Kesukaan Orang Anakanda Cari

HARI itu Sultan Abdul Muluk betul-betul mendapat kejutan yang sungguh mengharukan, tetapi juga membahagiakan. Betapa tidak? Dia dan permaisurinya, Siti Rahmah, juga menteri Suka, dibebaskan dari penjara. Telah sekian lama hidup sebagai tahanan, bahkan dengan deraan siksaan fisik pula, tiba-tiba dia dapat menghirup udara di alam bebas kembali. Nikmat itu merupakan karunia Allah yang sungguh tak terperikan baginya, istrinya, dan menterinya.

            Sultan Barbari itu dipenjara karena kalah berperang dengan Kerajaan Hindustan. Begitu pula para menteri dan semua hulubalangnya yang masih hidup ditangkap dan dipenjara atas perintah Sultan Hindustan yang berhasil menguasai Kerajaan Barbari. Siti Rahmah, istri Abdul Muluk, juga dipenjara karena perempuan yang setia itu menolak berahi Raja Hindustan yang hendak memperistrikannya. Karena cinta suci kepada suaminya, tak hanya rela dipenjara dan disiksa, bahkan dia ikhlas jika harus dihukum mati sekalipun. Cinta istri kepada suami yang sungguh luar biasa.

            Hari itu semua penderitaan yang mendera selama ini telah berlalu. Negeri mereka telah kembali merdeka. Pahlawan kemerdekaan itu adalah Sultan Duri, yang telah memerangi Sultan Hindustan dan pasukannya dengan serangan yang gegap gempita. Sebagai balasan atas kejahatannya, Sultan Hindustan juga dipenjara oleh Sultan Duri. Dalam pada itu, Sultan Abdul Muluk bersama istrinya, Siti Rahmah, bersama semua tawanan Kerajaan Hindustan dibebaskannya.

            Setelah bebas, tahulah Sultan Abdul Muluk bahwa yang membantu kerajaannya adalah raja muda usia, yakni Sultan Duri dari Kerajaan Barham. Dia sangat terharu karena ada pemimpin kerajaan sahabat serta seluruh tentara dan rakyatnya rela berkorban untuk mengembalikan kemerdekaan negerinya. Oleh sebab itu, khusus kepada Sultan Duri, yang selain pemimpin negeri juga bertindak sebagai pemimpin perang, Sultan Abdul Muluk sangat berterima kasih. Budi baik itu tak akan dilupakannya selagi hayat di kandung badan.             Bersabit dengan itu, setelah mereka berkumpul di istana Kerajaan Barbari, Sultan Abdul Muluk dengan tulus mencurahkan isi hatinya kepada Sang Pahlawan. Peristiwa bahagia sekaligus haru itu dikisahkan oleh Raja Ali Haji rahimahullah di dalam karya sulung beliau Syair Abdul Muluk (Haji 1846), bait 1.392.

Abdul Muluk pula berkata
Limpah kurnia adinda mahkota
Tiada terbalas oleh beta
Hingga habis nyawa beta

Abdul Muluk menegaskan penghargaan dan terima kasihnya yang tiada berhingga kepada Sultan Duri yang telah melakukan pengorbanan yang luar biasa untuk membebaskan negerinya dari belenggu penjajahan. Menurutnya, budi baik Sultan Barham yang muda usia itu tak akan terbalas olehnya sampai bila-bila masa pun. Selain mulianya sifat Sultan Duri, watak, sifat, dan perilaku Sultan Abdul Muluk yang menghargai jasa, pertolongan, dan budi baik orang lain—dalam hal ini Sultan Duri—menunjukkan kelasnya sebagai pemimpin yang patut ditauladani.

            Rupanya watak, sifat, dan perilaku mulia Abdul Muluk itu tak hanya diimplementasikannya kepada orang besar-besar yang sederajat dengannya. Budi mulia itu memang telah sedia ada dan atau melekat di dalam dirinya sebagai pemimpin. Dia tak pernah melupakan jasa orang, apakah sahabat, bawahan, dan atau rakyatnya yang sama-sama berjuang untuk kemajuan negerinya. Di dalam lanjutan kisah Syair Abdul Muluk, Sultan Barbari itu juga sangat berterima kasih dan memberikan penghargaan yang luar biasa kepada seorang tukang gandum.   

Pekerjaan selesai hari pun malam
Tukang gandum dipanggil ke dalam
Menghadap Rafiah serta Syah Alam
Serta dikurniai intan dan nilam

Bait syair di atas merupakan nukilan dari Syair Abdul Muluk, bait 1.782. Setelah melalui pelbagai rintangan dan peristiwa yang berliku-liku, akhirnya tukang gandum berhasil membawa Abdul Gani ke istana Kerajaan Barbari. Siapakah Abdul Gani sehingga tukang gandum berkewajiban  membawanya untuk bertemu dengan Sultan Barbari dan keluarganya?

