ORANG Melayu, siapakah mereka sebenarnya? Menurut Encyclopaedia Britannica (Micropaedia, 1985), “Malay or Orang Melayu are ethnic group of the Malay Peninsula and part of adjacent island of Southeast Asia, including the east coast of Sumatera, the coast of Borneo, and smaller islands between areas.” Hal itu bermakna orang Melayu merupakan satu kelompok etnis di Semenanjung Melayu dan sebagian pulau-pulau yang berdekatan di Asia Tenggara, termasuk pesisir timur Sumatera, pesisir Kalimantan, dan pulau-pulau yang lebih kecil di antara kawasan itu.
Dengan mengacu rujukan di atas, orang Melayu di Indonesia mendiami kawasan yang terentang dari Temiang di selatan Aceh, beberapa bagian Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka-Belitung, dan Kalimantan Barat. Beberapa pakar, bahkan, membuat keluasan yang lebih dari itu. Apatah lagi jika dasar ukurannya ialah bahasa, maka keluasan itu akan mencapai Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, dan Maluku. Kawasan inilah yang dinyatakan sebagai kawasan kebudayaan pesisir yang berciri khas utama kepercayaan dan lembaga Islam serta berorientasi ke aktivitas pasar (Geertz, 1981).
Persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam lingkungan yang disebut daerah tempat tinggal orang Melayu meliputi semua aspek kehidupan dari bahasa sampai ke gastronomi, juga pakaian. Seyogianya setiap persamaan dipandang sebagai faktor dasar pengikat dan landasan jati diri, sedangkan setiap perbedaannya sebagai variasi yang bersifat memperkaya.
Karya sastra Melayu, Hikayat Dewa Mandu, menggambarkan tentang apa yang disebut cantik. “Setelah Dewa Mandu mendengar kata Puteri Lela Ratna Kumala demikian itu maka baginda pun tersenyum seraya membaca suatu isim Allah, lalu ditiupnya kepala gajah putih itu tiga kali. Maka dirasai oleh Tuan Puteri itu sejuklah segala anggotanya, seketika ia pun kembalilah seperti sediakala menjadi manusia. Setelah dilihat oleh Dewa Mandu akan rupa Tuan Puteri itu maka ia pun pingsanlah seketika. Lalu Tuan Puteri itu pun meniup kepala Dewa Mandu. Maka Dewa Mandu pun sadarlah akan dirinya, lalu ia mengucap seraya memuji Tuhan seru sekalian alam katanya, ‘Salangkan hamba-Nya yang dijadikan-Nya lagi sekian [cantiknya, HAM], jikalau yang menjadikan berapa lagi.’ Makin bertambah-tambahlah tauhid dan tasdiknya akan Tuhan Malik al-Manan,” (Chambert-Loir, 1980).
Petikan di atas menggambarkan aspek ontologis konsep estetika Melayu. Konsep itu senantiasa mengaitkan keindahan duniawi-zahiriah dengan keindahan Ilahiah sebagai pernyataan “rupa mahasempurna”. Kecantikan duniawi (zahiriah), seperti tertera dalam Hikayat Dewa Mandu, baru akan dapat mencapai derajat kesempurnaan apabila merupakan gabungan dari dua seri. Keduanya adalah seri gunung dan seri pantai (lih. Chambert-Loir, 1980).
Persebatian antara seri gunung dan seri pantai atau kecantikan yang terlihat dari jauh (kecantikan-keindahan batiniah) dan kecantikan yang terlihat dari dekat (kecantikan-keindahan zahiriah) itulah yang disebut oleh penulis Melayu, Ahmad Rijaluddin, sebagai sadu perdana dan bernilai tujuh laksana (Skinner, 1982). Sosok idealnya menjelma dalam diri bidadari Sakerba seperti dikisahkan dalam sastra Melayu Syair Ken Tambuhan sampai dapat menghidupkan kembali pasangan pecinta yang sudah mati.
