Antara Badik dan Dala’il al-Khairat

TELAH berbulan-bulan para menteri, panglima, hulubalang, laskar, bahkan rakyat Negeri Barbari berperang melawan musuh yang datang dengan misi penaklukan. Mereka berjuang demi mempertahankan negeri tercinta yang akan direbut oleh lawan. Korban berjatuhan, baik pihak Kerajaan Barbari maupun pihak musuh, Kerajaan Hindustan. Demi bangsa dan negara, para wira sejati tak pernah memikirkan diri sendiri walau jiwa harus terkorban.

            Suasana itu diperikan dalam Syair Abdul Muluk karya Raja Ali Haji rahimahullah (1846). Dalam lanjutan syair itu dikisahkan pula keadaan ini. Karena melihat banyaknya prajurit yang gugur, sebagian hulubalang dan tentara yang masih meneruskan pertempuran agak menurun moralnya. Keadaan yang mengkhawatirkan itu, kemudian, dilaporkan oleh seorang menteri kepada Sultan Abdul Muluk di istana.

            Sultan yang karismatik itu lalu membuat keputusan. Walaupun para menteri berida (senior) kurang menyetujuinya, dia teguh pada pendiriannya. Dia tak boleh lagi sekadar menunggu laporan di istana, sedangkan prajurit dan rakyat banyak yang gugur untuk membela negara.

“Kini betalah yang harus turun ke medan perang. Hidup dan mati bukan di tangan manusia. Allah-lah yang menetapkan takdir-Nya. Tak berperang pun, kalau telah sampai ajalnya, beta akan mati jua. Bukan saatnya untuk memperhitungkan hidup atau mati sekarang. Kesemuanya beta serahkan kepada kehendak Tuhan,” titah tegas Sultan Barbari kepada para bawahan yang mendampinginya di istana.

Berangkat sultan muda yang majelis
Panah senapang berlapis-lapis
Pedang pemuras kiri kanan berbaris
Rupanya seperti di dalam tulis

Bait di atas merupakan kelanjutan Syair Abdul Muluk, bait 700, yang menggambarkan keberangkatan Sultan Abdul Muluk ke medan peperangan. Tekadnya sudah bulat untuk memimpin langsung para tentara dan rakyatnya berperang melawan musuh dari Kerajaan Hindustan. Pasalnya, dia tak rela negeri yang telah diperjuangkan dan diwariskan oleh nenek-moyangnya dengan darah dan air mata, bahkan nyawa, harus jatuh ke pihak musuh yang tak memiliki sifat dan perilaku mulia selayaknya insan.

Soal perjuangannya berjaya atau tidak, biarlah Allah yang menentukan. Mungkin serangan dadakan lawan itu pun merupakan ujian kepada dirinya sebagai pemimpin dan rakyat sekalian untuk membuktikan kecintaan kepada negeri anugerah Tuhan. Abdul Muluk, dengan sikap dan pilihannya itu, membuktikan dirinya sebagai pemimpin patriotik, suatu karakter terwaris yang dimiliki oleh setiap pemimpin terbilang.     

            Sikap patriotisme jugalah yang memotivasi Raja Muda Kesultanan Johor-Riau ketika Johor diserang musuh pada 1718. Kala itu Kesultanan Johor-Riau dipimpin oleh Sultan Abdul Jalil Riayat Syah, yang menggantikan Sultan Mahmud Mangkat Dijulang yang wafat pada 1699, tanpa meninggalkan keturunan. Tiba-tiba seseorang yang mengaku putra Sultan Mahmud Syah II yang telah mangkat itu menyerang Johor untuk memperebutkan tahta Johor-Riau dari pemimpin sahnya. Riwayatnya dikisahkan oleh Raja Ahmad Engku Haji Tua dan Raja Ali Haji dalam karya mereka Tuhfat al-Nafis. Patriotisme Raja Muda Johor-Riau sangat menonjol dalam perang itu.

“Maka Raja Muda pun membunuh isterinya lalulah ia keluar mengamuk pula, kerana fikirannya daripada isterinya diambil … diperbuatnya gundik, terlebih baik biar hilang sekali. Kemudian Raja Muda pun mengamuklah menyerbukan dirinya kepada pihak sebelah Raja Kecik itu. Lalu berkejar-kejaran hambat-berhambat hingga sampai ke Kayu Anak nama tempat itu. Maka Raja Muda pun mangkatlah di situ, sebab sabur menyabur orang beramuk itu,” (Matheson (Ed.) 1982, 57).

