SEMUA pemimpin, secara potensial, boleh berjaya dalam kepemimpinannya. Secara umum, indikator kejayaan pemimpin adalah kepemimpinannya memang memuaskan sebagian besar rakyat, yang memang diakui secara jujur oleh rakyat atau masyarakat yang dipimpinnya. Dalam keadaan demikian, pemimpin dan rakyat secara bersama-sama dapat menikmati hasil kepemimpinan yang dilaksanakan dengan baik secara mengesankan.
Kejayaan kepemimpinan seperti itulah yang didambakan oleh setiap pemimpin. Walaupun begitu, tak semua pemimpin mampu mewujudkan harapannya itu karena pelbagai faktor, baik internal maupun eksternal.
Akan tetapi, pemimpin yang mendasarkan bakti kepemimpinannya dengan niat yang suci dan bekerja dengan ikhlas, walaupun menghadapi pelbagai cabaran, pasti akan menuai kejayaan kepemimpinan.
Kejayaan kepemimpinan mempersyaratkan, antara lain, sang pemimpin mencintai rakyat dan negerinya dengan sepenuh hati. Di pihak lain, rakyat pun mencintai pemimpinnya dengan sesungguhnya, bukan karena direkayasa oleh sang pemimpin dengan pelbagai cara untuk mengecoh rakyat atau masyarakatnya.
Dalam keadaan pemimpin mencintai rakyat dan sebaliknya rakyat pun demikian pula kepada pemimpinnya, buah manis kepemimpinan akan dinikmati. Hasilnya tentulah negeri makmur, aman, dan sentosa; rakyat sejahtera; serta sang pemegang teraju kepemimpinan akan mencatatkan namanya sebagai pemimpin terbilang.
Dalam kondisi yang ideal itu, jangankan manusia, bahkan waktu pun tak pernah sanggup menghapus ingatan sesiapa pun sepanjang perjalanan sejarah suatu bangsa dan umat manusia.
Dari perspektif tamadun Melayu yang berteraskan ajaran Islam, kepemimpinan merupakan suatu amanah. Oleh sebab itu, ianya tak boleh diperebutkan karena akan buruk padah (akibat)-nya jika dilanggar atau mengingkari ketentuan amanah itu.
Sesuatu amanah baru dapat dilaksanakan dengan benar dan baik jika ianya didasari oleh cinta dan doa. Dalam hal ini, kedua-duanya secara resiprokal pemimpin dan rakyat saling berdoa untuk kejayaan kepemimpinan. Pedomannya terdapat dalam wasiat Baginda Rasulullah SAW.
Dari ‘Auf ibn Malik, beliau berkata bahwa beliau mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baiknya pemimpin kalian ialah orang yang kalian cintai dan mereka [maksudnya, para pemimpin, A.M.] itu pun mencintai kalian. Juga, kalian mendoakan kebaikan untuk mereka dan mereka pun mendoakan kebaikan untuk kalian.
Sebaliknya, seburuk-buruknya pemimpin kalian ialah orang-orang yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, juga kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian,” (H.R. Muslim).
Berdasarkan petunjuk dari Baginda Rasulullah SAW itulah, Raja Ali Haji rahimahullah memerikan keyakinan melalui karya beliau. Dalam syair Abdul Muluk dapat kita jumpai bait-bait yang menegaskan mustahaknya rasa cinta seseorang pemimpin terhadap rakyatnya.
Masyhur khabar segenap negeri
Abdul Hamid Syah Sultan Barbari
Adil dan murah bijak bestari
Sangatlah mengasihi dagang senteri
………………………………………….
Jika ayahanda sudahlah mati
Tinggallah Tuan menjadi ganti
Hendaklah siasat jangan berhenti
Rakyat tentara jangan disakiti
Bait-bait syair di atas berkisah tentang sifat dan perilaku Sultan Abdul Hamid Syah, pemimpin Negeri Barbari, yang sangat mencintai rakyatnya. Larik /Sangatlah mengasihi dagang senteri/ menandai hal ini sehingga Sultan Barbari berjaya membawa negeri dan rakyatnya menuju singgasana kemakmuran dan kesejahteraan, bahkan mampu mengangkat marwah negerinya secara memesona.
Berdasarkan pengalaman itulah, menjelang sampai ajalnya, Sang Sultan berwasiat kepada pewaris tahtanya, anakandanya Abdul Muluk, untuk menjadikan cinta sejati kepada rakyat dan tentara sebagai kunci utama pembuka gerbang kejayaan kepemimpinan: /rakyat tentara jangan disakiti/.