Berikutnya, apakah yang disebut cantik? Kamus pertama Melayu Kitab Pengetahuan Bahasa karya Raja Ali Haji (1858) mengartikan kata cantik sebagai ‘sesuatu sifat sama ada pada manusia atau lainnya yang memberi indah kepada mata yang tiada cacat pada pemandangan manusia.
Takrif tentang molek, cantik, indah, dan elok sebagai lawan dari kata hodoh dapat dirujuk sebagai ‘sifat yang indah pada pemandangan mata atau pada tilikan hati yang memberi indah pada pemandangan keduanya itu’ dan ‘memberi indah pada pemandangan mata atau kepada hati’.
Tarian baru mencapai derajat keindahan apabila sasaran takrifnya sampai, yaitu ‘pekerjaan seseorang dengan kesukaan maka menggerakkan tangannya atau kakinya dengan bertimbang dan beratur yang menjadi indah pada pemandangan adanya’. Tarian yang sadu perdana dan bernilai tujuh laksana disebut oleh orang Melayu sebagai “kakinya tak jejak di lantai”.
Demikian pula halnya dengan takrif nyanyi yaitu ‘mengeluarkan suara serta huruf dan serta dengan lagunya dengan had timbangannya’ (Haji, 1858). Dan, nyanyian yang sadu perdana dan bernilai tujuh laksana disebut oleh orang Melayu suaranya seperti “buluh perindu”.
Alhasil, sesuatu karya seni menurut konsep keindahan Melayu yang sadu perdana dan tujuh laksana atau yang tergolong kelas satu dan berkelas tujuh bintang hendaklah bersifat seri gunung dan seri pantai, yakni molek dilihat dari jauh dan molek pula dilihat dari dekat serta elok pada pemandangan mata dan elok pula pada tilikan hati. Konsep ini padan dan padu apabila disanding dengan pendapat Benaventura yang menilai keindahan lukisan dengan mengatakan bahwa sesuatu karya seni disebut indah apabila, pertama, dibuat dengan baik dan, kedua, memiliki makna (Sedlmayr, 1959).
Sebagai hasil kebudayaan, pakaian orang Melayu Kepulauan Riau idealnya hendaklah molek dan atau indah dilihat dari jauh dan molek dan atau indah pula dipandang dari dekat, indah menurut pemandangan mata dan elok menurut tilikan hati, dibuat dengan baik dan mempunyai makna-makna yang terkandung dalam lambang-lambangnya. Dengan demikian, pakaian tersebut dapat mencapai taraf keindahan kelas satu dan boleh diberikan tujuh bintang (Malik, Effendy, Junus, & Thaher, 2003).
Dalam Sejarah Melayu dan Hikayat Hang Tuah cukup banyak gambaran yang menyatakan bahwa seseorang yang berhasil melaksanakan perintah raja lalu diberi persalinan dengan selengkap pakaian (Shellabear, 1903) dan memakailah pakaian yang indah-indah (Ahmad, 1975). Akan tetapi, susah atau sulit mencari keterangan seperti apakah rupanya segala macam pakaian indah-indah yang dianugerahkan itu. Namun, Undang-Undang Melaka, Pasal yang Pertama, menyatakan pakaian raja-raja, dengan warna diraja (royal colour), yakni warna kuning, dan larangan memakai kain tipis yang berbayang-bayang seperti kasa (Fang, 1976). Lebih-lebih dalam Adat Raja-Raja Melayu diperoleh keterangan yang cukup banyak tentang pakaian yang majelis, dalam arti pertamannya mengacu kepada keindahan dan patut dibawa ke dalam majelis (dalam arti kedua yang mengacu kepada makna perkumpulan orang ramai), sopan, dan merendahkan diri (Sudjiman, 1983).
Karya rujukan yang berasal dari Kepulauan Riau ialah Tsamarat al-Mathlub fi Anuar al-Qulub karangan Khalid Hitam pada bagian tentang adat-istiadat dan bekerja besar (Ahmad, 1985). Akan tetapi, pemerian yang menggambarkan pakaian Melayu pada masa itu secara jelas tak begitu terperinci.
