Hujan di sepanjang sungai menambah kesan petualangan menuju kampung halaman sang wira, Sabtu (27/3/2021). Sebuah kawasan yang sukar diakses yang entah kapan lagi bisa mengulangi.
Teks & Foto Fatih Muftih
BUS di parkiran Hotel One sedang dipanaskan di antara gigil dingin sebab hujan sejak subuh tadi. Dari kedai Cik Leha, saya menafsir pemandangan itu dengan lagak penyair: Seperti rinduku padamu; dingin di pipi, panas di hati. Ah, sial. Hujan di Dabo tidak mempercepat kelam, malah menumbuhkan melankolis.
Kopi panas di atas meja—ah, aromanya—merangsang hasrat untuk menulis puisi. Sayang, pena dan notes tertinggal di kamar. Sehingga, ketimbang berkubang pada perasaan sendu tak menentu, saya menumpang dengar obrolan di meja sebelah.
Hanya segelintir dari rombongan pagi ini yang pernah berkunjung ke kampung Hang Tuah di Tinjul. Dari mencuri dengar, seorang yang saya taksir usia 40-an dengan rokok yang tak pernah putus berkisah bahwa kawasan yang kami tuju pagi ini berada di antara rimbun bakau. “Semoga nanti air masih tinggi. Kalau surut, kita harus ngarung,” ucapnya.
Mengarung bukan jenis perjalanan yang menyenangkan. Mendengar kata itu diucapkan saja efeknya sampai ke kaki. Saya membayangkan seberapa dalam lumpur yang harus ditempuh untuk bisa sampai ke tepian. Kalau kotor saja, sih, tak mengapa. Tapi, kalau ada ular atau sembilang, pasti akan lain cerita.
Mengejar air pasang ini yang membuat seluruh rombongan sudah memadati kedai Cik Leha dan membuat saya tak sempat menghabiskan secangkir kopi. Dato Rida, masih seperti pagi kemarin, melengking dari halaman hotel: “Ayo, kita berangkat.”
Semua yang berada dalam kedai Cik Leha bubar dan berlari kecil ke arah bus. Saya juga lekas bangkit dan melupakan setengah cangkir kopi yang masih panas. Baru hendak melangkah, lengan saya ditahan. “Kau sama kami saja. Naik mobil,” kata Moel sambil menunjukkan kunci.
Saya kembali menempelkan bokong ke kursi dan menyesap sisa kopi dan membakar rokok sebatang lagi dan mengingat-ingat ide puisi yang sempat melintas dalam benak.
***
Kontur jalan raya di Dabo Singkep meliuk-liuk. Sesekali naik-turun bukit. Beberapa kilometer melewati garis tepi pantai. Moel dengan sigap mengatur kecepatan agar mobil kami tidak berjauhan dengan bus rombongan di depan. “Tak ada Google Maps, bahaya kalau sampai tertinggal,” kata Moel dengan mata yang awas ke jalan.
Iya, juga, ya, batin saya. Saya menyalakan ponsel dan tidak menemukan petunjuk di peta Google perihal kampung halaman Hang Tuah. Padahal, jika kawasan ini sudah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemkab Lingga sejak 2010, semestinya bisa ditandai pula di peta digital sehingga memudahkan siapa saja yang hendak berziarah ke sana.
Avanza kami berisi lima orang. Semuanya orang Tanjungpinang. Tak satupun dari kami punya gambaran ujung dari perjalanan ini. Kemarin, kami hanya melihat foto-foto di pemaparan dan tidak menyangka untuk mendapatkan foto itu, tim ekspedisi Lingga harus berkendara sejauh ini.
Karena itulah dalam mobil yang tidak bermusik ini, kami membincangkan apa saja. Satu di antara yang cukup menyita perhatian adalah tentang rencana kembali dibukanya tambang timah di Dabo Singkep.
Sebelumnya, saya tidak pernah mendengar kabar itu. Saya pikir, timah adalah masa lalu bagi warga Dabo. Ternyata, tidak. “Emas putih” dalam bumi Singkep itu masih menarik minat banyak pihak. Bagi konglomerasi maupun bagi masyarakat sekitar. Bagaimanapun Singkep dan timah adalah dua hal yang tak terpisahkan, yang dua-duanya pernah saling menjayakan.
“Jadi nanti akan semakin banyak lagi kolong (lubang bekas galian tambang) di Dabo, dong, ya,” kata saya di tengah diskusi.
“Macam mana lagi. Itu konsekuensi. Kalau betul akan dibuka lagi, Dabo bisa maju macam dulu,” Moel yang menimpali tanpa menoleh ke saya yang duduk di kursi belakang.
Untuk memudahkan pemahaman Anda tentang kemajuan Dabo Singkep di era timah, saya punya gambaran yang bikin geleng-geleng saat kali pertama mendengarkannya. Jadi, seorang rekan kerja di Tanjungpinang yang ayahnya berstatus pegawai di PN Timah di Dabo Singkep pernah minta dibelikan kaset Nevermind, album perdana Nirvana. “Tapi yang dibelikan ayahku malah album Red Hot Chili Peppers.”
Anda bisa bayangkan kemajuan ekonomi dan peradaban seperti apa yang pernah ada di Dabo saat anak mudanya saja sudah bisa punya selera musik yang sama dengan anak muda di Amerika Serikat.
