Oleh : Datok Drs. H. Nyat Kadir
Siapakah Sultan Mahmud Riayat Syah?
Paling tidak ada empat nama Sultan Mahmud dalam kerajaan Melayu, yakni Mahmud Syah I yang menjadi Sultan Melaka (1488 – 1511), Mahmud Syah II yang menjadi Sultan Johor (sampai dengan 1699), Sultan Mahmud Muzafar Syah yang menjadi Sultan Lingga Riau (1841 – 1857) dan Sultan Mahmud Riayat Syah yang menjadi Sultan Riau Lingga, Johor, Pahang (1761 – 1822).
Sultan Mahmud Riayat Syah adalah sultan yang berasal dari keturunan Bendahara Johor, Tun Hafidz Abdul Jalil yang dilantik sebagai Sultan Johor yang mendapat gelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV (1699 -1718). Berturut-turut yang memerintah Kesultanan Riau Lingga, Johor,Pahang dari keturunan ini adalah Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I (1722 – 1760), Sultan Abdul Jalil V (1760 – 1761), Sultan Ahmad Syah (1761), barulah kemudian Sultan Mahmud Riayat Syah (1761-1812).
Sultan Mahmud Riayat Syah diangkat menjadi sultan pada saat beliau masih anak-anak, oleh karena itu urusan pemerintahan sehari-hari dipangku oleh Yang Dipertuan Muda yaitu Daeng Kemboja. Jabatan Yang Dipertuan Muda merupakan jabatan kompromi politik antara Sultan Riau Lingga, Johor, Pahang yakni Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I (1722 – 1760) yang diberikan kepada pahlawan Bugis Daeng Marewah dan saudara-saudaranya, atas balas jasa membantu Sultan Sulaiman atas kemenangan merebut kembali tahta Johor dari tangan Raja Kecil pada tahun 1722.
Kepemimpinan yang hebat dari Sultan Mahmud Riayat Syah sebagai pemegang teraju kerajaan Riau Lingga, Pahang, Johor dibantu oleh kepiawaian Yang Dipertuan Muda menjalankan pemerintahan sehari-hari membuat kesultanan Riau Lingga, Pahang, Johor menjadi kerajaan yang terpandang sebagai pusat tamadun Melayu yang disegani sampai saat ini.
Pengatur Siasat Perang dan Diplomat yang Handal
Semenjak jatuhnya Melaka dari tangan Portugis, mulai tahun 1641 sampai 1824 VOC menguasai Melaka sebagai pusat perdagangan bebas yang strategis, namun Belanda mengakui Kerajaan Riau sangat menganggu keberadaan serikat dagang Belanda tersebut terlebih pada abad ke-17.
Belanda mengadakan perjanjian dengan Sultan Riau berbagi hasil tangkapan kapal-kapal yang datang dari luar Melaka yang membawa barang dagangan secara ilegal. Pada tanggal 16 Februari 1782 iringan kapal yang dipimpin oleh Mathurin Barbaron berlabuh di Teluk Riau menawan kapal Inggris “Betsy” yang mengangkut candu sebanyak 1.154 peti dari India dengan tujuan China.
Pada tanggal 15 Maret 1782 Mathurin Barbaron membawa hasil tangkapan tersebut dari perairan Riau ke Melaka tanpa sepengetahuan pejabat Kerajaan Riau (Raja Haji). Hal ini dianggap sebagai pencerobohan dan menginjak marwah Kerajaan Riau juga melanggar perjanjian bahwa Kerajaan Riau akan mendapat bagian tertentu dari hasil penangkapan yang terjadi di perairan Riau.
Pihak pejabat Riau (Raja Haji) berbaik-baik mengirim utusan menanyakan tentang bagi hasil tangkapan tersebut, namun pihak VOC menolak memberikan hak yang menjadi bagian Kerajaan Riau.
Pengingkaran perjanjian tersebut membuat para pejabat Sultan Riau menjadi sangat marah. Perangpun tidak terelakkan, pertempuran hampir terjadi setiap hari. Pada tanggal 6 Januari 1784 Belanda mengadakan serangan besar-besaran ke wilayah Riau, namun Belanda mengalami kekalahan telak dengan tenggelamnya kapal Malakka “Malakas Welfaren” yang menewaskan lebih kurang 800 tentaran Belanda. Belanda mengundurkan diri dari perairan Riau, selanjutnya Raja Haji dan Sultan Mahmud merencanakan menyerang pusat VOC di Melaka.
