Catatan Al-Azhar : Penemuan Kembali Kepulauan Sastra Melayu

Mukaddimah

“Sastra Melayu” adalah saujana luas gejala-gejala dalam rentang waktu yang juga amat panjang untuk dibahas. Istilah ini mengandung pengertian “semua sastra berbahasa Melayu” yang pernah ada sepanjang sejarah (dari dulu hingga sekarang). Kini, penggunaan istilah “sastra” sudah melebar pula, mencakup semua seni bahasa (verbal arts), baik yang tertulis maupun lisan, sehingga ke dalam pengertian “semua sastra berbahasa Melayu” itu pun harus pula ditambahkan “dengan semua variasi dialeknya”. Dari segi ruang, “sastra Melayu” merangkum sastra (tertulis dan lisan) di sejumlah negara berbahasa Melayu, yaitu sebagian Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, sebagian Singapura, dan sebagian Thailand.

Oleh karena itu, saya hanya akan mengemukakan buah renungan dan pokok-pokok pemikiran tentang “sastra Melayu” dalam bentang ruang “Melayu Riau” sahaja. Istilah “Melayu Riau” yang digunakan di sini bukanlah dalam pengertian geo-politik dan administrasi pemerintahan, tetapi suatu entitas budaya yang dipersatukan antara lain oleh kebanggaan, kepedihan, dan sikap kesejarahan yang sama dari zaman ke zaman, di samping jalinan kekerabatan dan inter-penetrasi budaya yang sudah berlangsung sejak lama.

Kata “Riau” pada mulanya merujuk pada Sungai Carang di Pulau Bintan yang kawasannya pada abad ke-18 menjadi pusat kerajaan Johor, sehingga kemudian nama kerajaan itu dikenal juga dengan sebutan “Johor-Riau”. (Untuk penamaan Riau, lihat Viviene Wee, Melayu: The Hierarchies of Being in Riau, 1985). Pada tahun 1824, kolonial Inggris dan Belanda menandatangani Traktat London yang membelah dua wilayah luas kerajaan Johor-Pahang-Riau-Lingga: Johor dan Pahang di bawah jajahan Inggris, dan Riau-Lingga di bawah jajahan Belanda. Sejak itu “Riau-Lingga” menjadi sebutan untuk lembaga politik kerajaan Melayu di Selat Melaka dan Laut Cina Selatan, sampai kerajaan ini dibubarkan Belanda pada tahun 1911. Di masa kemerdekaan, sejak tahun 1957, kata “Riau” menjadi nama provinsi, dengan wilayah mencakup bekas wilayah Kerajaan Riau-Lingga, Kerajaan Siak, dan beberapa kerajaan kecil di Sumatera timur. Pada tahun 2002, pemerintah Republik Indonesia memekarkan provinsi ini menjadi dua: Provinsi Riau (dengan wilayah intinya bekas Kerajaan Siak dan beberapa kerajaan di Sumatera timur), dan Provinsi Kepulauan Riau (dengan wilayah inti bekas Kerajaan Riau-Lingga). Kata “Riau” yang digunakan sebagai nama “Provinsi Riau” telah memutuskan hubungannya dengan asal-muasalnya. Pada latar inilah istilah “Sastra Melayu Riau” yang saya pakai memijakkan kedua kakinya di Riau daratan dan kepulauan yang kini telah menjadi dua provinsi ini.

Fokus renungan dan pembahasan mengenai “Sastra Melayu Riau” juga dirangsang oleh adanya anggapan, bahwa: (1) kawasan ini dianggap sebagai jantung alam Melayu; budayawan UU Hamidy (1983), misalnya, menyebutnya sebagai “pusat bahasa dan kebudayaan Melayu”; (2) dalam periode kesejarahan tertentu, kawasan ini merupakan episentrum dinamika sastra Melayu (di dalam pensejarahan sastra Melayu klasik, pengkaji Melayu R.O. Winstedt menyebutkan fenomena “sastra Melayu Riau” sebagai Riau School, aliran atau mazhab Riau); (3) dalam politik identitas kontemporer, “sastra Melayu Riau” merupakan inti dari apa yang disebut oleh pengkaji Melayu lainnya, Will Derks (1997), sebagai Malay identity work, yaitu korpus karya yang memancarkan ke-Melayu-an di tengah gelombang ke-Indonesia-an.

