Bentan, Negeri Para Laksamana

Oleh : Samson Rambah Pasir

SEPANJANG sejarah, Tanah Bintan atau Bentan telah melahirkan, mendidik, dan menempa banyak satria berprestasi, cemerlang, gemilang, dan terbilang yang mengabdi kepada raja dan kerajaan di negeri-negeri Melayu di sejulur Tanah Semenanjung dan Kepulauan Riau. Sebut saja Hang Tuah yang berkarir sebagai Laksamana di Kerajaan Melaka beserta para sahabat seangkatannya Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu. Selain menyandang jabatan laksamana, Hang Tuah juga dikenal sebagai diplomat ulung dalam Kerajaan Melaka. 

Demikian Juga Khojah Hassan, pengganti Hang Tuah sebagai Laksamana di Kerajaan Melaka. Satu catatan penting tentang keberanian satria Khojah Hassan ditulis dalam Sejarah Melayu karangan Tun Sri Lanang adalah ketika beliau melarikan gajah tunggangan atau gajah kenaikan Sultan Ahmad Shah peneraju Kerajaan Pahang, sehingga baginda sangat malu dan akhirnya turun tahta. 

Begitu pula Hang Nadim, Laksamana yang menggantikan Khojah Hassan, juga putra Bentan yang kelak menjadi laksamana andalan Sultan Mahmud Syah I dalam upaya merebut kembali Kota Melaka dari tangan Portugis. Selanjutnya Laksamana Hang Nadim mengabdi di Kerajaan Johor dalam masa yang lama. 

Megat Sri Rama yang dikenal sebagai Laksamana Bentan dan berkhidmat di Kerajaan Johor pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah II, tak dapat disangkal merupakan putra jati Tanah Bentan yang berprestasi, cemerlang, gemilang, dan terbilang. 

Para satria atau pendekar berprestasi, cemerlang, dan gemilang namun namanya tak terbilang juga banyak yang lahir, dididik, ditempa, dan dibesarkan di tanah Bentan serta berbakti kepada raja dan kerajaan di negeri-negeri Melayu di sejulur Tanah Semenanjung dan Kepulauan Riau. 

Asal Nama Bentan

Dari berbagai sumber tertulis dan lisan dapat ditelisik, Pulau Bintan sering juga dinamai sebagai Pulau Besar karena memang terbesar dari sekian banyak gugusan pulau di kawasan Kepulauan Riau. Ada juga yang menyebutnya Pentan atau Bentan mengikut pengucapan orang Melayu. Bila Mengikut pengucapan orang Bugis disebut Bintang. 

Tidak diperoleh kesepakatan pasti berkaitan asal-usul dan arti frasa Bintan atau Bentan. Dari berbagai sumber lisan ada yang menyebut berasal dari “bantai-an” yang berarti tempat pembantaian para bajak laut atau perompak. Sebagaimana diketahui, pada masa lampau perairan Kepulauan Riau terkenal sebagai kawasan tempat berkeliarannya para bajak laut yang bermarkas di Pulau Bentan. 

Ada pula yang berpendapat berasal dari panggilan seorang pedagang intan orang Benggali (India) yaitu “Bai-Intan” yang pernah terdampar dan menetap di Pulau Bentan. Sudah menjadi kelaziman dalam masyarakat Melayu seorang pedagang dipanggil dengan nama dagangan yang dijualnya. Sedangkan secara harfiah “bai” artinya “saudara” dalam bahasa Benggali. “Bai Intan” bermakna “saudara pedagang intan”. Pada zaman dulu, Pulau Bentan ramai dikunjungi para perantau-pedagang dari berbagai kawasan, termasuk dari India dan Arab.     

Dalam masyarakat Melayu ada pula istilah “bentan” yang berarti sakit yang sudah hampir sembuh namun kambuh lantaran melakukan pergerakan berlebihan atau salah makanan atau melanggar pantang-larang. “Bentan” lazimnya ditujukan kepada perempuan yang baru sembuh dari melahirkan namun sakitnya kambuh lagi. Demikian juga istilah “bentan” dapat pula dialamatkan kepada anak lelaki yang baru sembuh setelah berkhitan atau bersunat. Raja Ali Haji dalam kitab Pengetahuan Bahasa menjelaskan frasa “bentan”, yaitu orang yang sakit kemudian sudah berkurang atau hampir sembuh, namun berbalik semula tersebab salah makan atau melanggar pantang-larang tabib atau sebab lainnya. Maka dikatakanlah penyakitnya yang kambuh itu sebagai  “bentan”.   