Dengan keyakinan yang kuat itu pulalah, kemudian, Raja Ali Haji mengukuhkan amanat beliau melalui Gurindam Dua Belas, Pasal yang Kesebelas, bait 5, dan Pasal yang Kedua Belas, bait 4—5 tentang kewajiban pemimpin mengasihi orang yang berilmu dan menghormati orang yang pandai. Kesemuanya bermuara pada cinta-kasih dalam kepemimpinan. Berikut ini Gurindam Dua Belas, Pasal yang Kesebelas, bait 5.
Hendak dimalui
Jangan memalui
Larik-larik dalam bait gurindam di atas bermakna ‘jika hendak dihormati orang /Hendak dimalui/, setiap pemimpin tak boleh melanggar syarat dan atau ketentuan kepemimpinan yang benar dan baik: /Jangan melalui/. Dalam kaitannya dengan kepemimpinan, sesiapa pun pemimpinnya harus mampu mencintai rakyat (dan negeri)-nya dengan cinta sejati dan sepenuh hati berasaskan ketaatan untuk melaksanakan amanah Allah.
Jika syarat dan ketentuan itu diabaikan, alamat kepemimpinan akan mengundang malapetaka dan musibah. Rakyat dan tentara akan membenci pemimpinnya sebagai indikator kegagalan sekaligus kejatuhan pemimpin. Perkara itu dengan sangat jelas pula dinarasikan oleh Raja Ali Haji dalam syair nasihat dari karya beliau dalam bidang politik, hukum, dan pemerintahan: Tsamarat al-Muhimmah. Berikut ini nukilan bait syair yang bermuatan tunjuk ajar tersebut.
Jika tergelincir pekerjaan salah
Pekerjaan anakanda beroleh lelah
Rakyat tentara tentu bencilah
Barangkali datang murkanya Allah
Jika berpaling dari rasa cinta terhadap rakyat dan negeri, pemimpin sengaja mengundang kebencian rakyat dan tentara terhadap dirinya. Dalam keadaan serupa itu, tak akan ada lagi marwah, wibawa, dan daya kepemimpinan seseorang pemimpin. Apa pun yang hendak direkayasa dan diupayakan untuk bertahan, kesemuanya itu tak akan berguna. Musibah yang, justeru, sangat dekat menghampiri adalah kejatuhan, kecelaan, kenestapaan, dan kehinaan kepemimpinan.
Apatah lagi, murka atau kemarahan Allah tak mungkin lagi dielakkan karena sang pemimpin tak memiliki iktikad baik untuk melaksanakan amanah dan anugerah istimewa yang telah diberikan oleh Tuhan. Contoh pemimpin gagal dan secara tragis harus terhempas sangat banyak dipersaksikan oleh Allah kepada kita dalam rentang waktu dan jarak geografis yang dekat ataupun jauh. Kesemuanya disediakan untuk dijadikan tamsil-ibarat bagi membangun tradisi kepemimpinan yang kuat lagi unggul berdasarkan pedoman Ilahi.
Dalam kejatuhan kepemimpinan yang memalukan, tak perlu disesali nasib untung di badan. Karena apa? Telah sangat banyak contoh dan tauladan yang ditunjukkan oleh Tuhan.
Malangnya, semua alamat dan tanda-tanda zaman, yang seyogianya dijadikan pelajaran dan sempadan supaya terhindar dari kedurhakaan, hanya dianggap sebagai angin lalu yang datang dan pergi tanpa berkesan. Praktik dan perilaku penuhanan diri itulah yang paling banyak mencelakakan pemimpin dalam setiap peradaban yang pernah dilalui dan dilakoni oleh umat manusia zaman-berzaman.
Lebih malang lagi, ada juga gejala yang tak jarang muncul ke permukaan bahwa kecelakaan dan kegagalan itu dijadikan dalih untuk menyalahkan Tuhan. Padahal, syahwat kekuasaan yang bersumber dari hati yang didorong oleh motivasi syaitaniahlah yang menutup nurani untuk melihat sekaligus mengejar kebenaran. Akibatnya, tangan yang mencencang, bahulah yang harus memikul beban.
Hebatnya, tak hanya di dunia, di akhirat pun masih akan ada sederet panjang soal-jawab yang diajukan oleh Tuhan sebagai pertanggungjawaban kepemimpinan. Itu memang kontrak yang telah disetujui oleh sesiapa pun yang menyiapsediakan diri untuk menjadi pemimpin. Pasalnya, seperti yang dikemukakan di muka, kepemimpinan itu amanah Allah yang sangat tak patut untuk diselewengkan.
