Oleh Drh. H. Chaidir, MM
RELA tak rela, setuju atau tak setuju, bila bicara tentang wajah politik Melayu Riau dalam rentang satu dekade terakhir ini, rasa-rasanya seperti ada awan mendung menggantung yang menghalangi cahaya menerangi. Adakah yang salah? Tak ada sesiapa hendak disalahkan. Mungkin saja ada pantang yang terlanggar, yang patut tak dipatutkan, yang tua tak dituakan, yang dulu dikemudiankan, yang patut ditinggikan tak ditinggikan, yang patut disembah tak disembah, yang patut disanggah tak disanggah.
Maka beginilah jadinya, banyak kerja tak menjadi. Dalam perspektif kinerja, politik Melayu Riau boleh disebut tidak perform.Kalaulah kita ibaratkan seperti audit akuntan publik atas sebuah laporan keuangan, opininya barangkali bisa “Tidak Wajar” (Adverse); terdapat kesalahan yang material dalam laporan keuangan tersebut sehingga memberikan informasi yang salah (misleading) kepada para penggunanya. Pengguna laporan dapat disesatkan oleh laporan keuangan yang salah saji tersebut.
Indikasinya terlihat, wajah politik lokal Melayu Riau seperti semu, bukan gambaran sesungguhnya seperti pakai topeng. Misalnya, isu putera daerah dalam kemasan politik parochial yang di era sebelum pelaksanaan otonomi daerah pada 1990-an selalu menjadi isu hangat di Riau, dengan alasan putra daerah lebih paham membaca daerahnya, pasca implementasi otonomi daerah isu itu sudah basi seiring didominasinya panggung politik lokal oleh putera-putera daerah (Pemerintah Daerah dan DPRD). Tapi halaman demi halaman tetap tak terbaca. Nilai-nilai Melayu dalam politik lokal tidak hadir.
Seperti kita saksikan, satu persatu pemeran utama di panggung politik lokal kita itu tumbang tersangkut masalah hukum. Satu persatu anak-anak negeri dimangsa oleh pembangunan itu sendiri. Banyak yang tak sanggup memikul amanah, tak tahan godaan, tak pandai meniti buih, tak hati-hati menating minyak yang penuh, tapi juga tak sedikit yang tersandung akibat terlalu bersemangat memancing di air keruh, angkuh dan lupa daratan.
Ibarat pertandingan sepakbola, putra-putra Melayu mendominasi permainan di lapangan dengan penguasaan bola yang tinggi, ala gaya tiki-taka, tetapi tidak mampu mencetak gol, sebaliknya justru kemasukan gol akibat serangan balik pihak lawan. “Kekalahan” itu tentu saja menjadi pukulan telak terhadap strategi permainan. Filosofi permainan seperti itu ternyata tak menjawab kebutuhan menciptakan kemenangan untuk memberi kepuasan bagi pemain dan pendukung. Begitulah ibarat terlebih terkurangnya politik Melayu di Riau yang dirasakan dalam beberapa tahun terakhir ini.
Dampaknya secara fisik sangat menyedihkan. Sumber daya alam yang melimpah hanya menyediakan porsi kecil bagi warga tempatan, justru lebih banyak mendatangkan musibah karena tak terkendalinya para perambahlegal dan illegal yang datang dari negeri antah berantah. Entitas politik Melayu tak mampu hadir memberi warna bagi penyusunan kebijakan baik di pusat maupun di daerah yang berpihak pada masyarakat asli. Sehingga jadilah anak negeri bak kata orang, ayam bertelur di lumbung padi mati kelaparan, itik berenang mati kehausan.
Padahal paradigma desentralisasi pembangunan pasca reformasi dalam bentuk otonomi daerah itu, hakikatnya memberi peluang bagi daerah-daerah dengan potensi sumber daya alam yang besar untuk berkembang lebih cepat daripada paradigma sentralisasi seperti pada era sebelumnya yang cenderung menyamaratakan pembangunan dengan mengabaikan potensi daerah. Dalam paradigma desentralisasi, daerah tak lagi tabu mengedepankan keunggulan lokal, menggeliat dari kemasan uniformirtas dalam tagline pembangunan nasional, sepanjang itu demi memajukan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Secara teoritis otonomi daerah dapat diinterpretasi dalam tiga dimensi: freedom from (bebas dari), freedom to (bebas untuk), dan kebangkitan identitas lokal. Interpretasi pertama, menekankan pentingnya dimensi kewenangan yang dimiliki daerah atau diskresi, yang dimaknai bebas dari campur tangan pemerintah pusat. Di sinilah peluang emas bagi politik Melayu Riau sesungguhnya untuk memanfaatkan sumber daya alam yang terbarukan dan yang tak terbarukan di daerah bagi kesejahteraan anak negeri. Politik lokal mestinya mampu menangkap peluang itu.
