MENJELANG akhir abad ke-19 di Pulau Penyengat, fungsi syair telah melangkah lebih maju. Menurut Dr. Ian Proudfoot (1993), ketika itu bahasa dan format syair telah menjadi wahana ‘yang efektif untuk menyampaikan informasi kepada khalayak yang lebih luas, ketimbang narasi corak hikayat yang dikenal ketika itu.’
Dalam semangat itu, meminjam pendapat Dr. Jan van der Putten (2001), kita mulai diperkenalkannya dengan syair-syair Melayu yang berusaha menggambarkan realitas. Salah satu contohnya adalah Syair Perkawinan Kapitan Tik Sing.
Tiga Salinan Manuskrip
Berdasarkan beberapa katalogus, terdapat tiga salinan manuskrip Syair Perkawinan Kapitan Tik Sing. Dua salinan berada dalam simpanan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) di Jakarta, dan satu salinan menjadi koleksi Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Dua salinan Syair Perkawinan Kapitan Tik Sing dalam simpanan PNRI berasal dari koleksi Herman Von de Wall, sahabat Raja Ali Haji yang pernah bermastautin di Tanjungpinang antara 1850-an hingga 1870. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4 Koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (1998) mencantumkan dua salinan manuskrip tersebut dengan dua nomor katalogus yang berbeda, dan judul yang sedikit berbeda pula.
Namun demikian, secara tekstual isi kedua manuskrip koleksi PNRI ini sangat identik: manuskrip dengan nomor katalogus ML 168 judulnya adalah Perkawinan Kapitan Tik Sing, sedangkan manuskrip W 271 berjudul Syair Perkawinan Kapitan Tik Sing. Kedua manuskrip koleksi PNRI ini tidak mempunyai kolofon yang menjelaskan siapa penulis dan penyalinnya, begitu juga dengan tarikh penyalinan dan penulisannya.
Dari segi iluminasi (hiasan) dan formatnya, manuskrip ML 168 koleksi PNRI adalah sebuah manuskrip yang unik dan menarik. Satu-satunya salinan, dari tiga manuskrip Syair Perkawinan Kapitan Tik Sing yang diketahui, yang diberi iluminasi floral cukup indah.
Jika manuskrip W 271 ditulis dalam format kitab atau buku yang lazim dengan 33 x 20 cm dan tebal 80 halaman, maka manuskrip W 168 ditulis dalam format yang ‘tak lazim’: ditulis pada 37 lembar kertas berukan 26 x 16 cm, yang kemudian disambung memanjang dan diperkuat dengan kertas surat kabar bekas. Sambungan manuskrip ini kemudian dilipat-lipat model ‘akordion’. Bila direntangkan maka maka ukuran panjangnya mejadi 1.040 cm.
Ada pun manuskrip ketiga, yang diberi nomor katalogus KI. 180, adalah koleksi Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Asalnya adalah penulis kamus dan ahli bahasa Melayu H.C. Klinkert, yang membelinya ketika bermastautin di Tanjungpinang antara tahun 1864 hingga 1867.
Sama seperti dua manuskrip koleksi PNRI, manuskrip koleksi Perpustakaan Universitas Leiden ini tak berjudul. Oleh Klinkert, manuksrip dalam format buku berjahit dengan ukuran 21 x 13 cm ini diberi judul Syair Kawin Tan Tik Cu: Namun, secara tekstual, sangat identik dengan dua manuskrip koleksi PNRI di Jakarta.
Menurut Dr. Jan van der Putten (2001) dan Raymond Menick (1988), Klinkert telah memberikan judul yang salah kepada manuskrip koleksinya, karena isi syair tersebut berkenaan dengan perkawinan saudara tiri Tik Cu atau Baba Tik Cu yang bernama Oei Tik Sing alias Tik Sing.
Sepanjang bait-bait syair ini, nama Tik Cu hanya disebut sekali, dalam sebuah bait sebagai berikut:Â Seorang laki-laki anak yang bungsu/Dinamakan kapitan Baba Tik Cu/Sangatlah comel rupanya itu/ Kasih Kapitan bukan suatu.
