Penyair Kepulauan Riau yang juga tergolong generasi pelopor puisi modern adalah Ibrahim Sattah. Seperti halnya Sutardji, Sattah juga mengembangkan puisi mantra ditambah dengan puisi permainan kanak-kanak, yang dikemas menjadi puisi modern. Kehadiran Sattah pun, termasuk cara pembacaan puisinya yang menghendak-hentak, telah menggemparkan jagat perpuisian ASEAN. Penyair yang karir awalnya polisi ini telah menerima banyak sekali pujian dari dalam dan luar negeri—dan tentu diikuti dengan anugerah yang diberikan kepadanya—karena kreativitasnya memperbaharui dunia perpuisian Indonesia. Selama karirnya sebagai penyair, Sattah telah menerbitkan buku puisi Dandandit (1975), Ibrahim (1980), Hai Ti (1981), dan Sejumlah Sajak untuk Hari Sastera ’83 (1983). Tentulah karya-karya beliau juga terbit di pelbagai media massa di Indonesia.
Baca Tulisan sebelumnya : Tradisi Perpuisian Kepulauan Riau (1)
Machzumi Dawood juga tergolong penyair pelopor puisi modern Kepulauan Riau. Beliau telah memulai kreativitas sebagai penyair sejak 1970-an. Beliau telah menerbitkan buku puisi terdiri atas Kumpulan Pertama (1974), Topeng Bulan (1976), dan Sajak untuk Dia (1996). Selain itu, beberapa buku kumpulan bersama penyair lain yaitu Karya Cipta Sastrawan Kepulauan Riau (1994), Sajak di Mimbar DPR (1998), Jazirah Luka dan Sajak-Sajak Lainnya (1999), Tersebab Senandung Laut Hitam (2002), Rampai Melayu untuk Kepulauan Riau (2006), Ka Te Pe (2007), dan Jalan Bersama 2 (2008). Sejumlah sajaknya dimuat pula di pelbagai media massa. Dari senarai karyanya, jelaslah bahwa Machzumi Dawood tergolong penyair yang sangat produktif dalam berkarya.
Machzumi Daud menutup senarai penyair pelopor perpuisian modern Kepulauan Riau. Deretan berikutnya bermunculanlah generasi penerus.
Dalam kelompok generasi penerus, tercatatlah nama Abdul Malik. Beliau lebih dikenal sebagai penulis karya ilmiah tentang sastra-budaya, esai sastra-budaya, dan cerpen. Malik telah mulai menulis sejak 1981 ketika kuliah di Universitas Riau, Pekanbaru. Dari 1985 sampai sekarang beliau telah menerbitkan 40 buku sastra dan budaya, baik sebagai penulis tunggal maupun karya bersama penulis lain, dalam dan luar negeri. Dalam bidang puisi, beliau telah menulis sejumlah sajak cinta sejak 1980-an yang sampai kini belum diterbitkannya karena dihasratkan untuk diterbitkan setelah pensiun sebagai dosen (profesi yang ditekuninya sekarang) atau sekurang-kurangnya setelah tak lagi menjabat sebagai pejabat struktural universitas sebagai kenang-kenangan di masa tua. Puisi-puisinya terbit dalam karya bersama Percakapan Lingua Franca (2010) dan sejumlah sajaknya terbit di pelbagai media massa yang terbit di Riau dan Kepulauan Riau. Beliau pun telah menerima pelbagai penghargaan dari dalam dan luar negeri.
Nama Tusiran Suseno juga sangat terkenal dalam deretan penulis Kepulauan Riau. Menariknya pula, dalam bidang puisi, beliau menerbitkan Mari Berpantun (2003) yang merupakan puisi tradisional dan merupakan satu-satunya karya tunggal beliau dalam bidang puisi. Dengan demikian, penyair yang berprofesi sebagai penyiar RRI ini tercatat sebagai orang kedua di Kepulauan Riau yang membukukan pantun setelah Haji Ibrahim. Puisi-puisi beliau yang lain dibukukan dalam kumpulan bersama penulis lain, yakni Karya Cipta Sastrawan Kepulauan Riau (1994), Sajak di Mimbar DPR (1998), Rampai Melayu untuk Kepulauan Riau (2006), dan Jalan Bersama 2 (2008).
