Silsilah dan Politik Dalam Sejarah Johor-Riau-Lingga-Pahang 1722-1784

Silsilah dan Politik (tepatnya konflik politik) banyak mewarnai perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan Melayu di belahan Selatan Selat Melaka pada abad-abad yang lalu.

Penjelasan historis tentang tentang hal ini,  antara lain telah dikemukakan oleh  sejarawan Timothy P. Barnard dalam buku berjudul Multiple centres of authority Society and environment in Siak and eastern Sumatra, 1674-1827 (2003) yang membahas ikhwal sosial-politik Kerajaan Siak pada abad ke-18. Menurut Timothy,  pertalian keluarga atau silsilah dan konflik politik telah menjadi satu faktor yang penting dalam sejarah perkembangan kerajaan-kerajaan di Selat Melaka.

“Kerangka hubungan interaksi sosial” dalam sebuah ikatan “pohon keluarga”, ranji, atau slsilah yang juga dibuhul oleh sebuah ikatan politik ini, pada akhirnya juga dapat menimbulkan konflik sempena hubungannya dengan kuasa dan kekusaan dalam ikatan silsilah itu.

Sering kali perselisihan politik hingga ‘perpisahan politik’ harus terjadi sebagai implikasi tuntutan kesetiaan tersebab ikatan perkawinan, atau mungkin juga karena adanya persaingan untuk memegang kendali politik dan kekuasaan: seperti dalam kasus konflik politik antara Temenggung de-facto Engku Muda Raja Muhammad dan Daeng Kemboja  di Kerajaan Johor-Riau-Lingga-dan Pahang yang terjadi  pada akhir abad 18 hingga awal abad 19.

 Silsilah dan Politik

            Pada awal berdirinya, kerajaan Johor yang baru di Riau (yang wilayahnya meliputi Johor-Kepulauan Riau-Lingga dan Pahang) tidak terlepas dari pola ikatan silsilah dan politik tersebut. Setelah ‘aliansi politik’ orang Melayu dan Upu-Upu Bugis Lima Saudara berhasil mengalahkan dan menyingkirkan Raja Kecik dari Negeri Riau di Sungai Carang pada 1722, maka selanjutnya,  ‘aliansi politik’ itu dibuhul dengan ‘ikatan politik’ Persetian Melayu dan Bugis atau Persetiaan Marhum Sungai Baharu, yang kemudian dikukuhkan pula dengan ikatan pernikahan antara Upu-Upu Bugis dan perempuan-perempuan bangsawan Melayu,  saudara-saudara Sultan Johor yang baru, Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah (1722-1760).

Silsilah Upu Bugis Lima Saudara (Upu Daeng  Daeng Marewah, Menambun, Perani, Kemasi, dan Upu Daeng Celak) yang dilampirkan dalam facsimile manuskrip Tuhfat al-Nafis dari Terengganu. (foto: dok. aswandi syahri)

            Namun demikian, dalam perjalanan waktu, hubungan keluarga yang disimpul dalam ikatan perkanihan dan ‘ikatan politik’ tersebut, bukanlah satu jaminan bahwa ‘aliansi politik’ yang dibangun akan berjalan tanpa gejolak dan tanpa konflik ketika persaingan politik dan kekuasaan juga turut mewarnainya.

Untuk pertama kalinya, ikatan keluarga dan “ikatan politik” itu mulai goyah antara tahun 1739-1740, ketika Raja Kecik @ Tun Dalam @ Sultan Terengganu yang menjadi suami Raja Bulang ibni Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah  menyebarkan fitnah terhadap orang-orang Bugis di Negeri Riau.

Peristiwa tersebut dipicu oleh ketidakpuasan Tun Dalam yang melihat kekuasaan  mertuanya (Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah) dan orang-orang Melayu, berada di bawah kendali Upu-Upu  Bugis yang begitu dominan, khususnya Daeng Celak. Ketidakpuasan Tun Dalam ini telah menyulut pemusuhan dan pertelagahan diantara orang Melayu dengan puak Bugis di Negeri Riau.