Tentu interpretasi ini bisa menjadi sensitif, terutama bila dikaitkan dengan konsep kedaulatan negara dan kebutuhan menjaga keutuhan wilayah, karena dengan penekanan pada freedom fromseakan-akan setiap daerah ingin berdaulat sendiri-sendiri. Kedaulatan negara dan kebutuhan menjaga keutuhan wilayah negara tentu mengharuskan campur tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat pasti tidak menghendaki ada daerah yang bebas sama sekali dari campur tangannya. Karena itu, dimensi ini tidak dipahami sebagai kewenangan penuh atas suatu wilayah, melainkan kewenangan (penuh) dalam urusan-urusan tertentu di wilayah yang bersangkutan.
Interpretasi kedua, lebih menekankan pada dimensi pencapaian hasil (outcomes), yaitu kemampuan daerah untuk memajukan atau mengembangkan daerah dengan mengidentifikasi permasalahan, menetapkan solusi, dan menggalang dukungan serta sumber daya dari berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat. Dalam hal ini otonomi dimaknai bebas untuk berbuat memajukan daerah, bebas untuk berkreasi, dan bebas menggalang dukungan melalui kerjasama-kerjasama.
Di sinilah peluang emas bagi politik Melayu Riau sesungguhnya untuk memajukan negerinya. Daerah bisa memajukan dan mengembangkan daerah dengan mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi, untuk selanjutnya memanfaatkan sumber daya alam yang terbarukan dan yang tak terbarukan di daerah secara optimal. Dengan interpretasi tersebut, permasalahan aktual di lapangan tak lagi berjarak jauh dengan pengambil kebijakan, sehingga program-program pembangunan bisa lebih menyentuh kebutuhan yang sesungguhnya.
Interpretasi ketiga, mengartikan otonomi daerah sebagai kesempatan untuk mengekspresikan identitas politik dan budaya daerah. Otonomi daerah memberi kesempatan dan peluang kepada entitas lokal untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan dan pengelolaan sumber daya dengan sekaligus mengekspresikan kearifan lokal, sehingga proses-proses politik lokal makin dekat dengan identitas politik lokal.
Sebagai dampak dari paradigma otonomi daerah tersebut (termasuk pelaksanaan agenda politik lokal berupa pilkada langsung), political lansdcape di level lokal turut berubah. Politik lokal menjadi dinamis bahkan dinamikanya sangat tinggi. Dan inheren dengan itu para politisi yang selama ini tak mendapat tempat di panggung politik nasional turun gunung ke daerah setidak-tidaknya untuk kepentingan menancapkan pengaruh untuk posisi tawar kelak di kemudian hari. Para elit politik informal pun tak menyia-nyiakan kesempatan untuk ikut memainkan peran dalam dinamika politik lokal. Dan kecenderungan ini mewabah dimana-mana di negara.
Dalam fenomena baru ini, elit politik informal sangat berambisi (dan secara empirik umumnya berhasil) menjadi elit formal di daerah atau sekadar menjadi kelompok penekan bagi elit formal politik (pemerintah daerah dan DPRD). Praktik ini kian hari semakin menjadi-jadi. Berbagai posisi di daerah diincar karena peluangnya sangat besar terhadap pengendalian dan pengaturan langsung sumber-sumber daya (kekayaan daerah) serta hak-hak istimewa (previlese) di daerah.
Gunnar Myrdal (1974) menyebut, orang-orang kuat lokal (local strongmen) dan elit korporasi melakukan kontrol sosial di daerah. Hal ini didasarkan pada tiga argumen yang saling berkaitan. Pertama, local stongmen tumbuh subur dalam masyarakat dan memiliki pengaruh signifikan yang melampaui pengaruh para pemimpin dan para birokrat lokal. Kedua, local strongmen melakukan kontrol sosial dengan memanfaatkan komponen penting yang diyakini sebagai komponen hajat hidup orang banyak. Ketiga, local strongmen secara langsung ataupun tidak telah berhasil “menyandera” aparatur sehingga menyebabkan pemerintah menjadi tak berdaya.
