Sebab Sultan Riau-Lingga Dipecat pada 10 Februari 1911
HARI Kamis siang, tanggal 9 Februari 1911, Pulau Penyengat mulai dijaga oleh serdadu Marsose, pasukan elite pemerintah Hindia Belanda yang serupa dengan pasukan elite yang pernah digunakan untuk menumpas perlawanan rakyat Aceh. Pasukan khusus ini didatangkan dari Bandung. Di laut Istana Keraton, yakni perairan di belahan Selatan Pulau Penyengat yang berdepan-depan dengan Istana Keraton tempat bersemayam Sultan Abdulrahman Muazamsyah, Sultan Riau terakhir (1885-1911) di Pulau Penyengat, sebuah kapal pendarat bernama Java dan satu kapal pemburu torpedo bernama Tromp milik Angkatan Laut Belanda berlabuh dan mengarahkan moncong meriamnya ke kompleks istana Sultan Riau-Lingga.
Sejak tanggal itu, Pulau Penyengat yang berdepan-depan dengan pusat pemerinatahan Resident van Riouw di Tanjungpinang, berada dalam “…jagaan militeri sebab Sultan Abdulrahman [Muazamsyah] dipecat,” tulis seorang saksi mata dalam catatan hariannya.
Puluhan serdadu Marsose yang turun dari geladak kapal pendarat Java mengepung Pulau Penyengat, menjaga sejumlah bangunan penting, terutama Gedung Rusydiah Club Riouw Pulau Penyengat, dan menempelkan lembaran surat pemberitahuan yang ditandatangani dan dibubuhi stempel Resident van Riouw, G.F. de Bruijnskop.
Lembaran surat pemberitahuan tanpa tarikh yang ditulis dengan tulisan tangan menggunakan huruf jawi (huruf Arab Melayu) tersebut bersikan kalimat-kalimat peringatan dan sekaligus ancaman sebagai berikut: Bahwa kita Sri Paduka Resident Riau dan daerah takluknya sekalian memberi tahu kepada sekalian orang penduduk di Pulau Penyengat, yang pada ini hari kita telah suruh seldadu-seldadu jaga di Pulau Penyengat. Akan tetapi jangan kamu sekalian takut akan hilang barang-barang atau berbahaya, asal jangan kamu melawan atau ingkar akan perintah dan aturan kita.
Suasana genting! Mencekam! Pendaratan serdadu marsose itu berlangsung cepat. Moncong-moncong meriam sebuah kapal pemburu torpedo yang labuh jangkar di laut Istana Keraton diarahkan ke Pulau Penyengat, tepat ke Istana Keraton tempat bersemayam Sultan Abdulrahman Muazamsyah yang terletak tak jauh dari bibir pantai di Kampung Baru. Sultan Abdulrahman Muzamsyah ketika itu tidak berada di Pulau Penyengat. Beberapa hari sebelumnya beliau bertolak ke Daik-Lingga sempena sempena perayaan mandi safar. Di Pulau Penyengat ia hanya menunjuk Bentara Kanan Raja Abdulrahman bin
Abdullah atau Raja Abdulrahman Kecik sebagai wakilnya. Begitulah situasi Pulau Penyengat dua hari menjelang pembacaan surat pemakzulan Sultan dan Tengku Besar Kerajaan Riau-Lingga di Gedung Rusydiah Club Riouw Pulau Penyengat pada tanggal 11 Februari 1911.
Rangkaian peristiwa pada minggu-minggu pertama bulan Februari 1911 itu adalah puncak dari rangkaian “konflik politik” dan perlawanan pembesar Kerajaan Riau-Lingga di bawah komando bekas Kelana Raja Ali dan Bentara Kiri Raja Khalid Hitam terhadap pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1902.
Perlawanan para pembesar Kerajaan Riau-Lingga itu memang tidak diriuhkan oleh dentuman bedil dan muntahan peluru dari moncong meriam seperti dilakukan oleh rakyat Aceh pada masa yang hampir bersamaan. Namun demikian, “perlawanan halus” yang penuh siasat dari para pembesar Kerajaan Riau-Lingga, yang dicatat dalam arsip-arsip Belanda tentang peristiwa ini sebagai lijdelijk verzet (perlawanan pasif), telah mengguncangkan Raad van Indie (Dewan Hindia – DPR-nya pemerintah Hindia) di Batavia.
Siasat dan perlawanan halus yang dipimpin oleh Raja Ali Kelana, Khalid Hitam dan kawan-kawan itu telah memaksa penasehat pemerintah urusan pribumi (Adviseur voor Inlandsche Zaken), Christian Snouck Hurgronje, mengeluarkan advies agar pemerintah Hindia Belanda menerapkan kebijakan militer seperti yang dilakukan di Aceh terhadap Riau-Lingga. Langkah ini perlu dilakukan, karena perlawaan Raja Ali Kelana dan kawan-kawan dipandang sebagai bagian dari gerakan besar Pan Islamisme yang berkiblat ke Turki, negara adidaya Islam yang menaungi sejumlah besar kerajaan penting di belahan dunia Islam: itulah sebabnya pasukan elit marsose dengan kekuatan militer penuh dikirim ke Tanjunginang dan mendudukiPulau Penyengat sejak 9 Februari 1911. Hal ini juga untuk mengantisipasi kapal Perang Turki yang ketika itu telah berlabuh di Singapura.
Kuat dugaan, ada rencana perlawanan bersenjata dari Raja Ali Kelana dan kawan-kawan, namun demikian hal itu gagal dilakukan. Akan tetapi yang pasti, Resident Riau sempat menyita sejumlah senjata api dari tangan orang-orang, yang oleh Resident Riau disebut sebagai “…yang mencucuk Tuan Sultan (Abdulrahman Muazamsyah)…sehingga …”jadi berkerasan Tuan Sultan memungkiri yang sudah-sudah (perjanjian) yang sudah ditetapkan (bersama pemerintah Hindia Belanda)…”.
Di antaranya, dari tangan Tengku Besar Umar disita 1 pucuk senapang; dari rumah Raja Ali Sambang disita pula 11 senapang dan dua psitol; Raja Khalid Hitam menyerahkan 1 senapang; dari Raja Abdulrahman kecik didapatkan 1 senapang, dan dari tangan Raja Ali Kelana 1 senapang. Namun cilakanya, yang dituguskan untuk menyita semua senjata itu adalah salah seorang pembesar kerajaan Riau-Lingga juga: begutulah situasinya ketika zaman telah berkisar di Pulau Penyengat.
Setelah dipecat dan diminta untuk meninggalkan Pulau Penyengat oleh Resident Riouw, maka Sultan Abdurahman Muazamsyah dan Tengku Besar Umar yang dimakzulkan itu memilih pindah ke Singapura dengan jaminan pensiun dari Pemerintah Hindia Belanda. Uang pensiun ini itu terus diterimanya hingga pada masa-masa menjelang perang dunia ke-2.
Dengan pindahnya Sultan Abdurahman Muazamsyah dan Tengku Besar Umar ke Singapura pada 11 Februari 1911, bukanlah berarti berakhir pula ‘aksi militer’ Belanda di Pulau Penyengat. Penjagaan pasukan marsose Belanda atas Pulau Penyengat terus berlanjut hingga bulan Mei 1911. Bahkan pasukan elite yang didatangkan dari Bandung itu kemudian digantikan oleh serdadu Belanda dari Tanjungpinang, dan bersamaan dengan itu, Controleur Tanjungpinang, H. N. Vienstra, ditetapkan menjadi wakil Resident Riau yang berkedudukan di Pulau Penyengat pada 16 Mei 1911.***