MELAKA akhirnya roboh. Walaupun diupayakan sekuatdapatnya untuk dipertahankan oleh pemimpin, tentara, dan rakyat, ternyata Melaka ditaklukkan juga oleh Feringgi (Portugis) pada 15 Agustus 1511. Suatu pukulan yang sangat berat bagi sebuah Imperium Melayu yang pernah begitu berjaya. Tentulah tak takluk begitu saja, tetapi melalui perlawanan dalam perang yang gegap-gempita. Walaupun kesultanan besar lagi kuat Melayu yang pernah ada itu belum benar-benar runtuh, pusat pemerintahannya tak dapat dipertahankan lagi di Kota Melaka. Bintanlah sebagai bandar awal yang kemudian dijadikan pusat pemerintahan kembali walaupun sementara sambil menyusun semula kekuatan tentara. Kehebatan pasukan Portugiskah yang merobohkan Kesultanan Melayu Melaka?
Jawab atas pertanyaan itu mungkin ya! Akan tetapi, serbuan musuh itu bukanlah penyebab tunggalnya. Pengkhianatan internal ternyata menjadi faktor yang signifikan sebagai penjemput bala kekalahan yang menggemparkan itu. Di samping itu, masih ada penyebab penting lainnya. Raja Ahmad Engku Haji Tua dan Raja Ali Haji rahimahullah mencatatnya dalam karya mereka Tuhfat al-Nafis.
“Maka pada ketika Feringgi melanggar (Melaka) itu, maka Sultan Mahmud Syah pun melawan bersungguh. Kemudian Feringgi pun menaikkan barisnya ke darat maka berperanglah. Tiada berapa lama berperang itu maka Sultan Mahmud Syah pun alahlah, lalu membawa dirinya ke Batu Hampar. Adapun Sultan Ahmad Syah berkota di Bentayan. Maka langgar Feringgi pun datanglah. Maka larilah pula ia hulu Muar lalu ke Penarikan, berjalan ke hulu Pahang masuklah ke Pahang. Masa itu Sultan Pahang bernama Sultan Mansur Syah kerabat baginda itu juga. Maka tiada berapa lama di Pahang pindahlah pula ia ke Johor, lalu membuat negeri di Johor. Syahadan puteranya Sultan Ahmad itu murah perangainya, akan tetapi tiada suka akan orang tua-tua serta dihina-hinakannya segala orang besar-besar, serta dilakukannya pekerjaan yang bukan-bukan patut atas orang tua-tua dan orang besar-besar itu. Maka Sultan Mahmud pun murka lalu diracunnya puteranya itu, maka mangkatlah Sultan Ahmad Syah itu. Maka jadilah enam keturunan Raja-raja Melayu kerajaan di dalam negeri Melaka,” (Ahmad & Haji dalam Matheson (Ed.) 1982, 8-9).
Ketika Portugis menyerang kerajaannya, sebetulnya Sultan Mahmud Syah I telah menyerahkan kekuasaannya kepada putranya, Sultan Ahmad Syah. Akan tetapi, di antara penguasa yang berdua beranak itu terjadi ketakcocokan. Perseteruan di antara mereka merupakan salah satu penyebab melemahnya kekuatan Kesultanan Melaka. Di samping itu, sikap dan perilaku negatif Sultan Ahmad Syah terhadap orang tua-tua dan para pembesar kerajaan menyebabkan bukan hanya para bawahannya, melainkan sebagian besar rakyat tak bersimpati kepada Baginda.
Itulah yang menjadi punca utama kelemahan Kesultanan Melaka kala itu. Raja yang masih muda itu suka menghina orang, terutama orang tua-tua dan pembesar kerajaan. Oleh sebab itu, orang-orang yang menjadi korbannya—walaupun tak berani melawan secara berhadapan—melakukan perlawanan dari belakang. Akibatnya sangat fatal sehingga kerajaan besar itu terkesan sangat mudah dikalahkan oleh Portugis. Pasalnya, pemimpinnya tak mendapatkan simpati dan sokongan rakyat. Karena menyadari kelemahan itulah, Sultan Mahmud Syah I dengan terpaksa harus membunuh putranya sendiri dengan cara diracun. Sultan Ahmad Syah menerima padah akibat dari sikap dan perilaku tak terpujinya sebagai pemimpin.
Bahkan, Sultan Mahmud sendiri pun memiliki kelemahan yang juga tergolong mengerikan. Baginda tak tahan melihat perempuan berdahi licin. Kesemuanya dimaui dan harus didapatkannya dengan segala cara, sama ada halus ataupun kasar, yang penting dapat si dahi licin. Di samping itu, seperti dicatat oleh para penulis asing, kala itu rasuah (korupsi) telah menjadi hal yang sangat biasa dalam pemerintahan Kesultanan Melaka. Tiada hari tanpa korupsi, tiada kerja tanpa rasuah, dan tiada pelayanan pemerintahan tanpa uang pelicin. Lengkap sudahlah tipuan dan karenah dunia yang tak sanggup dielakkan oleh para pemimpin Melaka semasa. Maka, ketika Portugis datang menyerbunya, Melaka nyaris sama sekali tak berdaya melakukan perlawanan yang berarti. Padahal, dilihat dari kekuatan angkatan dan armada perangnya, baik di darat maupun di laut, agak tak sabit di akal pertahanan Melaka dapat ditembusi oleh pasukan Portugis kala itu. Setidak-tidaknya tak mungkin dalam waktu yang relatif tak terlalu lama.