Masih merujuk pada kitab Pengetahuan Bahasa yang disusun Raja Ali Haji, frasa “Bintan” pula dijelaskan sebagai nama pulau terbesar dalam kawasan Kepulauan Riau yang memiliki gunung berlekuk di tengah-tengahnya dan pernah menjadi pusat kerajaan besar yaitu Kerajaan Bintan. Mengikut pengucapan masyarakat Melayu di Kepulauan Riau dan Tanah Semenanjung, frasa Bintan diucapkan Bentan.          

Bekas Mandala Sriwijaya

Dalam banyak legenda dan cerita, di Pulau Bentan pernah berdiri kerajaan tua, dan itu sangat mungkin karena di pulau ini banyak ditemukan situs seperti makam kuno yang keterangannya sangat beragam berdasarkan sumber lisan. Demikian juga bila ditelisik dalam berbagai hikayat tertulis seperti Hikayat Hang Tuah maupun berbagai kronik Melayu lainnya. Apalagi Pulau Bentan letaknya berada persis di depan Selat Melaka yang merupakan jalur perdagangan terpenting sejak lama, mulai era kejayaan Kerajaan Funan sampai era Kerajaan Sriwijaya, sehingga sangat mungkin di kawasan ini pernah berdiri berbagai kerajaan silih berganti.

Dalam Hikayat Hang Tuah diceritakan bahwa orang-orang besar atau pemuka rakyat Bentan pernah datang ke Bukit Siguntang Mahameru di Palembang meminta seorang raja untuk dirajakan di Kerajaan Bentan. Putra raja itu kemudian dibawa ke Bentan dan ditabalkan dengan penuh hormatnya. Sedangkan Sejarah Riau mengungkai bahwa di Pulau Bentan pernah berdiri Kerajaan Bentan yang pada suatu masa merupakan bagian dari Mandala Sriwijaya lalu berdiri sendiri selepas runtuhnya kerajaan yang berpusat di Palembang itu. Pusat kerajaannya bernama Bukit Batu. Rajanya bernama Azhar Aya. Setelah Azhar Aya mangkat, putranya Iskandar Syah naik tahta. Pada masa pemerintahan Iskandar Syah, Kerajaan Bentan menguasai sepenuhnya kawasan yang sekarang dikenal sebagai Kepulauan Riau serta pulau-pulau sekitarnya. 

Sejarah Melayu menjelaskan, Kerajaan Bentan menjalin hubungan baik dengan Kerajaan Siam (Thailand kini) pasca runtuhnya Sriwijaya. Bahkan Penguasa Kerajaan Bentan pernah mengadakan kunjungan diplomatik ke Siam. Menjalin hubungan diplomatik dengan kerajaan kuat adalah pilihan terbaik daripada dikuasai melalui penaklukan, dan itu berhasil, sehingga Siam batal mengirim armada perangnya ke selatan (kawasan Kerajaan Bentan dan sekitarnya). 

Menandakan Pulau Bentan sudah dikenal luas sejak lama, pada 1292, Marco Polo pernah singgah di Bentan ketika mengadakan perjalanan dari Langkasuka ke Pulau Jawa. Adapun Langkasuka merupakan kerajaan maritim terkemuka pada masa itu karena menghubungkan perdagangan dunia barat dan timur melalui Tanah Genting Kra yang disandari kapal-kapal dagang dan penjelajah dari mancanegara seperti Marco Polo. Dalam catatan perjalanannya, pelaut dari Venesia dan bekerja untuk Kaisar Cina tersebut sangat memuji eksotisnya alam Bentan sebagai berikut:: 

Saat kau meningalkan Lusak (Langkasuka) dan berlayar 500 mil ke arah selatan, kau akan sampai ke sebuah pulau yang bernama Pentan (Bentan), sebuah tempat yang sangat liar. Semua kayu yang tumbuh di sana terdiri dari kayu-kayu harum.  

