KEHADIRAN Sutardji Calzoum Bachri (SCB) sesungguhnya merupakan berkah sekaligus penyelamat bagi kesusastraan Indonesia. Penyair kelas dunia, kelahiran Indragiri Hulu, 24 Juni 1941, yang anak jati Kepulauan Riau, itu telah menyelamatkan kesusastraan Indonesia dari belenggu penjajahan kesusastraan Barat melalui tangan-tangan sastrawan yang anak bangsa Indonesia sendiri, yang disebut para penyair modern Indonesia. Betapa tidak?
Para penyair yang secara bangga disebut sebagai penyair dan atau sastrawan modern Indonesia (atau secara salah disebut sastrawan Indonesia modern) secara bersama-sama telah melakukan “pengkhianatan” dengan berupaya melenyapkan kesusastraan Indonesia dalam hal struktur, tema, sikap, dan visi kepengarangan.
Dalam hal ini, semua unsur puisi penyair modern Indonesia itu menggunakan pola kesusastraan dan atau perpuisian Barat dan nyaris melenyapkan pola kesusastraan Indonesia selama puluhan tahun.
Para penyair modern Indonesia itu menjadi perpanjangan tangan kesusastraan Barat untuk menjajah kesusastraan Indonesia, yang sesungguhnya sangat kaya dan berlimpah ruah dengan nilai-nilai asli Indonesia. Untunglah, pada akhir 1960-an memasuki awal 1970-an SCB bangkit membebaskan perpuisian Indonesia dari para penjajahnya.
Kepeloporan SCB itu diikuti oleh para sastrawan seangkatan beliau dan selanjutnya para pengikut beliau. SCB memulai perjuangan perlawanan itu dengan membacakan sajak-sajaknya di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.
Gerakan perlawanan SCB terhadap penjajahan perpuisian Indonesia melalui pembacaan sajak-sajaknya di TIM itu sungguh menggemparkan jagat perpuisian ASEAN, bahkan Asia secara keseluruhan. Pengamat perpuisian Barat yang selama ini memuja-muja para penyair modern Indonesia yang menjadi penurut setia kata-kata mereka (meniru perpuisian Barat) menjadi lebih tersentak lagi.
Lebih daripada itu, orang menjadi sadar bahwa inilah sejatinya puisi Indonesia itu. Tak hanya bagi penyair Indonesia, gerakan pembebasan dari belenggu penjajahan oleh SCB itu ternyata juga berpengaruh terhadap para penyair dan sastrawan bangsa-bangsa serumpun, yakni Malaysia, Singapura, selatan Thailand, dan Brunei Darussalam.
Sejak itu, mulailah SCB meneruskan perjuangan kemerdekaan perpuisian Indonesia yang telah beliau proklamasikan di TIM itu. Bermunculanlah diterbitkan buku kumpulan puisi beliau secara berturut-turut. Pada 1973 terbit buku puisi O, kemudian Amuk pada 1977, yang disusul oleh Kapak pada 1981.
Ketiganya kemudian disatukan menjadi O, Amuk, Kapak pada 1981. Dari judul-judul buku kumpulan puisi itu saja sangat teserlah gerakan perlawanan dan pemerdekaan puisi Indonesia dari belenggu penjajahan perpuisian Barat yang dilakukan melalui para penyair modern Indonesia sebelumnya. Gerakan perlawanan SCB itu diikuti juga oleh para sastrawan dan penyair negara-negara serumpun dan para penyair selanjutnya di negara-negera tersebut.
Sesuai dengan kredo-nya, kesejatian puisi Indonesia—yang berakar dari puisi Melayu karena bahasa Indonesia diangkat dari bahasa Melayu—harus dikembalikan kepada akarnya, yakni mantra. Oleh sebab itu, kata-kata yang membangun puisi harus dibebaskan dari beban makna, khasnya makna kata yang diterapkan dalam puisi-puisi penyair modern sebelum beliau, yang tiada lain adalah pengekor tradisi perpuisian Barat.
Akan tetapi, sebagai manusia modern yang hidup di alam Indonesia modern, penyair tak harus mengubah diri menjadi pawang, dukun, dan atau bomor. Penyair tetaplah penyair sebagai intelektual yang berjuang melalui kesusastraan dengan menggunakan sarana puisi, yang kemudian luas dikenal sebagai puisi mantra karena sememangnya akar puisi Indonesia itu mantra. Mantra dikenal dan ada dalam semua kebudayaan masyarakat Indonesia.
Dari situ dapat dipahami bahwa sesungguhnya SCB berpandangan bahwa kemajuan Indonesia tak dapat berangkat dari nilai-nilai budaya bangsa lain, tetapi harus benar-benar bertolak dari nilai-nilai terala tamadun kita sendiri.