Pada tanggal 13 Februari 1784, Raja Haji memimpin langsung perang melawan Belanda ke Teluk Ketapang, Melaka. Sementara Sultan Mahmud Riayat Syah berjaga-jaga di Muar, tak jauh dari kota Melaka. Dalam peperangan ini Raja Haji tewa sebagai suhada, selanjutnya Sultan Mahmud Riayat Syah kembali Riau dan mengatur siasat baru untuk mengusir Belanda dari tanah Melayu.
Akibat kekalahan pasukan Riau di Melaka, Belanda menekan Sultan Mahmud Riayat Syah dengan menandatangani surat pengakuan menyerah kalah di atas kapal Utrecht pada tanggal 1 November 1784.
Belanda terus menekan Sultan Mahmud dengan secara paksa menandatangani surat perjanjian kedua yang isinya menyerahkan kuasa pemerintahan Kesultanan Riau sepenuhnya kepada pihak Belanda pada tanggal 7 Februari 1787.
Perjanjian paksa menyebabkan kemarahan Sultan Mahmud dan pembesar Kerajaan Riau, secara diam-diam Sultan Mahmud mengirim utusan membuat perjanjian dengan Raja Tempasuk di Kalimantan untuk meminta lanun-lanun Tempasuk untuk menyerang Belanda di Kerajaan Riaudi wilayah Kerajaan Riau.
Serangan secara tiba-tiba tersebut dan pertempuran sengit antara lanun-lanun Tempasuk akhirnya mengalah kekuatan Belanda dan mengakibatkan kematian ratusan orang dari beberapa garnizun.
Dalam waktu hanya satu hari saja pasukan Belanda dapat dikalahkan dan diusir dari wilayah Kerajaan Riau. Karena khawatir mendapat serangan balik dari Belanda, Sultan Mahmud memindahkan pusat kerajaan Riau ke Lingga pada tahun 1787. Demikian pula para pejabat Kerajaan Riau seperti Bendahara Abdul Majid dan pengikutnya kembali Pahang.Semenjak itu pula Johor diperkirakan berada di bawah penaklukan Belanda.
Alasan memilih Pulau Lingga sebagai pusat pemerintahan yang baru karena Pulau Lingga relatif jauh dan aman. Lagipula laut-laut di perairan Pulau Lingga dipenuhi oleh lanun-lanun atau perompak laut sehingga kapal-kapal Belanda khawatir diserang lanun-lanun ketika melintasi perairan tersebut.
Demi menjaga kelancaran dan kestabilan pemerintahan Sultan Lingga dari gangguan Belanda, Sultan Mahmud merancang perdamaian dengan pihak Belanda melalui mediasi Yang Dipertuan Trengganu dan Johor. Namun pihak Belanda selalu menolak untuk berdamai karena Sultan Mahmud dianggap orang yang tidak dapat dipegang janjinya dan telah mengkhianati dua perjanjian yakni pada tahun 1784 dan 1787.
Dengan takdir Allah SWT, pada tahun 1795 secara tidak diduga-duga angkatan perang Inggris telah datang dan merampas kekuasaan Belanda di Melaka. Selanjutnya Inggris menyerahkan kembali kedaulatan Riau kepada Sultan Mahmud tanpa persyaratan.
Peristiwa bersejarah ini membuat Sultan Mahmud serta pejabat Kerajaan Riau sangat gembira. Momentum ini digunakan oleh beliau untuk membangun pusat pemerintahan di Lingga dengan lebih terencana dan teratur.
Siasat dan diplomasi Sultan Mahmud kepada Belanda dan Inggris dinilai sangat piawai sehingga Kerajaan Riau Lingga, Johor dan Pahang kembali berdaulat, bebas dari dominasi pihak penjajah.
Pembangunan Mencapai Puncak Tamadun Melayu
Pengertian lain dari tamadun ataupun peradaban adalah kemuncak suatu budaya. Tamadun direncanakan secara berkekalan sehingga membentuk sikap suatu kelompok manusia yang berbudaya, beradab dengan ciri halus budi pekerti, berakhlak mulia, agamis, kreatif, inovatif bahkan memiliki ciri-ciri khas suatu kaum dengan kaum atau ras yang lain.