Sastra Melayu: Reproduksi Kreatif

Hamba dengar ada hikayat Melayu dibawa orang dari Goa, barang kita perbaiki kiranya dengan istiadatnya supaya diketahui oleh segala anak cucu kita yang kemudian daripada kita, dan boleh diingatkannya oleh segala mereka itu, syahdan adalah beroleh faedah ia daripadanya… [Dari “Mukaddimah” Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu)]

Kutipan di atas secara ringkas membayangkan bahwa penciptaan teks dalam tradisi tulis Melayu merupakan sebuah proses reproduktif, melahirkan kembali, yang pengertiannya maktub ke dalam istilah-istilah ‘mengarang’, ‘menggubah’, ‘menyusun’, dan sejenisnya. Teks sebagai tenunan tanda (bahasa) dan makna dimasukkan ke dalam proses pembacaan untuk ‘diperbaiki’, dalam arti disesuaikan dengan konteks ruang dan waktu: dari ‘sana’ ke ‘sini’, dari ‘dulu’ ke ‘kini’, dari ‘mereka’ ke ‘kita’. Sumber teks bisa dari manapun: ‘hikayat Melayu dari Goa’ untuk penciptaan Sulalatus Salatin, cerita-cerita wayang purwa dan Panji Jawa untuk penciptaan kisah-kisah Mahabarata (seperti Hikayat Bomakawya) dan Ramayana (seperti Hikayat Seri Rama), serta ratusan teks roman Panji Melayu (seperti Syair Ken Tambuhan dan Panji Kuda Semirang), roman dan epik timur tengah sebagai sumber penciptaan berbagai hikayat dan syair berlatar timur tengah, seperti Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Muhammad Hanafiyah, Hikayat (dan) Syair Raja Damsyik, Syair Saudagar Bodoh, dll.

Hikayat Seri Rama (Foto: http://library.lontar.org/)

Meskipun bersumber dari kebudayaan ‘lain’, teks-teks itu tetap tampil dalam nuansa Melayu yang kental, yang menyiratkan kesadaran dan kepakaran pengarang tentang pekerjaannya: mengurai dan menenun kembali makna-makna yang ada dan yang diadakan (perbaruan makna). Penggunaan aneka sumber itu menegaskan pula kesadaran pada hakikat keterbukaan Melayu. Alih-alih mengelak, para pengarang Melayu masa lampau justru merenangi ‘kelainan-kelainan’ dalam hubungan dialogis dan mengajak khalayaknya menikmati pengembaraan tersebut.

Siapakah para pengarang itu? Kebanyakan mereka tinggal di istana, tidak bernama, dan hanya membekaskan jejak identitas dalam prolog-prolog teks mereka, yang dapat dikelompokkan ke dalam sebutan-sebutan: dalang atau dagang. Bila menyebut dirinya dalang, maka ia adalah narator yang percaya diri, dan karangannya dinyatakannya untuk menghibur: pelupaan hati yang lara. Bila menyebut dirinya dagang (sebutan lainnya: musafir, fakir, gharib), maka ia tampil sebagai narator yang bimbang, hamba yang dha’if di hadapan Maha Pencipta, dan karya-karyanya menghala pada faedah peringatan dan pendidikan (lihat G.L. Koster, Mengembara di Taman-taman yang Menggoda, KITLV dan Gurindam Press, 2011).

Dalang dan dagang adalah figur yang sebati dengan pengertian-pengertian pengembara yang mengarungi lautan tanda dan makna. Wajarlah mereka selalu merasa dirundung nestapa: berjarak dari kenyataan-kenyataan agar dapat melihat lebih jelas kenyataan-kenyataan itu sendiri, menyuling untuk kemudian menyisipkannya ke dalam teks-teks yang diadakan atau dikarangnya, untuk menggapai matlamat indah dan berfaedah. Tanpa keindahan dan keberfaedahan, mereka merasa seperti mengkhianati harapan khalayak, yaitu sekelompok orang yang berkumpul untuk mendengarkan karya mereka dibacakan.