Dari Tuhfat al-Nafis, ditemukan agak panjang juga senarai karakter buruk pemimpin yang menyebabkan robohnya Kota Melaka pada 1511. Semoga karakter itu tak berjangkit kepada para pemimpin masa kini. Pasalnya, kita sangat berharap dapat mendirikan papan di Jawa secara kokoh dan anggun seperti yang dikiaskan oleh sampiran pantun Melayu yang terkenal itu.
Satu di antara karakter buruk yang merobohkan itu adalah pemimpinnya, dalam hal ini Sultan Ahmad Syah, memiliki kepribadian suka menghina orang. Apakah hak Baginda memandang rendah dan atau menghina manusia? Hanya Tuhanlah yang memiliki hak prerogatif mutlak untuk menghinakan makhluk manusia-Nya yang sengaja berbuat dosa. Itu pun ditangguhkan atau bahkan diampuni-Nya, kecuali manusia yang berdosa tak mau bertaubat. Sebaliknya, Allah cenderung memuliakan manusia sebagai makhluk-Nya yang paling sempurna.
“Dan, sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan,” (Q.S. Al-Israa’, 70).
Allah telah menegaskan bahwa Dia menciptakan manusia untuk memuliakan, bukan menghinakannya. Bahkan, dalam Alquran, Surat Al-Hujurat ayat 11, Allah melarang manusia merendahkan dan atau menghina orang lain. Oleh sebab itu, manusia yang memandang rendah orang lain digolongkan-Nya sebagai makhluk yang zalim. Manusia yang berperilaku tak terpuji seperti yang disebutkan terakhir itulah yang berpotensi untuk dihinakan jika dia tak bertaubat.
Atas dasar itu, pemimpin yang berkualitas dan terbilang seyogianya berkarakter memuliakan manusia, bukan merendahkan atau menghina, seperti dianjurkan oleh Allah. Sesiapa pun pemimpin yang melawan ketetapan itu tergolong zalim sehingga tak perlu menunggu terlalu lama untuk menerima padah atau balasan buruknya. Sultan Ahmad Syah telah merasakannya, bahkan menyebabkan runtuhnya kesultanan besar yang pernah berdiri tesergam lagi megah.
Berdasarkan pedoman Allah jualah, Gurindam Dua Belas, Pasal yang Kelima, bait 3, mengingatkan pemimpin akan makna kemuliaan yang sesunguhnya. Kemuliaan sejati bukan bertopang pada kemegahan istana, kemewahan tahta, dan kegemerlapan harta.
Jika hendak mengenal orang mulia
Lihatlah kepada kelakuan dia
Itulah dia dan itulah yang utama. Manusia, lebih-lebih pemimpin, tergolong mulia karena perilaku, perangai, atau kelakuannya. Jika berperilaku mulia dan kelakuan itu diterapkan kepada orang lain, maka mulialah dia, sesiapa pun pemimpinnya. Karena sikap dan perilaku kepemimpinannya diterangi oleh cahaya Ilahi, bakti kepemimpinannya dapat dipastikan menuai kejayaan yang ditandai berbahagianya rakyat dan makmurnya negeri.
Kisah pemimpin yang berjaya karena memuliakan manusia tersurat juga dalam Syair Abdul Muluk (Haji, 1846), bait 1.782 dan 1.785. Dalam bait-bait syair naratif itu diceritakan tentang Sultan Abdul Muluk dan istrinya Siti Rafiah memuliakan tukang gandum dan Tuan Syekh. Inilah bait-bait syair yang menampilkan keanggunan kepemimpinan itu.
Pekerjaan selesai hari pun malam
Tukang gandum dipanggil ke dalam
Menghadap Rafiah serta Syah Alam
Serta dikurniai intan dan nilam
……………………………………………
Lalu bertitah pula baginda
Syekh memeliharakan paduka anakanda
Baiklah jemput ayuhai adinda
Mengambil berkat mana yang ada
Bait-bait syair di atas berkisah tentang kebahagiaan Sultan Abdul Muluk dan keluarga besarnya dari Kerajaan Barbari. Dengan perjuangan yang hebat, terutama di bawah kepemimpinan Siti Rafiah, istri Abdul Muluk, negerinya dapat bebas dari belenggu penjajahan Kerajaan Hindustan. Rahmat itu disambut oleh Sultan Abdul Muluk dengan memuliakan rakyat sekaliannya.