Keterangan yang cukup memadai terdapat dalam Kitab Pengetahuan Bahasa pada lema baju. Raja Ali Haji (1858) menerangkan baju adalah“masyhur dipakai orang menutup badannya, serta jadi perhiasan, akan tetapi banyak macamnya dan masing-masing kesukaan orangnya dan masing-masing bangsanya.” Dari keterangan itu dapat ditarik simpulan bahwa pakaian setidak-tidaknya mempunyai dua fungsi. Pertama, untuk menutup badan dan kedua, untuk perhiasan. Dalam fungsi yang pertama terkandung makna pakaian sebagai alat untuk melindungi diri dari cuaca dan sebagainya, sedangkan pada fungsi yang kedua terkandung arti keindahan dan posisi si pemakainya. Tak terlalu jauh dari itu pulalah keterangan yang terdapat dalam The Encyclopedia American (1970) yang menerangkan lema clothing sebagai benda untuk ‘melindungi dari cuaca, mencapai standar kesopanan, perhiasan pada tubuh, dan menjelaskan perihal kedudukan seseorang dalam masyarakat’ (Malik, Effendy, Junus, & Thaher, 2003).
“Adapun pakaian orang Melayu daripada dahulu, sehelai seluar dipakai di dalam, kemudian barulah memakai kain, bugiskah atau sutera, labuhnya hingga lepas lutut kira-kira sepelempap. Kemudian, baharulah memakai ikat pinggang, terkadang di luar kain terkadang di dalam kain. Kemudian baharulah memakai baju, ‘belah dada’ namanya atau ‘baju kurung’, kemudian disisipkan keris, sebelah keris kepalanya keluar tiada meniarap, dan sapu tangan, bertanjak. Adapun seluarnya terkadang seluar ketat berkancing kakinya. Syahdan pada penglihatan mataku sangatlah tampan orang-orang Melayu memakai cara Melayu yang dahulu-dahulu, tiada bengis rupanya. Adapun sekarang ini, yakni masa aku mengarang kitab ini, maka tiadalah aku lihat lagi pakaian orang Melayu seperti pakaian adat-istiadat lama, bercampur baur dengan kaidah pakaian orang Inggris dan Holanda,” (Haji, 1858).
Pada masa Raja Ali Haji menyusun Kitab Pengetahuan Bahasa sekitar 1858 ternyata sudah banyak bentuk pakaian Melayu yang terlupakan atau tak dipakai orang lagi. Hal itu disebabkan oleh deraskan pengaruh kebudayaan Barat pada masa itu. Pada penjelasan kata-kepala janggal (Haji, 1858) dinyatakan contoh perbuatan janggal dalam berpakaian sebagai “Memakai seluar pantalon dan berbaju kemeja sebelah dalamnya, dan berkain singkat di batas lutut, dan bersongkok.”
Pakaian Melayu, baik di daerah Kepulauan Riau maupun di daerah lain, kelihatannya diterima juga oleh orang-orang yang berasal bukan dari kelompok etnis Melayu, antara lain, karena bertempat tinggal dan akrab bergaul dengan pendukung kebudayaan Melayu. Bagi orang Melayu, pakaian selain berfungsi sebagai penutup aurat dan pelindung tubuh dari panas dan dingin, juga menyerlahkan lambang-lambang (Malik, Effendy, Junus, & Thaher, 2003). Lambang-lambang itu mewujudkan nilai-nilai terala (luhur) yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya.
Pakaian wajib menutup aurat
Pakaian terletak pada tempatnya
Pakaian melekat pada patutnya
Pakaian beragam pada maknanya
Mengandung adat dengan lembaga
Mengandung tunjuk dengan ajar
Mengandung sifat dengan tabiat
Mengandung tuah dengan marwah
Dengan bersebatinya lambang-lambang budaya dengan pakaian, kedudukan dan peran pakaian menjadi sangat mustahak dalam kegidupan orang Melayu. Pelbagai ketentuan adat mengatur tentang bentuk, corak (motif), ragi (desain), warna, pemakaian, dan penggunaan pakaian. Ketentuan-ketentuan adat itu diberlakukan untuk mendidik dan meningkatkan akhlak orang yang memakainya (Malik, Effendy, Junus, & Thaher, 2003).