Nilai-nilai itu telah ada dan terawat dengan baik, bahkan mampu menjaga keutuhan bangsa kita sejak sebelum wujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lagi, selama ribuan tahun di nusantara ini. Kita menjadi satu bangsa yang bersatu dalam NKRI tak berarti harus meninggalkan warisan agung lagi terala dengan mengadopsi budaya asing, bahkan yang pernah menjajah bangsa kita pula.
Jika kita semata-mata mengandalkan nilai-nilai budaya asing, bermakna kita harus benar-benar mulai dari awal dan senantiasa tertinggal sehingga tak pernah mampu mengatasi bangsa asing yang budayanya kita adopsi itu.
SCB berjuang mengembalikan puisi Indonesia kepada akarnya, yakni mantra. Apakah mantra sesungguhnya?
Mantra adalah susastra pertama yang dikenal oleh manusia (Gazalba 1981; Malik 1985; Malik dkk. 1990). Di Indonesia mantra merupakan susastra yang telah ada sejak manusia nusantara purba. Mantra merupakan susastra perintis bagi cabang-cabang kesenian yang lain.
Mantra menghubungkan manusia dengan dunia yang penuh misteri. Oleh masyarakat nusantara, mantra digunakan untuk menghubungkan manusia dengan alam supernatural (Winick 1958; Kalisky 1968; Endicott 1981; Winstedt 1982; Malik dkk. 1990). Oleh sebab itu, mantra dalam masyarakat lama nusantara memainkan peran yang sangat penting, terutama untuk berhubungan dengan daya-daya alam. Dalam masyarakat lama Melayu, misalnya, mantra digunakan dalam pelbagai kegiatan kehidupan mereka (lihat Malik 1985, 74—112).
Sesuai dengan fungsi utamanya sebagai penakluk, terutama penakluk daya-daya alam, mantra mengutamakan keindahan dan kehalusan. Dalam konteks Teori Budi (Malik 2015; Malik 2017), mantra memenuhi kualitas seri pantai dan seri gunung sebagai kualitas utama keindahan Melayu. Dengan demikian, mantra memenuhi persyaratan karya seni, yakni indah (dulce) dan bermanfaat (utile).
Atas dasar itu, tak ada alasan yang sabit di akal untuk memajukan kesusastraan Indonesia kita harus mengadopsi bulat-bulat kesusastraan asing di satu pihak dan meninggalkan tanpa bekas kesusastraan kita sendiri. Dalam konteks itulah, kepeloporan SCB sangat membanggakan kita. Ketika para penyair modern Indonesia “mengkhianati” kebudayaannya sendiri, SCB justeru berjuang untuk membebaskannya dari belenggu penjajahan kesusastraan asing untuk kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Dan, ternyata perjuangan SCB itu berjaya dan diikuti oleh para penyair setelah beliau. Pasalnya, kemerdekaan kesusastraan Indonesia yang diproklamasikan oleh SCB itu, membangkitkan semangat, kreativitas, dan inovasi para sastrawan Indonesia untuk menggali kembali kekayaan tamadun nusantara yang diimplementasikan di dalam karya-karya seni mereka.
Alhasil, genre seni asli nusantara merecup kembali dan menyemangati perjuangan bangsa Indonesia untuk mengejar kemajuan berdasarkan nilai-nilai terala tamadun sendiri, bukan malah mengejar ketertinggalan sebagaimana dikampanyekan sebelum ini.
Pada 1858 mantra Melayu telah direkam oleh Raja Ali Haji rahimahullah dalam karya beliau Kitab Pengetahuan Bahasa. Begitulah masyhurnya mantra yang memuat jati diri bangsa kita selama berabad-abad. Karena dipertembungkan dengan objeklah, maka mantra memiliki nilai.
Oleh sebab itu, mantra memperlihatkan perhubungan manusia dengan Tuhan, dengan manusia lain, dan dengan alam semesta. Dari sudut kebudayaan, mantra mampu menyerlahkan nilai sosial, nilai ekonomi, nilai politik, nilai ilmu, nilai teknik, nilai seni, dan nilai filsafat. Manakala dari sudut pandang agama, mantra menyajikan nilai ketuhanan.
air pasang
bawa ke insang
air surut
bawa ke perut
Contoh mantra di atas mengandungi nilai ilmu dan nilai teknik. Untuk memahami perilaku ikan atau biota laut, kita harus mengusai ilmu tentang ikan dan biota laut itu dan ilmu tentang laut umumnya. Selanjutnya, untuk menguasainya, manusia harus mampu menciptakan teknologi yang tepat untuk itu. Malangnya, karena pemahaman bangsa kita telah dipesongkan oleh penjajah, kita lupa akan kearifan luar biasa yang tersirat dalam tamadun kita sendiri. Akibatnya, kita selalu tertinggal dari bangsa lain karena tak bertolak dari kearifan bangsa kita sendiri.
Hal itulah yang diperjuangkan oleh SCB melalui sajak-sajaknya yang bernuansa mantra. Beliau secara tersurat dan tersirat mengajak bangsanya untuk kembali kepada nilai-nilai budaya sendiri untuk mengejar kemajuan yang sesungguhnya, bukan kemajuan yang semu.
