Pantun adalah sebuah karya sastra yang unik. Ianya bukan saja merupakan kekayaan budaya yang lahir dari produk tradisi lisan sebuah peradaban.
Namun pantun juga merupakan suatu representasi dari perasaan atau jiwa manusia di dalamnya. Manusia yang menciptakan pantun telah menyusun identitasnya di dalam pantun tersebut. sehingga dari pantun kita mengetahui bagaimana jati diri sebuah bangsa yang hidup dalam sebuah peradaban yang kemudian menciptakan pantun tersebut.
semakin baik pantun disusun, baik dari sisi persajakannya, bunyi, rima dan maknanya, menunjukkan semakin baik juga budi bahasa, budi pekerti dan keilmuan insan yang menciptakan pantun tersebut.
Bangsa Melayu, khususnya Melayu Riau, Kepulauan Riau dan semenanjung malaya atau Malaysia saat ini, masih menjadikan pantun sebagai bagian dari pola komunikasi atau sebagai tradisi bersastra.
Maka dapat disimpulkan bahwa bangsa-bangsa ini telah menuliskan jati dirinya di dalam bait-bait pantun yang disusun. Maka tak salah jika Wilkinson dan Winstedt sebagaimana yang dikutip oleh Salleh (2018) menjelaskan bahwa “tak ada sesiapa pun yang dapat memahami keluasan pemikiran orang Melayu tanpa memahami pantunnya”.
Kemudian Salleh (2018) menjelaskan di dalam pantun bukan saja pemikiran, akan tetapi perasaan, kesenian dan alam sekitar kehidupan orang Melayu tersebut.
Di dalam pantun terdapat berbagai simbol seperti kasih sayang, cinta, berahi, marah, kecewa, senang dan perasaan lain yang timbul dari penyusun pantun tersebut. sehingga pantun idealnya bukanlah hanya sebuah kata-kata lugas yang maknanya jelas akan tetapi sebuah pengandaian dan lambang perasaan yang kemudian disusun dan diperkaya dengan metafora.
Makna dalam sebuah sampiran dan isi pantun, dapat berupa hal-hal yang menafsirkan alam yang kemudian punya hubungan dengan makna kehidupan manusia.
Itulah sebabnya bisa dikatakan bahwa bangsa yang menyusun pantun, ianya sangat arif melihat alam sekitarnya, kemudian ia mampu memaknai secara filosofis alam sekitar tersebut dan kemudian diandaikan dengan simbol perasaan dan kemudian tersusunlah dalam sebait pantun.
Pantun juga tak jarang merupakan pepatah bagi kehidupan manusia, yang tersusun secara halus dan penuh makna. Pepatah itu muncul dari perpaduan dan perjodohan sampiran dan isi yang sangat bernas.
Salleh (2018) menjelaskan bahwa dalam sebuah kumpulan pantun misalnya yaitu pada buku Kurik Kundi Merah Saga karangan Mohd. Thani Ahmad dan Jamilah Hj. Ahmad (1990), terdapat beberapa pantun yang tidak langsung memberikan makna kepada pembacanya, tetapi dengan permainan bahasa dan metafora yang halus masih membenarkan kita berpikir antara lambang. Jadi kita diberikan dua perangkatan bayangan dan kita sebagai pembaca pantun diminta terus bermain dengan makna-makna dan simbol yang kemudian harus kita terjemahkan.
Salleh (2018) pun kemudian memberikan contoh salah satu pantun yang disusun dengan penuh lambang-lambang yang kemudian ianya menjadi sebuah pepatah yang kita harus menterjemahkan makna dari pantun tersebut. Perhatikan pantun berikut.
Masuk hutan dalam belukar
Hendak cari pucuk rotan
Sebab durian menjadi mangkar
Waktu luruh ditimpa kawan
(Sumber Pantun: Muhammad Haji Salleh, 2018)
Sebagaimana penjelasan Salleh (2018) pantun di atas, merupakan sebuah metafora atau pengandaian sebuah perasaan manusia yang dikhianati. Makna sebuah pencarian yang sangat susah dan sulit dilakukan oleh seseorang kemudian pada akhirnya dikhianati oleh temannya sendiri.
Simbol “durian yang mangkar” adalah menjadi suatu kekecewaan karena kondisi durian sudah rusak karena ulah temannya sendiri. Begitulah orang Melayu menyusun sebuah perasaan kecewa karena dikhianati namun dengan pengandaian durian yang mangkar. Sehingga dengan jelas bahwa di dalam pantun di atas, mengandung pepatah yang kemudian pembaca harus bermain dan terus mencari makna sesungguhnya.