 Raja Muda memang tewas dalam pertempuran itu. Akan tetapi, namanya tercatat sebagai pembela tanah air sejati. Beliau merupakan satu di antara pemimpin patriotik yang pernah dimiliki oleh Kesultanan Johor-Riau-Pahang-Terengganu, nama lengkap kesultanan itu kala itu.

Karakter patriotik seyogianya memang melekat pada setiap pemimpin sejati. Kemuliaan seseorang anak manusia, lebih-lebih pemimpin, terserlah dari sikap dan perbuatan atau perjuangannya membela bangsa dan negara walaupun dia harus mengorbankan segala-galanya. Gurindam Dua Belas, Pasal yang Kelima, bait 3 (Haji, 1847) menyiratkan kearifan itu.

Jika hendak mengenal orang mulia
Lihat pada kelakuan dia

Gurindam Dua Belas, Pasal yang Kelima, bait 3

Pemimpin patriotik adalah pemimpin mulia. Dia mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan lainnya, termasuk kepentingan diri dan keluarganya. Dia tak pernah rela di bawah kepemimpinannya, justeru, negeri tergadai dan bangsanya terkulai, tak berdaya dalam persaingan bangsa-bangsa sejagat yang semakin lihai. Apatah lagi, jika kesemuanya itu karena perilakunya sebagai pemimpin yang abai dan lalai. Akibatnya, jadilah negerinya ibarat bahtera tembuk yang tersadai. Pasalnya, pemimpinnya tak mahir bermain di atas gelombang yang memang cenderung menggila di tengah badai.

Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang ternyata tak pernah putus dianugerahi para wira yang berjiwa patriotik. Patah tumbuh, hilang berganti. Pada Perang Riau I tercatatlah dengan tinta emas di hati para pewaris negeri patriotisme seorang Raja Haji Fisabilillah. Setelah menang perang melawan Belanda di Tanjungpinang pada 6 Januari 1784, Baginda Yang Dipertuan Muda, bersama Sultan, mengejar Belanda yang melarikan diri ke Melaka. Matlamatnya untuk merebut kembali Negeri Melayu itu dan membebaskannya dari cengkeraman penjajah. Setelah beberapa bulan berperang, Tuhfat al-Nafis merekamkan kisah selanjutnya. Perang itulah yang membuktikan kepahlawanan sejati sekaligus patriotisme Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan Muda Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang (1777-1784).

 “… Dan beberapa lagi orang yang baik syahid itu dengan tiada membuang belakang. Syahadan adapun Holanda mati di dalam perang itu ada kira-kira tujuh puluh orang dan tiga orang besarnya yang mati. Maka Yang Dipertuan Muda Raja Haji pun bangkit mengunus badiknya dan sebelah tangannya memegang Dala’il al-Khairat. Maka dipeluk oleh beberapa orang maka di dalam tengah berpeluk-peluk itu maka Yang Dipertuan Muda Raja Haji pun kenalah peluru baris senapang. Maka ia pun rebahlah mangkat syahidlah ia innalillahi wa inna ilahihi rajiun,” (Matheson (Ed.) 1982, 209).

Dalam perang di Teluk Ketapang, Melaka (bagian Malaysia sekarang), Raja Haji Fisabilillah dan sebagian prajuritnya gugur sebagai syuhada pada 18 Juni 1784. Baginda mangkat dengan sebelah tangannya memegang badik dan tangannya yang lain memegang kitab Dala’il al-Khairat. Panglima perang yang gagah perkasa, yang telah malang-melintang dalam pelbagai peperangan, baik di laut maupun di darat, itu telah membuktikan kepada generasi penerusnya tentang ini. Negeri yang telah dibangun oleh para pendahulu sejak berbilang zaman ini mesti dijaga dan dibela dengan sepenuh cinta walau harus mengorbankan harta, jiwa, dan raga. Jika tidak, para penceroboh akan merajalela dan anak negeri akan terlunta-lunta.