Tamadun yang tinggi ditunjukkan oleh suatu karya bermutu tinggi baik berupa ciptaan-ciptaan, karya intelektual, seperti penulisan buku-buku sastra budaya, agama dan lain-lain. Tamadun yang tinggi juga dilihat dari bahasa suatu bangsa.
Karya-karya dari suatu bangsa yang bertamadun tinggi biasanya sulit disetarakan dengan karya-karya zaman modern sekarang ini. Belum lagi dilihat dari bahasanya yang khas yang dipakai antar ras manusia, adat istiadat maupun seni budaya yang unik.
Terbentuknya tamadun Melayu memakan waktu yang panjang semenjak 3000 tahun sebelum masehi. Sekarang saja kita berada pada 2000 masehi, ini bermakna tamadun Melayu yang tercatat sudah berumur lebih kurang 5000 tahun. Pada penanggalan 3000 SM seorang putera raja Byzantium telah berlayar ke benua Asia untuk berkunjung ke negeri China, beliau terdampar ke daratan negeri Kedah dan menjumpai orang-orang tempatan yang berbadan tegap, kuat dan bagus.
Masyarakat di sini sudah mempunyai tamadun tinggi dilihat dari aktivitas pertanian, pertukangan dan pembuatan peralatan dari besi. Imperium Melayu yang tercatat gemilang dalam sejarah adalah Kerajaan Sriwijaya yang menguasai Siam, sebagian Sumatera dan Jawa, lebih kurang 700 tahun lamanya (abad ke-7 sampai abad ke-13).
Orang Melayu pada masa itu mengembara sampai ke China dan India dengan menggunakan kapal layar yang besar dengan keahlian ilmu maritim yang tinggi. Sejarah terus bergulir, imperium Melayu yang gemilang berlanjut dari abad ke-13 yakni Kerajaan Bukit Siguntang, Bintan, Singapura, Melaka, Johor, Pahang, Riau, Lingga dan berakhir pada abad ke -19 (runtuhnya kesultanan Melayu Riau Lingga tahun 1912).
Pada masa imperium Melayu abad ke-13 sampai dengan abad ke-19, pengaruh kedatangan bangsa Eropa (Portugis, Belanda dan Inggris), imperium Melayu perlahan-lahan mencapai puncak tamadun Melayu pada era pusat pemerintahan kesultanan berada di Lingga dan Yang Dipertuan Muda berada di Penyengat.
Kestabilan pemerintahan Kerajaan Riau Lingga, Johor, Pahang dijadikan momentum oleh Sultan Mahmud untuk membangun pusat tamadun Melayu di Kerajaan Riau Lingga, Johor, Pahang. Pusat pemerintahan dan bandar yang tadinya telah dibangun di Sungai Carang, Riau Bintan (sudah mulai dibuka oleh Tun Abdul Jamal pada 1673 sebagai pangkalan pelabuhan bebas), kemudian juga mulai dibangun baru di Pulau Lingga, Johor dan Pahang dengan melengkapi fasilitas bagi kepentingan sultan dan rakyat seperti istana, masjid, pasar, jalan raya. Beliau juga membangun pusat pemerintahan dan bandar bagi Yang Dipertuan Muda di Penyengat Indera Sakti tahun 1803.
Tak ketinggalan beliau membangun mental spritual atau keagaman yang dijadikan prioritas karena Melayu berbasiskan Islam dengan mendatangkan Tuan Sahid dari tanah Arab dan lebai dari tanah Jawa.
Sehingga penuhlah masjid, rumah wakaf, surau oleh orang-orang besar dan orang-orang kaya juga rakyat biasa untuk menuntut ilmu agama. Setiap malam Jumat ramailah orang-orang datang ke masjid untuk memberikan sedekah kepada fakir miskin dan anak yatim.
Duet Sultan Mahmud dan Raja Haji merupakan puncak kemakmuran Kerajaan Riau Lingga. Hasil bumi seperti gambir, lada hitam, sagu, karet dan buah-buahan merupakan handalan perekonomian masyarakat. Sultan Mahmud juga membuka tambang timah di Dabo Singkep.
Perdagangan berkembang maju ditopang adanya pelabuhan bebas berpusat di Sei Carang sehingga mampu menyaingi Melaka. Cukai bandar perdagangan merupakan pemasukan besar khas kerajaan.