Elok pakaian menutup malu
Molek pakaian menjemput budi
Sanggam pakaian menjunjung adat
Mulia pakaian makna bermakna
Kaya pakaian ragam beragam
Dalam ungkapan disebutkan, “Pakaian Melayu dari ujung kaki sampai ke ujung rambut ada makna dan gunanya.” Kesemuanya itu dikaitkan dengan norma sosial, agama, dan adat-istiadat sehingga pakaian berkembang dengan makna yang beraneka ragam.
Setiap lambang mengandungi makna tertentu. Kearifan Melayu mengajarkan, “Ada benda ada maknanya, ada cara ada artinya, ada letak ada sifatnya.”
Lambang yang diwujudkan dengan corak (motif) mewujudkan makna tertentu. Corak semut dikaitkan dengan makna yang mengacu kepada sifat kerukunan dan kegotongroyongan. Coraknya disebut semut beriring. Begitu pula corak itik pulang petang yang dikaitkan dengan kerukunan dan persatuan, tak berpecah belah. Corak naga berjuang dihubungkan dengan legenda tentang naga sebagai penguasa lautan, gagah berani, dan berani berjuang. Corak yang bersumber dari bunga-bungaan dihubungkan dengan keindahan, kecantikan, dan kesucian.
Lambang dalam bentuk warna mengatur hal-hal berikut. Kuning untuk raja-raja dan bangsawan sebagai lambang kekuasaan. Merah untuk umum sebagai lambang rakyat sekaliannya. Hijau dan putih untuk alim-ulama sebagai lambang agama yang dipeluk masyarakat, yaitu Islam. Biru untuk orang besar-besar kerajaan sebagai lambang orang patut-patut, hitam untuk pemangku dan pemuka adat sebagai lambang “hidup dikandung adat, mati dikandung tanah”. Hitam biasa juga dipakai sebagai warna kebesaran hulubalang atau panglima.
Makna pakaian Melayu juga dikaitkan dengan fungsinya. Pemaknaan itu disebutkan dengan ungkapan berikut ini (Malik, Effendy, Junus, & Thaher, 2003).
Pakaian menutup malu, yang berarti pakaian berfungsi sebagai alat menutup aurat, menutup aib dan malu dalam arti yang luas. Kalau salah memakai, menimbulkan malu; kalau salah letak, menimbulkan malu; kalau salah corak, juga menimbulkan malu, dan sebagainya. Oleh sebab itu, pakaian harus dibuat, ditata, dan dikenakan sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku di dalam masyarakat.
Pakaian menjemput budi, yang bermakna pakaian berfungsi untuk membentuk budi pekerti, membentuk kepribadian, membentuk watak sehingga si pemakai tahu diri dan berakhlak mulia.
Pakaian menjunjung adat, yang berarti pakaian harus mencerminkan nilai-nilai terala (luhur) yang terdapat di dalam adat dan tradisi yang berlaku dalam masyarakat.
Pakaian menolak bala, yang bermakna berpakaian dengan cara yang benar dan patut akan menghindarkan pemakainya dari mendapat mara bahaya atau mala petaka.
Pakaian menjunjung bangsa, yang berarti dengan bersepadunya lambang-lambang dan nilai-nilai terala pada pakaian, terjelmalah kepribadian bangsa atau masyarakat pemakainya. Pakaian dalam budaya Melayu harus mampu menunjukkan jati diri dan karakter pemakainya.
Eloknya, tak sekadar indahnya yang diperhitungkan. Kesempurnaannya mestilah memperhatikan serinya. Di situlah peran pentingnya seri pantai dan seri gunung. Dekat-jauh, luar-dalam, zahir-batin, dan dunia-akhirat serba indah dan berseri sehingga beroleh tujuh bintang keterjulangan tamadun. Sememangnyalah, karena mustahak, pada eranya demi mempertahankan yang indah yang berseri, orang sampai bersikukuh dengan pandangan, “Salah pakai perut terburai.” Itulah sebabnya diingatkan, “Jangan memakai memandai-mandai!”***