Awal mendekati pertengahan abad ke-19 di Singapura bersinar kepengarangan Munsyi Abdullah bin Munsyi Abdulkadir. Buah karya beliau kesemuanya ditulis dalam bahasa Melayu. Karya-karya Munsyi Abdullah itu penting artinya bagi pengembangan bahasa Melayu sebagai tahap awal menuju tradisi Melayu semimodern.
Kemuncak utama pengembangan dan pembinaan bahasa Melayu terjadi di Kesultanan Riau-Lingga. Sejak pertengahan ke-19 sampai awal abad ke-20 Pulau Penyengat Indera Sakti, Tanjungpinang, menjadi pusat kreativitas ilmu-pengetahuan dan tamadun Melayu. Di sini aktivitas intelektual merecup kembali. Pada masa itu Kesultanan Riau-Lingga menjadi pusat tamadun Melayu-Islam, pasca-Kesultanan Melaka.
Pada masa Kesultanan Riau-Lingga bahasa Melayu telah menunjukkan ciri bahasa Melayu modern dan tetap mempertahankan fungsinya sebagai bahasa komunikasi utama di nusantara dan bahasa internasional. Pelbagai karya dalam beragam bidang ilmu-pengetahuan dikembangkan, termasuk bidang ilmu bahasa sehingga bahasa Melayu telah berwujud bahasa modern.
Berpuluh-puluh penulis telah terbabit dalam kreativitas menulis dan menghasilkan ratusan karya. Pada masa inilah karya tulis Melayu paling banyak dihasilkan. Tokoh utamanya adalah Raja Ali Haji, seorang pakar bahasa, sastra, sejarah, agama, dan pelbagai bidang ilmu lainnya.
Pada 1849 Pemerintah Hindia-Belanda mendirikan sekolah modern bagi bumiputra. Walaupun mereka berupaya hendak menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar pendidikan, Gubernur Jenderal Rochussen menegaskan bahwa pendidikan harus menggunakan bahasa Melayu. Pasalnya, bahasa Melayu telah menjadi alat komunikasi di seluruh nusantara. Lagi pula, rakyat dan raja-raja nusantara menolak penggunaan bahasa Belanda.
Rujukan utama bahasa pendidikan itu adalah karya Raja Ali Haji. Karya tersebut awalnya adalah Syair Abdul Muluk (1846) dan Gurindam Dua Belas (1847).
Kebijakan itu diambil karena bahasa Melayu standar Riau-Lingga (bahasa Melayu Tinggi) telah tersebar luas dan sangat disukai oleh seluruh penduduk Kepulauan Nusantara. Di pihak pemerintah kolonial Belanda, mereka telah memiliki model bahasa Melayu standar dari karya Raja Ali Haji.
Pada 1857 Pemerintah Hindia Belanda mengirim H. von de Wall ke Tanjungpinang. Beliau ditugasi untuk menyusun buku tata bahasa Melayu, kamus Melayu-Belanda, dan kamus Belanda-Melayu untuk kepentingan pendidikan dan administasi pemerintahan Kolonial Belanda. Beliau bekerja sama dengan Raja Ali Haji dan Haji Ibrahim untuk menyelesaikan tugasnya dan mendalami bahasa Melayu.
Bersamaan dengan itu, Raja Ali Haji telah menerbitkan buku tata bahasa dan ejaan bahasa Melayu Bustan al-Katibin (1850) dan Kitab Pengetahuan Bahasa (1858), yakni kamus bahasa Melayu. Kedua karya bidang bahasa Melayu itu melengkapi rujukan untuk pendidikan pribumi di Hindia-Belanda.
Dalam masa tugasnya juga Von de Wall telah menyunting buku karya Haji Ibrahim: Cakap-Cakap Rampai-Rampai Bahasa Melayu Johor, karya dalam bidang etimologi. Jilid pertama buku itu diterbitkan di Batavia pada 1868 dan pada 1872 terbit pula jilid keduanya.
Pada Mei 1864 datang lagi pakar Belanda H.C. Klinkert ke Tanjungpinang. Beliau dikirim oleh Majelis Injil Belanda untuk mempelajari bahasa Melayu yang murni. Tujuannya untuk memperbaiki terjemahan Injil dalam bahasa Melayu.
Karena keunggulan bahasa Melayu tinggi Riau-Lingga itulah, Pemerintah Hindia-Belanda membuat Peraturan untuk Pendidikan Dasar Pribumi yang mulai ditetapkan pada 1872. Pada Pasal 28 peraturan itu disebutkan sebagai berikut.
