Rusydiah Kelab dan Al-Imam

INI bukan kelab sebarang kelab. Rusydiah Kelab namanya, suatu kelab pemimpin Melayu terbilang. Mereka terdiri atas para pemikir, penulis, politisi, dan pengusaha cerdas, berpengetahuan luas, dan berani. Kelompok cendekiawan Kesultanan Riau-Lingga itu, oleh Hasan Junus dalam Karena Emas di Bunga Lautan (2002) digelar sebagai kelompok penekan (pressure group). 

Demi kebenaran dan kemajuan negara yang signifikan, melalui tulisan-tulisan dan orasi mereka, Rusydiah Kelab tak segan mengeritik pemerintah, apakah sultan (Sultan Abdul Rahman al-Muazam Syah II) ataupun Pemerintah Hindia-Belanda. Mereka tak pernah ragu atau takut karena yang diperjuangkan adalah kebenaran dan demi kebaikan negara dan bangsa. 

Rusydiah Kelab berdiri pada 1885. Di antara tokoh pendirinya adalah pengusaha, politisi, pejabat pemerintah, juga penulis handal, Raja Ali Kelana ibni Yang Dipertuan Muda X Kesultanan Riau-Lingga Raja Muhammad Yusuf Al-Ahmadi. Dengan jabatan Kelana, beliau adalah calon Yang Dipertuan Muda berikutnya. 

Raja Ali Kelana tak sudi bertuankan Belanda setelah sultan dimakzulkan Belanda pada 1911. Beliau memilih berhijrah ke Johor. Di sana beliau diangkat oleh Sultan Johor menjadi Penasihat Politik dan Ketua Urusan Agama Islam Kerajaan Negeri Johor, suatu jabatan yang jauh lebih mulia daripada menjadi “penguasa boneka” Penjajah Belanda (kalau beliau mau) di tanah tumpah darahnya sendiri. Namun, beliau terus berjuang untuk membebaskan tanah airnya dari cengkeraman penjajah walaupun akhirnya gagal. 

Saudara seayah Sultan Abdul Rahman itu adalah pemilik perusahaan batubata Batam Brickworks di Batam, pengusaha banyak rumah sewa di Singapura, dan pemilik perkebunan yang sangat luas di Batam dan Bintan. Yang paling menarik dari misi bisnis para pemimpin Kesultanan Riau-Lingga kala itu adalah ini. Kesemuanya dilakukan agar sanak-saudara tak ada yang susah hidupnya dan terbentuk persatuan yang kokoh di kalangan bangsa Melayu (Junus, 2002). Bagi Raja Ali Kelana, begitu beliau menjatuhkan “talak” kepada Pemerintah Hindia-Belanda, semua harta-benda dunia miliknya di Kepulauan Riau ditinggalkannya.

Tokoh-tokoh lain Rusydiah Kelab adalah Khalid Hitam, Sayid Sekh Al-Hadi Wan Anom, dan Syekh Jalaluddin Tahir Al-Azhari Al-Falaki. Sayid Sekh Al-Hadi adalah anak angkat Raja Ali Kelana dan pengelola perusahaan batubata milik ayah angkatnya. Beliau pernah belajar di Mesir dan berguru dengan Muhammad Abduh di Kairo. Kemudian beliau menjadi tokoh pemikir besar di Malaysia. Sejak 1904 Rusydiah Kelab dipimpin oleh Tengku Besar Umar ibni Sultan Abdul Rahman Syah II, yang dipanggil pulang dari belajar di Hoofdenschool Bandung karena khawatir pengaruh negatif lingkungan Belanda. Beliau dididik langsung oleh pamannya Raja Ali Kelana dan Khalid Hitam untuk menjadi calon sultan. 

Rusydiah Kelab juga mendirikan badan penerbit. Selain menerbitkan karya kalangan sendiri dan para penulis dunia, mereka juga mengelola majalah Al-Imam. Penyandang dana utamanya siapa lagi kalau bukan Sang Karismatik Raja Ali Kelana. Penanggung jawab redaksinya adalah Syekh Jalaluddin Tahir Al-Azhari Al-Falaki.

Ada baiknya ditelusuri dua perkara yang pernah disorot Al-Imam tentang pemimpin. Pertama, perihal teori lama Melayu yang menyatakan bahwa raja adalah zhilullahi fil ardh atau bayang-bayang Allah di bumi. Berhubung dengan itu, Al-Imam mengulasnya sebagai berikut.

“Doktrin ini walau bagaimanapun memerlukan sumbangan dan kualiti tertentu yaitu pengetahuan, kebijaksanaan, kebenaran, kesengajaan, kelakuan yang baik, bersimpati kepada yang lemah, sayang akan rakyatnya, cekap dalam pentadbiran dan politik, memahami sejarah raja-raja masa silam. Ini ialah karena dunia ini dari satu segi adalah warisan kerajaan-kerajaan mereka, lalu usaha-usaha mereka menjadi kenangan kerajaan-kerajaan yang selanjutnya,”  (Al-Imam, Vol. 2, No. 8, 4 Februari 1908, hlm. 24).

