DALAM kartografi modern Tanjungpinang, Terusan Riau ditandai sebagai Sungai Terusan. “Titik awal” terusan yang disebut juga kreek (sungai kecil) dalam kartografi Belanda abad ke-19 ini berdepan-depan dengan Kampung Bulang dan Kampung Tanjung Unggat. Sedangkan “titik akhirnya” terletak berhampiran muara Sungai Gresik (Sungai Gesek?), Sungai Mandjang, dan Sungai Tjedong di kawasan Belakang Riau.
Selain menjadi salah satu laluan transportasi air yang penting di Tanjungpinang pada abad ke-18 hingga tahun 1820, Terusan Riau yang menjadi celah yang memisahkan daratan Pulau Bintan (tempat di mana Negeri Riau di Sungai Carang terletak) dan Pulau Senggarang. Ianya menjadi laluan pintas yang menghubungan Negeri Riau di kawasan Sungai Carang dan sekitarnya dengan kawasan Belakang Riau yang terletak di sekitar Kampung Madong sekarang.
Dalam rentang waktu yang panjang itu, Terusan ini telah memainkan sejumlah peranan yang penting dalam sejarah. Tak kalah pentingnya dengan peranan yang dimainkan oleh tapak-tapak sejarah yang bertebaran di sekitar Kuala Riau, Sungai Carang, dan kawasan sekitarnya.
***
Terusan Riau pernah memainkan peranan yang sangat penting dan menjadi salah satu kunci keberhasilan Raja Haji dalam perang laut terbesar melawan VOC-Belanda di kawasan Selat Melaka pada abad ke-18 (18 Juni 1783 – 6 Januari 1784), yang ditandai dengan hancurnya kapal komando VOC Malaka’s Welvaren pada 6 Januari 1784.
Dengan kata lain, kemenangan Raja Haji Fisabilillah dalam perang laut pada 6 Januari 1784 itu tidak hanya karena sarang meriam yang berasal dari benteng di Pulau Penyengat, Tanjungpinang, Teluk Keriting, Senggarang yang mengawal dua jalan masuk ke pusat pemerintahan Raja Haji di Hulu Riau, tapi juga oleh peranan yang dimainkan oleh Terusan Riau. Mengapa?
Selama lebih kurang delapan bulan sejak 26 Juni 1783 hingga 6 Januari 1784, kapal-kapal perang VOC-Belanda telah membuat blokade laut. Mereka “mengunci rapat” dua jalan masuk ke Negeri Riau: dua selat yang terletak antara Pulau Penyengat-Tanjungpinang dan antara Pulau Los-Senggarang dan Pulau Penyengat.
Dengan memblokade dua selat itu selama sekitar delapan bulan, armada laut VOC-Belanda yang dipimpin Toger Abo dan Arnoldus Lemker menyangka telah memutus hubungan Raja Haji dengan negeri lain dan mencegat masuknya logistik seperti beras, persenjataan, serta obat bedil yang dibutuhkan oleh Raja Haji dan semua pertikamannya.
Lemker dan Toger Abo tak tahu, bahwa masih ada Terusan Riau, jalan pintas yang memungkinkan untuk memasukkan semua logistik dan persenjataan melalui perairan di kawasan Belakang Riau (di belakang Pulau Senggarang) tanpa dapat diawasi oleh kapal-kapal VOC-Belanda yang berjaga-jaga di sekitar Pulau Lobam.
***
Terusan Riau juga masih terus menjadi laluan yang ‘merugikan’ VOC-Belanda pada masa-masa setelah perang antara Yang Dipertuan Muda Riau IV, Raja Haji Fisabilillah dan VOC-Belanda berakhir.
Ianya menjadi salah satu elemen pertahanan yang penting dalam strategi perang Yang Dipertuan Muda Riau V (Raja Ali Marhum Pulau Bayan) sempena melanjutkan perlawanan Raja Haji Fisabilah; ketika armada laut VOC-Belanda yang dipimpin oleh Jacob Pieter van Braam untuk kedua kalinya menyerang pertahanan Negeri Riau di Tanjungpinang, Pulau Penyengat dan sekitarnya setelah kemangkatan Raja Haji di medan perang Teluk Ketapang, Melaka, pada 1785.
Oleh karena itu, ketika akhirnya perlawanan Yang Dipertuan Muda Riau Raja Ali dapat diakhiri dan ia menyingkir ke Sukadana (Kalimantan) pada 1785, Terusan Riau yang penting dan strategis itu ditutup atas perintah VOC-Belanda.
Ketika kendali perlawanan beralih ke tangan Sultan Mahmud Ri’ayatsyah, terusan yang ditutup oleh VOC-Belanda ini dibuka paksa. Melalui terusan inilah orang-orang Ilanun bersenjata dari Tempasok (yang diundang oleh Sultan Mahmud Ri’ayatsyah) masuk ke Negeri Riau pada bulan mei 1787 sempena mengusir satu garnisun VOC-Belanda: ketika posisi orang-orang Ilanun itu tepat di belakang Pulau Senggarang, Sultan Mahmud Ri’ayatsyah memerintahkan mereka bergeser ke Kuala Sungai Tjedong, dan masuk ke Negeri Riau melalui Terusan Riau dengan aman untuk melakukan serangan mendadak dari belakang bekas benteng Raja Haji di Bukit Tanjungpinang yang telah dikuasai VOC-Belanda.
Jauh selepas Perang Riau pada zaman Raja Haji, Raja Ali, dan Sultan Mahmud Ri’ayatsyah, terusan bersejarah ini juga pernah dipergunakan sebegai laluan oleh Arung Bilawa dan pengikutnya ketika menyingkir ke Singapura setelah pemeberontakan mereka di Tanjungpinang berhasil ditumpas VOC-Belanda pada 1820.
Setelah pemberontakan Arung Bilawa di Tanjungpinang pada 1820, barulah otoritas VOC-Belanda sadar betapa berbahayanya Terusan Riau ini. Oleh karena itu, pada tahun 1820 itu juga terusan ini sekali lagi ditutup oleh VOC-Belanda (meskipun ketika itu letaknya berada di dalam wilayah kerajaan Johor-Riau-Lingga-dan Pahang).
Terusan ini benar-benar ditutup secara permanen dan dibuhul dengan kekuatan hukum ketika perjanjian tambahan tentang batas tanah wilayah Belanda dan Kerajaan Lingga-Riau di Tanjungpinang ditandatangani oleh Residen W.C. Hoogkamer dan Sultan Abdulrahaman Mu’azamsyah pada 14 Feberuari 1899,
Tentang Terusan bersejarah ini, dalam pasal ketiga perjanjian itu dinyatakan sebagai berikut: “…oleh karena gubernemen Nederland telah menjuruh menutup Terusan Riau jang ditanah sultan Abdulrahman dan Raja Muda Djakfar, akan didjadikan kebadjikan negeri. Seorangpun, baik radja2, baik orang banjak, tiada boleh membuka sungai itu atau mengubah tebingnya…”.***