Demikianlah pengarang dalam pusaran awal perkembangan dan kebangkitan tradisi tulis Melayu adalah para pencari, penyimak, dan penafsir gejala-gejala yang selalu berubah. Kepengarangan pula adalah ihwal menggubal gejala-gejala ke dalam kenyataan tekstual, yang dipersembahkan sebagai pelipur lara dunia atau peringatan dan pengajaran. Teks-teks mereka wujud dalam ribuan manuskrip, dalam berbagai versi dan varian dengan kekhasannya masing-masing, yang terbentuk oleh konteks ruang, waktu, dan pengalaman pribadi pengarang di dalam ideologi lingkungannya.

Mazhab Riau: Representasi Kritis

Istilah “mazhab/ aliran Riau” atau Riau School pertama kali dikemukakan oleh R.O. Winstedt, dalam bukunya A History of Classical Malay Literature (1977, cetak ulang); namun ia tidak pernah menjelaskan panjang lebar anggapannya itu. Kemudian, pengkaji Melayu asal Rusia, Vladimir I. Braginsky menerbitkan hasil observasinya tentang evolusi struktur syair (lihat “Evolution of the verse-structure of the Malay syair,” Archipel 42: 133-54, 1991). Braginsky menemukan beberapa perbedaan struktur sejumlah syair yang diketahui ditulis di Penyengat; dan ia menyokong pendapat Winstedt.

Sejarah yang Meminggirkan

Dari kiri ke kanan, Said Syekh Al-Hadi dan Tengku Usman. Dua Timbalan Rusydiah Club ketika berada di Cairo, Mesir, 1906. (foto: aswandi syahri)

Kepengarangan Melayu berbasis kecendekiawanan yang mencirikan karangan-karangan lingkaran Penyengat itu kemudian berkembang di Tanah Semenanjung. Salah satu anggota Rusdiyah Kelab, Syed Syekh Al-Hadi, misalnya, kemudian dicatat sebagai pelopor prosa modern dalam sejarah sastra Melayu Malaysia melalui novelnya yang berjudul Faridah Hanum (1925), meskipun novel ini menggunakan kata ‘hikayat’.

Selat (Singapura) dan Semenanjung memang menjadi laman kecendekiawanan mereka setelah Kerajaan Riau-Lingga dibubarkan Belanda. Bersama pengarang-pengarang Melayu di Selat dan Semenanjung, para cendekiawan ini menyangga kewibawaan dan keberlanjutan sejarah sastra Melayu. Sementara di kawasan selatan, Hindia-Belanda, para cendekiawan mulai menyemai bibit-bibit sejarah dan sastra yang ‘lain’, yang kelak disebut: Indonesia.

Meskipun apa yang disebut sebagai bahasa Indonesia itu adalah bahasa Melayu ragam tulisan (dan memang dikembangkan Belanda berdasarkan bahasa Melayu Riau), di dalam nation state Indonesia, bahasa dan sastra Melayu yang dibela-pelihara di Riau (terutama oleh lingkaran Penyengat) lebih sering dianggap sebagai gejala bahasa dan sastra daerah. Bentang-rentang bahasa dan kebudayaan memang tidak selalu bersesuaian dengan ruang politik.

Bentang bahasa Melayu meliputi sejumlah nation state di Asia Tenggara. Dampaknya, konsep-konsep luas “kebudayan Melayu” cenderung menyempit, dikurung dalam nama negara tempat kebudayaan itu dijalankan (Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Indonesia). Demikian pula perkembangannya, jadi erat berkait-kelindan dengan dinamika politik masing-masing negara.

Bila di Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam, sastra Melayu bersama sejarahnya yang panjang dianggap sebagai akar “sastra Malaysia”, “sastra Singapura”, dan “sastra Brunei Darussalam”, di Indonesia, anggapan itu nampaknya cenderung diterima setengah hati saja.

Ke-Melayu-an pada “sastra Indonesia” sering hanya dibatasi pada bahasa yang digunakan para sastrawan kita (bahwa bahasa Indonesia memang bagian dari bahasa Melayu). Bila di Malaysia, Singapura, dan Brunei “Melayu” dipahami sebagai ras, bumiputera vis a vis pendatang (migran), dengan variabel etnisitas yang luas (agama Islam, adat-istiadat, dan bahasa), maka “Melayu” di Indonesia hanya dipikirkan sebagai salah satu etnik pribumi.

Islam sebagai ciri ke-Melayu-an juga menjadi ciri yang sebati dengan sebagian besar kelompok etnik lain di Indonesia. Dengan demikian, Melayu dan ke-Melayu-an di Indonesia dicirikan hanya berdasarkan tradisi: adat-istadat dan bahasa ibunya (dialek dan variasi dialek bahasa Melayu).

