperti itu dapat menimpa seseorang pemimpin seperti Dewa Perkasa?

Jawabnya, penguasa Siantan itu tak waspada dan atau tak berhati-hati terhadap tamunya yang datang, padahal tak diundang. Memang, awalnya dia menaruh curiga sehingga dia pun mempersiapkan kubu pertahanan untuk mengantisipasi jika tamu datang hendak menyerang. Akan tetapi, dia lupa memprediksi bahwa kemudian musuhnya mengubah taktik: datang seolah-olah sebagai sahabat, yang hendak melakukan kunjungan muhibah ke negerinya yang tenang.

Dia sangat mudah termakan bujukan kata-kata manis yang mengandungi racun berbisa bukan kepalang. Akibatnya, dia, rakyat, dan negerinya harus menerima nasib malang. Musuh yang menyamar sebagai kawan kemudian pergi menghilang. Tentu, mereka membawa harta-benda hasil jarahan dari rakyat Siantan yang tak dapat lagi dibilang. Negeri Siantan berduka tak kira malam ataupun siang. 

Belajar dari pengalaman buruk kepemimpinan Dewa Perkasa, setiap pemimpin seyogianya memiliki karakter selalu waspada dan atau berhati-hati. Dengan senantiasa waspada dan berhati-hati, pemimpin akan terhindar dari sebarang upaya pihak lain yang hendak menjatuhkan pemimpin yang tak disenanginya. Syair nasihat dalam Tsamarat al-Muhimmah (Haji dalam Malik (Ed.), 2013), bait 28, telah mengingatkan para pemimpin akan mustahaknya karakter waspada. Juga disampaikan cara yang seyogianya dilakukan agar pemimpin terhindar dari dampak buruk ketakwaspadaan. 

Hendaklah musyawarat dengan ulama
Supaya hukuman tiada cuma
Raswah dan serong jangan diterima
Supaya tuan beroleh nama

Itulah antara lain cara, atau bahkan strategi, yang dianjurkan syair nasihat di atas agar pemimpin tetap waspada. Di antaranya ikutilah peraturan hukum, jauhi perbuatan korupsi atau raswah, dan jangan pernah melakukan perbuatan-perbuatan tercela atau serong lainnya. Untuk itu, pemimpin harus selalu bermusyawarah dan atau bertukar pikiran dengan orang-orang yang berilmu supaya tak mudah dijebak oleh orang-orang yang berniat jahat. Orang-orang dengan misi negatif itu selalu dan memang senantiasa menggoda pemimpin, sesuai dengan kekuasaannya, untuk melakukan perbuatan-perbuatan melawan hukum. Semua muslihat jahat itu untuk menguntungkan mereka, baik dari segi material maupun kekuasaan.  

Dampak dari ketakhati-hatian dan atau ketakwaspadaan dalam kepemimpinan juga disinggung oleh Gurindam Dua Belas (Haji, 1847), Pasal yang Ketujuh, bait 3.

Apabila kita kurang siasat
Itulah tanda pekerjaan hendak sesat

Demikian pulalah akibatnya. Jika pemimpin kurang berhati-hati (kurang siasat), bakti kepemimpinannya bukannya membawa tuah, melainkan mendatangkan musibah. Pemimpin dapat terjerat kepada perbuatan yang salah (sesat), apakah secara hukum, agama, sosial, dan ataupun budaya masyarakatnya. Dampak ikutannya tak hanya pemimpin yang bersangkutan yang menerima padah (akibat buruk)-nya, tetapi juga keluarga, masyarakat, rakyat, sampai kepada negeri atau negaranya.

Untuk menghindari semua dampak buruk itu, Gurindam Dua Belas (Haji, 1847), Pasal yang Kedua Belas, bait 1, 4, dan 5 memberikan solusinya.

Raja mufakat dengan menteri
Seperti kebun berpagarkan duri

Kasihkan orang yang berilmu
Tanda rahmat atas dirimu

Raja mufakat dengan menteri
Seperti kebun berpagarkan duri

Pelajaran yang dapat dipetik dari Gurindam Dua Belas di atas adalah pemimpin dan para bawahannya hendaklah seiya-sekata dalam melaksanakan kerja-kerja kepemimpinan yang sesuai dengan peraturan yang berlaku, yang benar dan baik, bukan malah bersepakat dan bergotong-royong melanggar hukum untuk memperkaya diri dan atau orang lain. Selain itu, seperti yang diungkapkan juga dalam syair nasihat pada Tsamarat al-Muhimmah, berbanyak-banyaklah bertukar pikiran, berdiskusi, dan saling berbagi pandangan dengan orang-orang berilmu dan memiliki kepakaran dalam bidang-bidang yang terbabit dengan kepemimpinan. Tentu, orang yang disebutkan terakhir itu adalah mereka yang benar-benar ikhlas untuk membantu sang pemimpin. Mereka itulah yang mungkin dapat membantu pemimpin untuk mencapai kejayaan kepemimpinan dengan inayah Allah.

