Labuhan Laut Kepulauan Riau dan Lingga Abad ke-19

LABUHAN atau pelabuhan adalah salah satu komponen penting sejarah dalam sejarah maritim Kepulauan Riau-Lingga, dan telah memainkan peranan yang sangat vital dalam perlayaran dan pedagangan dalam dunia maritim di Kepulauan Riau-Lingga abad 19. Seperti apa gambarannya?

Tulisan berikut ini adalah sebuah gambaran tentang pelabuhan dan selat-selat tempta labuhan dagang yang utama dalam dunia marimtim Kepulauan Riau-Lingga pada abad ke-19. Diterjemahkan dari cacatan G.F. de Bryuns Kops, seorang letnan angkatan Belanda, yang mengunjungi Tanjungpinang dan Daik-Lingga sekitar tahun 1842.

Semua nama tempat dan selat disalin sesuai ejaan aslinya sebagaimana ditulis oleh G.F. de Bryuns Kops dalam sebuah laporan berbahasa Belanda dengan judul Schets van den Riouw-Lingga Archipel yang terbit tahun 1853. Sementara itu, keterangan tambahan dalam kurung adalah dari saya.

Bagian-bagian terjemahannya yang disajikan di halaman kutubkhanah ini diterjemahkan dari versi ringkasan dalam bahasa Inggris berjudul Sketch of The Rhio-Lingga Arciplelago, yang diterbitkan di Singapura pada tahun 1854. ***

Selat-selat yang sangat penting dan seringkali digunakan (di Kepuluan Riau pada abad 19) adalah: Selat Brahalla (Berhala) yang terletak antara Pulau Singkep dan Pantai Sumatera, dimana di tengah-tengahnya terletak Pulau Brahalla; Selat Penuba dan Selat Lima yang terletak antara Pulau Singkep dan Pulau Lingga, yang dibelah menjadi dua oleh pulau Pulau Penubo (Penuba); Selat Timian (Temiang) yang terletak antara pantai Utara Pulau Lingga dan kelompok Pulau-Pulau Rodong, bagaimanapun, tidak dapat digunakan sebagai sebuah terusan yang baik, karena tiga terumbu karang di bagian tengah terusan ini.

Selanjutnya, Selat Pengalap (Pengelap), Selat Abang, dan Selat Dumpo (Dompo) yang terletak diantara berbagai pulau di sekitarnya; Selat Durian di sebelah Barat Pulau Moor (Moro) dan Pulau Durian, yang kadangkalannya digunakan oleh orang yang berlayar ke Singapura, dan mempermudah perlayaran.

Terakhir, yang juga sangat penting, adalah Selat Riau, yang terletak antara Pulau Bintang (Bintan) di sebelah Timurnya, dan Pulau Gallat (Galang), Gampang (Rempang) dan Battam (Batam) di sebelah Baratnya; Selat Singapura, yang terletak antara Pulau Bintang, Pulau Battam dan Pulau Bulang di sebelah Selatan, serta Semenanjung Melayu pada sisi Utaranya. Dari semua selat yang dijelaskan di atas, dua yang terakhirlah yang selalu digunakan.

Hanya terdapat dua pelabuhan yang kerap kali digunakan yaitu Rhio (Ruau atau Tanjungpinang) di Pulau Bintan, dan Lingga; tempa-tempat lain begitu kecil arti pentingnya bagi tempat kapal-kapal berlabuh untuk tujuan perdagangan, dan oleh karena itu saya akan membatasi diri saya untuk menjelaskan dua pelabuhan ini.

Labuhan Rhio, terletak antara Pulau Piningat atau Mars (Pulau Penyengat) dan Tanjong Pinang (Tanjungpinang). Dipisahkan menjadi sebuah alur luar dan alur dalam, yang dihubungkan oleh sebuah selat sempit antara daratan pulau Bintan dan Pulo Paku (Pulau Paku).

Pada alur bagian luar kedalaman airnya adalah 4 dan 5 fathom (1 fathom setara dengan 1.8 meter) sehingga kapal-kapal besar dapat lego jangkar di situ. Alur sebalah dalam hanya 2 fathom, dan hanya dapat digunakan oleh perahu-perahu kecil. Selat itu sempit dan dangkal.