Dia bukanlah kanak-kanak biasa. Dia pewaris tahta Kerajaan Barbari. Dia tak lain tak bukan adalah putra satu-satunya Sultan Abdul Muluk dengan istrinya Siti Rafiah. Dia, bahkan, tak dikenali oleh ayahandanya sendiri karena ayahandanya memang belum pernah melihat wajahnya. Dia lahir jauh dari kemegahan istana. Pasalnya, ketika mengandungkannya, ibundanya melarikan diri ke hutan agar terhindar dari ditawan oleh pasukan penceroboh Kerajaan Hindustan. Kala itu Negeri Barbari sedang diserang oleh pasukan Negeri Hindustan.

Setelah Abdul Gani lahir, Siti Rafiah, ibundanya, mengubah dirinya dengan penampilan laki-laki dan dengan nama baru Duri. Ibundanya menyamar menjadi hulubalang dan malang melintang berjuang sehingga akhirnya diangkat menjadi Sultan Kerajaan Barham dan dikenal sebagai Sultan Duri. Ibundanyalah, Siti Rafiah atau Sultan Duri, yang memimpin perjuangan melawan penjajah Kerajaan Hindustan sehingga negerinya, Kerajaan Barbari, merdeka kembali. Ibundanyalah juga yang membebaskan ayahandanya, ibundanya yang seorang lagi, Siti Rahmah, para pembesar, dan hulubalang Kerajaan Barbari dari penjara. Selama ibundanya berjuang, Abdul Gani dititipkan dengan keluarga Tuan Syekh yang sangat menyayanginya, yang adalah juga orang tua angkat ibundanya selama dalam pelarian dari istana. Ibundanya bukanlah perempuan biasa!

Akhirnya, putra mahkota Abdul Gani bertemu juga dengan ayahanda, ibunda, dan seluruh keluarga besarnya. Kebahagiaan keluarga kerajaan itu tak terperikan dengan kata-kata. Yang membawanya bertemu dengan keluarga besarnya itu adalah tukang gandum yang membela dan menjaganya selama dalam perjalanan. Padahal, awalnya tukang gandum sama sekali tak mengetahui bahwa Abdul Gani adalah putra Sultan Abdul Muluk, putra mahkota Kerajaan Barbari.

Beruntunglah Abdul Gani karena memiliki ayah yang berkepribadian mulia. Ayahandanya sangat menghargai pertolongan tukang gandum kepada anaknya dan untuk itu dia sangat berterima kasih. Bahkan, si penolong anaknya itu diberinya hadiah yang tak pernah terbayangkan oleh si tukang gandum. Sultan Abdul Muluk memang seorang pemimpin yang sangat menghargai budi baik orang lain.     

Pemimpin besar seperti Sultan Abdul Muluk memang melengkapi dirinya dengan nilai-nilai terala yang terhimpun dalam tamadun bangsanya. Nilai itu, antara lain, terekam di dalam Gurindam Dua Belas (Haji 1847), Pasal yang Kesebelas, bait 6.

Hendak ramai
Murahkan perangai

Sultan Abdul Muluk merupakan ikon pemimpin yang berperangai terpuji (murah perangai). Oleh sebab itu, dia dihormati sekaligus dicintai oleh orang ramai: sahabat-sahabatnya, bawahannya, dan seluruh rakyatnya. Dia tak pernah membeda-bedakan manusia, apa pun pangkat dan atau jabatannya. Ketika orang menunaikan darmabaktinya, dia selalu memberi penghargaan dan terima kasih yang tulus. Pasalnya, dia yakin bahwa dengan watak terpuji itulah seseorang pemimpin mampu memotivasi semua orang untuk berjuang membela dan memajukan negeri. Dia bukanlah tipe pemimpin yang menerapkan perangai, “kacang yang melupakan kulit”. Dia tak pernah melupakan pertolongan dan jasa orang, sekecil apa pun kebaikan itu.

            Apakah yang memotivasi pemimpin pilihan untuk menghargai bantuan, pertolongan, kerja sama, dan atau sokongan orang lain terhadap kepemimpinannya? Jawabnya, terutama adalah pedoman ini.

“Dan, janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan,” (Q.S. Al-Baqarah, 237).

Lagi-lagi, pemimpin ternama dan terbilang merujuk pedoman yang telah disediakan oleh Allah. Bantuan, pertolongan, kerja sama, dan atau sokongan setiap orang kepada pemimpinnya merupakan keutamaan manusia dari watak dan perilakunya yang terpuji. Oleh sebab itu, Allah memerintahkan setiap manusia, apatah lagi pemimpin, untuk senantiasa memperhatikan dan menghargainya. Jika tidak, pemimpin mana pun tak akan memperoleh pertolongan Allah karena dia dengan sengaja menyatakan diri untuk berlawan dengan Tuhan. Jika demikian keadaannya, secara tersirat melawan Allah, pencitraan apa pun yang dilakukannya di permukaan, tak akan efektif untuk pertahanan kepemimpinannya.