Memang, karakter waspada dan atau berhati-hati dalam kepemimpinan sesungguhnya ajaran Allah. Dialah yang menuntut sekaligus menuntun pemimpin agar senantiasa berhati-hati dan waspada.

“(Apakah kamu, hai orang musyrik, yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedangkan dia senantiasa cemas dan khawatir akan (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, ‘Adakah sama antara orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tak mengetahui?’ Sesungguhnya, orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran,” (Q.S. Az-Zumar, 9).

Orang-orang yang melawan Allah tak pernah berasa khawatir tentang apa pun tindak-tanduk kepemimpinannya. Dia selalu menganggap bahwa karena dia pemimpin, dialah yang mengetahui dan menentukan segala-galanya. Berbeza halnya dengan orang-orang yang beriman. Dalam kepemimpinannya, dia senantiasa cemas dan khawatir akan berbuat kesalahan. Oleh sebab itu, dia selalu waspada dan berhati-hati. Lebih daripada itu, dia senantiasa bermohon akan bimbingan dan petunjuk Allah.

Walaupun agak berbeza sedikit kasusnya dengan Orang Kaya Dewa Perkasa dari Negeri Siantan, Sultan Abdul Muluk dari Kerajaan Barbari juga melakukan kesalahan kepemimpinan karena kurang waspada dan tak berhati-hati. Dia sangat percaya kepada para pemimpin negeri yang selama ini menjadi sahabat negerinya, termasuk kepada Sultan Hindustan. Kisahnya tersurat dalam Syair Abdul Muluk (Haji, 1846), bait 556 dan 557.

Adapun akan Sultan Hindustan
Merampas membakar dusun sekalian
Anak bini orang dipertarikkan
Geger gempar tiada berketahuan

Orang dusun habislah lari
Masing-masing membawa diri
Setengahnya masuk ke dalam negeri
Mendapatkan Mansur wazir jauhari

Nukilan dua bait Syair Abdul Muluk di atas berkisah tentang suasana Kerajaan Barbari diserang oleh Kerajaan Hindustan yang dipimpin langsung oleh sultannya. Karena selama ini Sultan Abdul Muluk tak pernah curiga terhadap pemimpin Kerajaan Hindustan, Kerajaan Barbari nyaris tak memiliki persiapan apa pun untuk menghadapi serangan mendadak pasukan Kerajaan Hindustan. Akibatnya, Negeri Barbari diporak-porandakan pasukan Hindustan dan rakyatnya menjadi panik dan berlarian ke sana ke mari tak tentu tujuan. 

Akhirnya, pasukan Kerajaan Barbari tak mampu membendung serbuan balatentara Kerajaan Hindustan. Kerajaan Barbari yang makmur itu kemudian harus menjadi negeri jajahan. Kesemuanya karena kelalaian Sultan Abdul Muluk, pemimpin yang terlalu percaya kepada musuh yang menyamar sebagai teman. Sebagai pemimpin, dia tak waspada dan kurang berhati-hati sehingga dia sendiri, rakyat, dan negerinya harus menanggung beban kesalahan.

Dari Anas bin Malik r.a. beliau menceritakan bahwa suatu hari Rasulullah SAW melayat seseorang yang akan meninggal dunia. Rasulullah bertanya kepada orang itu, “Bagaimanakah kamu merasakan dirimu sekarang?” Dia menjawab, “Aku dalam keadaan harap dan cemas.” Mendengar jawaban laki-laki itu, Rasulullah bersabda, “Tidaklah berkumpul dalam diri seseorang dua perasaan ini, melainkan Allah akan memberikan apa yang dia harapkan dan menenangkannya dari apa yang dia cemaskan,” (H.R. At-Tirmidzi dan Nasa’i).

Para pemimpin yang cemas karena kewaspadaannya seraya mengharapkan pertolongan Tuhan, dia akan mendapatkan dua hal positif sekaligus dalam kepemimpinan. Pertama, harapannya dikabulkan. Kedua, kecemasannya dilenyapkan oleh Tuhan sehingga dia akan menjadi pemimpin dengan penampilan tenang. Atas dasar itu, pemimpin terbilang menjadikan waspada dan atau berhati-hati sebagai karakter pilihan. Hanya pemimpin dengan karakter hebat itulah yang mampu melawan godaan manis-manja raswah dan permainan serong, dua perkara yang selalu menggempur dan menggemparkan kepemimpinan.***

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top