Di tengah kecamuk perang terakhirnya, Baginda telah berfirasat akan syahid dalam perang itu. Akan tetapi, jiwa patriotisme yang mengalir di dalam darahnya tetap membuncahkan semangat Baginda untuk berbakti kepada bangsa dan negara. Padahal, kalau hendak berdamai dengan Belanda, bangsawan perkasa yang sangat dikenal oleh Belanda seperti Raja Haji dijamin dapat duduk megah di singgasana mewah seraya menikmati harta yang berlimpah sepanjang hayatnya. Bahkan, anak-cucunya pasti akan dipelihara. Akan tetapi, Baginda bukanlah jenis pemimpin oportunis seperti itu. Dengan pilihan lebih mulia syahid di medan juang daripada negeri dan bangsanya terjajah, Raja Haji Fisabilillah secara bermartabat telah menunaikan baktinya sebagai pemimpin sejati sehingga patut dikenang segenap rakyat.

Rupanya pedoman dari Tuhan jualah yang memotivasi para wira sejati untuk mempertahankan tanah air dan bangsa. Itulah sebabnya, tak pernah ada keraguan sedikit pun di hati mereka untuk melaksanakan tanggung jawab mulia.

“Dan, tak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapakah sebagian dari setiap golongan di antara mereka tak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali agar mereka dapat menjaga diri,” (Q.S. At-Taubah,122).

Berperang untuk mempertahankan negara ketika musuh datang hendak menguasai negeri memang diwajibkan oleh Allah kepada sesiapa saja. Selain itu, menuntut ilmu-pengetahuan dan pada gilirannya mengembangkannya untuk kemajuan segenap bangsa juga tak boleh diabaikan. Pendek kata, segala bakti yang diperlukan untuk kelangsungan bangsa memang wajib diupayakan, terutama oleh pemimpin, sehingga rakyat tak salah telah memilihnya. Tak boleh pilih kasih dalam perkara ini. Bagi pemimpin patriotik, semua tanggung jawab itu sangat disadarinya sehingga seberat apa pun penanggungannya akan dilaksanakannya dengan bijak dan seikhlas-ikhlasnya.

Tak berselang lama. Perang Riau II berkecamuk di perairan Tanjungpinang dan sekitarnya pasca-Perang Teluk Ketapang, Melaka. Puncaknya terjadi pada 10-13 Mei 1787. Ini tak semata-mata upaya balas dendam. Akan tetapi, lebih-lebih untuk menyelamatkan negara dan bangsa dari cengkeraman penjajah, Holanda. Mereka memang menjadi musuh abadi Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang kala itu. Kali ini menyerlahlah patriotisme, kepemimpinan, dan kepiawaian Sultan Mahmud Riayat Syah (1761-1812). Saatnya orang nomer satu sekaligus bertindak sebagai pemimpin perang.

 “… Maka Holanda pun mengisilah meriamnya hendak membedil perahu lanun itu maka perahu-perahu penjajab yang di dalam Sungai Riau itu pun bersedialah rupa-rupa hendak membedil. Maka lanun rapatlah ke Tanjung Pinang, maka dibedil oleh penjajab-penjajab Riau dengan tiada berpeluru. Maka lanun pun naiklah ke darat lalu diamuknyalah Tanjung Pinang itu. Maka dilawan oleh Holanda maka beramuk-amuklah. Maka banyaklah Holanda-Holanda itu mati lalu lari turun ke kecinya dan turun ke belah semangkanya berlayarlah ia ke Melaka, mana yang hidupnya,” (Matheson (Ed.) 1982, 221).

Dilaporkan oleh Netscher (1870), Belanda memvonis bahwa yang bertanggung jawab sekaligus aktor intelektual Perang Riau I (1782—1784)  adalah Sultan Mahmud III. Dalam pada itu, Baginda tetap tak mau berunding apatah lagi berdamai dengan Belanda. Itulah yang memicu Perang Riau II di Tanjungpinang.

Dengan kemampuan diplomasinya yang luar biasa, Sultan Mahmud dapat meyakinkan pemimpin Tempasuk (Kalimantan) untuk berkoalisi dengannya. Dengan bantuan kekuatan 90 kapal perang dan 7.000 tentara dari Tempasuk, yang disebut lanun oleh Belanda, ditambah kekuatan pasukan sendiri, serangan besar-besaran pun dilakukan. Perang itu telah menghancurkan garnizun Belanda di Tanjungpinang dan menewaskan tentara mereka. Bahkan, David Ruhde, Residen Belanda di Riau kala itu,  terpaksa lari ke Melaka untuk menyelamatkan diri.