Berdasarkan kenyataan itu, syair nasihat dalam Tsamarat al-Muhimmah (Haji dalam Malik 2013), bait 22, mengingatkan pemimpin untuk menerapkan watak yang bijak bestari dalam memimpin. Sifat, watak, dan perilaku itu tak boleh diabaikan.

Kesukaan orang anakanda cari
Supaya hatinya tiada lari
Masyhurlah anakanda di dalam negeri
Sebab kelakuan bijak bestari

Selalu dan memang terus begitu. Pemimpin yang mampu menyukakan hati para sahabatnya, bawahannya, dan lebih-lebih rakyatnya akan menuai manfaat kepemimpinan. Dia tak akan pernah dibiarkan berjuang sendiri, tetapi selalu dibela dan dibantu untuk menjayakan kepemimpinannya. Semua orang berasa bangga dan bahagia bekerja dan berbakti di bawah kepemimpinannya.

Di dalam Tuhfat al-Nafis tercatat peristiwa perang saudara antara Sultan Muhammad Zainul Din (penguasa sah Negeri Matan, Kalimantan Barat) dan Pangeran Agung. Sang adik tak rela kakandanya menjadi sultan menggantikan ayahanda mereka yang telah mangkat. Oleh sebab itu, diserangnyalah kakandanya dan dihalaunya kakandanya keluar dari Negeri Matan setelah dia berhasil merebut kuasa. Karena perlakuan yang tak sah adiknya itu, Sultan Muhammad Zainul Din meminta bantuan opu lima bersaudara (Daeng Perani, Daeng Marewah, Daeng Celak, Daeng Menambun, dan Daeng Kemasi), setelah sebelumnya Baginda juga meminta bantuan para pemimpin Negeri Banjar (Kalimantan Selatan sekarang). Kala itu kelima opu sedang berada di Siantan (Tarempa, Kabupaten Anambas, Kepulauan Riau sekarang). Dengan pertolongan opu lima bersaudara, Pangeran Agung kalah dalam perang saudara itu. Sultan Muhammad Zainul Din mendapatkan kembali kekuasaannya sesuai dengan adat, yang putra tertua menggantikan ayahandanya yang telah mangkat.

“Syahadan apabila Dahing Matekkuh itu sudah berlayar maka opu-opu itupun masuklah ke perdalaman Pangeran Agung itu lalu ditangkapnya Pangeran Agung itu, dibawanya ke Sultan Muhammad Zainul Din. Maka terlalulah sukanya Sultan Muhammad Zainul Din itu serta menerima kasih yang amat banyak…. Adapun opu-opu itu diserahkannyalah Mempawah itu dengan segala takluk daerahnya kepada opu-opu itu. Maka opu-opu itupun bertangguh hendak pergi ke sebelah barat dahulu hendaklah melihat anak isterinya mana-mana yang beristeri di sebelah barat. Maka tetaplah ia di dalam negeri Matan adanya,” (Ahmad & Haji dalam Matheson (Ed.) 1982, 64—65).

Sultan Muhammad Zainul Din tergolong pemimpin yang sangat menghargai jasa orang. Selain mengucapkan terima kasih yang tiada berhingga kepada opu lima bersaudara, Baginda juga menyerahkan penguasaan Negeri Mempawah (bagian Kalimantan Barat sekarang) kepada sahabat-sahabatnya itu. Akan tetapi, karena kala itu opu lima bersaudara masih harus ke tempat lain, hadiah dari Sultan Muhammad Zainul Din itu mereka minta ditangguhkan pelaksanaannya.

Memang, sedia berterima kasih kepada pihak-pihak yang berpartisipasi, apatah lagi menolongnya, merupakan sifat terpuji yang seyogianya dimiliki oleh setiap pemimpin. Bahkan, Rasulullah SAW pun menganjurkannya melalui sabda Baginda.

Rasulullah SAW bersabda, “Tak dikatakan bersyukur kepada Allah, barang siapa yang tak tahu berterima kasih kepada sesama manusia,” (H.R. Tirmidzi dan Abu Daud).

Pemimpin seyogianya memang harus menghargai bantuan dan budi baik orang lain kepadanya. Bersamaan dengan itu, dia juga mesti berterima kasih atas semua kebaikan orang dalam kepemimpinannya. Pasalnya, tanpa sokongan sahabat, bawahan, dan lebih-lebih orang ramai (rakyat), dia bukanlah siapa-siapa. Dengan begitu, bermakna dia juga mensyukuri nikmat kepemimpinan yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya.

Jika tidak, dia tergolong pemimpin yang rendah kualitas kepemimpinannya. Tak perlu menanti terlalu lama, dia pun akan menerima akibat dari kesombongannya. Banyak pemimpin yang rendah kualitas budinya telah merasakan padah pedihnya. Hikmah, “Kesukaan orang anakanda cari,” jangan dianggap ungkapan kosong hampa makna. Pemimpin yang tak tahu berterima kasih akan mengakhiri kepemimpinannya dengan nestapa.***

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top