Di dalam kesempatan kali ini, penulis juga menyusun pantun yang isinya terdiri dari simbol-simbol yang kemudian tersusun menjadi pepatah yang pembaca harus terus mencari makna dari pantun tersebut. Perhatikan dua pantun berikut ini.
Bagai langit enggan mengitam
Tapi guruh hujan bertakung
Bagai ayam enggan mengeram
Tapi riuh kokok sekampung
Bagai memotong air di paya
Namun sia juga dilakukan
Bagai menolong sampai ke muara
Namun kita jua dibinasakan
Perhatikan kedua pantun di atas. Baik di dalam sampiran dan isinya mengandung metafora yang punya hubungan maknawi yang sama. Namun tidak hanya itu. Pada isinya masih terdapat simbol yang membentuk sebuah pepatah yang pembaca harus menterjemahkan maknanya.
Pada pantun pertama di atas. Pada sampiran dan isi punya hubungan maknawi yaitu sama-sama bermakna “enggan melakukan sesuatu yang dampaknya tidak akan ada hasil apapun”. Langit yang tidak mendung akan kecil kemungkinan menimbulkan petir yang disertai hujan lebat sehingga menyebabkan banjir. Begitu juga ayam yang enggan mengeram sebuah telur secara alamiah, akan kecil kemungkinan untuk menetaskan telur. Namun pepatah yang muncul di dalam pantun pertama di atas, adalah pada isinya yaitu “bagai ayam enggan mengeram, tapi riuh kokok sekampung”. Isi pantun ini mengajak pembaca pantun untuk memberikan arti sesuai dengan pemikiran pembaca.
Namun penulis pantun ini telah menitipkan rasa kecewa, benci dan marah pada seseorang yang tidak ingin berbuat apapun atau tidak dapat berbuat apapun atau tidak berkarya apapun, namun orang tersebut hanya mampu membuat keributan, menyebarkan fitnah, mengejak, menghina apa yang dilakukan orang lain, sementara ia sedikit pun tak mampu berbuat apapun untuk menjadikan keadaan disekitarnya lebih baik.
Disinilah perasaan orang yang menyusun pantun tertuang. Maka dengan kata lain. Jati diri perasaan penyusun pantun ketika ia menyusun pantun tersebut ia curahkan dalam bahasa yang indah yang kemudian menciptakan makna yang tinggi dalam pola komunikasi dan juga bernilai sastra.
Pada pantun kedua, sampiran dan isinya juga memiliki hubugan maknawi yaitu “sebuah pekerjaan sia-sia yang hasilnya tidak akan menghasilkan apapun”. Namun pada isi pantun sesungguhnya terdapat sebuah pepatah yaitu “bagai menolong sampai ke muara, namun kita jua dibinasakan”. Secara makna adalah sama dengan “bagai memotong air di paya, namun sia juga dilakukan”, yaitu bermakna pekerjaan yang sia-sia yang tidak mendatangkan hasil.
Namun makna pepatah yang dititipkan oleh penyusun pantun adalah rasa sedih penulis pantun karena pekerjaan yang dilakukan bukan mendapatkan hasil yang baik bahkan mendapat celaka atau merugikan sama sekali. Kata “bagai menolong sampai ke muara” bermakna telah menolong seseorang sampai pada tujuannya. Namun makna “namun kita jua dibinasakan” mengandung arti setelah menolong orang sampai pada tujuannya, bukan ucapan terima kasih atau apapun yang didapatkan bahkan yang telah menolong malah dijerumuskan pada sesuatu yang tidak menguntungkan atau bahkan dibinasakan.
Kedua makna dari pantun di atas, hampir selalu kita jumpai dalam kehidupan kita sehari-hari. Namun begitulah arifnya orang yang menyusun pantun. Rasa kecewa, benci, sedih dan marah yang dirasakan akibat dari pergaulan dengan teman dalam kehidupan, tidak dituangkan dengan caci maki, namun dituangkan dengan sebuah pola komunikasi yang sopan dan santun.
Bahkan bernilai sastra, yaitu dengan menggunakan pantun. Begitulah tingginya etika dan tutur bahasa bangsa Melayu yang mengunakan pantun dalam kehidupannya. Dalam hidupnya ada pantun sebagai pola etika dan tutur santun dalam berbahasa. Walaupun ianya dalam kecewa, benci, sedih, dan marah, akan tetapi tak perlu lagi menyakiti orang lain.
Cukup ia tuangkan di dalam sebuah bahasa yang indah yang mungkin pembacanya justru akan memuji ketinggian tutur bahasanya yang sopan dan santun. Begitulah representasi jati diri sebuah bangsa dalam pantun.
Maka di dalam pantun sesungguhnya terdapat budi yang halus, dan bahasa tutur yang indah. Sebagai pembungkus rasa sedih, gundah dan kecewa yang mendalam.