Bait 1.782 berkisah tentang Sultan Abdul Muluk sekeluarga memuliakan seorang tukang gandum. Rakyatnya itu berjasa karena menyelamatkan anakanda mereka, Abdul Gani, sehingga pewaris kerajaan itu dapat berkumpul kembali dengan ayahanda dan ibundanya setelah sekian lama terpisah oleh perbuatan penceroboh yang merebut kuasa. Bahkan, Abdul Gani selama ini belum pernah bertemu dengan ayahandanya. Dalam pada itu, Tuan Syekh (bait 1.785) yang menjadi orang tua angkat Siti Rafiah dan anaknya selama dalam pelarian dari istana tak hanya beroleh hadiah, tetapi petuah arifnya sangat didambakan oleh Sultan Abdul Muluk untuk menyertai bakti kepemimpinannya selanjutnya dalam menerajui negeri. Memang, hanya mutu yang mengenal manikam. Orang mulialah yang mampu menilai kemuliaan yang sesungguhnya.
Cinta-kasih bawahan dan seluruh rakyat kepada Abdul Muluk sekeluarga bukan semata-mata karena dia pemimpin negeri. Bukankah pemimpin dapat bertukar ganti seiring waktu yang terus berlari? Rakyat tertawan lebih-lebih karena sikap dan perilaku eloknya sebagai pemimpin bangsa Barbari. Karakter mulia pemimpinnya membuat rakyat merelakan diri mereka untuk jatuh hati kepada Sultan Barbari. Buktinya, Abdul Muluk tak pernah membuat rakyatnya tersinggung, apatah lagi sakit hati.
Karakter kepemimpinan Sultan Abdul Muluk itu tersirat dalam syair nasihat yang termaktub dalam Tsamarat al-Muhimmah (Haji dalam Malik (Ed.), bait 70.
Jika memerintah lemah dan lembut
Kepada tempat barang yang patut
Orang pun banyak suka mengikut
Apa kehendak tidak tersangkut
Tak ada kritik yang berarti dari rakyatnya terhadap Sultan Abdul Muluk. Kepada rakyat yang datang menemuinya atau ditemuinya, dia selalu bertutur dengan lemah-lembut. Tak pernah dibiarkan rakyatnya menanggung derita sendiri karena tak mampu mengatasi kesulitan hidup yang dihadapi. Dia sadar sesadar-sadarnya bahwa hanya dengan memuliakan rakyatlah rahmat kepemimpinan akan mengiringinya sehingga boleh membawa negeri kepada kejayaan yang didambakan semua orang.
Rasulullah SAW bersabda, “Tak termasuk golongan umatku orang yang tak menghormati mereka yang lebih tua dan tak mengasihi mereka yang lebih muda darinya serta tak mengetahui hak-hak orang berilmu,” (H.R. Ahmad).
Ajaran Rasulullah SAW di atas lebih menguatkan lagi hujah tentang keyakinan kepemimpinan. Setiap pemimpin wajib mengasihi rakyatnya, tak tua ataupun muda. Kesemuanya harus diperlakukan sama untuk dimuliakan sesuai dengan alur dan patutnya. Tak boleh ada dikotomi situ orang sana dan hanya sini yang orang kami. Pemimpin yang membelah-bagi kasih kepemimpinannya kepada rakyat pasti akan menanggung risiko kedangkalan kadar kearifannya.
Kembali ke Melaka yang di atas telah dirujuk. Kesultanan besar Melayu itu memang pernah gempar ketika Hang Jebat mengaruk. Sama halnya dengan Kesultanan Johor-Riau, ketika berpusat di Johor Lama, menjadi goncang akibat Laksemana Megat Seri Rama atau Laksemana Bintan mengamuk. Bagaimanapun peristiwa-peristiwa itu tak membuat kedua Kesultanan Melayu tersebut sampai redam dan remuk. Anehnya, serangan Feringgi (Portugis) benar-benar membuat Melaka yang pernah sangat jaya langsung tertakluk.
Penyebabnya tak karena aruk tunggal Jebat yang perkasa atau amuk seorang diri Megat Seri Rama yang gempita, tetapi lebih disebabkan oleh dahsyatnya dampak rakyat yang menderita sehingga mereka merajuk. Pasalnya, pemimpin Melaka semasa benar-benar dimabuk oleh serangan virus kemaruk. Oleh sebab itu, janganlah merendahkan martabat dan atau daulat rakyat kalau pemimpin tak hendak terdampak pedihnya perlawanan sunyi rakyat melalui gerakan rajuk.
Memuliakan manusia merupakan karakter pemimpin yang mendapat jaminan dari Sang Maha Pencipta. Sesiapa pun yang ikhlas menerapkannya dalam kepemimpinan dapat dipastikan akan meraih kejayaan seperti yang dicita-cita. Sultan Mahmud Riayat Syah dan Raja Haji Fisabilillah, sebagai contoh, harum namanya karena kedua Baginda itu tak pernah merendahkan martabat sesama manusia, tak kira miskin ataupun kaya. Apa kehendak tidak tersangkut—dalam arti tujuan kepemimpinan tercapai—merupakan hadiah dan buah manis kepemimpinan yang tak membeza-bezakan manusia. Pemimpin terbilang berkarakter mulia tak pernah berani mengabaikan petunjuk dan menolak kasih Allah Taala.***