Kedatangan Sang Sapurba

Dijelaskan Sejarah Melayu, ketika Raja Iskandar Syah mangkat, karena beliau tidak memiliki anak lelaki, isterinya naik tahta dengan gelar Permaisuri Iskandar Syah. Dalam menjalankan roda pemerintahan Permaisuri Iskandar Syah dibantu dwi tunggal Perdana Menteri, yaitu Indra Bupala dan Arya Bupala.  

Pada masa pemerintahan Permaisuri Iskandar Syah inilah Sang Sapurba sampai di Selat Sambu dan mengirim utusan ke Kerajaan Bentan mengabari ke datangannya. Ketika mendengar berita kedatangan Sang Sapurba yang diyakini sebagai zuriat Raja Iskandar Zulkarnain itu, diutuslah oleh Permaisuri Iskandar Syah dwi tunggal Perdana Menterinya, Indera Bupala dan Arya Bupala, menyongsong rombongan Raja dari Palembang itu ke Selat Sambu. Tun Sri Lanang dalam karya agungnya Sejarah Melayu yang diselenggarakan W.G. Shellabear, menceritakan begini: 

Tatkala itu kelengkapan Bentan empat ratus banyaknya. Maka Permaisuri Iskandar Syah bertitah kepada Indra Bupala, “Jikalau raja itu tua katakan; Adinda empunya sembah, dan jika ia muda katakan; Kakanda empunya salam, jika ia kanak-kanak katakan; Bunda empunya salam.” Maka Indra Bupala dan Arya Bupala pergilah, maka dari Tanjung Rengas datang ke Selat Sambu, tiada berputusan lagi perahu orang menjemput itu. Setelah bertemulah dengan perahu orang Sang Sapurba, maka sembah Indra Bupala dan Arya Bupala, “Kakanda empunya salam, Tuanku dipersilahkan paduka kakanda.” Maka Sang Sapurba berangkatlah ke Bentan, lalu masuk ke dalam negeri. Adapun kasad Permaisuri Iskandar Syah hendak diambil baginda akan suami; setelah melihat muda, maka diambil baginda akan saudara. Terlalu kasih Permaisuri Iskandar Syah akan Sang Sapurba dan sangat dipermulia baginda. Maka Sang Nila Utama, putera Sang Sapurba, diambil baginda akan menantu, didudukkan baginda dengan ananda baginda yang bernama (Wan) Sri Beni itu, maka dinobatkan sekali akan ganti baginda.  

Begitulah penghormatan Permaisuri Iskandar Syah kepada Sang Nila Utama yang merupakan zuriat Raja Iskandar Zulkarnain. Beliau amat bersedia menikahkan putrinya Wan Sri Beni dengan putra Sang Sapurba itu, bahkan menyerahkan makhkota kerajaannya kepada Sang Nila Utama. 

Sebagaimana disadari Ahmad Dahlan dalam bukunya Sejarah Melayu, kitab Sulalatus Salatin atau Sejarah Melayu dalam versi yang lebih tua menjelaskan hal yang kurang lebih sama, tetapi raja perempuan itu yang bernama Wan Sri Beni. Namun juga diakui Sulalatus Salatin, “Pada suatu riwayat Permaisuri Sakidar Syah (Iskandar Syah) namanya.” Sedangkan yang datang di Selat Sambu (Sulalatus Salatin menyebutnya Selat Sambar) dan akan dijemput oleh dwi tunggal Perdana Menteri Kerajaan Bentan,  bernama Sri Tri Buana.

Menyepakati Sejarah Melayu versi Ahmad Dahlan, penguasa Kerajaan Bentan pada masa kedatangan raja dari Palembang itu bernama Permaisuri Iskandar Syah yang memiliki putri bernama Wan Sri Beni dan raja dari Palembang yang dijemput ke Selat Sambu itu bernama Sang Sapurba serta putranya yang dinikahkan dengan Wan Sri Beni bernama Sang Nila Utama. Sebagaimana diakui Hasan Junus, beragam versi kronik Melayu memang sangat rumit dan banyak kusut-seliratnya.   