Selanjutnya, “Peristiwa Tun Dalam” itu dikuti dengan ketegangan-ketegangan politik lainnya sepanjang “masa-masa gemilang” dalam rentang watu sejarah yang panjang. Akibatnya, “Persetiaan Melayu dan Bugis” atau “Persetiaan Marhum Sungai Baharu” harus dilafazkan kembali setiap terjadi suksesi politik, dan diulang berkali-kali demi meredam dan mendinginkan sejumlah konflik pilitik.

Tidak jarang isi lafaz persetian itu dikunci dengan “ancaman” yang keras kepada keduabelah pihak yang bertelagah, seperti ketika terjadi pengulangan “sumpah setia” menyusul berakhirnya konflik politik  antara Temenggung ‘de facto’ Engku Muda Raja Muhammad dari pihak Melayu dan Raja Ali Marhum Pulau Bayan dari pihak Bugis di hadapan Sultan Mahmud Riayatsyah yang ketika itu berada di atas  perahu Engku Busu di Kuala Bulang pada tahun 1803. Sumpah setia “segitiga itu” dibuhul  dengan lafaz pengunci sebagai berikut:

 “…sekali2 tiada patik berniat khianat pada kebawah Duli Tuanku serta dengan saudara patik sekalian. Jikalau ada patik berniat khianat pada kebawah Duli Tuanku serta saudara patik sekalian, dikutuki Allah dan rasulnya. Patik tiada selamat dunia akhirat hingga sampai kepada anak cucu patik sekalian….[Maka titah duli Yang Dipertuan Besar pun demikian juga]…. Sekali2 kita tiada berniat khianat akan Raja Muda. Maka jikalau khianat Bugis2 kepada Melayu maka dibinasakan Allah dan Rasulnya akan Bugis itu serta di luar kandang Rasul Allah. Bukan ia umat Muhammad. Dan jikalau  Melayu  pun berniat khianat akan Bugis maka dibinasakan Allah dan Rasulnya akan Melayu itu. Serta di luar kandang Rasul Allah. Bukan ia umat Muhammad itu lah adanya….”

Engku Muda dan Daeng Kemboja

Gemuruh dalam hubungan keluarga dan politik di istana Johor di Riau  juga pernah terjadi diantara Temenggung  ‘de-facto’ Engku Muda Raja Muhammad  dan Daeng Kemboja setelah Temenggung Abdul Jamal  mangkat di Pulau Bulang sekitar tahun 1765.

 Engku Muda mengalami apa yang pernah diterima oleh ayahnya (Tememgung Abdul Jamal) sebagai pembesar dari puak Melayu: ia “terbuang” dari keluarga pihak ayahnya yang Melayu dan pihak bundanya yang Bugis. Menurut R.O. Winstedt dalam tulisannya yang berjudul “Bendahara and Temenggong” (1932), hal ini terjadi karena dua tahun setelah Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah  mangkat pada 1760, kerajaan Johor di Riau telah berada dibawah kendali Yang Dipertuan Muda Daeng Kemboja yang sangat berkuasa.

Keadaan ini dimungkinkan,  karena Sultan Mahmud Ri’ayatsyah (1761-1812), yang dipilih sebagai Sultan Johor-Riau-dan Pahang menggantikann yahandanya oleh Yang Dipertuan Muda Daeng Kemboja, masih anak-anak. Dengan demikian, maka, semua kuasa Yang Dipertuan Besar dan sudah barang tentu kekuasaan seorang Yang Dipertuan Muda Riau berada di tangan Daeng Kemboja sepenuhnya.

Dengan dua kuasa besar yang berada dalam genggamnya, Daeng Kemboja    dapat menghitam dan memutihkan keputusan politik yang penting. Termasuk “menyingkirkan”  Temenggung Abdul Jamal dan Engku Muda Raja Muhammad yang ketika itu sama-sama berkedudukan di Negeri Riau.