Walau demikian, manuskrip KI. 180 memberikan informasi tambahan yang tak terdapat dalam manuskrip ML 168 dan W 271 koleksi PNRI di Jakarta. Melalui catatan Klinkert ang ditulis dalam bahasa Belanda di awal halaman manuksrip KI. 180, dapat diketahui bahwa penyusun syair ini adalah seorang Melayu dari Pulau Penyengat (Vervaardig door een Maleijer van Penjengat).
Bait-bait terakhir manuskrip KI. 180 juga menjelaskan nama sang pemiliknya, yaitu Encik Abdullah bin Encik di Supuk yang tinggal di Kampung Bulang, Pulau Penyengat, dan bekerja sebagai seorang penjaring tamban:Â Encik Abdullah konon yang punya/Ibni Encik di Supuk konon dianya/di Kampung Bulang ia tempatnya/Penjaring tamban ia kerjanya.
Dari kolofon di penghujung syair, dapat pula diketahui bahwa manuskrip KI. 180 selesai disalin di Kampung Bulang, Pulau Penyengat, pada pukul 9 malam Jum’at tarikh 14 Zulqaidah 1288 Hijriah besamaan dengan 24 Mei 1861.
Manuskrip koleksi Universitas Leiden ini telah dibuat kajian secara filologis oleh Ramond Menick melalui sebuah tesisnya yang berjudul Syair Perkawinan Tik Sing, yang dipertahankan di Universitas Leiden pada 1988.
Kapitan Tik Sing
Figur utama dalam syair ini adalah Tik Sing. Siapa sesungguhnya Tik Sing, sehingga salah satu sisi kehidupannya diabadikan dalam sebuah syair Melayu yang indah oleh seorang pengarang dari Pulau Penyengat?
Nama batang tubuhnya adalah Oei Tik Sing. Lahir di Tanjungpinang sekitar 1816. Ayahnya adalah Kapitan Oei Ban Hook yang menggantikan posisi Kapitan Ta-Hoo sebagai pemimpin masyarakat Cina Hok-kien (Emoeijer) dan Canton atau Tiochiu (Kantonner): dua komunitas besar masyarakat Cina Tanjungpinang pada abad ke-19.
Setelah ayahnya wafat pada 1843, dua kelompok besar masyarakat Cina Tanjungpinang ini dibagi dua dan dipimpin oleh dua orang Kapitan seperti sebelum tahun 1828. Tik Sing yang ketika itu berusia 27 tahun diangkat menjadi Kapitan menggantikan ayahnya untuk memimpin masyakat Cina Hok-kien (Emoeijer) yang bermukim di Kampung Cina Tanjungpinang.
Sedangkan untuk kelompok masyarakat Cina Canton atau Tiochiu (Kantonner) yang bermukim di Kampong Kwanton di Pulau Senggarang, dipimpin dipimpin oleh Kapitan bernama Tan-Tjiehoed: seorang pedagang dan toke kebun gambir.
Seperti ayahnya, Tik Sing juga saudagar dan pengusaha kebun gambir yang dekat dengan pemerintah Belanda di Tanjungpinang, dan dengan keluarga diraja di Pulau Penyengat, terutama Engku Puteri Raja Hamidah.
Dalam syair ini, kedekatan hubungan antara Tik Sing dengan Engku Puteri Raja Hamidah (yang dalam syair ini juga ditulis Tengku Puteri) digambarkan melalui pesta perkawinannya di Tanjungpinang yang dihadiri oleh ‘pemilik’ Pulau Penyengat itu. Bahkan pesta pernikahannya digelar juga dengan ‘cara Melayu’ ketika ia mengunjungi Engku Puteri di Pulau Penyengat.
Hal ini dimungkinkan karena Engku Puteri adalah bunda angkat Oei Tik Sing, sebagaimana dinyatakan dalam bait-bait syair berikut ini: “…Sembahkan kepada Tengku Puteri/Serta Yang Dipertuan empunya negeri/Kepada tuan besar Residen bestari/Sebarang perintah kita diri/Kapitan mendengar kata isterinya/Terlalu suka rasa hatinya/Sangatlah benar barang katanya/ Karena Engku Puteri bonda angkatnya.
Akhir hidup Tik Sing sangat tragis: tak seindah kisah pesta perkawinannya yang dilukiskan dalam Syair Perkawinan Kapitan Tik Sing. Semua bermula dari persaingan bisnisnya. Pada malam tanggal 27 April 1854 ia tewas dalam sebuah tragedi pembunuhan di rumahnya. Kapitan Tan-Tjiehoed yang kemudian menjadi tersangka utamanya, dibuang ke Menado pada 1862.