***
Tikungan terakhir masuk ke jalan tanah. Bus parkir di halaman sebuah rumah. Mobil kami mengambil posisi beberapa meter dari buntutnya. Warga sekitar menyambut dengan keramahan seorang kawan lama. Dato Rida, yang menghabiskan sebagian besar masa kecil dan remajanya di Lingga, mendapat pelukan juga jabatan erat yang tak putus-putus. Senyum terus mengembang. Saya tidak bisa tenang menyaksikan itu karena hujan sekonyong-konyong deras dan membuat semua orang lekas berlari ke dermaga.
Di tepi dermaga, ada empat pompong terbuka dengan mesin menyala. Sampan-sampan bermesin inilah yang akan membawa kami ke Sungai Duyung. Melompat ke pompong dari tangga dermaga bukan masalah besar, kecuali saat hujan seperti ini. Semua dituntut lebih berhati-hati mengawasi langkahnya. Lantai licin. Tangga licin. Pompong licin. Akan jadi bahan tertawaan khalayak kalau sampai terpeleset dan masuk ke air.
Dato Rida beserta kawan-kawannya melesat dengan pompong pertama. Seonggok payung yang dibawa tekong menjadi pelindung kepala. Entah seberapa berfungsi payung itu diandalkan melindungi pakaian dan badan sampai ke Sungai Duyung yang, kata orang di dermaga, paling cepat ditempuh selama 30 menit.
Saya mengenakan celana pendek. Itu memudahkan gerak dalam situasi becek seperti ini. Yang bikin menyesal adalah karena saya tidak memakai sepatu. Karet sandal di kaki sudah tidak bisa diandalkan. “Lepas saja dulu,” kata tekong saat melihat saya kesulitan berjalan dan akan melompat ke atas pompong. Saya menurut. Dalam hati sedikit merutuk, “Kalau saja sudah diet, tentu tidak semenyebalkan ini kerja melompat ke pompong.”
Iring-iringan pompong membelah Sungai Tinjul. Hujan membuat jarak pandang serbaterbatas. Saya melirik ke belakang. Tekong masih berdiri steady dengan tangan siaga di kemudi. Laut yang tenang memang takkan melahirkan pelaut yang andal. Tidak banyak hal yang bisa dilakukan di atas pompong. Suara hujan bercampur deru mesin tak memungkinkan kami untuk mengobrol. Hendak menyulut sebatang rokok pun mustahil karena mancis sudah kuyup.
Saya cuma melamun. Menoleh ke hamparan bakau di kanan-kiri sepanjang perjalanan. Saya membayangkan inilah jalur yang sama yang dipakai Hang Tuah empat abad lalu. Biarpun hujan, perjalanan kami tidaklah sebanding karena dibantu mesin motor di sampan. Saya membayangkan kepayahan jenis apa yang dirasakan oleh bapak Hang Tuah ketika memutuskan akan membawa keluarganya hijrah bermil-mil ke utara, ke Bintan, dengan sampan lading berukuran kecil yang dikayuh dan hanya diperbantukan layar. Bagi saya, 30 menit saja serasa berjam-jam. Apalagi pelayaran ke Bintan yang diprediksi bisa berlangsung berhari-hari.
Hampir saja mulut saya keceplosan dan menanyakan kemungkinan adanya buaya-buaya yang bersarang di antara rimbun bakau di kanan-kiri. Bukan apa, saya yang jarang menempuh jalur-jalur pelayaran semacam ini merasakan seperti sedang menyusuri sungai Amazon yang saya lihat di film-film yang dihuni ular-ular dan buaya-buaya raksasa.
Tetapi, saya ingat pitutur orang Melayu kuno, jika sedang dalam perjalanan di sungai-sungai atau kampung-kampung tua agar menjaga lisan. Makanya, saya lekas menapuk mulut sendiri daripada keceplosan bertanya tentang buaya atau ular raksasa.
Laju pompong melambat tepat pada persimpangan anak sungai. Pompong mengambil jalur yang lebih kecil. Kecepatan menurun drastis. Saya kira laju di anak sungai ini seperti kecepatan motor gigi satu. Tekong juga dituntut lebih waspada lantaran terkadang ada ranting-ranting bakau yang membentang sampai merintang ke tengah jalur. Anak sungai ini juga tidak sedalam sungai besar sebelumnya. Saya bisa menaksirnya karena dari atas pompong saja sudah terlihat dasarnya.
Tekong yang berdiri di belakang saya menangkap gelagat keingintahuan saya yang sampai memasukkan tangan ke air. “Kalau surut, kandas pompong ini, Bang. Kita mesti ngarung,” kata Tekong.
Diajak bicara, saya menoleh. Saya mengumpat dalam hati. Ia sungguh santai memandu pompong dengan mulut yang mengapit sebatang rokok menyala. Bagaimana ia bisa menyalakan rokok di tengah hujan yang belum lagi reda seperti ini? Tahu begitu, saya pinjam api dari tadi untuk mengusir dingin di badan.
Akan tetapi, belum sempat saya menyampaikan maksud hati, di ujung jalur, saya melihat pompong-pompong sudah bersandar dan terikat pada pancang yang tertanam. Ada tiga orang memandu di sana. Tekong bermanuver agar bodi pompong bisa bersanding. Saya melihat sebuah dermaga dari pancang nibung dan bambu membujur ke daratan di tengah rimbun bakau.
“Hati-hati … pelan-pelan … ” teriak pemuda yang siaga di tepi.
Saya menghela napas panjang. Ini benar-benar perjalanan yang tak mudah. Saya risau kalau pancang nibung itu tak kuasa menahan beban badan saya yang dua kali lipat dari Moel atau Rendra. Repot memang jadi orang gendut.***