oleh Fadly Fauzi dan Faris Joraimi,
Terbit pertama kali dalam bahasa inggris di laman https://s-pores.com/2017/01/the-intellectual-legacy-of-kampung-glam-by-fadli-fawzi-and-faris-joraimi/
Diterjemahkan oleh Adi Pranadipa
Kampung Gelam dan Perubahan Sosial
Perubahan-perubahan ini menimbulkan kesadaran sosial yang baru. Semakin banyak orang Melayu yang menyadari ikatan kebersamaan yang muncul dari identitas dan pengalaman yang sama. Hal ini paling terasa di kalangan orang Melayu yang tinggal di pusat-pusat kota akibat rasa keterpinggiran ekonomi dan perpecahan sosial yang semakin kuat di bawah penjajahan.
Salah satu respons awal terhadap rasa keterasingan ekonomi dan sosial ini adalah berdirinya Kesatuan Melayu Singapura (KMS). Perkumpulan ini, yang diluncurkan di Kampung Gelam, terdiri dari orang-orang Melayu yang berpendidikan Inggris. Tokoh paling menonjol adalah Eunos Abdullah, yang menjadi anggota Majelis Legislatif mewakili orang Melayu.

Proyek besar mereka adalah Pembangunan Kampung Melayu. Akibat keadaan ekonomi, nilai tanah di kawasan yang awalnya disewakan kepada orang Melayu, seperti Kampung Gelam, sudah naik sangat tinggi.
Banyak orang Melayu terpaksa tinggal di rumah-rumah yang kurang layak di pinggiran kota. Usulan dari KMS adalah memohon kepada pemerintah agar menyediakan sebidang tanah untuk Kampung Melayu baru, mengikuti contoh Kampung Bahru di Kuala Lumpur. Tujuannya adalah menciptakan satu unit sosial yang mempertahankan corak hidup tradisional di Singapura yang sudah mulai bergeser ke urban.
Meskipun banyak kesulitan, akhirnya dibeli lah tanah seluas 620 hektar di bahagian timur kota, dan lahirlah Kampung Melayu.
Beberapa jalan di sana sempat dinamakan berdasarkan tokoh-tokoh yang berjasa mewujudkan kampung ini, sayangnya nama-nama itu hilang setelah kawasan itu dirobohkan. Namun, kawasan itu sampai sekarang masih dikenal sebagai Eunos, diambil dari nama ketua KMS.
Walaupun KMS adalah organisasi perintis, ia tidak bersifat radikal. KMS mendukung sistem kolonial, dan sebagai balasannya, mereka mendapat sokongan kolonial untuk projek-projek mereka. Namun, semangat mereka sudah mulai bernafaskan nasionalisme—untuk kemajuan orang Melayu, tanpa memandang kedudukan sosial.
Pasca Perang: Surat Khabar dan Majalah
Pada tahun 1920-an, perkembangan industri penerbitan untuk masyarakat yang semakin terdidik sudah jelas terlihat. Dengan Pendudukan Jepang (1942–1945), berakhirnya kekuasaan kolonial Barat sudah tidak dapat dielakkan.
Perjuangan Indonesia melawan Belanda dan Pengumuman Proklamasi kemerdekaan mereka pada tahun 1947 menyalakan bara imaji rakyat Malaya dan Singapura, serta menyemangati perjuangan mereka untuk menentukan nasib sendiri.
Dalam suasana penuh semangat ini, berkembanglah dua bentuk kesusastraan utama: majalah dan surat kabar. Surat kabar Melayu paling terkemuka saat itu adalah Utusan Melayu, dipimpin oleh Yusof Ishak dan Samad Ismail, yang berkantor di Queen Street di pinggiran Kampung Glam.
Di bawah kepemimpinan mereka, Utusan menjadi corong utama masyarakat Melayu dan pejuang kemerdekaan Malaya. Utusan juga menerbitkan majalah Mastika yang diisi oleh sastrawan ternama seperti Kamaluddin Mohammad (Keris Mas) dan Usman Awang (Tongkat Warrant).
Harun Aminurrashid, lulusan SITC, berperan besar dalam kesuksesan sejumlah majalah. Tantangan pertamanya adalah menghidupkan kembali majalah Hiboran yang hampir bangkrut, diterbitkan oleh Royal Press di North Bridge Road. Berkat usahanya, Hiboran bertahan selama sepuluh tahun lagi hingga 1958. Harun kemudian bekerja sama dengan pemilik Ahmadiah Press, Raja Muhammad Yusuf, untuk mendirikan perusahaan penerbitan HARMY (akronim dari nama Harun Aminurrashid dan Raja Muhammad Yusuf).
Mereka menerbitkan beberapa karya penting, terutama Mutiara (1948-1962), yang menjadi saingan Mastika (1942-sekarang) dan Hiboran. Majalah-majalah ini mencakup berbagai topik, mulai dari isu sosial, masalah terkini, hingga karya sastra seperti cerpen. Ketika Era Antariksa dimulai dengan peluncuran Sputnik pada 1960, majalah ini juga memuat tulisan bertema sains dan fiksi ilmiah. Menyadari meningkatnya literasi perempuan, HARMY juga menerbitkan Fesyen, majalah khusus untuk pembaca wanita.

Namun, hubungan kedua tokoh ini tidak selalu harmonis. Harun kemudian memimpin Partai Rakyat Singapura yang beraliran kiri, sementara Raja Muhammad Yusuf tetap berpandangan lebih konservatif. Meskipun HARMY adalah kemitraan yang menarik, sayap kanan dan kiri dalam nasionalisme Melayu akhirnya tidak selalu sejalan.