Secara sederhana dapat disebut, pasca otonomi daerah intervensi pusat jauh berkurang tapi local strongmen dan kekuatan-kekuatan korporasi telah menjadi kutub-kutub baru yang memiliki daya tarik bagi pemain-pemain politik lokal sehingga semua berebutan untuk mencari akses kedekatan, bila perlu dengan cara panjat pinang. Masalahnya, kedekatan-kedekatan dengan local strongmen dan kekuatan-kekuatan korporasi tersebut akan memberi kesempatan untuk merebut berbagai peluang di daerah baik di posisi pemerintahan, maupun di lembaga politik lokal dan bidang ekonomi. Maka jangan heran bila tarik-menarik tersebut menimbulkan konflik internal tak habis-habisnya di daerah.
Konflik internal ini, yang dikaitkan dengan ambisi penguasaan sumber daya pembangunan di daerah telah menggeser praktik-praktik koruptif ke daerah, sehingga entitas pemerintah pusat sampai menyebut, otonomi daerah telah melahirkan raja-raja kecil di daerah. Kondisi ini tentu saja semakin memperburuk branding atau pencitraan politik lokal termasuklah politik Melayu Riau sehingga dipandang sebelah mata, daerah tak memiliki bargaining position yang kuat dala posisi diametral dengan pemerintah pusat.
Dalam pusaran turbulensi politik itulah orang-orang Melayu Riau berusaha keras menjaga eksistensinya dengan tetap menghunus pedang politik Melayu yang ujung pedangnya sebenarnya tajam berbalut norma-norma kesantunan dan memiliki banyak tunjuk ajar yang harus dihormati dan dipedomani. Tentu saja gamang. Ikut bermain dalam banalitas panggung politik yang tak lagi berjalan pada rel alur patutnya itu dengan risiko melanggar tunjuk ajar, atau menepi.
Bagi orang Melayu, keadilan dan kebenaran adalah kunci utama dalam menegakkan tuah dan marwah, mengangkat harkat dan martabat, serta mendirikan daulat dan kewibawaan. Keadilan dan kebenaran tidak dapat ditawar-tawar, karena semua acuan mengenai kehidupan, pemerintahan, dan sikap hidupnya mengacu pada sikap adil dan benar. Oleh karena itu dalam masyarakat Melayu adaungkapan yang dipahami luar dalam,“raja alim raja disembah raja zalim raja dianggah”. Kredo ini sesungguhnya menjadi kontrak politik bagi seorang pemimpin Melayu. Pemimpin yang dianggap tidak adil dan menyimpang dari kebenaran wajib diingatkan, disanggah atau diganti.
Dalam tunjuk ajar Melayu hukum yang adil wajib ditegakkan demi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur. Kebenaran wajib didirikan demi terlaksananya syarak dan Sunnah, petuah dan amanah, ketentuan adat lembaga, dan sebagainya. Orang Melayu berani mati untuk membela kebenaran. Orang tua-tua Melayu mengatakan, “takut karena salah berani karena benar”.
Namun dalam kehidupan orang Melayu, pemimpin adalah “orang yang dituakan” dan oleh karenanya wajib diihormati, ditaati dan dipatuhi sepanjang ia menjalankan kewajibannya selaku pemimpin dengan baik dan benar. Dalam politik Melayu, pemimpin juga disebut “orang yang ditinggikan seranting dan didulukan selangkah”. Ungkapan adat istiadat ini bermakna dalam masyarakat Melayu sudah sejak lama dipahami bahwa pemimpin itu lazimnya diambil atau dipilih dari warga masyarakat yang memenuhi kriteria tertentu yang bisa dijadikan panutan, contoh dan teladan.
Dan last but not least, sebagai wujud bahwa Melayu itu identik dengan Islam, maka dalam hal memilih pemimpin, harus memiliki iman dan takwa serta menunjukkan keterpercayaan dan tanggung jawab yang tinggi.