Semangat Mandala

Adapun maksud dan tujuan Sang Sapurba singgah di Bentan, selain untuk melihat-lihat kerajaan dan negeri lain, juga mengingatkan kembali kejayaan Sriwijaya dengan menyebarkan semangat mandala atau semangat persatuan dan kesatuan yang pernah mengikat erat kerajaan-kerajaan di bawah taklukan Kerajaan Sriwijaya. Untuk memperkukuh semangat persatuan dan kesatuan tersebut dilakukan pernikahan politik serta menempatkan zuriatnya sebagai peneraju atau pemimpin di kerajaan-kerajaan yang dikunjungi. Setelah menikahkan Sang Nila Utama dengan Wan Sri Beni sekaligus merajakan putra keduanya itu di Kerajaan Bentan, Sang Sapurba meneruskan misinya menyatukan bekas wilayah Mandala Sriwijaya ke Kuantan. 

Ketika dalam perjalanan ke Kuantan, rombongan Sang Sapurba kehabisan air, sementara kawasan yang mereka lalui airnya asin. Sang Sapurba kemudian memerintahkan salah seorang dari rombongannya mencari seutas rotan. Rotan itu kemudian disuruhnya dibuat membentuk lingkaran menyerupai perisai besar lalu ditaruh di permukaan air yang asin. Sang Sapurba kemudian mencelupkan kakinya ke dalam air yang dilingkari rotan. Seketika tawarlah air yang dikepung lingkaran rotan itu! Sejuk dan segar kala diminum. Tempat itu kemudian dikenal dengan nama Sapat yang terdapat dalam kawasan Inderagiri.

Dengan perbekalan air yang cukup, akhirnya perahu kebesaran Sang Sapurba bernama Kota Segara serta berpuluh perahu pengiring dapat meneruskan perjalanan dan sampai di pelabuhan yang sangat indah, terletak di lingkaran lembah sebuah bukit. Perahu kebesaran Kota Segara kemudian merapat dan melempar jangkar di antara kapal-kapal dagang dari Negeri Cina dan India yang membawa berbagai macam barang dagangan untuk dipertukarkan dengan emas, hasil utama pertambangan di pulau Sumatera, serta aneka hasil hutan seperti kayu, damar, rotan, kapur barus, dan aneka rempah-rempah, juga gading gajah, cula badak, dan buntat atau geliga binatang hutan lainnya. Itulah pusat Kerajaan Kuantan yang bernama Sintuo.     

Pada masa itu Kuantan sedang tidak memiliki raja. Di Kuantan Sang Sapurba kemudian dirajakan karena dipercayai sebagai zuriat Raja Iskandar Zulkarnain setelah menunjukkan kesaktiannya dengan membunuh ular naga bernama Sakti Muna yang selama ini belum ada yang sanggup membunuhnya dan selalu mengganggu ketenteraman rakyat Kuantan. Setelah beberapa lama di Kerajaan Kuantan, Sang Sapurba kemudian bertolak ke Pagaruyung dalam rangka menyebarkan semangat mandala. 

Ketika kedatangan Sang Sapurba di Tanah Minangkabau itu, Pagaruyung juga sedang tidak punya raja. Setelah membuktikan dirinya sebagai zuriat Raja Iskandar Zulkarnain dengan segala kesaktiannya, atas persetujuan para pembesar Minangkabau atau Pagaruyung yang dipimpin Datuk Perpatih Nan Sebatang, Sang Sapurba dirajakan dengan penuh hormatnya. 

Adapun gelar yang disandang Sang Sapurba setelah dirajakan di Kuantan dan Pagaruyung adalah Tri Murti Tri Buana.    

***

Samson Rambah Pasir, peminat sejarah yang sudah menyunting beberapa buku, di antaranya Kitab Sejarah Melayu versi milenial setebal 621 halaman yang ditulis Ahmad Dahlan, PhD yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta tahun 2014. Juga buku sejarah bertajuk Nong Isa, Tapak Awal Pemerintahan di Batam yang ditulis Ahmad Dahlan, PhD, Aswansdi Syahri, dan Edi Sutrisno yang diterbitkan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Batam tahun 2014. Selain itu juga menyelia penulisan dan penerbitan buku sejarah tokoh penting dalam Kerajaan Johor-Riau-Lingga-Pahang, yaitu Raja Ali Kelana dan Pondasi Historis Industri di Pulau Batam (2006) dan Temenggung Abdul Jamal  dan Sejarah Temenggung Riau-Johor di Pulau Bulang 1722-1824 (2007) yang ditulis Aswandi Syahri dan diterbitkan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Batam.

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top