Darmawisata ke Pulau Karimun Tahun 1948

MINGGU, 6 Juni 1948. Satu rombongan ‘gabungan operasi’ (‘Combined Ops) berangkat dari Singapura menuju Pulau Karimun. Mereka bertolak dari Pulau Brani menggunakan kapal pendarat tank (Landing Craft Tank) milik tentara Inggris di Singapura. Namun demikian ini bukanlah misi militer atau sebuah invasi militer perang.

Rombongan itu terdiri dari seratus orang. Sebuah gabungan operasi yang unik, yang terdiri dari gabungan tentara Inggris dari Pulau Brani di Singapura, Pegawai General Post Office Singapura, beberapa orang musisi Melayu pemain kronchong, dan dua orang wartawan, yang kesemuanya bertandang sambil berdarmawisata sempena pertandingan sepak bola persahabatan dengan orang-orang Belanda yang ketika itu masih menjadi ambtenaar memerintah Pulau Karimun di Tanjungbalai.

Salah seorang dari dua wartawan yang ada dalam rombongan itu adalah Roy Ferroa. Ia banyak mencatat pengalaman rombongan ini selama berdarmawisata keliling Pulau Karimun dan kota Tanjung Balai menjelang pertandingan persahabatan berlangsung.

Catatan itu kemudian dipublikasikan dengan judul agak militeris, Rhio Invasin, dan dimuat sebagai sebuah artikel dalam The Singapore Free Press pada 8 Juni 1948. Berikut ini adalah terjemahannya.

Kronchong di Kedai Kopi

Setelah berlayar selama empat jam, pelabuhan Tanjung Balai di Pulau Karimun akhirnya dicapai. Kami melihat terlalu banyak masyarakat pulau itu, yang jumlahnya ratusan, menyambut kedatangan kami. Bagi mereka ketibaan kapal L.C.T. (Landing Craft Tank, kapal pendarat tank) kami yang bergerak lambat di pelabuhan itu pada petang Ahad yang hening, adalah sebuah peristiwa yang menarik.

Kehidupan di Tanjung Balai yang bergerak lambat, melenakan 5.000 orang Melayu dan Cina yang menjadi   penduduknya. Untuk itu, kami yang datang dari Singapura mempunyai sebuah hadiah selamat datang untuk penduduk pulau tersebut—kami membawa serta pemain musik berupa tujuh kelompok pemain musik kronchong.

Ketika turun ke darat, pemain musik kronchong ini mengambil tempat pada sebuah kedai kopi dan menyuguhkan para penonton dengan nyanyian favorit seperti lagu “Terang Bulan”, “Bengawan Solo”, “Kronchong 28,” dan lagu-lagu merdu lainnya.

Mosquito-Bus

Karimun adalah satu dari 300 pulau dalam berbagai bentuk dan ukuran yang membentuk kawasan Kepulauan Riau (Rhio Archipalgo).

Diperkirakan jumlah penduduk di seluruh kepulauan itu adalah sekitar 170.000 jiwa. Enam puluh persen diantaranya adalah orang Melayu, dan sisanya adalah orang Cina.

Tampaknya sebagian besar orang Cina di Tanjung Balai kaya-raya, dan hal ini dapat dipahami. Sebagian besar dari mereka adalah para pedagang, dan banyak dari mereka memiliki perkebunan karet serta kebun kelapa.

Orang-orang Melayu, sebagian besarnya adalah nelayan, ahli dalam membuat perahu, dan tukang kayu. Karimun memiliki 23 armada bus dan beberapa buah taksi yang melayani trayek antara Pelabuhan Tanjung Balai dan Karimun Besar.

Bus-bus tersebut membawa kenangan penuh nostalgia tentang zaman “mosquito-bus” (‘bus-nyamuk”) di Singapura hampir 30 tahun yang lalu bagi orang-orang Singapura yang berkunjung ke Karimun. Bus-bus itu rapuh dan kecil, dan tidak pernah bergerak melebihi 25 mil per jam di jalan berpasir yang mengarah ke kampung-kampung.

Dalam suasana hati yang bahagia, kami, rombongan tentara dan orangorang sipil mengunjungi air terjun Karimun (Karimoen’s waterfall).

Perjalanan ke tempat itu ditempuh sejauh 10 mil menggunakan bus, namun semua itu tak jadi soal. Karena sebuah kolam yang jernih yang dikelilingi hutan tanaman merambat adalah tempat yang ideal untuk berenang.

Kami berenang, sementara percikan lembut air terjun bagaikan memainkan musik latar tentang kepulauan tropis dan laguna biru sebagai sebuah lagu pengantar tidur.

Dollar Malaya dan Magic Words

Sebelum pertandingan sepak bola dimulai, rombongan darmawisata ke Pulau Karimun ini bersiar-siar di seputar kota Tanjung Balai. Tur keliling kota it diselesaikan hanya dalam waktu di bawah setengah jam.

Kami melihat-lihat rumah Controleur Belanda dan kantornya, sebuah bangunan gereja Katolik yang kecil, sebuah sekolah Cina, kawasan pasar, dan sebuah kelenteng Cina.

Tidak ada kesulitan valuta asing yang muncul dalam perdagangan antara kawasan ini dengan Singapura. Hal ini disebabkan dollar Malaya adalah alat pembayaran yang sah dan semua transaksi dilakukan dalam mata uang tersebut.

Di dalam toko-toko, jualan yang paling laris terjadi di counter minuman keras. Sebab musababnya ditemukan dalam kata-kata sakti (magic words) yang tertera pada label setiap botol minuman keras: “Singapore Duty Not Paid”.

Pertandingan sepakbola antara tim Pulau Brani, Singapura melawan tim Karimun disemangati oleh kerumunan 500 orang penonton. Tim mana yang menang tak jadi masalah. Yang lebih berarti adalah semangat dari para pemain.

Dan faktanya, tim tamu dari Singapura mengalahkan tim orang Belanda di Karimun dengan skor lima satu.

Kembali ke Singapura

Ketika kami bertolak meninggalkan Pulau Karimun, kapal kami bermanuver  mengitari teluk membuat lingkaran kurva; kami melambai-lambaikan tangan kepada orang-orang kampung yang datang untuk melihat kami, dan untuk terakhir kalinya kami melihat sekilar lintas pantai berpasir Pulau Karimun, hamparan laut biru, lusinan perahu nelayan, dan gugusan kebun kelapa. Menurut seorang informan bangsa Belanda yang kami temui di Karimun, volume perdagangan antara Singapura dan Kepulauan Riau diperkirakan meningkat pada tahun 1948.

Singapura mengekspor barangbarang bernilai $ 2,300.000,- ke Kepulauan Riau pada bulan Januari 1948, dan mengimpor barang-barang bernilai $ 2,600.000,- dari Kepulauan Riau. Bahan-bahan ekspor utama dari Kepulauan Riau, yang sejauh ini sangat penting adalah, sagu, kopra, karet, dan timah.*

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top