Beberapa Catatan Perlayaran Ke Pulau Tujuh Tahun 1948
Hamparan pulau-pulau di Laut Cina Selatan yang meliputi Kepulauan Anambas dan Natuna (Pulau Tujuh), tampaknya sejak dulu telah mempunyai daya tarik wisata tersendiri bagi bule-bule yang bermukim di Singapura.
Tidak sedikit dari mereka yang memilih kawasan Pulau Tujuh itu sebagai daerah pelancongan untuk tempat menghabiskan masa cuti, melepas lelah setelah bertungkus lumus bekerja di bandar Singapura yang hiruk-pikuk.
Paling tidak, pada tahun 1948, seorang laki-laki Inggris bernama Peter Petersen dan istrinya pernah menghabiskan masa cutinya yang singkat, dan memilih melancong ke Pulau Tujuh bersama empat orang perwira tentara Inggris.
Mereka bertolak dari dermaga Clifford Pier di Singapura, lalu berlayar menumpang kapal milik perusahaan orang Cina menuju Kepulaan Natuna dan Anambas. Dalam perjalanan itu, mereka menyinggahi Letung, Tarempa, Sedanau, dan Natuna.
Ketika singgah di Tarempa, lelaki Inggris yang bernama Peter Petersen itu mencatat bahwa istrinya adalah perempuan Inggris pertama yang menjejakkan kakinya di kampung tersebut.
Meskipun Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia pada waktu itu telah berjalan tiga tahun, kawasan Pulau Tujuh (Kepulauan Natuna dan Anambas) masih merupakan wilayah pemerintahan Belanda (Keresidenan Riouw) yang dipimpin oleh seorang Controleur bangsa Belanda, .
Berikut ini adalah kesan-kesan Peter Petersen setelah melancong selama sepuluh hari ke kawsan Pulau Tujuh pada tahun 1948. Diterjemahkan dari tulisannya yang berjudul A Journey To The Seven Isles yang dimuat dalam surat kabar The Straits Times, Singapura, edisi 10 Juni 1948.
***
Melalui Clifford Pier Singapura kami menggunakan sebuah sampan dan kemudian naik ke kapal Indragiri. Ketika itu hanya ada 10 menit waktu yang tersisa, karena nakhoda telah menunggu kami dan menunda keberangkatan kapalnya selama setengah jam. Dalam beberapa menit, kapal kami pun berlayar meninggalkan sekumpulan kapal-kapal di tepi pantai Singapura menuju laut lepas.
Dalam beberapa menit selanjutnya, untuk pertama kalinya kami duduk menyantap makanan diatas kapal, dan untuk pertama kalinya pula merasakan makanan luar biasa yang pernah kami terima selama perjalanan, serta berkenalam dengan tiga perwira Inggris yang menjadi kawan setia kami selama sepuluh hari.
Anambas dan Natuna
Kami berlayar menuju Kepulauan Anambas dan Natuna. Kami memutuskan mengahabiskan masa cuti yang singkat (cuti lokal) dalam sebuah perjalanan wisata yang murah menggunakan sebuah kapal yang kecil. Tentu saja ada kesulitan sebelumnya, namun demikian akhirnya kami menemukan juga sebuah kapal milik perusahaan orang Cina, dan seorang yang mengatur segalanya.
Pada malam hari, dua katil kemah didirikan pada tempat yang cocok, hanya saja kelemahannya terlalu dekat dengan cerobong asap kapal. Di sanalah kami berbaring merasakan embusan angin sejuk di kepala, dan menyaksikan bintang-gemintang di langit yang cerah.
Esok paginya kami bangun segera setelah fajar menyingsing, dan mengangkat tubuh kami perlahan-lahan, sehingga dapat melihat hamparan laut yang bersinar lembut.
Perlahan-lahan Pulo Doman mulai terlihat. Itulah pulau terdepan dari Kepulauan Anambas. Sementara itu, pulau pertama dari kepulauan itu, Pulau Jemadja, masih berupa titik hitam, yang letaknya kira-kira tiga jam perlayaran.
Kepulauan yang akan kami kunjungi, dikenal sebagai Pulau Tujuh (Tuju Islands), dan terletak di Timur Laut Singapura, di antara Malaya dan Borneo (Kalimantan), dan terbagi dalam dua kelompok kepulauan: Anambas dan Natuna, dengan Pulau Midai terletak di antara keduanya.
Singgah di Letung
Secara politik kepulauan ini bagian dari Keresidenan Riouw (Residency of Rhio) dan diperintah atau dikepalai oleh seorang Controlleur Belanda.