Lagipula, dalam sejarah nasionalisme Indonesia, Melayu sering dibayangkan: merujuk ke kawasan lain (tanah semenanjung), dengan penguasa yang juga lain (Inggris); identik dengan feodalisme yang kolaboratif dengan Hindia-Belanda (feodalisme dan kolonialisme adalah musuh bersama kaum nasionalis; dan bersama etnik-etnik lainnya dianggap mewakili pengertian-pengertian negatif tentang pribumi [stigma inlander]). Dengan imajinasi-imajinasi seperti itu, Melayu dipisahkan dari ruang dan waktu ‘sekarang’ dan ‘yang akan datang’, dikunci ke dalam makna-makna masa lampau: usang, lapuk, kuno, kolot’ (dan yang sejenis dengan itu).

Penerapan konstruksi kewacanaan seperti itu dapat disaksikan dalam pensejarahan resmi sastra Indonesia, dan didesakkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pembelajaran di sekolah-sekolah kita. Pensejarahan resmi sastra Indonesia dimulai dari Balai Pustaka, lembaga milik Hindia-Belanda yang sebelumnya bernama Comissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat).

Kebanyakan terbitannya dalam huruf Latin, dan jelas dtujukan untuk khalayak beraksara Latin, produk sekolah-sekolah kolonial atau yang disokong oleh pemerintah kolonial. Sebagai lembaga bentukan Hindia-Belanda, ia memainkan peran agen literasi Barat, menggeser keberaksaraan Arab-Melayu (juga keberaksaraan Jawa, Bugis, Batak, dll.), dan menyebarkan gagasan dan etika individualisme dalam kecendekiawanan “Indonesia” semasa.

Kepengarangan Balai Pustaka, konon, adalah kepengarangan individu dalam pengertian-pengertian modern, menjelajahi hidup manusia sebagai individu di dalam komunitasnya. Demi itu, mereka membaca karya-karya asing (terutama yang berbahasa Belanda), dan tak jarang hanya menjadi peniru (lihat tulisan Subagio Sastrowardoyo dalam bukunya Sastra Hindia-Belanda dan Kita, Balai Pustaka, 1983).

Pada kecenderungan peminggiran literasi dan kebudayaan suku-suku inilah kita melihat konvergensi nasionalisme Indonesia dan kolonialisme; dua paham yang secara teoritis-konseptual bertentangan. Konvergensi itu memberi celah bagi kita untuk menduga: di dalam ‘nadi nasionalisme Indonesia’ mengalir ‘darah pembaratan’.

Dugaan tersebut tersingkap pada periode kesejarahan sastra Indonesia berikutnya: Pujangga Baru. Kelompok cendekiawan Pujangga Baru terbelah dalam dua pilihan orientasi ‘ke-Indonesia-an’: Barat atau Timur. Munculnya pilihan orientasi ke Barat tentulah buah dari benih yang disemai pada periode sebelumnya: Balai Pustaka.

Sedangkan menguatnya pilihan ke Timur adalah bentuk kesadaran tentang kenyataan-kenyataan kebudayaan sendiri yang terbiar, atau lingkungan kebudayaan ‘lain’ yang relatif dekat dengan kita. Polemik antara kedua pilihan itu berakhir terbuka. Dengan akhir yang terbuka itu, Pujangga Baru seolah mengirimkan pesan: ‘kebaruan’ tidak selalu wujud dalam bentuk peniadaan terhadap ‘yang lama’; kebaruan adalah ihwal sikap, pendekatan, pengambilan sudut dan cara pandang terhadap gejala-gejala.

Angkatan ‘45 dan Angkatan ‘66 juga memperlihatkan ‘politik bahasa dan sastra’ yang canonical: kategori-kategori kualitatif yang mempersempit ruang bagi hadirnya ‘kelainan-kelainan’; penemuan-penemuan baru. Sastra Indonesia menemukan maknanya sebagai ‘sastra nasional’ yang memusat (ke Jakarta) dan mengembangkan relasi-relasi hegemonik terhadap gejala sastra di luarnya, seperti yang dirayakan oleh praktik kekuasaan Orde Baru yang sentralistik.