“Maka Kami hukumlah Firaun dan bala tentaranya, lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut. Maka, lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim. Dan, Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tak akan ditolong. Dan, Kami ikutkanlah laknat kepada mereka di dunia ini dan pada hari kiamat mereka termasuk orang-orang yang dijauhkan (dari rahmat Allah),” (Q.S. Al-Qashash, 40—42).
Sesuai dengan kualitas pemimpin yang diidealkan (mencintai rakyat dan negeri), yang selaras pula dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, kita masih disuguhi contoh pemimpin yang memenuhi syarat ketauladanan itu. Di dalam Tuhfat al-Nafis, Raja Ahmad Engku Haji Tua dan putranya Raja Ali Haji mengemukakan contoh pemimpin yang patut ditiru.
“Syahadan apabila mangkatlah Sultan Mansur Syah ini maka menggantikan kerajaannya puteranya Sultan Alauddin Riayat Syah. Adalah baginda itu sangat suka mengawali negeri pergi sambang malam dengan dirinya sendiri, dan beberapa kali ia membunuh penyamun dan pencuri dengan tangannya sendiri dan menghukumkan dengan adil dan bencikan orang yang jahat-jahat serta memelihara harta benda orang,” (Matheson 1982, 7).
Sultan Alauddin Riayat Syah yang diperikan di atas merupakan keturunan Diraja Dinasti Melaka. Baginda, menurut Tuhfat al-Nafis, adalah tauladan pemimpin yang sangat mencintai rakyat dan negerinya. Karena cinta itulah, Baginda terjun langsung memerangi para penjahat yang hendak mencerobohi negeri dan rakyatnya. Dengan kepiawaian memimpin itu, Baginda sangat dicintai oleh rakyatnya. Alhasil, cinta yang tulus sang pemimpin mendapat balasan yang setimpal dari rakyatnya sehingga memungkinkan negeri (dalam hal ini, Kerajaan Melaka kala itu) mencapai kejayaan: aman, makmur, dan sentosa. Bersamaan dengan itu, daulat rakyat jadi terjulang dan marwah pemimpin pun semakin terbilang.
Cintailah rakyat dengan segala konsekuensinya. Dengan begitu, pemimpin akan dicintai pula oleh rakyat. Itulah amanat Raja Ali Haji melalui karya-karya beliau. Jika pemimpin dan rakyatnya hidup dalam cahaya cinta-kasih dan saling berdoa untuk kebaikan, kejayaan kepemimpinan pun akan menyerlah dengan rahmat Allah.
Dari situlah semua kisah kebahagiaan sesungguhnya, termasuk kebahagiaan kepemimpinan, akan menghiasi hari-hari yang akan terasa selesa untuk dinikmati. Dan, semua wasiat Raja Ali Haji itu saling tak tumpah dengan petunjuk Ilahi, yang sudah barang tentu menjadi referensi utama beliau.
“Dan, berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan. Maka, Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu, karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara, dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk,” (Q.S. Ali ‘Imran:103).
Di antara kunci kejayaan kepemimpinan itu ternyata cinta dan doa rakyat serata negeri. Oleh sebab itu, setiap pemimpin seyogianya berupaya sekuat dapat untuk membangkitkan cinta-kasih rakyat dengan cara dan jalan yang benar. Dia sanggup membuktikan kinerja yang unggul untuk mengangkat martabat bangsanya, bukan sebaliknya dengan helah yang memperdaya rakyat dan mempermalukan bangsanya.
Dalam hal ini, niat, perkataan, dan perbuatan pemimpin sangat menentukan keberhasilannya merebut hati rakyat. Atas dasar itulah, sesebuah negeri dapat dibangun secara benar dan baik sehingga hasilnya bermanfaat bagi bangsanya. Sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, pemimpin, rakyat, dan negeri yang disinari oleh cahaya cinta-kasih yang bersebati dengan kalimat-kalimat doa untuk kebaikan akan dimudahkan untuk mencapai matlamat kemajuan yang didambakan.
Kuncinya pada pemimpin. Tentu, rakyat juga bertanggung jawab terhadap maju-mundurnya negerinya karena rakyatlah yang memilih pemimpinnya. Kalau kita hendak terpandang dalam pergaulan bangsa-bangsa sedunia, seyogianya kita berupaya semampu-mampunya untuk memilih pemimpin yang sanggup mewujudkan cita-cita mulia itu melalui bakti yang berlandaskan niat yang suci. “Hendak dimalui, jangan melalui,” wasiat Raja Ali Haji.***