Abdul Kadir Ibrahim (Akib) adalah penyair Kepulauan Riau yang juga birokrat. Sebagai penyair, puisi-puisi Akib cenderung berbeda dengan penyair lain dalam hal tipografinya. Kenyataan itu menyebabkan puisinya tampil beda di samping maknanya yang cenderung religius. Dalam karir kepenyairannya, Akib telah menerbitkan buku puisi 66 Menguak (1991), Negeri Airmata (2004), dan Menguak Negeri Airmata Hang Tuah (2010). Bersama penyair lain, Akib menerbitkan buku puisi Menggantang Warta Nasib (1992), Pancang-Pancang Universitas Riau (1994), Sagang ’96 (1996), 142 Penyair Menuju Bulan (2006), dan Rampai Melayu untuk Kepulauan Riau (2006), dan Sergam (2018). Sejumlah puisinya juga terbit di pelbagai media massa. Akib termasuk sastrawan Kepulauan Riau yang produktif dan telah menerima pelbagai perhargaan.
Dalam senarai penyair Kepulauan Riau termaktublah nama Hoesnizar Hood. Selain menulis puisi, penyair yang juga wakil rakyat (anggota legislatif) ini, juga dikenal sebagai penulis esai yang sangat produktif. Penyair yang senantiasa mengangkat tema degradasi kebudayaan dan kritik sosial ini telah meneribitkan buku puisi Kalau: Tiga Racik Sajak (1997) dan Tarian Orang Lagoi (1999). Dalam pada itu, beliau juga menerbitkan karya bersama penyair lain, yakni Karya Cipta Sastrawan Kepulauan Riau (1994), Sajak di Mimbar DPR (1998), Jazirah Luka dan Sajak-Sajak Lainnya (1999), Tersebab Senandung Laut Hitam (2002), dan Rampai Melayu untuk Kepulauan Riau (2006). Beliau pun menerbitkan karya bersama penyair negara jiran Makam (2000). Hoesnizar Hood, dalam karirnya sebagai seniman, telah menerima pelbagai penghargaan dan anugerah seni, yang memmbuktikan bahwa karya-karya diakui secara nasional.
Nama Bhinneka Surya Sam tak dapat dilupakan dalam daftar penyair Kepulauan Riau. Polisi yang menjadi penyair ini karya tunggal Selusuh (1997). Selain itu, Tok Mok—begitu beliau biasa disapa—juga menerbitkan karya bersama penulis lain: Tanda Mata (1996), Sajak di Mimbar DPR (1998), Rampai Melayu untuk Kepulauan Riau (2006), dan Ka Te Pe (2007).
Penyair Junewal Muchtar juga termasuk generasi penerus perpuisian modern Kepulauan Riau. Dari penyair ini Kepulauan Riau mewarisi buku-buku puisi Batu Api (1999), Perjalanan Darah ke Kota (2003), Sembilu Rindu (2003), dan Topeng Makyong (2008). Lawen—nama sapaannya—juga menerbitkan karya bersama Sajak di Mimbar DPR (1998), Jazirah Luka dan Sajak-Sajak Lainnya (1999), Tersebab Senandung Laut Hitam (2002), Rampai Melayu untuk Kepulauan Riau (2002), dan Jalan Bersama 2 (2008). Dari senarai karyanya itu, jelaslah bahwa Lawen tergolong penyair yang tunak dalam bidangnya.
Tarmizi atau lebih dikenal dengan nama Tarmizi Rumahitam juga penyair yang produktif. Karyanya telah terangkum dalam 23 antologi puisi. Buku puisinya yang telah terbit 4 th Rumahitam (2004). Dalam kumpulan bersama terdapat Puisi Rumpun Kita (2008), Akulah Musi (2009), Jalan Menikung ke Bukit Timan (2009), Sauk Seleko (2010), Segara Aksara (2010), Tuah Tarano Ate (2011), Puisi Menolak Korupsi 2 (2013), Rumah Peradaban (2014), dan Medan Sastra (2017). Tarmizi telah membacakan puisi-puisinya di dalam dan luar negeri, termasuk di Guimet (Museum Seni Asia) di Paris, Perancis.
Deretan penyair modern Kepulauan Riau juga mencatatkan nama penting ini. Beliau tiada lain Suryati A. Manan. Perempuan, yang PNS kemudian menjadi Walikota Tanjungpinang tiga periode, itu tergolong produktif menulis puisi. Sebagai penyair, beliau telah menerbitkan Melayukah Aku (2007), Perempuan Walikota (2008), dan Surat untuk Suami (2010). Selain itu, karya beliau terbit dalam kumpulan bersama: Jalan Bersama (2008), Perempuan dalam Makna (2009), dan Bual Kedai Kopi (2010). Kehadiran Suryatati dalam barisan penyair modern Kepulauan Riau telah membuat kreativitas perpuisian menjadi lebih bergairah lagi. Beliau pun telah menerima pelbagai penghargaan dalam baktinya sebagai penyair.