Kepulauan Sastra Melayu: Penemuan Kembali

Di manakah tempat sastra dan intelektual Riau dan Kepulauan Riau? Di dalam konstruksi ke-Indonesia-an seperti yang disebutkan di atas, kawasan ini hanya provinsi; karenanya dalam konteks Indonesia, ekspresi-ekspresi budayanya “hanya patut” ditempatkan ke dalam kategori budaya daerah. Untuk ‘menasional’, seorang penulis daerah harus memperoleh legitimasi dari pusat-pusat keunggulan sastra Indonesia di Jakarta: koran nasional, majalah sastra Horison, penerbit tertentu, Taman Ismail Marzuki (TIM), Dewan Kesenian Jakarta, dll.

Dalam keterpinggirannya, Riau dan ke-Melayu-annya baru ditoleh setelah Sutardji Calzoum Bachri (SCB) menerbitkan dan membacakan sajak-sajaknya di Jakarta dan menyatakan puisi-puisinya diilhami oleh seni bahasa mantra Melayu.

Pernyataan dan kejayaan SCB ini memantik kepercayaan diri baru para penulis Riau, sekaligus membuka ruang rekonstruktif persebatian cendekiawan Riau dengan ke-Melayu-an mereka. Ke-Melayu-an dalam penciptaan sastra yang digemakan SCB disambut oleh Ibrahim Sattah (Alm.) dengan puisi-puisi yang mengeksplorasi bahasa dalam permainan kanak-kanak Melayu, dan membacakannya di TIM (lihat Hasan Junus, “Ibrahim Sattah: mencari dan menemukan tempat”, 1984).

Sejumlah seniman dari ‘kelompok tennisbaan’ (yaitu para pemangku kegiatan sastra dan seni yang sering berkumpul dan mementaskan seninya di lapangan tenis di pojok jalan di belakang Gedung Daerah Tanjungpinang) dan fellow travellers-nya (seperti Alm. Idrus Tintin, Alm. BM. Syamsuddin, Iskandar Leo, dll) merevitalisasi ke-Melayu-an mereka, memindahkan tempatnya dari ‘lembaga kenangan’ yang pasif-nostalgis ke ‘lembaga ingatan’ yang aktif-dinamis, dan menuangkannya dalam karya-karya.

Hasan Junus (HJ) pula, selalu menyediakan waktu dan pikirannya untuk menjadi ensiklopedi hidup sejarah dan kebudayaan Melayu, di samping menciptakan sejumlah karya yang memamerkan plastisitas bahasa Melayu itu. Lalu, semangat ke-Melayu-an itu menjadi arus utama penciptaan individu senarai pengarang Melayu Riau dan Kepulauan Riau (seperti Taufik Ikram Jamil, Hoesnizar Hood, Syaukani  Al-Karim, Machzumi Dawood, Tusiran Suseno, Abdul Kadir Ibrahim, Murparsaulian, Junewal Muchtar, Samson Rambah Pasir, Abel Tasman, Marhalim Zaini, dan lain-lain). Dalam sebuah renungannya, Taufik Ikram Jamil (TIJ) menuliskan kedekatan perasaan zamannya dengan zaman yang melahirkan Raja Ali Haji. Kedekatan itu terbentuk dari kesadaran kekalahan politik dan keterpinggiran sosial-budaya yang sama (lihat Taufik Ikram Jamil, “Raja Ali Haji: Pandangan Riau Terkini” dalam Kandil Akal di Pelantar Budi, Yayasan Kata, 2002).

Saya memandang, hubungan antara pengarang lingkaran Penyengat dengan pengarang Melayu Riau masa kini bukan hanya karena faktor kesamaan sejarah, tetapi juga pada sikap kepengarangan yang mereka lakoni. Seperti telah diuraikan sebelumnya, pengarang-pengarang lingkaran Penyengat bersikap kritis terhadap sejarah dan gejala-gejala yang ada dan yang diadakan: realitas, teks-teks, imajinasi-imajinasi.