‘Syair Jurnalistik’
Syair Perkawinan Kapitan Tik Sing sebuah syair naratif yang mengisahkan kemeriahan pesta perkawinan Oei Tik Sing, anak Kapitan Cina Tanjungpinang yang juga saudagar kaya bernama Oei Ban Hook, dengan anak Nyonya Ku-cing yang berasal dari Semarang: kemeriahan pesta perkawinan itu berlangsung di Tanjungpinang dan Pulau Penyengat.
Latar cerita dan peristiwa dalam syair ini adalah zaman pemerintahan Residen A.L. Andiesse memerintah di Tanjungpinang (1839-1848). Pada masa itu, Engku Puteri Raja Hamidah serta Yamtuan Muda Riau Raja Ali Marhum Kantor bersemayam di Pulau Penyengat, dan Sultan Mahmud Muzafarsyah bersemayam di Daik, Lingga.
Penulis syair ini, seperti diungkapkanya pada bait-bait awal syairnya, adalah sahabat Kapitan Oei Ban Hook (ayah Oei Tik Sing): sang pengarang menjelaskan tujuannya menuliskan kisah pesta perkawinan anak sahabatnya itu adalah sebagai bentuk ingatan yang dinyatakannya dalam bait syair sebagai berikut: Cetera Kapitan dijadikan surat/ Disuratkan oleh cendera ningrat/ Karena dia empunya jadi sahabat/ Dikarangkan syair jadi peringat.
Jan van der Putten (2001) menggolongkan Syair Perkawinan Kapitan Tik Sing sebagai sebuah ‘syair jurnalistik’ (‘jurnalistic syair’). Atau dengan kata lain, sebuah ‘syair reportase’ yang merekam sebuah peristiwa atau realitas yang benar-benar terjadi.
Dua malam pesta perkawinan ’cara Cina’ dan ‘cara Belanda’ di Tanjungpinang, yang kemudian dilanjutkan dengan ‘pesta cara Melayu’ di Pulau Penyengat tiga hari kemudian, dilukiskan oleh sang penulis dengan narasi yang detail.
Nama-nama tokoh yang hadir dalam acara itu tidak fiktif, semuanya ditulis dengan jelas, dan dapat disanding-bandingkan dengan bahan arsip dan bahan sumber sezaman. Terlihat jelas sang penulis syair mengikuti dan melihat setiap peristiwa, tokoh, dan suasana selama pesta pesta penikahan Kapitan Tik Sing yang berlangsung di Tanjungpinang dsn Pulau Penyengat.
Berikut ini adalah nukilan Syair Perkawinan Kapitan Tik Sing, tertutama bagian yang mengisahkan pesta penyambutan yang digelar Engku Puteri Raja Hamidah di Penyengat. Bait-bait syair ini dirumikan bersadasarkan ‘Syair Kawin Tan Tik Cu’, nama lain Syair Perkawinan Kapitan Tik Sing, koleksi Perpustakaan Universitas Leiden:
Disuruh sambut Engku Puteri/ Membesarkan adat Kapitan jauhari/ Ramainya tidak lagi terberi/ Ada yang berjalan ada yang berlari.
Setelah sampai di kota istana/ Lalu berhenti sekaliannya/ Naik ke istana Sultan yang Ghana/ Hendak mengadap permai mengerna.
Naiklah Tik Sing laki isteri/ Dipimpin nyoyah kanan dan kiri/ Dibawa menyembah raja bestari / Ditegur baginda manis berseri.
Setelah sampai ke selasar tengku/ Dua orang pula di situ / Banyak orang berdiri di pintu/ Segera diberi jampalan dan suku.
Tik Sing pun lekas masuk ke dalam/ Mengadap baginda mahkota alam / Baginda semayam di atas tilam/ Di hadapan getaran pualam.
Menyembahkan dia laki isteri/ Menjunjung duli Tengku Puteri/ Serta Tengku Besar raja bahari/ Disambut baginda manis berseri.
Sudah menyembah cara Cina/ Dititahkan duduk di peterakna/ Disanding-sandingkan degan istrinya/ Mangadap nasik berastakona.***