Politik Melayu juga mengutamakan persatuan dan kesatuan, menjunjung tinggi kegotongroyongan, dan mengekalkan tenggang rasa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Orang tua-tua Melayu menegaskan, bahwa rasa persatuan dan kesatuan, kegotongroyongan, serta bertenggang rasa adalah inti kepribadian Melayu. Mengacu prinsip bahwa pada hakikatnya maunisa adalah bersaudara dan bersahabat satu dengan lainnya, maka tunjuk ajar yang berkaitan dengan nilai-nilai persatuan dan kesatuan, gotong-royong, dan bertenggang rasa senantiasa hidup dan diwariskan turun-temurun.
Politik Melayu juga menjunjung tinggi sifat jujur, taat, setia, ikhlas, dan bersih hati. Orang tua-tua Melayu senantiassa berusaha menanamkan sifat jujur kepada anak-anaknya sejak dini dengan menyampaikan doktrin, “siapa jujur hidupnya mujur”. Dalam kehidupan masyarakat Melayu sehari-hari, siapa yang jujur, ikhlas, lurus, dan bersih hati, dihormati dan disegani dalam masyarakat.
Berdasarkan ungkapan adat istiadat Melayu tersebut, politik Melayu setidaknya dicirikan dalam tiga hal. Pertama, politik Melayu itu religius. Karena orang Melayu dikungkung kuat oleh adatnya, adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Melayu memang identik dengan Islam. Kedua, orang Melayu itu menganut politik paham inklusif, keterbukaan. Sebagai masyarakat yang selalu berinteraksi dengan etnis pendatang, sejak dulu telah memiliki kearifan plural yang tercermin dalam sebuah pantun,
Ketuku batang ketakal
Kedua batang keladi moyang
Sesuku kita seasal
Senenek kita semoyang
Ketiga, orang Melayu itu menjunjung tinggi rasa persaudaraan. Nilai persaudaraan (fraternite) dalam politik Melayu tercermin dalam pepatah adat “berat sama dipikul ringan sama dijinjing, ke bukit sama mendaki ke lurah sama menurun, hati gajah sama dilapah hati tungau sama dicecah”. Bila ada perbedaan pendapat, maka perbedaan/perdebatan itu tak sampai membawa permusuhan, itu suatu hal yang biasa. Setelah perdebatan orang Melayu akan kembali membangun hubungan silaturahim seperti tergambar dalam ungkapan, “biduk lalu kiambang bertaut”, atau “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh.”
Jadi, nilai-nilai adat istiadat Melayu itulah yang mestinya tercermin dalam tataran ideal sikap dan pandangan politik orang-orang Melayu. Tak ada yang salah dengan nilai-nilai tradisi itu. Isi kemasan sebenarnya sudah sangat bagus. Namun disadari bahwa dasein tak sama dengan dasolen. Atau,ini akibat dari kemasan yang bagus itu sering dirusak oleh tangan-tangan jahil yang tak bertanggung jawab. Bukankah ada ungkapan, “akibat nila setitik rusak susu sebelanga”?
Dalam perspektif political marketing atau pemasaran politik, orang-orang Melayu agaknya perlu memikirkan branding (merk dagang) yang kuat sebagai merk politik Melayu. Brandingpolitik ini penting untuk menanamkan kesan yang tidak terhapuskan (indelible impression) dari benak publik. Branding ini menyangkut persoalan psikologis, karena dihubungkan dengan pemikiran, citra, perasaan, persepsi, keyakinan atau sikap, bahkan juga pengalaman (baik dan buruk).
Pembangunan branding politik memerlukan kemasan pesan yang lebih jelas dan komunikatif didukung oleh komunikator-komunikator yang teruji dan terpuji (bukan “tongkat membawa rubuh” atau “pagar makan tanaman”). Di samping itu, untuk meraih sukses dalam branding, entitas politik Melayu mestilah memahami kebutuhan dan keinginan pasar. Tidak adanya putera asli Melayu Riau yang duduk dalam kabinet dalam satu dekade terakhir misalnya, dapat dipandang sebagai kelemahan branding politik Melayu. Allahualam bissawab.
Bacaan:
Firmanzah. 2007. Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas. Obor, Jakarta.
Gunnar Myrdal. 1989. The Equality Issue in World Development – The American Economic Review, vol 79, no 6.
Riswandi. 2013. Psikologi Komunikasi. Graha Ilmu, Yogyakarta.
Tennas Effendy. 2004. Tunjuk Ajar Melayu. AdiCita, Yogyakarta.
sumber: di sini.