Keterlibatan para penerbit dalam dunia politik mencerminkan peran kaum intelektual yang semakin terpolitisasi pada masa itu, yang terlibat dalam pertanyaan-pertanyaan penting zaman mereka.
Aspek ini sebenarnya memicu perdebatan sengit antara dua kubu: satu kubu berpendapat bahwa seni haruslah hadir demi seni itu sendiri, sementara kubu lain berargumen bahwa seni harus memainkan peranan penting dalam membentuk masyarakat.
Kubu terakhir ini dipimpin oleh para penulis Angkatan Sasterawan 50 (ASAS 50) yang meyakini bahwa sastrawan, penyair, dan jurnalis harus terlibat—dalam satu bentuk atau lainnya—dalam isu-isu sosial dan perjuangan politik saat itu. Pandangan inilah yang dominan pada era tersebut, terlihat dari bagaimana majalah dan surat kabar kerap mencerminkan idealisme ini.
Hijrah Pasca-Kemerdekaan
Jika perjuangan kemerdekaan memicu perkembangan industri penerbitan, masa pasca-kemerdekaan justru tercatat kemunduran. Pemerintah pasca-kolonial di Malaya dan Singapura lebih tertarik pada proyek pembangunan bangsa daripada membangun ruang intelektual.
Selain faktor politik, alasan ekonomi juga mendorong perubahan ini. Peningkatan PDB Singapura membawa masalah baru: kenaikan harga tanah. Semakin lama, menerbitkan karya di tempat lain menjadi lebih murah. Gelombang eksodus pun mengikuti perubahan lanskap politik dan ekonomi ini.
Pada 1958, surat kabar Melayu terkemuka, Utusan Melayu, pindah ke Kuala Lumpur. Publikasi lain seperti Hiboran menyusul pada 1970-an. Toko Haji Hashim, toko buku yang didirikan oleh sang pemilik di 34 Arab Street pada 1922, masih bertahan di Singapura tetapi telah berpindah dari Kampong Glam ke Joo Chiat Complex.
Namun, sebagian industri buku Kampong Glam berhasil beradaptasi dengan perubahan zaman. Misalnya, cendekiawan Melayu terkemuka di bidang agama, Syed Ahmad Semait, mendirikan Pustaka Nasional pada 1963 di 40 Kandahar Street.
Ia menerbitkan sebagian besar buku agama tetapi juga beberapa karya fiksi lokal yang kemudian dijadikan bahan ajar di sekolah-sekolah setempat. Pada 1996, Pustaka Nasional ditunjuk oleh MUIS untuk memproduksi buku teks standar bagi madrasah lokal.
Warisan Intelektual Kampung Gelam
Meski banyak sejarah gemilang Kampung Gelam telah terlupakan, warisan intelektualnya masih relevan hingga hari ini. Fakta bahwa pernah ada usaha yang berkembang pesat untuk menulis dan memproduksi bahan bacaan bagi pembaca luas membantah anggapan bahwa orang Melayu tidak memiliki kecenderungan terhadap kegiatan intelektual.
Bahwa orang-orang dari berbagai penjuru Nusantara pernah berkumpul di Kampung Gelam untuk menciptakan industri penerbitan dengan jaringan distribusi yang canggih mempertanyakan asumsi bahwa orang Melayu kurang memiliki semangat berniaga atau enggan bekerja keras.
Warisan ini adalah mozaik dari berbagai pelaku sejarah: kecerdikan para juru tulis Istana, usaha para pedagang buku, semangat para reformis agama, dan gairah para nasionalis yang berkomitmen.
Namun, warisan intelektual Kampung Gelam bukan sekadar keingintahuan akademis belaka. Ia adalah bagian dari semangat masyarakat yang serba bisa: kegelisahan terhadap kemapanan dan ortodoksi, perenungan terhadap nilai-nilai yang dipegang teguh, rasa tanggung jawab yang datang dengan pengetahuan, dan—yang terpenting—kepedulian tulus terhadap nasib sesama manusia.
Mengungkap warisan ini ibarat menarik tirai dari cermin yang telah pudar. Bayang-bayang di cermin mungkin terasa asing, tetapi semangat yang membentuk sosok-sosok yang pernah berjalan di jalanan ini tidaklah asing.
Semoga suara masa lalu ini membangunkan kita dari tidur gelisah hari ini. (Selesai)
Tentang Penulis
Fadli Fawzi saat ini bekerja di bidang hukum. Ia memiliki minat dalam berbagai bidang mulai dari agama, sejarah, politik, dan hukum.
Faris Joraimi saat ini adalah mahasiswa pascasarjana di NYU dan penggemar warisan budaya. Saat tidak membaca literatur Melayu klasik, ia sering ditemukan menulis teks panjang dan penuh semangat pada artikel yang ia bagikan di Facebook.
Kepustakaan
Proudfoot, I. (1993). Early Malay printed books: A provisional account of materials published in the Singapore-Malaysia area up to 1920, noting holdings in major public collections. Kuala Lumpur: Academy of Malay Studies and the Library, University of Malaya.
Salleh, M. H. (1994). Syair tantangan Singapura abad kesembilan belas. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan, Malaysia.
Roff, William. (1995). The Origins of Malay Nationalism. Oxford University Press.
Tajudeen, Imran (2007). “State Constructs of Ethnicity in the Reinvention of Malay-Indonesian Heritage in Singapore.” TDSR Volume XVIII Number
Ishak, M. S. (1998). Penerbitan & pencetakan buku Melayu, 1807-1960. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka