Menapaktilasi Jejak Masuk Islam ke Alam Melayu Kepulauan Riau (1)
ISLAM dan Melayu bagai daging dengan kuku. Memadu. Menyatu. Bermula dari Melaka dan tersebar jauh ke segala penjuru Kepulaun Riau.
Raja Kecil Besar terbangun dari tidurnya pada suatu malam. Keringat bulat-bulat di dahinya. Sebuah mimpi membuatnya terjaga. Mimpi yang tidak biasa. Mimpi yang tidak pernah datang sebelumnya. Pada bunga tidur itu, ada dua hal yang dilihat Seri Maharaja III Kesultanan Melaka yang hidup di tahun 1400-an ini.
Pertama, ia bercerita bahwasanya telah menjumpai baginda Nabi Muhammad SAW yang kemudian mengajarkan padanya tentang persaksian atau syahadat. Kedua, masih dalam mimpinya, ia menyaksikan arakan armada kapal dagang dari Jeddah merapat ke tepi Melaka.
“Mimpi yang boleh ditafsir sebagai hidayah. Tapi itu tidak lantas membuatnya masuk Islam,” kata Dosen Ilmu Budaya Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik (STISIPOL) Tanjungpinang, Rendra Setyadiharja, Rabu (8/6) malam.
Lekas paginya, Raja Kecil Besar mengumpulkan seluruh pembesar kerajaan. Dituturkannya ihwal penglihatan yang didapatnya dari tidur semalam. Banyak pembesar yang menyangkal sekaligus menuding raja penerus Parameswara itu sedang tidak waras atau senewen.
Namun, kata Rendra sebagaimana pembacaannya atas Sulalatus Salatin karya Tun Sri Lanang, mimpi itu tetap mengusik Raja Kecil Besar. Bilamana memang benar pada ambang petang nanti ada armada kapal dagang dari Timur Tengah merapat ke Melaka, ia berjanji bakal masuk Islam; mengucap persaksian sebagaimana yang ia dapati dalam mimpinya.
Sebelum matahari sungkur di ufuk barat, pegawai Kerajaan Melaka melapor adanya arakan kapal dagang yang merapat. Kabar ini lekas diteruskan kepada Raja Kecil Besar. Ia lekas menyusul untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri. “Dalam Sulalatus Salatin, sampai dituliskan bahwasanya ia heran melihat rombongan armada itu tunggak-tunggik atau yang dalam bahasa kita sekarang sedang menunaikan salat,” lanjut Rendra.
Purna sudah pengalaman spiritual Raja Kecil Besar. Ia kemudian mendalami Islam kepada Sayid Abdul Aziz, guru agama yang ikut serta dalam rombongan armada dagang dari Jeddah. Guna membulatkan syiar keislamannya, Raja Kecil Besar pun berganti nama menjadi Sultan Muhammad Syah. Ia pun menanggalkan gelar Seri Maharaja sebagaimana yang melekat pada Parameswara, pendiri Kerajaan Melaka.
Tidak cukup dengan berganti nama. Dalam istilah Rendra, Sultan Muhammad Syah kemudian merevolusi adat budaya Melayu. Bila sebelumnya nilai-nilai kemelayuan purba itu bersandar pada Hindu, dalam olah pikir dan kebijakan Sultan Muhammad Syah, segala-gala yang berkenaan Melayu mesti bersandarkan pada Islam. Pun hukum dan nilai-nilai berkehidupan. “Hingga sampailah pada kita sebuah pepatah, Adat Bersendikan Syarak, Syarak Bersendikan Kitabullah,” terang Rendra.
Pepatah yang dicetuskan Sultan Muhammad Syah ini kemudian yang menjadikan Islam dan Melayu bak daging dengan kuku. Hendri Purnomo, dalam artikelnya bertajuk ‘Islam sebagai Landasan Politik Melayu’ menuliskan, Islam dan Melayu menjadi dua kata yang sejalan; Islam menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Melayu, sebaliknya masyarakat Melayu juga menjadi sangat identik dengan Islam.
Bagi komunitas Melayu, hal ini terefleksikan dalam satu istilah “masuk Melayu”. Istilah ini mempunyai dua arti, yaitu: 1) mengikuti cara hidup orang-orang Melayu; dan 2) masuk Islam. Istilah ini demikian mengakar di kalangan masyarakat Melayu, sehingga nilai-nilai yang diproduksi oleh Islam niscaya dengan sendirinya akan banyak melandasi perumusan nilai-nilai kehidupan dan perilaku masyarakat Melayu, tak terkecuali dalam mengekspresikan gagasan-gagasan tentang politik, seperti konsep kekuasaan, penguasa atau raja, hubungan penguasa dengan rakyat, serta hal-hal lain yang berada dalam ranah politik.
“Maka dapat disimpulkan bahwa orang Melayu menetapkan identitas kemelayuannya dengan tiga ciri pokok, yaitu berbahasa Melayu, beradat-istiadat Melayu, dan beragama Islam,” tulis Hendri yang merupakan peneliti dari Badan Pelestarian Nilai dan Budaya Kepulauan Riau ini.
Islam kadung melekat dalam alam Melayu. Invasi bangsa Portugis yang kemudian meluluhlantakkan Melaka pada tahun 1511 tidak lantas membumihanguskan keyakinan orang-orang Melayu akan nilai-nilai Islam. Serangan gencar yang dihunjamkan benar-benar menghabisi emporium Melaka. Sultan Mahmud Syah yang memimpin Melaka sampai 1511 pun berpindah ke Bintan.
Kesultanan boleh berpindah-pindah, tapi tidak dengan keyakinan masyarakat Melayu terhadap Islam. Dari Melaka ke Bintan, ke Kampar, ke Pahang, ke Johor, ke Riau, ke Lingga, Islam tetap napas inti dari kehidupan alam Melayu. Ada faktor penting di sebalik eksistensi kepaduan itu. (bersambung)
Baca Juga: Bagian 2 Lestarinya Islam di Melayu