Di sebelah Utara Pulau Mars (Pulau Penyengat) terdapat pula sebuah alur lintasan perlayaran; namun dihalangi oleh batu dan karang, dan hanya digunakan oleh perahu-perahu. Pada saat air laut pasang dalam, kadang-kadang arus alur ini digunakan oleh kapal untuk mengelakan kesulitan melalui selat yang sempit itu.

Sedangkan sebelumnya (pada abad ke-18), tempat bagi kapal-kapal melego jangkarnya jauh di dalam teluk di depan Kampung Campong (Kampung) Riau Lama, yang ketika itu merupakan tempat kediaman Sultan dan Raja. Namun sekarang (pertengahan abad ke-19) semuanya ditinggalkan terlantar.

Sementara itu labuhan Lingga terletak antara pantai dan Pulau Klombo (Kelombok). Ia dapat dicapai dari kedua sisi pulau itu. Alur sebelah Timurnya adalah bagian yang terluas dan pada saat tertentu mendangkal, dan tidak dapat digunakan oleh kapal besar.

Di bagian Barat pelabuhan Lingga terletak pintu masuk dengan kedalam air 3½ fathom, namun hanya 3 cable (satuan ukuran panjang dalam dunia maritim yang setara dengan 185 meter menurut standart Angkatan Laut Inggris) luasnya. Bagian Utaranya dibatasi oleh karang panjang yang patut dipertimbangkan, dan sebagiannya terlihat dikala air surut.

Tanda yang mudah terlihat untuk memasuki alur perlayaran ini adalah bukit hijau muda di puncak tertinggi pada bagian Timur kawasan pegunungan. Bukit ini, yang terletak pada tepi pantai, dan dapat dilihat dari kejauhan.

Ia ditutupi oleh rumput panjang (alang-alang) dan tidak ada pohon kecuali di puncaknya, dimana terdapat sekelompok kecil pepohonan. Sebelumnya, disini terdapat sebuah benting (benteng) kecil (Benteng Bukit Cening), namun sekarang tinggal reruntuhan saja. Lurus ke arah Utara dari ujung bagian Barat Pulau Kelombok terdapat laut luas dengan kedalam air 8 hingga 9 fathom.

Sedikit ke arah Barat Pulau Kelombo (Kelombok), tapi dekat ke arah pantai, terletak pulau Mapar (Mepar) dengan sebuah kampung yang besar. Orang Kaya, yang menguasai pulau itu, tinggal di sini. Kedua pulau ini dipenuhi dengan pohon-pohon kelapa, dimana dari niranya gula merah dihasilkan. Sepanjang pantai Pulau Lingga, di daerah pelabuhannya, terdapat tebing lumpur yang luas dengan lumpur lembut kebiru-biruan, tempat dimana tidak memungkinkan seseorang berdiri.

Melalui tempat ini, Sungi Dai (Sungai Daik), dimana pada bagiannya yang agak tinggi sebuah kampung terletak, telah membentuk terusan yang lebarnya hanya 30 atau 40 fathom, sebuah alur (perlayaran) yang kerap kali berubah.

Umumnya cabang-cabang dahan kayu mencecah ke permukaan air untuk menunjukkan arah mana yang harus diikuti. Bagaimanapun, ketika air dalam, tebing-tebing sungai itu itu dapat dilintasi perahu. Pada muara sungai yang sebenarnya (Kuala Daik) kami menemukan sebuah benting (benteng) kecil dalam keadaan yang berbeda. Dijaga dengan dua meriam kecil, yang sepenuhnya tidak berguna untuk pertahanan pelabuhan, dan kecil kegunaannya dalam melindungi pintu masuk menuju sungai.

Sungai tersebut agak sedikit dangkal, sehingga kadang-kadang perahu-perahu harus menggunakan galah untuk bergerak. Aliran air pasang mengarah ke kampung. Dan secara umum arus di sungai itu tidaklah terlalu kuat. Tebing-tebing di bagian muara terdiri dari lumpur yang tertutup rapat dengan pohon-pohon bakau.

Tampaknya, tebing-tebing itu terbentuk dari formasi tanah endapan. Ke arah bagian dalam kampung, tanah mulai keras dan terbentuk dari pasir dan tanah liat. Pada dasar sungai terdapat sejumlah batu sungai (kebanyakan adalah batu akik), yang dibawa hanyut oleh arus sungai dari pegunungan. Berdasarkan laporan, tanah pulau ini subur, namun sedikit sekali yang diolah, karena kemalasan penduduk setempat.***

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top