Kalau ditarik-tarik ke belakang sebetulnya negeri kita ini adalah sebuah kerajaan besar, siapa yang tak tau dengan emperium besar Melayu bernama Riau-Lingga itu bahkan kekuasaannya hingga ke Johor dan Pahang sana. Itu dulu ya, dulu!
Lihat itu tetangga kita Malaysia, hingga kini kerajaan mereka itu masih ada meskipun kini negara itu menjadi parlementer, sang Perdana Menteri yang menjadi penerajunya tapi Rajanya tetap ada, sebagai pemersatu dan pertahanan budaya.
Kalau kisah Singapura tak usah kita bahaslah, sebenarnya Singapura itu kerajaan juga dulu tapi sekarang jangankan raja, rakyat jelatanya saja yang orang Melayu tinggal tak seberapa jumlahnya habis dilanggar “Todak Ekonomi”.
Saya hanya ingin mencari sebab saja, maksudnya bagi kita yang orang Melayu kedatangan rombongan King Salman Raja Arab ke Jakarta itu adalah sesuatu yang biasa, karena kita sangat mengenal akan makna sebuah kerajaan dan sangat tau siapa seorang Raja itu.
Seperti yang kita lihat dan kita dengar walaupun hanya di layar-layar TV, bahwa kedatangan Raja Salman,
Bukan batang sembarang batang
Batang tumbuh di dalam hutan
Bukan datang sembarang datang
Datang ramai tunjuk kehebatan
Menunjuk kehebatan? Saya pikir, mungkin tidaklah ya, mungkin saja budaya kita yang berbeda dan cara pandang kita menjadi lain, memang budaya kita saling mempengaruhi karena agama yang sama tapi itu tak harus kita menjadi persis dan serupa.
Lalu dalam kerajaan Melayu bagaimana? Inilah yang hendak saya ajak “kita kira bicara dan kalau saya tidak ajak kira bicara mana mungkin Awang tau sama”, he he he, jangan bingung dulu, itu kalimat dalam dialog teater Makyong, bahasanya bernilai tinggi, bicarapun harus diperhitungkan, dikira, biar tak menyalah, biar jangan asal sebut saja.
Saya pernah bertanya dengan seorang kawan, dia seniman dan juga budayawan, Al azhar namanya, sekarang ia bergelar “Dato” karena menjadi ketua Lembaga Adat Melayu Riau negeri Melayu kakak kandung negeri kita itu. “Kebudayaan Melayu itu datang dari rakyat atau Istana?”, kawan saya itu agak lama termenungnya kemudian dia menjawab dengan tegas “dari rakyat kemudian ke istana dan turun ke rakyat lagi”. Saya menganggukkan kepala tanda setuju, karena itu mungkin kebudayaan Melayu itu gemerlap dengan warna-warna terang, berbalurkan intan dan emas yang merupakan simbol kesejahteraan.
Kalau saja kerajaan Melayu itu masih hidup di negeri kita ini saya yakin Rajanya akan pergi berkunjung ke daerah lain dengan kegemerlapannya juga, mengendarai kereta kencana dengan para pengawalnya, arak-arakan yang panjangnya sejauh kita memandang dan kita takzim merendah menyambut kedatangannya.
“Itulah sang paduka Raja!”, teriak rakyat sepanjang jalan, “daulat Tuanku!”, sang rajapun tersenyum dengan kewibawaannya.
Cerita-cerita itu kita tau, banyak catatan peristiwa yang diceritakan dalam sejarah yang ditulis dengan baik oleh pujangga-pujangga dimasa itu yang bisa kita pelajari pada hari ini.
Karena itu ketika Raja Salman datang ke Republik ini, bagi saya yang membaca sejarah saya tak merasa itu berlebihan atau sesuatu yang luar biasa, karena mereka memang mengaku Raja dan kita juga mengakuinya.
Pada kita? oh, kita bukanlah seorang raja dan kitapun tak boleh dan tak berani mengaku-ngaku sebagai raja walaupun kekuasaan ada ditangan kita.
Hanya dalam keriuhan dan derai hujan ketika Raja Salman hadir ada diantara kita yang sepertinya terus menerus bertindak layaknya sebagai raja, kita kuasai semua yang ada, kita menumpuk harta, kita gadai hukum yang berlaku dan kita tunjukkan hal-hal yang mewah, sementara kita lupa ada pesan yang selalu diingatkan orang-orang tua kita “raja alim raja disembah raja zalim raja disanggah”. ***