Selanjutnya, 24 Juli 1787 tanpa disangka-sangka oleh sesiapa jua, Sultan Mahmud memindahkan pusat pemerintahan sekaligus markas utama perjuangan ke Daik, Lingga. Di tempat yang baru itu, rupanya, Baginda menerapkan Perang Gerilya Laut. Dengan strategi itu, pasukan Sultan Mahmud betul-betul merugikan bisnis Belanda. Berdasarkan pengakuan Gubernur VOC di Melaka, de Bruijn, kekuatan armada VOC tak pernah mampu menandingi kekuatan armada laut Sultan Mahmud di Lautan Kepulauan Lingga, Selat Melaka, sampai ke perbatasan Laut Jawa.

Akhirnya, 29 Mei 1795 Gubernur Jenderal VOC-Belanda di Batavia mengakui kedaulatan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang di bawah pimpinan Sultan Mahmud Riayat Syah. Sejak itu Kesultanan Melayu itu kembali merdeka. Selanjutnya, Sultan Mahmud terus membantu kerajaan-kerajaan nusantara lainnya melawan Belanda dengan angkatan perang dan atau persenjataan sampai akhir hayat Baginda (12 Januari 1812). Atas dasar itulah, pejabat Inggris di Penang (bagian Malaysia sekarang) melaporkan kehebatan kepemimpinan Sultan Riau-Lingga-Johor-Pahang itu pada Januari 1788. Dalan laporan itu disebutkan, “Sultan Mahmud Riayat Syah adalah penguasa terbesar dan paling jenius di kalangan pemimpin Melayu,” (Vos, 1993). Kita boleh berbangga karena negeri ini pernah memiliki pemimpin kelas dunia. Dengan patriotismenya, mereka tak pernah rela sebarang pihak mencabar kelangsungan negara dan bangsanya dengan cara apa pun. Oleh sebab itu, Raja Ali Haji berpesan kepada generasi penerusnya, terutama mereka yang diamanahkan menjadi pemimpin, dalam Tsamarat al-Muhimmah (dalam Malik, 2013). Harapannya janganlah pula pemimpin, pada peringkat mana pun, menjadi bagian dari yang disebutkan pada larik terakhir syair itu, seperti “pagar makan tanaman”.

Ayuhai segala raja menteri
Serta pegawai kanan dan kiri
Hendaklah jaga ingatkan negeri
Perampok penyamun perompak pencuri

Tsamarat al-Muhimmah , Raja Ali Haji

Antara badik dan Dala’il al-Khairat ada amanat hendak disampaikan. Negeri hebat anugerah Allah ini memerlukan kesetiaan setiap anak negeri untuk membelanya dari sebarang anasir yang tiada berhak untuk menguasainya dengan segala daya dan cara. Ada pesan kultural juga. Di negeri inilah perjuangan peradaban digelorakan oleh para syuhada yang tak mengenal rasa gerun dan takut untuk memartabatkan bangsa agar tetap setara dengan bangsa mana pun di jagat raya ini selama-lamanya.

Antara badik dan Dala’il al-Khairat seyogianya menyerlah jiwa patriotisme segenap anak bangsa, mentelah lagi pemimpinnya. Sampai bila-bila masa pun tetap setia mempertahankan ideologi negara, memperjuangkan kekuatan persatuan dan kesatuan bangsa, mengembangkan ilmu-pengetahuan dan teknologi, dan mengokohkan keyakinan beragama. Dengan begitu, rahmat, hidayah, dan inayah Allah akan menyertai perjuangan kita untuk menjadi satu di antara bangsa maju yang berperan penting dalam persaingan bangsa-bangsa sedunia.

Patriotik adalah karakter terwaris bangsa kita. Pantang dibiarkan ianya sirna, apatah lagi sampai menghantam saudara sebangsa. Itu dayus namanya!***

Hak Cipta Terpelihara. Silakan Bagikan melalui tautan artikel

Scroll to Top