Karena itu mereka cenderung meninggalkan kepengarangan reproduksi-kreatif (yang menjadi arus utama kepengarangan semasa), dan ‘hijrah’ ke kepengarangan representasi-kritis. Pilihan kepengarangan itu pulalah yang berkembang di lingkungan pengarang sastra Melayu Riau masa kini; adakalanya dalam bentuk yang radikal.

uisi-puisi SCB dalam antologi O Amuk Kapak (1981)misalnya, bukan hanya mendeformasi bahasa (hubungan tanda dan makna), tetapi juga menantang kenyataan-kenyataan dalam konvensi puisi Indonesia, seraya menyegarkan dan memberi makna baru pada kenyataan-kenyataan bahasa mantra dalam kebudayaan Melayu. Di dalam taman bahasa yang amat menggoda yang tersaji melalui novel pendek Hasan Junus, Burung Tiung Seri Gading (2006), kenyataan-kenyataan tekstual cerita Laksemana Bintan ditafsir ulang, dan mendapat makna baru: manusia dalam cengkeraman nasib. Novel Taufik Ikram Jamil, Hempasan Gelombang (1999), puisi-puisi Husnizar Hood (misalnya “Dongeng Pasir”), serta puisi-puisi dan naratif-naratif Marhalim Zaini [termasuk libretto-nya untuk opera Melayu yang berjudul Tun Teja (2007)], tampil mengkritisi sejarah, realitas, dan teks-teks masa lalu, seraya meniupkan nafas dan menyegarkan makna sejarah, realitas, dan teks-teks masa lalu tersebut.

Begitulah, seperti pendahulu mereka di lingkaran Penyengat, para pengarang Melayu Riau kini mengarungi kenyataan-kenyataan, mendialognya, dan dengan akalbudinya menghidangkan persepsi-persepsi baru terhadap kenyataan-kenyataan tersebut. Para pengarang Melayu Riau pada masa kini sesungguhnya adalah orang-orang yang pengalaman kesastraannya diberikan oleh sastra arus utama, yaitu “sastra Indonesia”. Namun, seperti para pendahulunya di lingkaran Penyengat, mereka berusaha untuk tidak terjebak dalam perangkap mainstream yang hanya menyuburkan peniruan-peniruan. Kepengarangan representasi kritis yang mereka jalankan adalah pilihan logis, baik untuk tujuan-tujuan kesinambungan dan kemajuan kebudayaan Melayu, maupun untuk memulihkan kembali keragaman ‘pulau-pulau di lautan’ sastra yang terbentuk  dari hakekat keterbukaan dan kecairan kebudayaan Melayu itu sendiri.

Penutup

Jika melihat watak kepengarangan ini, saya optimis dengan “kebangkitan sastra Melayu”. Namun, kehidupan sastra tidak hanya terletak pada pilihan kepengarangan dan proses produksi karya, tapi juga membabitkan persoalan-persoalan konsumsi (khalayaknya). Siapakah khalayak sastra di Riau, di Kepulauan Riau, di Indonesia kini? Seberapa besar jumlah mereka?

Saya kira kita semua sepakat bahwa pengembangan kuantitas dan kualitas keberaksaraan (literasi) adalah kegagalan terbesar pembangunan kebudayaan dan peradaban di seluruh Indonesia. Dunia pendidikan formal kita terperangkap dalam penjara praktis-pragmatis: kuantitas lulusan. Pembelajaran sastra menjadi pengalaman yang menjemukan, sebagian besar diajarkan oleh guru-guru yang tidak membaca (dan mengalami) sastra, dan hanya berisikan informasi-informasi kering kerontang tentang siapa-mengarang-apa serta di mana tempat pengarang dan karyanya itu dalam laci periodisasi sastra. Untungnya, masih ada peristiwa-peristiwa pentas sastra. Tapi itu jelas sangat tidak memadai. Lagipula, bentuk-bentuk penikmatan lisan dan kinestetik (seperti yang berkembang dalam berbagai pentas sastra kita) secara hakiki berbeda dengan penikmatan melalui pembacaan bersendiri.

Saya ingin menganjurkan: jangan pernah berhenti menanam dan menyuburkan literasi (keberaksaraan); jadikan dunia pendidikan formal kita sebagai taman keberaksaraan; bangun perpustakaan dan taman-taman bacaan sampai ke ceruk-ceruk negeri, serta mobilisasi rakyat untuk membaca. Untuk itu, kita memerlukan campur tangan berbagai pihak. Lebih-lebih di jantung alam Melayu bernama Riau dan Kepulauan Riau ini.

*disunting dan diperiksa oleh Sita Rohana.

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top