Kapal kami labuh jangkar di tengah-tengah terumbu karang dan tak melakukan apa-apa di situ, sehinggalah kemudian di kawasan pantainya terlihat adanya suatu aktivitas.
Begitulah biasanya pada setiap tempat berlabuh kepulauan ini, dan prosedurnya sama: Kita akan masuk ke teluk berpasir, jangkar harus berderak-derak diturunkan, dan selanjutkan dari arah pantai akan bermunculan berbagai bentuk perahu kecil, semuanya mengarah ke kapal kami, dan biasanya pada peruhu utama yang datang itu ada seorang polisi berpakaian warna khaki menggenggam pistolnya. Sekitar setengah lusin perahu kecil, mulai dari perahu layar hingga sampan, bergerak menuju kapal kami, dan silih berganti orang Cina dan Melayu naik ke atas kapal.
Sejak awal pagi, para pedagang Cina, yang turut serta menjadi penumpang di atas kapal kami, telah menggelar dagangan mereka di dek dan palka, dikelilingi oleh orang-orang pulau yang melakukan tawar menawar secara lisan dan gerak isyarat.
Pedagang Cina yang gemuk itu, dengan sebuah buku catatan dan pensil di tangan, duduk di samping barang-barangnya. Sementara para pelanggannnya terus mengoceh, atau memesan barang-barang untuk trayek kapal berikutnya.
Barang-barang yang dipajang terutamanya adalah barang-barang untuk pasar murah; seperti kain katun berwarna cerah, gula-gula yang dibungkus secara kasar, botol-botol ‘pop’ dan saus, kopor-kopor yang dibuat lebih menarik dengan balutan suplemen lembaran berwarna surat kabar Amerika dan Australia.
Karena kapal kami singgah sebentar, dan tak memungkungkin pergi ke pantai, kami hanya mengamati kampung dan Pulau Letung melalui teropong; terlihat gelombang barisan pohon-pohon kelapa menjalar dari tepi laut hingga ke perbukitan.
Perempuan Inggris Pertama
Rumah-rumah, yang tampak sama namun beratus banyaknya, dibangun dengan gaya Melayu, pada tiang-tiang di atas laut, menambah pesona hijau tropika pulau-pulau itu, dan mengingatkan kita bahwa penduduk asli pulau-pulau itu adalah Orang Laut, para perayau zaman bajak laut yang menjadi momok laut Cina Selatan.
Setelah mengunggah cargo ke perahu terbesar di antara perahu-perahu tersebut, dan mengatur para pengunjung yang datang dari darat, tak ada waktu lagi labuh jangkar, dan kamipun bertolak.
Tarempa (Tarempah), ibu kota pemerintahan di Kepulauan itu akhirnya dicapai pada petang hari. Sebuah sampan membawa kami ke pantai pada keesokan paginya. Sejauh yang kami dapat pastikan, istri saya (Nyonya Peter Petersen) adalah perempuan Inggris pertamamelangkahkan kakinya di pulau tersebut. Oleh karena itu sudah pasti kehadirannya menjadi pertunjukan yang menarik.
Kapten yang turut bersama kami ke darat “memastikan kami tidak hilang”, mengajak kami keliling kota dan memperkenalkan diri kepada tuan Controlleur: seorang yang sangat menawan, yang menyambut kami di pulau itu dan mengundang kami minum.
Sedanau – Natuna
Kami berlayar kembali pada petang yang sama, dan mencapai Sedanau, tempat singgah pertama di Kepulauan Natuna, pada awal pagi berikutnya.
Sedanau adalah sebuah model kampung yang baru bagi kami. Kampung ini dibangun di atas tiang-tiang pada sebuah terumbu karang, dan terdiri dari kedai-kedai pedagang Cina yang berjajar sepanjang setengah mil dari daratan yang disambungkan oleh sebuah jalan lintasan (causeway) yang sempit.
Kami berjalan ke darat, mengitari sebuah kampung Melayu, dan menerabas hutan lebat atau kawasan pedalaman. Namun hanya menjejajaki beberapa ratus yards jalan setapak saja.
Ketika kami kembali ke kampung di pinggir laut, kami dihibur oleh pemimpin penduduk Cina setempat, dan mendapatkan bahwa mereka sangat penasaran dan ingin minum beer impor dari Eropa.
Selanjutnya pulau-pulau dan kampung lainnya menyusul: pantai berpasir dan teluk-teluk karang, berenang di laguna yang jernih yang sama menariknya dengan berenang di lumpur, berputar-putar di muara sungai, dan menyusuri rawa bakau. Setiap hari mempunyai daya tariknya. Setiap hari pelabuhan yang berbeda disinggahi.***