Kapal-kapal dagang dari dalam dan luar negeri datang membawa hasil bumi dan laut rakyat ataupun membawa kebutuhan sehari-hari untuk dijual kepada rakyat pribumi seperti beras, gula, pakaian dan sebagainya.
Sultan Mahmud juga menggesa lahirnya tradisi menulis, sehingga lahirlah penulis-penulis handal seperti Raja Ahmad dengan karya Tuhfat Al Nafis yang kemudian diteruskan oleh anak beliau, Raja Ali Haji. Tradisi menulis sangat berkembang di Pulau Penyengat.
Pembangunan Pulau Penyengat sebagai pusat tamadun Melayu oleh Sultan Mahmud yang sangat visioner ini menghasilkan karya-karya besar setelah beliau wafat di antaranya lahir seorang sastrawan dan budayawan besar sepanjang abad yakni Raja Ali Haji yang melahirkan karya-karya besar di antara Tuhfat Al Nafis, Bustanul Katibin, Kitab Pengetahuan Bahasa, Gurindam 12 dan lain-lain.
Menurut catatan sejarah, Pulau Penyengat yang dibangun Sultan Mahmud Syah telah menjadi pusat kebudayaan Melayu dan pusat ilmu pengetahuan Islam. Pada masa Sultan Mahmud memerintah, dan Yang Dipertuan Muda dipegang oleh Raja Ja’far pada tahun 1806, Pulau Penyengat dijadikan pusat kegiatan intelektual dan keagamaan.
Dua buah kitab tasawuf telah dikenal, yakni Sabil al-Hidayat Wa’r – Risyad fi Zikir Nubdhah min fadha ‘il al-kutb al- Haddad (1806) dan kitab kedua al-Hikam (1832).
Pulau Penyengat menjadi pusat pegajian menggunakan ilmu bahasa, termasuk Saraf (Morfologi), Nahu (Sintaksis), Usuluddin, Fikih dan Tasawuf. Ilmu Usuluddin menggunakan kitab umum al-Barahrin (al-Sanusi) dan Jauharah al-Tauhid (al-Haqani). Untuk ilmu Saraf digunakan kitab al-Masadir (al-Zaujani). Untuk ilmu Nahu digunakan Kitab al-Awamil al-Mia (al-Jurjani). Untuk ilmu Tasawuf digunakan buku imam al-Ghazali yakni Bidayat al-Hidayat dan Minhaj al-Abidin.
Karya kawan-kawan sezaman Raja Ali Haji ada 16 buah di antaranya Hikayat Negeri Johor, Syair Sultan Mahmud di Lingga dan lain-lain. Penulis handal sangat banyak di zaman itu, di antaranya Raja Ahmad (ayahnda Raja Ali Haji), Raja Ali Haji, Raja Haji Daud, Raja Salihah, Raja Safiah, Raja Kalsum, Raja Hasan, Raja Ali Kelana serta Raja Haji Muhammad Tahir.
Karya-karya keluarga Raja Ali Haji sesudah Raja Ali Haji wafat tidak kurang 15 buah. Suasana keilmuan melahirkan organisasi “Rusydiah Kelab”, tempat para cendikiawan mengembangkan ilmu, tradisi menulis, juga mendirikan sekolah. Di pusat pemerintahan Daik Lingga lahir penulis seperti Yarham Tengku Saleh, yang menulis buku agama Nur Shalat, Senjata Sulit dan lain-lain.
Di Daik Lingga masa Yang Dipertuan Muda Muhammad Yusuf al-Ahmadi, beliau membina Tarekat Naksyabandiah dengan tempat belajar “Istana Kota Baru”. Pada masa Sultan Mahmud Syah juga tumbuh kerajinan batik, kain songket, kerajinan tembaga, perak dan emas.
Adat istiadat Melayu yang bersendikan Islam dibina dan dikembangkan serta dipelihara sehingga menjadi sikap orang Melayu keseharian yang lembut, berbudi pekerti, sederhana, tidak suka konflik dan terbuka. Sudah tentu dimulai dengan ajaran Islam yang sebati dan contoh dari Nabi Muhammad SAW.
Seni Melayu yang berdasarkan Islam seperti pantun, syair dan gurindam berkembang pesat sehingga ikut membentuk sikap orang Melayu yang halus bahasa dan budi pekertinya.
