Masjid Keling di Tanjungpinang (1834-1956)

HANYA nama dan cerita yang masih tersisa dari ‘masjid lama’ kota Tanjungpinang. Wujud fisiknya telah lama hilang bersama berlalunya waktu. Sejak tahun 1956, di atas bekas tapak bangunan ‘masjid lama’ itu didirikan sebuah bangunan ‘mesjid baru’, yang kini diberi nama Mesjid Agung al-Hikmah.

Meskipun sulit untuk menyebutkan dengan tepat kapan sesungguhnya tarikh pembangunan ‘masjid lama’ itu, namun cukup banyak bukti untuk mengatakan bahwa ianya telah wujud seawal-awal abad ke-19.

Pendeta sekaligus misionaris, Eberhard Herrmann Röttge, dari kota Lingerich, Jerman, melaporkan bahwa masjid tersebut sudah wujud ketika ia menjejakkan kaki di Tanjungpinang sebagai misionaris Nederlandsch Zendeling Genootschap untuk orang-orang Cina di Riouw (baca: Tanjungpinang) untuk menggantikan Pendeta Dirk Lenting pada tahun 1834. Pada waktu itu, belum ada gereja di Tanjungpinang. Rumah ibadah lainnya yang telah wujud juga pada ketika itu adalah sebuah kelenteng di Kampung Cina (kini, Jl. Merdeka).

Dalam buku kenang-kenangannya selama bertugas sebagai misionaris pada beberapa kota di Hindia-Belanda, dan delapan tahun masa tugas yang ia habiskan di kota Tanjungpinang (1834-1842), Röttger menulis tentang masjid itu: “…Bij mijne aankomst op Riouw vond ik Mohammedaansche moskeen en Chinesche tempels, maar nog geene Christelijke kerk; slechts een oud huis, waarin Godsdienst gehouden werd (Setibanya saya di Riouw [Tanjungpinang], saya menemukan masjid orang Islam dan Kelenteng orang Cina, tetapi tidak ada gereja orang Kristen [di Tanjungpang]; hanya ada sebuah rumah tua, tempat dimana kegiatan ibadah agama kristen protestan diadakan).

Pada tahun 1860, lokasi ‘masjid lama’ ini dengan jelas dicantumkan pada peta kota lama Tanjungpinang yang dilampirkan dalam sebuah peta Binnen en Buitenreede van Riouw kolek KITLV-Leiden, karya Letnan Laut kelas 1 J.J.D.A. Phaff dan Letnan Laut kelas 2 R.P. Struick.
Belum ditemukan bahan sumber yang dapat menjelaskan nama masjid lama ini. Namun yang pasti, dulu, orang Tanjungpinang biasa menyebutnya Masjid Keling, dan ada pula yang menyebutnya ‘Masjid Kuala Sungai’. Mengapa?

Sejarah keberadaan Masjid Keling ini erat kaitannya dengan komunitas perantau dari Anak Benua India (Indian Subcontinent) di Tanjungpinang. Mereka terdiri dari orang Keling, Coromandel, Benggali atau Bengal, Bombai, dan Sikh. Di Tanjungpinang pada abad 19, semua penduduk yang berasal dari Anak Benua India ini disebut Orang Keling.

Orang Tanjungpinang biasanya menyapa mereka dengan panggilan Bai (berasal dari bahasa India, Bhai, yang maknanya adalah saudara). Nama pangilan ini biasanya disandingkan dengan jenis profesi yang mereka geluti. Oleh karena itu, dulu, di Tanjungpinang dikenal bermacam-macam Bai.

Ada Bai Jaga, yakni penjaga kantor dan gudang-gudang pemerintah yang kebanyakan adalah orang Sikh. Namun yang paling popular tentulah Bai Roti. Umumnya meraka adalah orang-orang Benggali. Mereka terkenal sebagai pembuat dan sekaligus penjual roti keliling. Sambil menjunjung sebuah keranjang besar yang terbuat dari anyaman rotan dan suara “teriakan” yang khas ketika menjajakan roti, para Bai roti ini menjajakan dagangannya di sekotah kota lama Tanjungpinang sejak abad 19: Sebuah pemandangan yang masih dapat ditemui di Tanjungpinang hingga awal tahun 1970-an.

Misionaris Eberhard Herrmann Röttger dalam buku kenang-kenangannya selama bertugas di Hindia Belanda yang berjudul Berigten Omtrent Indie, Gedurende Een Tienjarig Verblijf Aldaar [Kisah Tentang Hindia Timur, Selama Sepuluh Tahun Berada di Sana. Deventer: 1846], yang juga merekam delapan tahun masa tugasnya Tanjungpinang (1834-142), menyebutkan pemilik masjid lama itu adalah orang-orang Bengal (Bengalezen) atau Benggali yang beragama Islam. “…De Mohammedaansche Bengalezen hebben te Riouw eene moskee…”.

Menurut Röttger, masjid tersebut adalah sebuah tempat suci bagi orang-orang Benggali Islam di Tanjungpinang (hun eene heilige plaats). Pada pertengahan abad ke-19, di mesjid ini ada seorang ulama dan sekaligus imam mesjid yang terkenal dan disegani (den priester bekend). Perintah dan petuahnya didengar dan dipatuhi. Tak jarang pula sengketa keuangan dan hutang-piutang di antara orang-orang Benggali di Tanjungpinang, yang kebanyakannya adalah pedagang (kooplieden) dan pejaja keliling (krammers) diselesaikan di masjid ini.

Meski letaknya pada permukaan tanah yang agak tinggi, arsitetektur bangunan Masjid Keling ini berbentuk bangunan berpanggung dengan tiang dari susunan batu bata merah. Sebuah bangunan kecil empat persegi memanjang tanpa kubah. Bentuk bangunan berpangung seperti ini adalah tipikal gaya arsitektur yang lazim ditemukan di Tanjungpinang pada abad ke-19.

Atap bangunan Masjid Keling ini berbentuk limas. Bahan penutup atapnya adalah genteng Melaka yang disusun berselang-seling saling berhimpitan seperti sisik terenggiling: terkenal dengan sebutan geteng Melaka susun terenggiling. Bentuk dan bahan atapnya sama seperi bahan atap bangunan milik pemerintah atau bahan atap barisan rumah-toko di Kampung Cina. Sisa pecahan bahan atap mesjid ini masih dapat ditemukan diantara tanah galian fondasi bangunan tambahan Masjid Agung al-Hikmah yang dibuat pada beberapa waktu yang lalu.

Halaman mesjid ini cukup luas, dan dihiasi naungan pohon Pinang Raja (Crytostachys lakka). Selembar kartu pos klasik bergambar yang dibuat tahun 1910, merekam pagar dan salah sau pintu gerbang berhias milik Masjid Keling ini yang terletak di sisi Barat halamannya, tepat di depan Hotel Jojo saat ini. Bentuknya indah, dihias beberapa kubah seperti gerbang makam raja-raja di Pulau Penyengat.

Di depan pintu gerbang utama itu, pada tepi jalan yang lebih rendah dari halaman Mesjid, terhampar pula sebuah taman bunga (tuin) besar yang tertata dengan indah. Dilengkapi sebuah gazebo dengan atap persegi tujuh, lampu-lampu taman, dan beberapa buah bangku taman yang panjang.

Selain disebut sebagai Masjid Keling, masjid lama yang dibangun oleh orang-orang dari Benggali yang merantau ke Tanjungpinang ini juga pernah disebut juga sebagai ‘Masjid Kuala Sungai’. Nama yang kurang populer dan hanya ada dalam ingatan beberapa orang tua di Tanjungpinang ini erat kaitannya dengan sebatang sungai kecil yang pernah mengalir berhampiran lokasi tapak masjid itu.

Sisa-sisa sungai kecil yang hulunya pada masa lalu berada di kaki bukit kompleks Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tanjungpinang itu, kini menjadi parit sedalam satu setengah meter di sisi kanan Jl. Tabib. Kualanya (muaranya), persis berada di sudut halaman masjid itu yang kini letaknya persir pada titik persimpangan Jl. Tabib, Jln Bintan, dan Jl. Yusuf Kahar. Karena letak berhampiran kuala sebuah sungai itu maka masjid itu disebut juga ‘Masjid Kuala Sungai’

Sejak abad 19, sebahagian halaman mesjid itu pernah dijadikan kawasan pemakaman umum bagi umat muslim di Tanjungpinang. Namun ketika proses pembangunan bangunan awal Masjid Agung al-Hikmah mulai dilakukan oleh C.V. Fuji pada tahun 1956, seluruh makam-makam tua di halaman masjid itu dipindahkan ke kawsan pemakaman umum Taman Bahagia di Kampung Bukit. (jm)

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top