“Untuk pendidikan dalam bahasa rakyat, dipakai bahasa yang paling murni ucapannya dan yang paling berkembang di tempat-tempat itu. Bahasa Melayu akan diajarkan menurut aturan dan ejaan bahasa Melayu murni yang dipergunakan di Kepulauan Riau dan bahasa-bahasa selebihnya akan ditentukan kemudian,” (Groeneboer 1995, 166).
Jelaslah bahwa pada masa Kesultanan Riau-Lingga telah dilakukan kodifikasi pertama bahasa Melayu oleh Raja Ali Haji dan kawan-kawannya sehingga menjadi bahasa baku dan digunakan dalam sistem pendidikan kolonial Belanda di Indonesia. Selanjutnya, pemerintah kolonial Belanda melakukan kodifikasi kedua untuk lebih memantapkan fungsi bahasa Melayu dalam pendidikan pribumi.
R.M. Suwardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) merupakan orang pertama yang mengusulkan bahasa Melayu dijadikan bahasa persatuan dalam pergerakan nasional jika Indonesia merdeka. Usul itu disampaikan beliau ketika menjadi pembicara Kongres Pengajaran Kolonial di Den Haag, Belanda, 1916.
Pada 2 Mei 1926 dilaksanakan Kongres I Pemuda Indonesia di Jakarta. Selanjutnya, 28 Oktober 1928 diselenggarakan Kongres II Pemuda Indonesia, juga di Jakarta. Putusan Kongres II ini mengukuhkan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional, yang disebut dengan nama bahasa Indonesia dan dikenal sebagai bahasa nasional. Bahasa itulah yang mampu mempersatukan bangsa Indonesia sehingga berjaya merdeka pada 17 Agustus 1945.
Apakah bahasa Indonesia Itu? Dalam makalahnya “Bahasa Indonesia di dalam Perguruan”, yang disajikan dalam Kongres I Bahasa Indonesia di Solo pada 1938, Ki Hajar Dewantara dengan tegas mengatakan, “Yang dinamakan ‘bahasa Indonesia’ adalah bahasa Melayu … dasarnya berasal dari ‘Melayu Riau’.”
Muhammad Hatta, Wakil Presiden I Republik Indonesia, di Majalah Pelangi terbitan 1979 (154-155) mengatakan bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu yang dikembangkan di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau.
Berdasarkan kenyataan itu, Presiden IV Republik Indonesia, K.H. Abdurrahman Wahid, mengapresiasi jasa Raja Ali Haji yang berjaya mengokohkan persatuan bangsa Indonesia sampai sekarang. Akhirnya, Raja Ali Haji dianugerahi gelar Pahlawan Nasional RI dan Bapak bahasa Indonesia pada 2004. Sejak 18 Agustus 1945, bahasa Melayu-Indonesia juga berkedudukan sebagai bahasa negara.
Bagi bangsa asing, bahasa Melayu itu menarik di antaranya karena faktor ini. Penyebarannya telah terjadi berabad-abad sehingga menjadi bahasa internasional. Bahasa itu menonjol karena sederhana susunannya dan sedap bunyinya, tak ada bunyinya yang sulit diucapkan oleh orang asing. Bahasa Melayu dapat menjalankan perannya sebagai bahasa internasional karena syarat kemantapan strukturnya sangat baik.
Logat Melayu yang diutamakan ialah yang digunakan di Kepulauan Riau-Lingga, yakni di Pulau Penyengat dan di Daik-Lingga. Ianya dijadikan rujukan karena sebagian besar kepustakaan tertulis ada dalam bahasa itu dan bahasanya sangat terpelihara.
Sebagai bahasa alamiah, bahasa Melayu telah memenuhi semua fungsinya sebagai alat komunikasi untuk pelbagai bidang kehidupan, termasuk sebagai bahasa sains dan teknologi. Jumlah penuturnya yang besar dan persebarannya yang semakin luas di dunia menjadi faktor penentu yang sangat meyakinkan.
Dalam prespektif peneliti asing, bahasa Melayu pun telah sejak lama diakui sebagai bahasa internasional. Apatah lagi, unsur intrabahasanya sebagai bahasa modern sudah sangat memadai sampai setakat ini
Berdasarkan kenyataan itu, bahasa Melayu sangat potensial menjadi bahasa antarbangsa pada era globalisasi ini. Kesemuanya terpulang kepada bangsa dan negara (ASEAN) yang memiliki dan menggunakan bahasa Melayu. Untuk itu, sangat diperlukan kemauan bersama serta kerja sama yang konsisten dan berkelanjutan di antara bangsa dan negara pemilik bahasa yang bertuah dan bermarwah ini.***