Bahasa menunjukkan bangsa. Dalam masa pemerintahan Sultan Mahmud, bahasa Melayu dibina dan dikembangkan. Rakyat diwajibkan berbahasa Melayu yang baik dan benar. Bahasa Melayu telah menunjukkan tamadun Melayu yang tinggi. Bahasa ini diterima sebagai bahasa persatuan pada kongres Pemuda Indonesia pada tahun 1928.
Bahasa Melayu diterima sebagai bahasa nasional oleh karena merujuk kepada Kitab Pengetahuan Bahasa yang disusun sangat elok oleh Raja Ali Haji. Bahasa Melayu diakui sebagai ahli-ahli sejarah di Eropa setara dengan bahasa-bahasa lingua franca di beberapa negara. Tak terbayangkan bagaimana bahasa Melayu ini dapat menjangkau Nusantara dari Sabang sampai Merauke dan dapat dimengerti oleh berbagai suku bangsa yang ratusan jumlahnya.
Siapa pula yang menyebarkannya sehingga sampai hampir ke seluruh Nusantara? Sudah tentu jawabannya adalah orang Melayu yang berlayar untuk berdagang atau keperluan lainnya yang sudah bertamadun tinggi dan juga mempunyai keahlian maritim yang tinggi.
Dari bahasa Melayu yang dengan mudah tersebar dan mudah dimengerti menunjukkan gambaran tamadun Melayu yang tinggi. Bahasa Melayu memiliki dampak yang dahsyat kepada kelangsungan persatuan dan kesatuan anak bangsa yang besar dengan daratan yang sama luasnya dengan daratan Eropa yakni bangsa Indonesia.
Tercapainya puncak tamadun Melayu sudah tentu berasal dari kepemimpinan yang stabil, kuat dan disegani. Beliau adalah Sultan Mahmud Riayat Syah yang memimpin imperium Melayu lebih dari setengah abad.
Kepemimpinan Sultan Mahmud juga memberikan dampak kepada kesultanan Melayu Riau Lingga berikutnya sejak beliau meninggal tetap dapat bertahan lebih kurang 100 tahun. Sultan Mahmud adalah salah satu sultan yang sangat lama memerintah (51 tahun) dengan paling banyak Yang Dipertuan Muda (empat orang) yakni Daeng Marewah, Daeng Kemboja, Raja Haji Fisabilillah dan Raja Ja’far.
Sikap kepemimpinan yang akomodatif membuat duet kepemimpinan Yang Dipertuan Besar (sultan) dan Yang Dipertuan Muda menjadi kepemimpinan yang sangat kuat. Membuat hubungan Melayu – Bugis tidak pernah konflik. Duet kepemimpinan Melayu yang hebat ini telah mampu mengangkat marwah dan puncak tamadun Melayu.
Sultan Mahmud juga membuat pilihan tepat dengan menjadikan Engku Hamidah sebagai permaisuri dan pada akhirnya melahirkan wanita kuat dalam sejarah Melayu yang dipercaya mempunya karomah dan tidak lepas dari buah bibir masyarakat setiap masa serta makamnya diziarahi mungkin sudah ratusan ribu penziarah sepanjang masa setelah beliau wafat.
Engku Hamidah dianggap sebagai seorang yang amanah sehingga kepada beliau diserahkan alat-alat kebesaran kerajaan untuk penobatan raja seperti Regalia dan Nobat dan sebagainya. Engku Hamidah mempunyai andil yang besar membantu Sultan Mahmud sehingga Kerajaan Riau Lingga mencapai puncak tamadun Melayu.
Salah satu di antara alat kebesaran Kerajaan Riau Lingga yang penting ialah sebuah lempengan emas berukuran lebih kurang sebesar niru yang dinamakan sirih besar. Orang yang diberi kuasa sebagai pemegang sirih besar dan alat-alat kebesaran yang lain adalah Raja Engku Puteri Hamidah binti Raja Haji Fisabilillah.
Timbul pertanyaan kenapa alat kebesaran yang sangat penting itu dipercayakan dipegang oleh Engku Hamidah. Jawabannya antara lain karena Engku Hamidah adalah anak seorang pemimpin yang sangat disegani yakni Raja Haji Fisabilillah dan berkharisma.
Lagipula Sultan Mahmud melihat bahwa Engku Hamidah sebagai seorang yang sangat amanah, agamis dan teguh memegang adat istiadat Melayu. Ternyata pilihan beliau itu benar dan tidak meleset sama sekali.