……………………….
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisau-Nya ke dalam nyanyi
(SCB, Amuk, 1977)
Seperti yang tergambarkan dalam bait puisinya di atas, SCB berasa sepi dan sunyi sendiri di tengah hiruk pikuk membangun kepribadian bangsa, tetapi dengan menggunakan nilai-nilai budaya asing. Beliau berontak dan meronta. Dalam kesepian dan kesunyian seorang diri itu, beliau mengadu dan bermohon kepada Allah.
Dimohonkannya agar Tuhan menggunakan pisau-Nya untuk membedah hati bangsanya yang telah beku, kaku, ngilu, tetapi anehnya bersuka ria dan berpesta pora dalam godaan nilai-nilai asing yang disusupkan melalui para penyair modern Indonesia sebelum ini. Mereka telah dibuai oleh cumbu rayu para pengamat asing dan atau para pengekornya di negeri ini dengan mantra sihir “penyair modern” yang mengubah kebudayaan Indonesia, konon!
SCB memberontak sehingga menimbulkan kehebohan luar biasa di negeri ini, bahkan di negara-negara tetangga juga. Beliau menulis puisi sekaligus mengemukakan kredonya juga. Kata harus dibebaskan dari beban makna. Bagaimana mungkin? Itulah sanggahan para pengeritiknya dan orang-orang yang tak memahami siratan kredonya tersebut. Lebih dari itu, para pengamat yang telah selesa dengan amatan terhadap perpuisian Indonesia yang kebarat-baratan menjadi tercabar dan tercakar karena sekian juta pujian telah disanjungkan kepada para “penyair modern Indonesia” selama ini.
Bahkan, mereka yang naif menganggap bahwa SCB hanya mencari perhatian saja. Sajak-sajaknya tak lebih dari sekadar puisi bunyi, tanpa makna. Mereka lebih terperanjat lagi, ketika SCB mengistiharkan bahwa beliau adalah Presiden Penyair Indonesia.
Padahal, gelar itu sangat layak bagi beliau setelah beliau berjuang bertungkus lumus, nyaris seorang diri pada mulanya, untuk membebaskan perpuisian Indonesia dari belenggu penjajahan pola perpuisian Barat, yang justeru dikembangkan dan dibanggakan oleh para penyair yang mengaku modern dari bangsanya sendiri.
Indonesia juga dibuat tercengang dan ngeri oleh pembacaan sajak-sajak SCB. Beliau bagai mengamuk, mengigau, menerajang, meloncat, dan menghentak-hentak.
Padahal, kesemuanya itu bermakna secara semiotis, tetapi tak dipahami karena tak pernah dilakukan oleh para penyair modern Indonesia selama ini. Bukan hanya tuntutan isi puisinya yang mengharuskan SCB mengamuk, menerajang, mengigau, meloncat-loncat, dan menghentak-hendak; melainkan ini.
Kondisi perpuisian Indonesia yang terjajah kala itu memang harus dilawan dengan amukan dan gerakan-gerakan keras lainnya sehingga diharapkan bangsa kita tersadarkan dan tercerahkan dari mimpi panjangnya, yang konon telah menghasilkan puisi modern Indonesia.
Padahal, kesemuanya itu kemodernan semu belaka karena berasal dari nilai-nilai budaya bangsa asing. Bahkan, sebagian besar puisi itu tak dipahami oleh bangsa Indonesia sendiri karena tak membumi.
Dengan perjuangan hebat dan kerasnya untuk membebaskan perpuisian Indonesia sehingga dapat dikembalikan ke pangkuan Ibu Pertiwi, SCB telah memperoleh pelbagai pengakuan dan penghargaan dari dalam dan luar negeri. Beliau memperoleh Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) untuk bukunya O (1976) dan Amuk (1977), Anugerah South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand (1979), Penghargaan Sastra Chairil Anwar, DKJ (1993), gelar Seniman Perdana dari Dewan Kesenian Riau (2001), Anugerah Majelis Sastera Asia Tenggara (Mastera), Brunei Darussalam (2006), Achmad Bakrie Award (2008), dan Anugerah Presiden Republik Indonesia (2008).
Dari senarai itu, sayangnya, beliau belum pernah mendapatkan penghargaan resmi dari negeri kampung halamannya sendiri, Kepulauan Riau. Terlepas dari semua anugerah itu, karena perjuangan beratnya membebaskan perpuisian Indonesia dari penjajahan perpuisian Barat, Sutardji Calzoum Bachri memang patut dan layak dan tak terbantahkan atas predikat utama sebagai Presiden Penyair Indonesia. Beliau telah berjaya menjemput kembali marwah kesusastraan Indonesia.
Selamat ulang tahun, Bang Tardji. Semoga senantiasa sehat walafiat dan dapat terus berjuang untuk memajukan kesusastraan, khasnya, dan kebudayaan Indonesia, amnya.***