Kepulauan Riau juga memiliki penyair hebat Ramon Damora. Beliau telah menulis puisi sejak kuliah di IAIN Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru, Riau. Dalam bidang puisi, beliau menerbitkan Bulu Mata Susu (2007) dan Soneta Anai-Anai (2015). Selain itu, sajak-sajaknya terbit dalam 12 antologi bersama, antara lain, 60 Puisi Indonesia Terbaik (2009), Traversing/Merandai, kumpulan puisi dwibahasa: Indonesia-Inggris, (2009), Cinta, Kenangan, dan Hal-Hal yang Tak Selesai (2011), Matahari Cinta Samudera Kata (2016), dan Yang Datang Setelah Khairil (2016). Dua sajaknya dalam Soneta Anai-Anai diterjemahkan dan dimuat dalam kumpulan puisi berbahasa Perancis Florilege (2017). Selain itu, puisi-puisinya juga terbit di pelbagai media massa di Indonesia. Ramon Damora juga telah meraih beberapa penghargaan dalam kiprahnya sebagai penyair.
Ada juga nama Harfan Min Kitabillah dalam senarai penyair modern Kepulauan Riau. Beliau telah meneribitkan buku puisi Teduh Bulan Maret (2016) dan Matahari Menggelinding dari Puncak Garis Miring (2017). Selain itu, ada kumpulan bersama Sergam (2018). Buku puisi Matahari Menggelinding dari Puncak Garis Miring karya penyair yang juga pengasuh Pesantren Mata Hati ini menjadi karya terpilih penerbitan buku puisi Dewan Kesenian Kepulauan Riau.
Nama Yuanda Isha juga memperkaya senarai penyair modern Kepulauan Riau. Buku puisinya yang telah terbit adalah Seribu Satu Puisi (2015), Perempuan Menulis (2017), dan Sejak Kau Ajari Aku Membaca (2017). Antologi bersamanya terdiri atas Etape Perjalanan Malam (2014), Nyanyian Asmara Perempuan Luka (2014), Menyemai Ingat Menuai Hormat (2015), Kidung Cinta Yuanita (2015), Blencong (2016), Akar Rumput (2017), Akar Cinta Tanah Air Udara Indonesia (2017), Masih Ada Matahari yang Akan Terbit (2017), Mengunyah Garam (2017), dan Sergam (2018). Selain itu, beliau menggagas buku Tembang Jiwa Kelana (2015), Aku dan Sebuah Cerita (2015), Serunai Bambu (2016), Nyanyian Roemah Kita, dan Rumah Doa (2017). Puisi-puisinya juga terbit di sejumlah media massa.
Selepas generasi penerus perpuisian modern itu, muncul pula generasi baru yang penuh harapan. Mereka terdiri atas Rendra Setyadiharja yang telah menerbitkan Gurindam Mutiara Hidup (2010), Fatih Muftih, Tak Melayu Hilang di Jawa (2011), Yoan Sutrisna Nugraha, Negeri Pantun (2011), Rudi Rendra, Teduh Bulan Maret (2014) dan Matahari Tergelincir dari Kaki Miring (2017), Barozi Alaika, Perempuan Mengingat Lelaki Melupa (2017), Al Mukhlis, Rahasia Bola Mata (2017), Irwanto Rawi Al Mudin dalam antologi bersama Sajak 64 Penyair (2011), Sayap-Sayap Bening (2012), Bebas Melata 3 Negara (2012), dan Sergam (2018), serta Jonni Pakkun dalam antologi bersama Sergam (2018). Puisi-puisi penyair muda itu pun terbit di sejumlah media massa.
Dengan memperhatikan senarai di atas, dapatlah dikatakan bahwa masa depan perpuisian Kepulauan Riau masih tetap cerah dan menjanjikan untuk meneruskan tradisi yang telah berlangsung berbilang abad. Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan oleh generasi muda adalah harus dijaga konsistensi dalam berkarya dan kualitas karya. Pasalnya, dalam bidang kesusastraan, puisi khasnya, para sastrawan dan penyair Kepulauan Riau terdahulu senantiasa diperhitungkan dalam perkembangan kesusastraan nasional, bahkan regional. Padahal, orang-orang yang menjadi sastrawan Kepulauan Riau sejak dahulu profesinya beraneka ragam. Dalam bidang inilah ungkapan Hang Tuah masih dapat kita pertahankan, “Tuah sakti hamba negeri, esa hilang dua terbilang, patah tumbuh hilang berganti, tak Melayu hilang di bumi.” Semoga!***