Jelaslah bahwa Al-Imam tak menolak bahwa raja atau pemimpin merupakan bayang-bayang Allah di muka bumi. Akan tetapi, penguasa yang ideal itu harus memenuhi persyaratan tertentu. Di antara syarat itu seperti yang diperikan di atas. Hanya kalau mampu memenuhi syarat itulah seseorang baru boleh dijadikan pemimpin dan dapat pula menyandang bayang-bayang Tuhan di bumi.  

Sebagai lawan dari sifat terpuji itu, Al-Imam juga menyoroti sifat yang tak boleh ada pada seseorang raja, pemimpin, atau penguasa. “Jika raja jahil dan berkelakuan jahat, tiada cita-cita, tamak dan mengingini hak orang lain, berpikiran sempit, bodoh, mempunyai motif jahat, tidak jujur, maka tidak ragu-ragu sikap sedemikian itu akan menyebabkan keruntuhan negaranya ke dalam jurang yang merugikan akibat penyimpangan daripada jalan yang benar,” (Al-Imam, Vol. 2, No. 12, 12 Juli 1907, hlm. 26—27).

Orang yang bermotif jahat hanya berupaya menumpuk kekayaan, menekan pihak lain, dan sebagainya, dan tak jujur. Manusia seperti itu tak patut dan tak layak dijadikan pemimpin. Penyebabnya tiada lain adalah kalau dia menjadi pemimpin, dia akan membawa negara dan bangsanya ke jalan yang tak benar sehingga negara atau negeri akan runtuh. 

Para pengasuh Majalah Al-Imam jelas berkiblat kepada pemikiran senior mereka Raja Ali Haji rahimahullah (RAH) dalam Muqaddima fi Intizam dan Tsamarat al-Muhimmah. Di dalam kedua karyanya itu RAH mengulas panjang-lebar tentang kualitas pemimpin yang akan mendapat pertolongan Allah.

Kepala pemerintahan, menurut Tsamarat al-Muhimmah, mengandung tiga makna sesuai dengan fungsi dan tugas yang diamanahkan kepadanya. Pertama, terkandung makna ‘khalifah’ dengan kewajiban menaati ajaran agama. Kedua, tersimpul makna ‘sultan’ dengan kewajiban menegakkan hukum yang adil berdasarkan pedoman Tuhan dan rasul-Nya. Ketiga, dia juga ‘imam’ yang seyogianya berada paling depan dalam semua situasi dan menjadi ikutan semua orang di bawah pemerintahannya. Dalam hal ini, jika tak tergolong kufur dan maksiat, perintahnya tergolong hukum yang harus ditaati.

Pemimpin seyogianya memang memiliki derajat atau marwah yang tinggi asal memenuhi syaratnya. Syaratnya apa? Dia berjuang membela kebenaran dan memerangi kejahatan (kebatilan) apa pun bentuknya. Dengan tegas RAH mengecam perilaku kepemimpinan yang menyimpang dari kebenaran, tergolong haram, yang tegas pembalasan dan azabnya di akhirat kelak.

Pemimpin seyogianya berilmu, barakal budi, bermarwah, adil, berijtihad baik, tekun beramal, dan pancaindera yang baik. Dia seyogianya berbuat kebajikan terbilang: benar, indah, dan patut menurut agama, bangsa, dan negara. Begitu pula menurut penilaian orang-orang yang mempunyai mata-hati dan waras. Jika kedapatan fasik, banyak aduan orang, zalim, khianat, belot, tak bermarwah, serta menyusahkan dan meresahkan, pemimpin itu patutlah diragukan baktinya, akan diazab oleh Tuhan.

Dalam kaitannya dengan pembangunan negara, menurut RAH, ada lima hal utama yang perlu diperhatikan. Pertama, pembangunan tak boleh bertentangan dengan hukum. Kedua, tak boleh mendatangkan mudarat bagi rakyat, baik raga maupun jiwanya. Ketiga, pembangunan tak boleh memusnahkan harta-benda rakyat. Keempat, pembangunan tak boleh mempermalukan rakyat. Kelima, pembangunan seyogianya tak mencacatkan nama para pemimpin itu sendiri.

RAH juga memberikan pedoman tentang pembinaan moral bagi penyelenggara negara. Pemimpin wajib memelihara ruh (nyawa), badan (jasad), dan nama. Ruh harus dijaga agar tak terdedah penyakit batin. Obat penyakit batin lebih rumit daripada penyakit tubuh. Penyakit, terutama penyakit batin, akan mencela dan mencelakakan pemimpin.

Terutama, Al-Imam menegaskan mustahaknya pemimpin memahami sejarah raja-raja masa silam. Pasalnya, negeri ini warisan mereka. Karena perjuangan merekalah kerajaan-kerajaan selanjutnya berdiri, apa pun bentuk dan nama “kerajaan” itu kemudian, mungkin republik. Jika kearifan dan ketakziman itu diabaikan, cepat atau lambat, “penguasa lalai” itu akan kena tulah (kuwalat). Dan, padahnya telah banyak terbukti sangat buruk, pedih, menyedihkan, lagi memalukan.*** 

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top