BUKAN gara-gara ada yang tak suka dengan saya kemudian saya meninggalkan kampung kita itu. Biarlah mereka sibuk menebak-nebak siapa yang akan memimpin negeri itu kelak dan siapa yang hanya pandai menjual borak atau karena gara-gara ada yang membuang muka dengan saya kemudian saya merajuk dan saya beranjak. Pergi menjauh bagai tak meninggalkan jejak.
Kalau dulu-dulu hal seperti itu namanya pergi membawa diri. Huh, tidak! Dan tentulah bukan karena itu, biarlah kalau ada yang tak suka dengan saya, itu mutlak menjadi haknya tapi saya tetap tidak dalam berduka, saya tetap gembira dan saya dalam keadaan baik-baik saja.
Saya dan Mahmud kawan saya yang baik itu memang sedang bergembira, kami sedang berpergian ke suatu tempat yang jauh karena ingin bersama-sama meramaikan dan bersepakat memberhentikan berita-berita bohong (hoax) itu, berkampanye mengajak rakyat untuk tidak ikut-ikut menjadi pemborak (hoax) dengan kabar-kabar yang bengak (hoax) juga.
“Macam siaran radio pantai,” kata Mahmud mengistilahkan kalau ada kabar yang belum sahih tapi sudah sibuk dibicarakan bagai panas mendidih. Ya, seperti angin pantai yang sepoi dan suara radio yang sayup-sayup, amboi.
Memang kami agak berjalan lebih lama kali ini, kami pergi ke pulau yang bertajuk Seribu Mesjid itu, di Lombok, di Nusa Tenggara Barat sana. Waktunya lebih cepat satu jam dari negeri kita, dan akhirnya kami tiba juga di bibir Pantai Senggigi yang indah dan konon kabarnya pantai di Bali pun kalah.
Banyak orang menyambut kami di Bandara Lombok Raya. Oh, maaf, kami bukan orang yang hendak ikut berlari 100 Km yang lagi ramai juga di sini. Ya, berlari mengitari dan mendaki Gunung Rinjani yang anggun dan juga gagah itu karena tak kuat rasanya kalau mendaki paling kuat hanya berlari 5 Km itupun harus beberapa kali berhenti.
Dengan Mahmud saya kagum ternyata dia lebih kuat dari saya. Sepanjang 5 Km itu dia hanya sekali berhenti berlari dan itupun dengan alasan karena ada anjing yang mengejarnya. Saya tertawa sendiri menyaksikan Mahmud dari kejauhan, berdepan-depan dengan anjing dengan tangan menggenggam batu, dia bilang kenapa dia berhenti ketika anjing itu mengejarnya, karena kalau dia tetap berlari pasti anjing itu akan semakin laju mengejarnya lagi.
Saya cepat membuang jauh-jauh pikiran apakah anjing disini dan anjing di kampung kita perilakunya sama.
Tabiat anjing memang seperti itu. Jangan kasih kesempatan kepada dia untuk mendekati kita apalagi kita berlari, seakan kita lari menghindar darinya, dia pikir kita yang salah.
Kami sebenarnya pagi itu hanya ingin menikmati kota relejius ini ketika pagi hari tentulah dengan udara yang segar sambil berolahraga yang sifatnya 4 M, “murah meriah menyenggol mewah”, berlari itu bisa sangat murah, tapi bisa juga dia menjadi olahraga yang mahal kalau kita mau menggunakan perlengkapannya yang harganya boleh coba ditanya, sungguh aduhai angkanya.
Ini sudah menjadi kebiasaan kami, saya dan Mahmud selalu saja menggunakan kesempatan di pagi hari seperti ini ketika kami sedang berpergian. Daripada kembali membuta di kamar sembari menarik selimut sambil mengambil handphone yang di layarnya sudah tersedia sarapan paling pagi bagi kita semua, menu utama caci maki meskipun sudah usai Pilkada DKI, ada ustad yang diusir, ada kaum minoritas yang ditindas, ada jamaah yang di razia, ada politisi yang difitnah, ada kepala daerah yang kehilangan marwah.
“Tak lama lagi di kampung kita orang akan memperingati Hari Marwah, Tok” kawan saya Mahmud tiba-tiba buka suara sambil terengah-engah napasnya. Mungkin karena dia melihat ada banyak spanduk-spanduk dan bendera-bendera sepanjang jalan kami berlari itu. Di kampung kami pun kemarin saya melihat ada banyak spanduk-spanduk yang terpasang mengingatkan kita akan Hari Marwah belasan tahun lalu itu.
Dalam berlari sambil terus berpikir apakah masih jauh lagi jarak yang akan kami tempuh saya teringat akan ucapan kawan saya itu, Hari Marwah yang patut dikenang oleh semua orang di negeri kita itu, bukan membuang muka ketika kita bertanya, “Apakah marwah kita sudah tegak berdiri seperti yang kita cita-citakan dulu?”
“Marwah itu bukan hanya sekedar ucapan dan juga bukan karena pembelaan tapi apa yang kita lakukan jika menjadi perbuatan yang diharapkan sesungguhnya itulah kebenaran,” ucap Mahmud lagi.
Semakin hari yang saya rasakan dengan Mahmud adalah semakin banyak orang membuang muka dengan sesama kita. Sudahlah semakin hari rasanya kita semakin jauh dikarenakan media sosial yang menipu itu, membuat kita merasa dekat padahal kita tak pernah bertemu, kita hanya merasakan hal yang semu, seakan-akan dekat tapi sesungguhnya kita tersekat.
Kenapa kita harus membuang muka jika kita tak pernah bersua, hidup ini seharusnya yang kita jaga adalah silaturahmi kita dan lazimnya silaturahmi itu adalah berkata-kata, bukan lewat tulisan dan sengaja memainkan perasaan.
Hoax terus melantak, memborak kita tegak-tegak dan kita dikelilingi oleh para pembengak kemudian kita berubah menjadi penyangak dan karena berita-berita itulah kita mulai membuang muka padahal orang dihadapan kita itu tak tau apa penyebabnya.
Kita harus sama-sama menghentikan semua ini, harus kita akhiri pertelagahan yang bagai tak bertepi ini.
Terlalu banyak berita palsu sehingga berita kebenaran seperti tertelan. Terlalu banyak kebijakan palsu sehingga langkah kita tertahan. Terlalu banyak janji palsu dan kami terabaikan.
Di pantai yang memberi keindahan ini, saya dan Mahmud terkenang wajah-wajah yang menjadi taruhan akankah kita masih bertanya, “Marwah kita di mana?”***