Setelah Sultan Mahmud meninggal pengganti beliau dipilih oleh oleh Yang Dipertuan Muda Raja Ja’far adalah Tengku Abdul Rahman, sementara Engku Hamidah tidak setuju karena pengangkatan Tengku Abdul Rahman menyalahi adat istiadat Melayu. Beliau berkeinginan agar Tengku Husein sebagai anak yang paling sulung menggantikan ayahnya menjadi sultan.
Karena konsisten memegang adat istiadat itu, pengganti Sultan Mahmud yakni Tengku Abdul Rahman tidak disetujui dilantik sebagai sultan dengan memakai alat kebesaran kerajaan. Engku Hamidah sangat marah dan mengeluarkan hujah karena melanggar adat istiadat Melayu dalam pengangkatan Sultan Riau Lingga, maka alamat Kerajaan Riau Lingga, Johor, Pahang ini akan terpecah belah.
Ramalan dari Engku Puteri ini ternyata benar adanya. Tengku Husein berambisi ingin menjadi sultan namun tidak mendapat tempat di Riau Lingga sehingga beliau mendekati pihak Inggris yang memanfaatkan momentum ini untuk memecah belah Kerajaan Riau Lingga, Johor, Pahang. Dan dengan segera memutuskan mengangkat Tengku Husein sebagai Sultan Singapura.
Perlahan-lahan Inggris menguasai Singapura dengan memanfaatkan kelemahan Sultan Husein (Sultan Boneka) yang menguasai Pulau Singapura untuk kepentingan perdagangan dan pelabuhan bebas bagi kepentingan Inggris. Perpecahan kesultanan Melayu tidak dapat dipertahankan lagi dengan adanya Traktat London pada 1824.
Dengan adanya Traktat London itu Kerajaan Riau Lingga, Pahang, Johor dibagi dua bagian, Singapura, Johor dan Pahang di bawah kendali Inggris, sedangkan Kerajaan Riau Lingga menjadi wilayah kekuasaan Belanda.
Hal ini tidak akan terjadi apabila adat istiadat Melayu sebagaimana dipertahankan Engku Hamidah tidak dilanggar. Meskipun Kerajaan Riau Lingga sejak 1824 menjadi kecil wilayahnya (hanya Lingga dan Riau serta pulau-pulau sekitarnya) namun pencapaian puncak tamadun Melayu tidak menjadi halangan yang berarti.
Makanya rintisan Sultan Mahmud mencapai puncak tamadun Melayu itu terus berlanjut karena kekuatan tamadun Melayu sudah lama sekali dibentuk oleh Sultan Mahmud Riayat Syah, selama beliau memerintah lebih kurang 51 tahun. Oleh karena itu layaklah kiranya Sultan Mahmud Riayat Syah diberi Gelar Pahlawan Nasional.
Kesimpulan
- Sultan Mahmud sebagai pejuang bangsa yang mampu mempertahankan kedaulatan Kerajaan Riau Lingga, Johor, Pahang dengan kemampuan siasat perang dan diplomasi yang tinggi.
- Kedua, Sultan Mahmud adalah pejuang dari terbentuknya puncak tamadun Melayu.
Daftar Referensi
- Tuhfat Al Nafis, Raja Ali Haji (Disarikan kembali oleh Virginia Matheson Hooker
- Kajian tentang Sejarah Melayu Nusantara, Muhammad Yusof Hasyim
- Dunia Melayu, Muhammad Yusuf Hasan
- Tradisi Persejarahan Pahang Darul Makmur 1800 – 1930
- Kitab Silsilah Melayu dan Bugis, Raja Ali Haji
- Masyarakat Melayu Abad 19, Jawatan Kuasa Kolosium
- Tamadun Melayu, Ismail Husin, AA Azis Draman, Abd Rahman Al Ahmadi
- Sejarah Malaysia 1983, Muhammad Isa Othman
- Sulalat Al Salatain, Tun Sri Lanang
- Institusi Bendahara Pemata Melayu yang Hilang, Tun Suzana, Tun Hajo Othman
- Bustanul Al Katibin, Raja Ali Haji
- Masyarakat dan Budaya Melayu, Ismail Hamid
- Raja Haji Fisabilillah, Hanibal dari Riau, Hasan Yunus
- Karena Emas di Bunga Lautan, Hasan Yunus