 Tindakan ini dilakukannya karena keluarga Temenggung Abdul Jamal adalah  ancaman secara politik dan rival yang harus diperhitungkan.  Karena,  menunurut silsilahnya, keluarga Temenggung Abduljamal mempunyai garis silsilahyang kuat dari sebelah pihak Melayu maupun Bugis di Negeri Riau.

Menur  Carl A. Trocki dalam The Temenggongs and the development of Johor and Singapore 1784-1885 (2007), tidak ada tempat bagi pembesar Melayu seperti Temenggung Abduljamal dalam sebuah kerajaan yang sepenuhnya telah dikendalikan oleh seorang Yang Dipertuan Muda Bugis ketika itu. Apalah, setelah tahun 1672, ketika Yang Dipertuan Muda Riau tampaknya juga telah mengambil alih posisi yang  seharusnya dipegang oleh seorang Bendahara.

Barangkali, perubahan situasi politik seperti ini yang telah menyebabkan penghapusan tugas dan fungsi Temenggung sebagai penguasa dan pejabat yang memiliki otoritas terhadap orang-orang asing dan pedagang yang ada di Pelabuhan Riau pada suat ketika dulu. Demikian juga dengan tugasnya sebagai kepala “kepolisian”, yang turut diambil alih orang-orang Bugis dan sekutunya setelah tahun 1762. Keputusan-keputusan yang dibuat oleh Yang Dipertuan Muda Daeng Keboja ini merugikan keluarga Temenggung karena semua terjadi ketika Negeri Riau kembali menjadi pusat perdagangan internasional.

Selain memaparkan puncak kemakmuran  ibu kota Johor di Negeri Riau sekitar tahun 1780-an, Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-Nafis juga mencatat bahwa sangat sedikit orang Melayu yang terlibat didalamnya. Dan bagi keluarga Temenggung serta pengikutnya, kedaan ini adalah sebuah situasi yang tidak menguntungkan. Oleh karena itulah, menurut Trocki, perselisihan antara puak Bugis dan puak Melayu di Negri Riau pada fase ini bukanlah sekedar sebuah konflik dua keluarga diraja (dynastyc feud), karena  ia juga adalah konflik yang sarat dengan muatan sosial, polirik, dan ekonomi.

Kecendrungan seperti ini terlihat sejak bertukar gantinya peranan orang laut oleh ribuan pedagang dan hulubalang  Bugis yang bekumpul ke Negeri Riau, dan menjadikan daerah tersebut sebagai pangkalannya. Tuhfat al-Nafis menyebutkan bahwa sejak tahun 1780 jumlah penduduk dari kalangan Melayu dan Bugis di Riau telah sama banyaknya.

Situasi sosial dan politik  ini, pada akhirnya membawa implikasi dan mempunyai kaitan langsung terhadap sejumlah peristiwa politik yang muncul kemudian. Kedudukan dan status keluarga Engku Muda Raja Muhammad sebagai salah satu pewaris pembesar Melayu mungkin telah jatuh. Yang tersisa barangkali adalah satus keturunan dari trah Bugis dari bundanya yang benama Raja Fatimah binti Daeng Perani.

Seperti dicatat oleh R.O. Winstedt, dua orang saudara Engku Muda Raja Muhamad umumnya memakai gelaran Bugis, “Daeng”,  di depan namanya.  Melalui hubungan silsilah ini, paling tidak ia mampu mempertahankan sebuah status.  Melalui jalur silsilah ini pula akhirnya keluarga Engku Muda Raja Muhammad berhasil menemukan sedikit jalan untuk mengembalikan kebesaran zuriat Temenggung Abdul Jamal secara politik.

Pada tahun 1784, tidak lama setelah kekalahan Raja Haji di Teluk Ketapang, Melaka, Engku Muda dan para pengikutnya mulai mendapatkan jalan yang lapang untuk menutut kembali kekuasaan dan jabatannya sebagai pembesar dari pihak Melayu di Negri Riau.***

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top